Share

Bab 7

Panggilan telepon dari istri Alaric.

Raut Florence membeku.

Dia segera mengambil kantong plastik berisi obat, membuka pintu mobil lalu keluar. Kakinya tak sengaja membentur pintu mobil.

"Ah!"

Rasa sakit membuat Florence meringis.

Setelah bersuara, Florence pun tersadar. Dia refleks menutup bibirnya sambil menatap Alaric dengan panik.

Gawat!

Istri Alaric pasti mendengar suaranya tadi.

"Suamiku, apakah kamu sedang bersama wanita?" Benar saja, detik berikutnya, suara serius wanita itu terdengar di dalam mobil.

Sekarang makin sulit untuk meluruskannya.

Florence menatap Alaric dengan ekspresi minta maaf, keluar dari mobil, kemudian pergi.

Florence tertatih-tatih dan hampir jatuh, lalu dia berdiri dengan panik. Dia berdiri diam di tempat untuk menahan rasa sakitnya sebelum melangkah lagi.

Cahaya redup menyinari sosok langsingnya. Pinggangnya begitu tipis membuat orang memiliki keinginan untuk memeluknya.

"Suamiku, kenapa kamu diam saja? Kamu sedang bersama wanita mana?"

Sosok Florence menghilang di balik pintu unit.

Alaric menarik pandangannya kembali, kemudian dia berkata dengan nada dingin, "Apa masalahmu, Lianca?"

Di ujung telepon, wanita itu terkekeh. "Aku bukan sengaja mengganggumu, jangan begitu galak, oke? Apakah wanita tadi itu mainan barumu?"

"Kalau nggak ada urusan, aku tutup."

"Jangan, jangan, jangan. Aku ada urusan serius."

Tahu bahwa Alaric selalu serius, Lianca Flores pun tidak berani bercanda lagi. "Bulan depan, aku pulang negeri. Jemputlah aku di bandara."

Alaric mencibir dengan dingin. "Lianca, apakah aku perlu mengingatkanmu kalau pernikahan kita hanya sebatas transaksi bisnis? Jangan merepotkanku dengan urusanmu."

Usai berbicara, Alaric menutup telepon tanpa memberi wanita itu kesempatan untuk berbicara.

Tak jauh dari tempatnya, lampu kuning hangat menyala di sebuah kamar lantai satu. Tirai tertutup sehingga bagian dalam kamar tidak terlihat.

Alaric menatap jendela itu sebentar.

Kemudian dia menarik tatapannya kembali, menyalakan mobil, melaju pergi. Tak lama kemudian, mobil mewah itu menghilang di tengah malam yang dingin.

...

Begitu Florence masuk, sahabatnya, Ella Nutini, bergegas mendekat. Lalu dia memeluk Florence dengan penuh semangat.

"Flo, apakah pria yang baru mengantarmu pulang itu pacar barumu? Boleh juga. Dia mengendarai Maybach, lho! Kaya sekali!"

Florence tersenyum. "Kakiku terluka, biarkan aku duduk dulu."

"Hah? Apa yang terjadi? Kalau begitu biar aku memapahmu."

Mereka duduk di sofa. Florence menjelaskan bagaimana dia terluka. Dia tidak ingin Ella khawatir, jadi dia hanya mengatakan bahwa dia terjatuh saat naik tangga.

Florence terdiam sejenak sebelum bertanya, "Bagaimana dengan drama barumu? Apakah kamu benar-benar menjadi pemeran pendukung?"

Raut Ella menjadi murung. "Jangan bahas itu lagi. Seseorang dengan latar belakang kuat masuk ke dalam tim, jadi aku diganti."

Florence dan Ella adalah teman kuliah. Setelah lulus, mereka menyewa rumah ini bersama. Ella bergelut di industri hiburan. Sayangnya dia tidak memiliki uang maupun latar belakang kuat sehingga dia tak kunjung sukses.

Florence mengulurkan tangan untuk memeluk Ella. "Jangan sedih, mungkin lain kali kamu bisa mendapatkan peran yang bagus."

"Aku sudah terbiasa." Ella tersenyum simpul. "Berhenti bicara tentang aku, ceritakan tentang pacar barumu. Kapan kamu bertemu dengannya?"

"Dia bukan pacarku. Dia itu CEO tempat kerjaku dan dia sudah menikah."

"Sudah menikah?"

Ekspresi Ella tiba-tiba berubah, dia berkata dengan marah, "Dia sudah menikah, tapi masih mengantarmu pulang. Pria sudah menikah yang seperti itu biasanya suka menipu gadis muda. Flo, jangan sampai kamu terpancing. Bagaimana kalau kamu mengundurkan diri saja? Menjauhlah dari pria berengsek seperti itu."

Florence menggelengkan kepalanya. "Gaji di Grup Prescott itu tinggi. Aku membutuhkan uang, jadi belum bisa mengundurkan diri. Tenang saja, aku bisa menjaga diri."

Alaric tidak berbohong pada Florence, tetapi Florence memang harus menjauh dari pria itu.

Namun, malam ini Florence sudah mengatakan semuanya dengan jelas. Seharusnya Alaric tidak akan mengganggunya lagi.

Ella menatap Florence dengan tatapan rumit. "Flo, apakah kamu masih menunggu Bryan?"

