Share

Bab 10

Alaric menghisap rokok dengan kuat, kemudian jemarinya mencengkeram wajah Florence. Tubuhnya mencondong ke depan.

Semua itu dilakukan kurang dari tiga detik. Florence masih belum bereaksi ketika dia dikurung dalam pelukan Alaric.

Samar-samar bau asap rokok mengelilinginya. Wajah tampan Alaric berjarak kurang satu sentimeter lebih dari bibirnya.

Florence mematung. Dia tertegun beberapa detik sebelum meronta. "Pak Alaric, apa yang akan kamu lakukan?"

Salah satu tangan Alaric mengunci kedua pergelangan tangan Florence di belakang tubuhnya sehingga Florence tidak bisa bergerak. Selain itu, makin Florence meronta hanya membuat tubuhnya makin menempel di dada Alaric. Hal itu justru seperti semacam undangan tanpa suara.

Dada putih Florence bergoyang. Alaric memicingkan mata, kemudian mendaratkan bibirnya di leher Florence.

Florence membelalakkan matanya.

Alaric sedang menggigitnya.

Tidak bisa dikatakan menggigit karena tidak sakit.

Gigi Alaric menggigit pelan daging pada leher Florence, membelai pelan.

Sekujur tubuh Florence gemetar. Rasanya seperti lehernya akan dilubangi pada detik berikutnya. Nadanya akan terputus.

Florence bahkan tidak berani mendorong Alaric.

Sebenarnya Alaric ingin menggigit Florence. Dia tidak mabuk, apalagi memiliki kelainan. Namun, dia tidak bisa menjelaskan dari mana keinginan itu berasal.

Menggigit leher Florence membuat Alaric merasakan kenikmatan tersembunyi.

Dia tak hanya ingin menggigit Florence, tetapi juga ingin menindas, menghancurkannya ....

Darah dalam tubuh Alaric makin berdesir.

Florence sangat ketakutan. Anehnya dia jelas-jelas merasa takut, tetapi dia juga merasa tersetrum seolah ada arus listrik yang menyebar ke seluruh tubuhnya.

Lenguhannya lolos tanpa bisa dicegah. "Ugh ...."

Florence yang menyadari bahwa dirinya mengeluarkan suara seperti itu pun segera menggigit bibirnya. Dia menenangkan dirinya lalu berkata, "Pak Alaric, tolong lepaskan aku. Kalau nggak, aku akan ...."

"Apakah kamu bisa lari dari kekuatan seorang pria dewasa?"

Alaric melepaskan leher Florence, kemudian berbicara dengan nada mengejek.

Bibir Alaric bergerak di sekitar tulang belikat Florence. Dia mengendalikan dirinya untuk tidak mewujudkan tindakan yang muncul di benaknya.

Florence hanya diam.

Tenaga Alaric memberi tahu Florence betapa besar kepalanya dirinya.

Sehebat apa pun Florence bertengkar dengan Anna, dia tidak mungkin bisa melawan seorang pria dewasa. Florence yang justru akan dirugikan.

Jurus Alaric sangat hebat. Florence digoda hingga tubuhnya terasa lemas. "Pak Alaric ...."

"Empat puluh juta." Suara rendah Alaric terdengar dari bagian leher Florence.

"Apa?"

"Bukankah kamu butuh uang? Tidurlah bersamaku. Sekali tidur, empat puluh juta. Harga yang kamu tetapkan itu. Kamu juga boleh mengganti nominalnya."

"..."

Pupil Florence tiba-tiba mengecil.

Apakah Alaric bermaksud untuk menjadikannya sebagai simpanan?

Saat ini, Alaric telah melepaskan Florence.

Bukannya Alaric tidak ingin meneruskannya, melainkan jika dia melanjutkannya, dia mungkin akan lepas kendali. Akan tetapi, dia tidak memiliki hobi melakukannya di tempat umum.

...

"Bukankah kamu punya utang? Tidur bersamaku, aku bisa memberimu uang yang kamu inginkan, Bu Florence."

Alaric sangat jarang memanggil namanya. Pria itu sedang menghasutnya. Tatapan Alaric begitu panas hingga membuat kulit kepala Florence mati rasa. Kulit sekujur tubuhnya terasa memanas.

