Florence tidak menghubungi Alaric.Dia baru saja menolak pria itu, jadi Florence merasa tidak enak untuk meminta bantuan padanya.Malamnya, Florence baru selesai mandi ketika dia menerima dokumen terkait rapat esok dari Jordan.Isi dokumen itu sangat banyak. Florence begadang baru akhirnya selesai membacanya. Ketika langit sudah mau terang, dia berbaring untuk tidur sejenak."Flo, bangun! Flo, cepat bangun!"Florence yang dibangunkan pun membuka matanya. Terlihat Ella berdiri di samping ranjang dengan raut cemas. Florence mengusap matanya. "Ella, kamu datang. Uh, sudah jam berapa?""Sudah mau jam delapan. Kamu demam, tubuhmu panas sekali. Ayo ganti pakaian, aku akan membawamu ke rumah sakit."Tadi malam Ella ada syuting. Dia baru saja pulang, lalu melihat Florence tertidur di sofa. Lantas, dia membangunkan Ella, kemudian menyadari bahwa Florence demam tinggi."Sudah jam delapan?"Kesadaran Florence langsung terkumpul. Dia segera duduk, tetapi kepalanya terasa pusing. Dia nyaris jatuh d
Jordan menoleh dengan terkejut. Dalam hati, dia berpikir, 'Dari tadi Bapak melihat ke arah sana, bagaimana mungkin nggak lihat? Bapak jelas-jelas ingin memihak Bu Florence.'"Tok, tok, tok."Pintu kantor CEO tiba-tiba diketuk.Alaric berkata, "Masuk."Florence membuka pintu, kemudian melangkah masuk."Ck, hari ini Bu Florence sangat cantik. Pak Alaric, nggak peduli apakah proposal akuisisinya bisa berhasil, setidaknya pihak kita menang secara penampilan," canda Jordan yang matanya berbinar ketika melihat Florence.Hari ini Florence mengenakan setelan kerja yang bukan berwarna hitam putih seperti biasanya.Kemeja putih, rok pensil berwarna merah muda, serta sepatu hak tinggi berwarna emas muda. Perpaduan warna ini sangat sulit disatukan. Bisa saja orang yang mengenakannya terlihat tua dan kuno. Namun, Florence tampak cantik mengenakannya.Wajah Florence yang masih berusia muda tampak cantik. Wajahnya agak merah seperti kelopak bunga muda.Dia tampak begitu lembut seolah tidak tahan peni
Florence tidak ingin menjadi kambing hitam. Dia merasa perlu menjelaskannya."Pak Alaric, aku dan Pak Nikol nggak punya hubungan apa pun. Dia melihatku sakit, jadi berbaik hati meminjamkan jasnya."Berbaik hati ....Alaric mendengus sinis. "Bu Florence, baik hatinya pria itu ada tujuannya."Florence agak tak bisa berkata-kata. "Pak Alaric, Pak Nikol hanya perhatian sebagai rekan kerja. Jangan berbicara seolah setiap orang sama seperti dirimu.""Apanya yang sama sepertiku?"Florence itu pemalu. Dia hanya menatap Alaric tanpa mengatakannya.Namun, Alaric membantunya mengucapkannya. "Sama sepertiku yang ingin menidurimu?"Florence, "..."Bisakah Alaric tidak mengatakannya dengan begitu terus terang?Ke mana perginya sikap dingin Alaric ketika rapat tadi?Alaric menatap Florence sembari berujar, "Aku ingin menidurimu, aku mengatakannya dengan jelas kepadamu. Kamu pikir dia nggak ingin menidurimu? Bisa-bisanya kamu berterima kasih kepada seorang pria yang punya pikiran untuk menggaulimu, Bu
Tubuh gadis ini begitu lembut dan panas.Alaric yang tidak siap dengan pelukan itu pun menunjukkan tatapan gelap."Bu Florence, kalau kamu nggak melepaskan tanganmu, aku nggak keberatan untuk membuatmu berkeringat dengan cara lain."Florence tidak sadar, tetapi Alaric dalam kesadaran penuh. Dia tidak tahan digoda seperti ini."..."Florence masih menggumamkan sesuatu.Alaric mendengarkan dengan saksama, alhasil dia mendengar Florence mengatakan kata-kata seperti, "Ibu, jangan pergi."Wanita ini benar-benar menganggapnya sebagai ibu.Raut Alaric menjadi muram. Dia berkata dengan ketus, "Bangun, Florence!""Kalau kamu nggak bangun, aku akan memotong gajimu!""Florence, aku akan hitung sampai tiga. Kalau kamu nggak bangun, aku akan memecatmu!""..."Florence sama sekali tidak bereaksi.Alaric jarang kewalahan seperti ini. Dia benar-benar kesal.Rasanya dia ingin mencekik wanita itu hingga bangun. Akan tetapi, melihat wajah pucatnya, Alaric menjadi tidak tega.Akhirnya, dia hanya bisa dudu