Saat nama orang itu disebut, Florence tertegun. Emosi rumit melintas di matanya.

Ella yang melihatnya pun menepuk Ella dengan sedih. "Flo, dia sudah begitu lama nggak menghubungimu dan sengaja menghilang artinya dia sudah nggak mau bersamamu. Sadarlah. Jangan tenggelam dalam masa lalu. Manusia harus melangkah ke depan."

Bryan Pardi adalah pacar Florence selama dua tahun. Bryan tiba-tiba menghilang dua bulan lalu. Florence menggunakan banyak cara, tetapi dia tetap gagal memperoleh informasi pria itu.

Terkadang, Florence bahkan mempunyai ilusi bahwa dia tidak pernah mengenal Bryan.

...

Dua hari berikutnya adalah hari Sabtu dan Minggu. Florence beristirahat selama dua hari. Ketika dia berangkat kerja pada hari Senin, kakinya sudah hampir sembuh.

Begitu dia tiba di perusahaan, Florence mendengar kabar bahwa beberapa karyawan wanita yang menyebarkan hoaks di pantri itu dipecat.

Tak disangka Alaric akan memecat mereka. Bila dipikir-pikir, Alaric pasti sangat marah jika dia mengetahui tentang hoaks itu. Wajar saja dia memecat mereka.

Florence bertengkar dengan Anna. Orang yang menyebarkan hoaks juga dipecat. Kini tidak ada yang berani menyebarkan hoaks tentang Florence dan Alaric di perusahaan.

Akan tetapi, Anna sangat membenci Florence sehingga dia memanfaatkan kesempatan untuk menyuruh Florence merapikan banyak informasi dan data.

Anna memiliki alasan pribadi, Florence pun tidak mengatakan apa-apa. Dia begitu sibuk sepanjang hari.

Saat mendekati jam pulang kerja, Florence menghampiri kantor CEO.

Dia tidak ingin berutang budi pada Alaric, jadi dia hendak mengembalikan biaya pengobatan kepada pria tersebut.

Pintu kantor CEO tidak tertutup rapat. Florence hendak mengetuk pintu ketika dia mendengar tawa lembut wanita dari dalam.

"Pak Alaric, saya tahu tempat spa yang bagus. Bapak sudah sibuk seharian pasti lelah. Saya sudah memesan tempat. Mari kita pergi merilekskan tubuh."

Itu suara Anna.

Florence melihat dari samping.

Melalui celah pintu, dari sudut pandang Florence, dia hanya bisa melihat celana panjang hitam abu-abu milik Alaric, serta betis wanita yang mengenakan sepatu hak tinggi berwarna merah. Betis wanita itu menggesek betis Alaric dengan erotis.

Alaric tidak berbicara, tetapi dia tidak menghindari godaan Anna. Sepertinya dia menikmatinya.

Tentu saja Florence mengerti permainan orang dewasa.

Florence memalingkan wajahnya lalu pergi.

Dia tidak menyangka akan melihat adegan mesra antara Alaric dan Anna.

Jelas-jelas Alaric sudah menikah, tetapi dia masih berselingkuh dengan wanita lain. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaan istrinya.

Dia mungkin tidak peduli. Jika tidak, malam itu Alaric tidak akan berhubungan dengan Florence di Kelab Aurora.

Pria kaya punya modal untuk bermain. Hanya sedikit yang setia.

Namun, bagaimanapun juga, itu adalah urusan pribadi orang lain. Florence tidak berhak untuk berkomentar.

...

Setelah meninggalkan perusahaan, Florence naik bus ke Kelab Aurora.

Dia telah bekerja di kelab ini sebagai bartender sejak semester lima.

"Dik, apakah kamu benar-benar tidak mau mempertimbangkannya lagi? Aku nggak berbohong padamu. Dengan parasmu, aku bisa membuatmu menjadi wanita yang paling diminati dalam setengah bulan. Kelak kamu nggak perlu memusingkan kehidupanmu lagi."

Pemilik kelab, Cindy, mengenakan gaun tali spaghetti berwarna merah. Dia memuntahkan asap rokok ke arah Florence.

Florence menggeleng. "Kak Cindy, aku hanya menjual diri untuk satu kali. Lain kali aku hanya ingin menghasilkan uang dengan bekerja."

Cindy tidak memaksanya. "Baiklah. Kalau kamu berubah pikiran, cari saja aku."

Cindy terdiam sejenak, lalu dia tersenyum sembari bercanda, "Ngomong-ngomong, bagaimana malam itu? Apakah pria itu hebat?"

Wajah Cindy langsung memerah. "Kak Cindy ...."

"Ck, tampaknya kamu dipuaskan."

Cindy tersenyum penuh arti. Dia menggoda Florence lagi sebelum pergi menjamu klien.

Wajah Florence memerah. Tidak peduli seberapa keras dia berusaha, beberapa adegan dari malam itu tetap muncul di benaknya.

Sebenarnya Florence masih merasa sedikit sakit sampai sekarang.

Alaric bukan hanya hebat, tetapi luar biasa hebat.

Tunggu, apa yang sedang dia pikirkan?!

Florence menggelengkan kepalanya, membuang pikiran-pikiran itu dari benaknya. Dia mengganti seragam kerja kelab, kemudian mulai bekerja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status