6. Si CALON MENANTU

Ganaya mencuci piring bekas makan malam mereka tadi, sementara Ginan sudah kembali duduk di sofa dan berkutat lagi dengan tabletnya.

Ganaya sih tidak masalah dengan itu. Perutnya sudah diisi, juga-- dia harus menunjukkan rasa terima kasihnya dengan mencuci piring serta alat-alat yang Ginan gunakan untuk memasak tadi.

Selesai dengan tugasnya, Ganaya pun berbalik dan berniat kembali ke kamar saja. Tak mau lagi berbasa-basi dengan Ginan yang dia pun tahu tidak akan mendapat tanggapan dari pria irit bicara tersebut.

"Nay."

Ganaya yang sudah sampai di ambang pintu kamar itu menghentikan langkahnya dan menoleh. "Kenapa?"

"Udah bicara sama ibu lo?"

Ganaya menggelengkan kepalanya. "Belum," jawabnya membuat Ginan menghela nafasnya.

"Kalo gue minta secepetnya bisa nggak?"

Kening Ganaya mengeryit. "Kenapa harus cepet-cepet?"

Ginan menatapnya datar. "Lo aja bisa tinggal di sini lebih cepet, kenapa gue harus menunda buat pernikahan ini?" tanyanya balik, yang berhasil membuat Ganaya kicep dibuatnya.

"I-iya sih.. tapi nggak harus se-frontal gitu juga kali ngomongnya," gumamnya pada diri sendiri. Dia lantas kembali menatap Ginan sambil menyunggingkan senyum manisnya. "Oke kalo gitu. Gue telpon ibu gue sekarang deh. Biar lo bisa ketemu SECEPETNYA. Oke?" katanya dengan manis, sambil menekankan kata SECEPATNYA sebagai bentuk sindirannya pada Ginan yang sangat tidak sabaran itu.

"Oke." Ginan mengendik dengan santai lalu kembali fokus pada tabletnya, membelakangi Ganaya yang kini mengangkat kedua tangannya ke udara. Seolah ingin meremas-remas wajah menyebalkan laki-laki itu.

Dia mendengus kecil, sebelum akhirnya dia berbalik dan masuk ke dalam kamarnya.

Dia meraih hapenya yang ada di atas meja dan mulai menghubungi ibunya.

Ganaya mendudukkan diri di atas kasur dengan ponsel menempel di telinganya.

Butuh beberapa saat hingga sambungan terhubung.

Hati Ganaya yang sebelumnya terasa berat dan carut marut itu dalam sekejap melega begitu telinganya mendengar suara lembut yang mendayu dari seberang sana.

"Waalaikumsalam, Ibu... ibu apa kabar?" Ganaya terus menyunggingkan senyumnya.

"Ibu baik. Kamu gimana? Sehat, kan?"

"Naya sehat. Emm, ibu ... ada yang mau Naya omongin sama ibu. Penting." Ganaya menarik nafasnya pelan, mencoba mengumpulkan segenap keyakinannya untuk membicarakan masalah pernikahannya dengan Ginan yang sangat mendadak ini.

"Ngomong apa, Nak?"

Ganaya tidak langsung menjawab. Sekali lagi dia menghembuskan nafasnya.

"Ada yang, emm-- mau ketemu sama ibu," ucapnya sambil menahan ringisannya. Takut dengan respon yang akan ibunya berikan setelah ini.

"Oh, ya? Siapa? Temen kamu?"

"I...ya temen Naya. Laki-laki," bisiknya membuat sang ibu di sana terdiam.

Ganaya menggigit bibirnya gelisah karena sang ibu tak kunjung memberikan tanggapan.

"Kapan temannya mau datang, Nak?" tanya Ibu yang entah kenapa malah membuat Ganaya merasa lega.

"Nanti Naya kabarin lagi ya, Bu."

Dan setelah berbincang sedikit, panggilan pun berhenti, mengingat waktu yang juga sudah cukup malam.

Ganaya beranjak dan keluar dari kamar untuk menemui si Ginan.

"Gue udah ngomong sama ibu gue," katanya membuat Ginan menolehkan kepalanya.

"Dan?"

Ganaya menghela nafasnya. "Ibu tanya kapan lo mau datang," jawabnya seraya berjalan mendekat dan mendudukkan diri di samping laki-laki itu.

Ginan mengangguk singkat. "Besok gue bisa," katanya yang mana lantas membuat Ganaya mendelikkan matanya.

"Yang bener aja, Ginan! Masa besok sih?!"

Ginan mengendikkan bahunya. "Lebih cepat, lebih baik."

Ganaya menahan rasa geregetnya. "Ya tapi nggak besok juga dong, Ginan. Mendadak banget kalo itu. Ibu gue belum juga belanja, masak, terus siap-siap. Itu kan butuh waktuuu."

"Ya nggak perlu belanja, Naya. Gue juga nggak berniat ngerepotin kok. Bilang aja nggak usah siapin apa-apa," jawab laki-laki itu dengan santai, membuat Ganaya rasanya benar-benar ingin menggeplak kepalanya supaya tahu rasa.

"Ya kali ada tamu tapi nggak nyiapin apa-apa."

"Ya nggak masalah. Toh, sama calon menantu sendiri ini. Nggak perlu repot-repot," katanya dengan santainya, tak mempedulikan reaksi Ganaya yang ternganga tak percaya mendengarnya.

Percaya diri sekali, sumpah.

"Pede banget ihh." Ginan hanya tersenyum miring saja.

"Pokoknya, bilang sama ibu lo, nggak perlu repot nyiapin apa-apa. Gue mau berkunjung besok. Bilang juga kalo calon menantunya ini udah nggak sabar buat memperistri anaknya. Oke, Ganaya?"

Boleh tidak sih, memukul kepala orang pakai sandal? Dia gemas sekali sumpah.

***