Tidur satu kali dapat empat puluh juta. Seandainya Alaric hanya menidurinya satu bulan sekali, uang yang Alaric berikan tetap lebih banyak daripada gaji Florence di kelab.

Pupil Florence mengecil. "Apakah boleh kalau aku minta dua puluh miliar?"

Alaric terkekeh, lalu dia bertanya tanpa mengedipkan matanya, "Mau ke tempatku atau kamar sebelumnya?"

Bisa-bisanya Alaric setuju.

Florence awalnya hanya ingin menguji, tak disangka Alaric sama sekali tidak ragu.

Dua puluh miliar. Florence tidak mungkin bisa menghasilkan uang sebanyak itu seumur hidupnya. Namun, uang sebanyak itu tidak berarti apa-apa bagi orang seperti Alaric.

Alaric hanya ingin mencari kesenangan.

Florence adalah kesenangannya.

Akan tetapi, Florence bukan mainan.

Dia juga bukan alat pelampiasan hasrat Alaric.

Tatapan Florence menjadi datar. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengingatkan Alaric dengan tenang, "Pak Alaric, kamu sudah menikah."

"Kenapa? Kamu ingin menjadi istriku?"

Tatapan tenang Alaric sama sekali tidak bergelombang.

Dia jelas merasa tidak ada yang salah dengan "jajan" di luar.

Florence tentu tidak berpikir untuk menikahi Alaric. Dia hanya mengingatkan Alaric bahwa perbuatan pria itu menyakiti istrinya. Namun, Alaric sama sekali tidak peduli dengan hal seperti ini.

Florence mengernyit sambil berkata dengan serius, "Pak Alaric, aku hanya menjual sekali."

Dia tidak ingin lagi berhubungan dengan Alaric.

Meskipun Florence sangat membutuhkan uang, dia bisa menghasilkan uang dengan bekerja.

Florence sudah menolak Alaric sebanyak dua kali. Alaric menatap wanita itu tanpa berbicara.

"Bip ... bip ...."

Tiba-tiba dering ponsel merusak keheningan itu.

Florence mengeluarkan ponselnya. Melihat itu adalah panggilan dari Silvia, Florence buru-buru mengatakan "maaf", kemudian menjauh untuk mengangkat telepon. "Ada apa, Bu Silvia?"

"Florence, aku ada di depan rumahmu. Cepat pulang sekarang juga."

Nada Silvia terdengar cemas. Tanpa menunggu balasan Florence, dia langsung menutup panggilan telepon.

Jantung Florence mencelos. Apakah terjadi sesuatu?

Alaric melihat wajah Florence yang berkerut dari samping, lalu melangkah mendekat. "Ada apa?"

Raut pria itu sangat datar, manik hitamnya tampak tenang. Gairahnya sudah lenyap, menyisakan aura elegan nan dingin. Dia seperti orang yang berbeda dengan pria yang tadi menawarkan harga satu malam kepada Florence.

Florence tersadar. Dia melihat Alaric sekilas, kemudian mengangguk. "Aku masih ada urusan, harus pulang dulu."

"Ayo, aku antar."

Alaric melontarkan ucapan itu dengan datar, lalu dia berjalan menuju tangga.

Florence awalnya ingin menolak, tetapi dia terburu-buru untuk pulang. Lantas, dia pun menyusul tanpa berpikir banyak.

Florence mencari Cindy untuk izin. Cindy mengira Florence akan menemani Alaric sehingga dia langsung menyetujuinya. Dia bahkan tersenyum penuh makna terhadap Florence.

Florence tidak sempat menjelaskan apa pun. Dia berjalan cepat keluar dari Kelab Aurora, lalu melihat Maybach milik Alaric yang terparkir di depan pintu. Pria itu duduk di dalam mobil dengan satu tangan menjepit rokok. Tangannya bersandar di jendela.

Para wanita cantik yang melewati depan kelab mencuri pandang pada Alaric, tetapi dia mengabaikannya.

Florence membuka pintu mobil, kemudian duduk di jok samping pengemudi.

Alaric menyetir tanpa berbicara. Lampu jalan berwarna kuning sesekali menyinari wajah tampannya. Sangat enak dilihat.

Di tengah keheningan, mobil pun berhenti di depan tempat tinggal Florence.