"Hah?""Apa maksud dari ekspresimu, Florence? Kamu merasa kalau aku sengaja mengambil keuntungan darimu?" Alaric menatapnya dengan dingin."..."Florence memang berpikir demikian.Dia tidak percaya bahwa dirinya akan menahan Alaric.Raut Alaric tampak muram. "Kamu memimpikan ibumu dan menganggapku sebagai ibumu, terus memegang tanganku, nggak mau lepas."Sia-sia Alaric sudah melindungi pergelangan tangan Florence hingga infusnya selesai, lalu mencabut jarumnya.Jika tahu begini, seharusnya Alaric membiarkannya saja.Florence tampak terkejut. Dia teringat bahwa dia terus memegang tangan ibunya dalam mimpi. Merasa bahwa ibunya menemani di sisinya. Rasanya sangat nyata. Ternyata saat itu Alaric yang berada di sisinya.Sebenarnya ibunya Florence sudah lama meninggal, Florence sudah terbiasa. Dia sudah jarang memimpikan ibunya.Tatapan sedih melintas di mata Florence. Ekor matanya menangkap botol infus yang ada di samping. Dia mengedipkan mata, lalu mengalihkan topik. "Pak Alaric, kenapa ka
Pikiran Florence sangat kacau.Jemarinya terjalin erat, bibirnya terkatup.Alaric menatapnya dengan datar tanpa mendesak. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan sabar.Suara ketukan itu seperti drum yang mengedor jantung Florence.Satu kali.Florence berkata kepada dirinya sendiri dalam hati.Hanya satu kali ini.Florence menggigit bibirnya, kemudian melangkah menuju Alaric.Dari area jamu tamu sampai sisi Alaric tidaklah jauh, hanya belasan langkah. Namun, Florence merasa begitu panjang.Alaric menyaksikan gadis yang melangkah menuju dirinya itu. Tatapan gelap melintas di matanya.Tanpa perlu kata-kata, aksi Florence sudah menjelaskan keputusannya.Florence tiba di sisi Alaric.Alaric memicingkan mata, lalu mengulurkan tangan untuk memeluk pinggang ramping Florence. Dia menarik gadis itu hingga jatuh di atas pangkuannya.Aroma maskulin Alaric mengelilingi Florence, membungkusnya erat.Florence bergerak gelisah yang menyebabkan tubuh Alaric menegang. Pria itu mempererat pelukannya
Di depan wastafel toilet.Florence mencuci wajah, kemudian menatap pantulan dirinya di cermin.Hampir saja dia melakukannya dengan Alaric.Walaupun hal itu tidak terjadi, entah kenapa dia masih bisa merasakan sentuhan Alaric pada tubuhnya.Napas berat pria itu seolah masih menggelitik telinganya.Florence menggigit bibirnya sambil menarik napas dalam-dalam. Dia tidak ingin lagi memikirkan pemandangan memalukan itu.Dia mengeluarkan ponsel, kemudian membuka foto profil WhatsApp Bryan.Pesan terakhir yang Bryan kirim untuknya adalah dua bulan lalu.Dia mengatakan bahwa dia ada urusan mendesak yang mengharuskannya untuk pulang. Setelah kembali, dia akan membawa Florence bertemu dengan orang tuanya untuk membahas tanggal pernikahan.Akan tetapi, sejak hari itu Bryan menghilang tanpa jejak.Florence memandang ruang obrolan mereka dengan tatapan rumit. Bryan, di mana kamu sebenarnya?"Bip ... bip ...."Ponselnya tiba-tiba berdering.Florence tersadar. Melihat nomor yang tertera di layar, bin
Larut malam, Florence dan Ella pergi ke unit gawat darurat rumah sakit.Dokter mengatakan bahwa Silvia memotong nadinya sendiri di rumah. Untungnya ditemukan oleh penagih utang sehingga diantar ke rumah sakit.Di dalam bangsal, Silvia yang terbaring dengan mata terpejam sedang diinfus. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya kusam. Dia tampak lebih lesu dari pertemuan mereka sebelumnya."Bu Silvia, Bu Silvia?" panggil Florence yang berdiri di samping ranjang.Sesaat kemudian, Silvia membuka matanya. Saat melihat Florence, dia tertegun sejenak, kemudian dia memalingkan wajahnya dengan dingin. "Untuk apa kamu kemari? Keluar!"Florence tertegun. Dia melihat sekilas kain kasa yang membalut pergelangan tangan Silvia. "Bu Silvia, kenapa kamu melakukan ini? Nona Phoebe masih di dalam penjara. Kalau dia tahu ibunya bunuh diri, dia pasti akan sedih."Silvia mendengus, kemudian menatap Florence. "Kamu nggak menolongnya, dia dikurung di dalam sana. Bagaimana mungkin dia tahu?"Florence, "...""Sudahlah, j