Share

8. BOLEH KOK POSESIF

Author: eunyoungro
last update Last Updated: 2024-10-29 18:16:55

Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk.

"Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"

Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk.

"Benar, Bu."

Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya.

"Belum lama."

Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"

Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu.

"Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.

Saling mencintai dari Hongkong?

"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. 

"Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis.

"Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan serius sama putri ibu."

Lastri menghembuskan nafasnya. "Ibu itu sering merasa khawatir dengan Naya yang tinggal sendirian di Jakarta. Sering kepikiran untuk suruh Naya pulang, tapi ibu nggak berani, takut kalau justru akan mempersulit dia untuk dapat kerja lagi di sini," kata Ibu membuat Ganaya menatapnya dengan dalam.

"Ibu bersyukur sekali Nak Ginan mau membantu ibu menjaga Naya di sana. Setidaknya, ibu bisa lega karena ada yang bisa menjaga dia di sana." Lastri tersenyum lembut menatap anak satu-satunya itu.

"Ibu minta tolong ya, Nak Ginan?"

Ginan mengangguk. "Jadi ... ibu bersedia memberi restu pada saya untuk menikahi Ganaya?" tanya Ginan memastikan. Dan sebuah anggukan mantap lah yang Lastri berikan.

"Ibu merestui, pun itu tergantung juga dengan keputusan Naya. Gimana, Naya? Kamu mau menikah dengan Nak Ginan?"

Ganaya menatap Ginan yang juga turut menatapnya.

Aslinya sih dia tidak berniat. Tapi, karena sudah kadung begini, maka jawaban yang bisa Ganaya berikan ya... hanya sebuah anggukan.

Senyum di wajah Lastri mengembang. 

"Syukurlah. Ibu turut bahagia. Jadi, kapan orangtua akan datang ke sini?"

***

"Kenapa kamu nggak nginep dulu sih? Padahal kan udah lama kamu nggak pulang?" Lastri menatap sang putri dengan sedih.

Ganaya menggenggam tangan ibunya. "Ganaya cuma ijin sehari aja, Bu. Makanya nggak bisa nginep," katanya dengan penuh sesal.

Sesal lantaran tak bisa tinggal lebih lama, juga sesal karena dia belum bisa mengatakan yang sejujurnya kalau dirinya sudah tidak bekerja lagi untuk saat ini.

Lastri menghembuskan nafasnya. "Ya sudah. Nggak papa. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan telat makan," ingatnya yang langsung diangguki dengan semangat oleh Ganaya.

"Kalau gitu kita pamit dulu ya, Bu." Ganaya mencium tangan dan kedua pipi sang ibu, bergantian dengan Ginan yang turut menyalami.

Setelah berpamitan, Ginan pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah sederhana milik ibu Ganaya itu.

"Lo nggak cerita soal lo yang dipecat?"

Ganaya berdecak. "Gue nggak dipecat, ya!"

"Lah, bukannya lo bilang, lo diminta buat tulis surat pengunduran diri?"

"Ya itu namanya gue resign, Ginan."

"Ya dipecat lah, Nay. Cuma diperhalus aja itu biar lo nggak susah dapet kerja lagi," kata Ginan yang berhasil membuat Ganaya diam dengan sebal.

Kenapa harus diperjelas begitu sih? Dia kan jadi bete mengingat bagaimana dia harus keluar dari pekerjaannya padahal sebenarnya dia tidak salah sama sekali.

Dia melipat kedua tangannya di depan dada sambip melengos kesal.

Ginan hanya meliriknya.

"Terus, kapan lo mau ajak orangtua lo ketemu ibu gue?" tanya Ganaya setelah beberapa saat terdiam.

"Entah. Nanti kita ketemu mereka dulu," jawabnya membuat Ganaya menaikkan kedua alisnya. "Gue ikut juga?"

Ginan menoleh. "Kenapa? Lo nggak mau ketemu calon mertua?"

