15. ALASAN MENERIMA

Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.

Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.

Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya.

"Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti.

"Kenapa?"

"Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu.

"Takut kenapa?"

"Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.

Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu.

"Sini."

"Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan besar milik Ginan datang melingkupi tangannya yang sejak tadi terasa dingin.

"Kalo butuh gandengan itu ngomong, jangan diem aja," katanya lalu kembali melanjutkan langkahnya, tak membiarkan Ganaya mengatakan apa-apa untuk membalas ucapannya.

Pintu terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya berdaster dengan rambut setengah putihnya yang tergulung.

"Mas Ginan. Sudah ditunggu bapak sama ibu." Ginan menganggukkan kepalanya pada asisten yang sudah bekerja di rumah orangtuanya itu sejak lama.

"Makasih, Bi."

Pandangan wanita paruh baya itu kemudian beralih ke arah gadis yang berdiri di samping anak majikannya. Senyum ramahnya pun mengembang. "Ini pasti calon istrinya Mas Ginan, ya? Cantik sekali."

Ganaya tersenyum malu-malu. Jujur, dia tidak biasa dipuji cantik begini.

"Makasih, Bu."

Ginan mencibirkan bibirnya melihat ekspresi itu. "Ayo masuk."

Ginan pun mengajak gadis yang sudah beberapa minggu ini tinggal bersamanya untuk masuk ke dalam rumah.

Dan keduanya lantas disambut oleh wanita yang sudah tak muda lagi, yang terlihat tersenyum lebar ke arah mereka.

"Oh ya ampuuun, caon mantuku."

Ganaya mengerjapkan matanya saat tiba-tiba saja dirinya direngkuh dan masuk ke dalam pelukan wanita yang dia tebak merupakan ibunda dari Ginan.

"Serius, Ma? Bukan anaknya yang disambut duluan?" Ginan berseru protes.

Kinanti melepaskan pelukannya lalu menatap putra satu-satunya itu dengan tajam. "Ngapain nyambut anak yang bandel kayak kamu?!"

Ginan mencibirkan bibirnya. Dia pun tak menanggapi mamanya lebih lanjut dan memilih memeluk sang papa yang baru saja datang dari arah ruangannya.

"Wahh, siapa ini?" Perhatian pria paruh baya itu beralih ke arah Ganaya yang diam berdiri mematung dengan jantung yang berdebar saking gugupnya.

"S-saya Ganaya, O-om." Ganaya memperkenalkan dirinya dengan gugup.

Gunawan menyunggingkan senyum ramahnya. "Halo, Ganaya. Saya Gunawan, papanya Ginan." Gunawan mengulurkan tangannya yang langsung saja disambut dengan gugup oleh Ganaya. Lupa untuk menyalami lebih dulu tadi. 

"Nah kalo yang ini--"

"Kinanti. Mamanya si anak bandel ini." Mama Ginan itu sudah terlebih dulu mendahului suaminya yang hendak memperkenalkan dirinya. 

Wanita yang sudah begitu lama menantikan kehadiran seorang gadis untuk menjadi menantunya itu menyalami tangan Ganaya dan menggenggamnya erat-erat dengan sorot mata berbinarnya. Terlihat sekali kalau beliau begitu antusias dengan pertemuan ini.

"G-ganaya, Tante." Ganaya menyunggingkan senyumnya dengan kaku.

"Sudah lama banget tante menunggu kedatangan kamu ke rumah ini. Ayo, kita duduk." Kinanti menggandeng lengan kurus Ganaya dan menuntunnya menuju meja makan dimana sudah tersaji beragam masakan yang begitu menggugah selera.

"Duduk, duduk." Kinanti menarikkan satu kursi dan mempersilakan Ganaya untuk duduk.

Lagi, Ganaya dengan sungkan hanya menurut saja. Dia duduk dengan kaku. Diam-diam tangannya sedikit bergetar.

Dia memperhatikan satu per satu anggota keluarga itu yang mulai mengambil duduk juga.

Ginan duduk di samping kirinya, sementara di seberangnya, orang tua Ginan menatapnya dengan penuh minat.

Dia jadi semakin deg-deg an. Tatapan wanita dan pria paruh baya di hadapannya ini benar-benar berhasil menghantarkan kegugupan tersendiri untuknya, meski keduanya sama sekali tidak memberikan aura mengintimidasi. Justru malah terlihat begitu terbuka.

"Jadi, kalian udah pacaran berapa lama?"

Kinanti yang sepertinya sudah tidak sabar itu langsung saja memulai percakapan.

Ganaya melirik ke arah Ginan. Meminta laki-laki itu saja yang menajwab. Tapi, sepertinya Ginan ingin membuatnya lebih aktif bercakap dengan orangtuanya malam ini.

"B-belum lama, Tante."

Kinanti menatapnya dengan tertarik. "Oh, ya? Berapa lama tepatnya?"

"... sekitar ... satu bulanan," jawab Ganaya lirih. Merasa tak enak hati juga karena berbohong. Nyatanya dia dan Ginan tidak pernah berpacaran sama sekali.

"Loh? Baru banget dong." Kinanti menatap bingung pada putranya yang sudah dengan santainya menyantap buah pisang yang ada di atas meja.

"I-iya, Tante." Ganaya meringis takut-takut.

"Lalu, apa yang membuat kamu yakin untuk menikah dengan Ginan?"

Ginan menatap mamanya dengan malas. "Mama ini gimana sih? Emangnya harus banget nanyain itu? Nanti kalau Naya berubah pikiran karena pertanyaan mama itu gimana?"

Kinanti mendeliki putranya. "Hush. Emangnya apa salahnya? Mama juga perlu tahu dong alasan kenapa Ganaya mau nikah padahal baru pacaran sebulan," jawabnya dengan sewot. Ginan hanya memutar bola matanya.

 "Jadi?" Kinanti kembali  menatap Ganaya.

Ganaya meneguk ludahnya. Kini semua orang menatap ke arahnya. Termasuk Ginan yang merasa penasaran dengan jawaban apa yang akan Ganaya berikan atas pertanyaan dari Kinanti.

Ganaya merasakan dadanya bertalu dengan begitu cepatnya, diirngi dengan rasa gugup yang semakin mendominasinya.

"S-saya ..."

Kinanti menanti jawabannya dengan antusias, begitu juga dengan Gunawan yang meski masih terlihat biasa saja, tapi Ganaya tahu kalau pria paruh baya itu juga penasaran dengan jawabannya.

Sementara Ginan ... entahlah. Raut wajahnya terlihat biasa saja, tapi matanya terus memperhatikan dirinya.

Ganaya meremas kedua tangannya dengan gugup. "S-saya ... cinta sama ginan. Su-sudah lama, Tan." Ganaya memejamkan matanya saat mengatakan itu.

Raut wajah Kinanti langsung sumringah mendengarnya. Dan entah kenapa, Ganaya justru penasaran dengan reaksi yang Ginan berikan setelah mendengar apa yang dia katakan.

Ganaya merutuki dirinya dalam hati saat melihat bagaimana bibir tipis itu tersenyum miring meski tatapannya sudah tak lagi tertuju ke arahnya.

***