12. COBA AJA KALO BERANI

"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang.

"Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah.

"Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.

Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"

Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"

Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"

Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.

Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya semakin mengerucutkan wajahnya saja dengan sebal. "Apanya yang lucu?!"

Ginan melepaskan cekalannya, dan Ganaya pun segera menjauh setelahnya.

"Lo lucu kalo lagi panik."

Ganaya mendumal sebal. "Jangan gitu lagi ah. Kita nggak tahu setan mana yang bakal sukses."

Ginan mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Sukses?"

Ganaya memutar bola matanya. "Ya sukses. Jangan mentang-mentang gue numpang di sini terus lo semena-mena ya ngajakin gue tidur bareng. Gue bukan cewek kayak gitu," sinisnya membuat Ginan menaikkan kedua alisnya.

"Jadi, kalo udah nikah, lo mau tidur bareng sama gue?"

Ganaya terdiam. Dia kesulitan untuk menjawab. Kalau pernikahan mereka terjalin secara natural sih dia akan menjawab mau mau saja. Ya secara suami istri mana yang tidak tidur disatu kasur yang sama, bukan?

Nah, masalahnya kan, dia dan Ginan menikah karena-- eum... win-win solution, sebuah kesepakatan. Jadi dia agak ragu juga apakah harus tidur di satu ranjang atau tidak. Tapi--

"Kayaknya lo keberatan."

"Eh?"

Tatapan Ginan seketika menjadi datar. "Lupain."

Dan setelah mengatakan itu, Ginan pun beranjak turun dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi begitu saja meninggalkan Ganaya yang entah kenapa merasakan suasana di kamar saat itu seketika menjadi hampa.

"Kenapa tiba-tiba jadi nggak enak gini sih hawanya?" gumamnya dengan bingung.

***

"Ginan! Katanya kamu mau ngenalin perempuan yang bakal jadi calon istri mama? Kapan?!"

Ginan memejamkan matanya seraya menjauhkan ponselnya. Tidak Gina, tidak mamanya. Kenapa hobi sekali berteriak?

"Ya sabar dong, Ma. Besok hari sabtu Ginan bawa ke rumah."

"Mama udah nggak sabar! Mama kan mau kenalan. Nggak bisa sekarang aja apa?"

Ginan menghela nafasnya pelan. "Nggak bisa. Dia juga lagi sibuk, Ma."

Terdengar helaan panjang dari seberang sana. Ginan bisa membayangkan bagaimana ekspresi mamanya saat ini. Pastilah sedang memasang wajah cemberutnya seperti orang yang sangat malang sekali. Memang begitu mamanya. Suka mendrama.

"Makan malam bareng nggak bisa juga?"

"Nggak bisa, Ma. Dia juga lagi siap-siap?"

"Siap-siap apa?" Terdengar nada bingung dari pertanyaan sang mama.

Ginan tersenyum tipis. "Siap-siap buat ngambil hati mama," jawabnya membuat Tara di sebelah sana ternganga tidak percaya.

"Serius kamu, Nan?"

"Huum."

"Wahh,, mama jadi terharuu. Pasti dia perempuan baik-baik deh sampai niat banget mau ngambil hati mama. Kalo gitu, bilangin ke dia, buat jadi diri sendiri aja. Asalkan dia baik dan sayang sama kamu, mama oke-oke aja. Ya?"

Senyum di wajah Ginan pun kembali terukir. "Iya. Nanti aku bilangin. Ya udah, Ma. Ginan mau lanjut kerja dulu."

"Oke, kalo gitu. Titip salam buat calon mantu mama, ya."

Ginan berdeham, sebelum kemudian menyimpan kembali ponselnya begitu panggilan terputus.

Ginan menghela nafasnya. Bersamaan dengan itu pintu ruangannya diketuk, dan masuklah Adam dengan sebelah tangannya di dalam saku celananya.

"Ada apa?"

"Orang yang lo rekomendasiin udah dateng. Dia lagi di-interview sama naomi. Udah gue bilangin juga ke dia buat lolosin. Tapi, gue mau tanya deh, Nan." Adam menarik kursi di seberang Ginan dan mendudukkan diri di sana.

"Tanya apa?" Ginan merapikan berkas-berkas yang ada di atas mejanya.

"Kenapa lo ngebet buat masukin dia ke perusahaan ini? Lo yakin banget sama kompetensinya?"

Ginan menyandarkan punggungnya di kursi putarnya. "Kalo nggak yakin, nggak mungkin gue minta buat masukin dia, kan?"

Adam mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi masalahnya gue tahu banget lo gimana. Lo bukan tipe orang yang suka pake kuasa orang dalam gini buat orang lain. So--" Adam memajukan tubuhnya, menumpukan kedua telapak tangannya di atas meja, menatap sahabat serta atasannya itu dengan tatapan menuntut.

"Cepet kasih tahu gue. Siapa cewek itu? Pasti ada something special di antara lo berdua, kan?"

Ginan mengendikkan kedua bahunya. "Mungkin."

Adam berdecak sambil kembali duduk dengan benar. "Kasih tahu lah."

"Ngapain sih? Nggak penting juga." Ginan memainkan laptop kerjanya.

Adam mendengus. Sesaat kemudian wajahnya kembali berseri sebelum kemudian dengan nada bersemangatnya dia berujar. "Kalo gitu, nggak masalah dong, ya, kalo gue deketin dia? Tadi gue sempet papasan sama dia di lobi. Dan kayanya gue tertarik sama dia."

Ginan seketika langsung memberikan tatapan tajamnya. "Coba aja kalo lo berani!"

Dan Adam benar-benar tidak bisa menahan tawanya.

***