"Ya ... bukan gitu." Dia hanya merasa ... tidak siap? Bagaimana kalau orangtua Ginan tidak menyukainya? Bagaimana kalau orangtua Ginan ternyata tidak srek dengannya menjadi istri putra mereka? Dia hanya gadis biasa yang tak punya kelebihan apa-apa sehingga bisa disebut sebagai calon menantu potensial. Ditambah dirinya yang baru saja dipecat dari pekerjaannya.

Apa yang akan mereka pikirkan tentangnya nanti?

"Terus? Jangan bilang--" Ganaya menatapnya.

"Jangan bilang apa?"

Ginan menyunggingkan senyum miringnya. "Lo gugup, ya?"

Ganaya mendengus. "Ya menurut lo?"

Ginan terkekeh singkat. "Tenang. Orangtua gue nggak gigit."

Ganaya mendengus.

Ginan meliriknya. "Paling gue yang gigit," lanjutnya membuat Ganaya menatapnya dengan delikan.

"Ginan!"

Ginan hanya tertawa saja.

Perjalanan berlanjut hingga tibalah mereka di apartemen pada malam harinya.

Ganaya menutup mulutnya yang menguap dengan badan yang terasa pegal-pegal setelah seharian lebih banyak dihabiskan di perjalanan.

"Lo naik duluan. Gue ada urusan," kata Ginan seraya memberikan bawaan yang diberikan oleh Lastri sebelum pulang tadi kepada Ganaya.

"Lah? Lo mau kemana?"

Ginan menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Mau ikut? Udah mulai posesif aja nih ke gue?" tanyanya dengan bibirnya membentuk senyum miring.

Ganaya jelas langsung melotot dibuatnya.

"Najis!" semprotnya langsung dan segera berbalik badan meninggalkan Ginan yang terkekeh kecil di tempatnya.

"Padahal kalo posesif juga gue nggak masalah loh, Nay! Kan calon suami sendiri ini!" teriaknya yang lantas membuat Ganaya berlari tak mau menanggapi.

Ginan gila emang.

***

Related chapters

  • So I Married the Perfect Rival   9. LO CINTA KAN SEBENERNYA?

    Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet

    Last Updated : 2024-10-30
  • So I Married the Perfect Rival   10. SIAPIN HADIAH BUAT GUE

    "H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i

    Last Updated : 2024-11-01
  • So I Married the Perfect Rival   11. GIMANA KALO KITA TIDUR BARENG?

    Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel

    Last Updated : 2024-11-03
  • So I Married the Perfect Rival   12. COBA AJA KALO BERANI

    "H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya

    Last Updated : 2024-11-04
  • So I Married the Perfect Rival   13. ENAK PUNYA GUE!

    "Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah

    Last Updated : 2024-11-05
  • So I Married the Perfect Rival   14. GINAN YANG SEKSI

    Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set

    Last Updated : 2024-11-08
  • So I Married the Perfect Rival   15. ALASAN MENERIMA

    Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes

    Last Updated : 2024-11-14
  • So I Married the Perfect Rival   1. AJAKAN GILA

    "Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi

    Last Updated : 2024-10-17

Latest chapter

  • So I Married the Perfect Rival   15. ALASAN MENERIMA

    Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes

  • So I Married the Perfect Rival   14. GINAN YANG SEKSI

    Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set

  • So I Married the Perfect Rival   13. ENAK PUNYA GUE!

    "Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah

  • So I Married the Perfect Rival   12. COBA AJA KALO BERANI

    "H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya

  • So I Married the Perfect Rival   11. GIMANA KALO KITA TIDUR BARENG?

    Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel

  • So I Married the Perfect Rival   10. SIAPIN HADIAH BUAT GUE

    "H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i

  • So I Married the Perfect Rival   9. LO CINTA KAN SEBENERNYA?

    Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet

  • So I Married the Perfect Rival   8. BOLEH KOK POSESIF

    Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s

  • So I Married the Perfect Rival   7. SEMUA LAKI-LAKI SAMA SAJA

    Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status