Florence tiba-tiba teringat akan sesuatu. Dia mengeluarkan enam ratus ribu dari tasnya, kemudian menyodorkannya. "Pak Alaric, ini biaya pengobatan yang kamu talangi sebelumnya. Terima kasih sudah membawaku ke rumah sakit."

Alaric melirik sekilas dengan tatapan datar. "Taruh saja."

Florence meletakkan uangnya di rak. "Kalau begitu aku pulang. Sampai jumpa, Pak Alaric. Hati-hati di jalan."

Alaric memicingkan mata, kemudian menekan rokoknya pada asbak. "Besok kamu ikut aku menghadiri rapat akuisisi Grup HC. Tugasmu adalah mencatat poin rapat dan menjadi penerjemah."

Topik pembicaraan mereka berubah terlalu cepat. Florence tercenung sejenak. "Kenapa aku?"

Bukankah tugas seperti ini biasanya dikerjakan oleh dua sekretaris Alaric yang lain atau Jordan?

Ekspresi Alaric sangat datar. "Bukankah kamu bisa bahasa Jermino? Besok aku membutuhkan seorang penerjemah. Ada masalah?"

"Nggak masalah."

Untuk sesaat, Florence terpikir akan aturan tak terucapkan di tempat kerja. Sepertinya dia berpikir terlalu jauh.

Meskipun Alaric berminat pada Florence, dia adalah orang yang membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi.

Florence tentu berharap bisa mendapat lebih banyak kesempatan untuk menunjukkan kinerjanya. Dengan begitu, setelah masa magangnya berakhir, dia dapat menandatangani kontrak lanjutan dengan perusahaan.

Alaric tidak lagi berbicara. Florence membuka pintu mobil, keluar, berdiri di pinggir jalan sambil berujar, "Sampai jumpa, Pak Alaric."

Alaric meliriknya, kemudian menaikkan jendela. Mobilnya segera melesat di tengah langit malam.

...

Florence berbalik, lalu berjalan menuju pintu unit. Begitu dia masuk, dia tiba-tiba melihat seorang wanita paruh baya duduk di tangga koridor dan terkejut.

"Bu Silvia? Ada apa kamu mencariku?" Florence memandangnya beberapa detik sebelum memastikan bahwa wanita itu adalah Silvia.

Terakhir kali Florence melihat Silvia adalah enam tahun lalu. Saat itu, Florence baru saja diterima di sekolah menengah utama Kota Brost. Di gerbang sekolah menengah tersebut, Silvia keluar dari mobil mahal, kemudian memberi Florence sepuluh juta untuk biaya sekolah. Setelah itu, dia pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Setelah mengalami kebangkrutan, wanita yang tadinya anggun dan kaya itu pun berubah. Kulitnya menjadi pucat, berat badannya juga turun. Dia seperti menjadi sepuluh tahun lebih tua.

"Florence, mereka nggak mengizinkanku untuk membebaskan Phoebe. Apa yang harus aku lakukan? Phoebe sudah sekarat!" Begitu berbicara, Silvia langsung menangis.

Florence tertegun. "Bu Silvia, jangan menangis dulu. Kondisi kesehatan Nona Phoebe nggak baik. Kenapa pihak penjara bisa melarang dia dibebaskan?"

"Aku nggak tahu! Apa pun yang aku katakan, mereka nggak mau melepaskan Phoebe. Florence, aku datang untuk meminta bantuanmu. Kamu harus membantuku."

Florence tertegun. "Bu Silvia, aku akan berusaha menghasilkan uang. Beberapa hari lagi, aku akan menerima gaji. Nanti aku akan langsung mentransfernya kepadamu."

"Ini bukan masalah uang! Sekarang nggak ada gunanya punya uang! Ini masalah pihak penjara! Florence, kamu mengenal Pak Alaric. Mintalah bantuannya. Keluarga Prescott itu konglomerat di Kota Brost. Selama dia bersuara, pihak penjara pasti akan melepaskan Phoebe!"

Florence tertegun. Dia tersadar lalu berkata dengan keberatan, "Bu Silvia, aku hanya seorang sekretaris yang masih magang. Aku nggak dekat dengan Pak Alaric. Permintaanmu ...."

"Aku melihat kalau tadi Pak Alaric mengantarmu pulang! Aku pernah melihat Alaric. Jangan bilang pria tadi bukan dia!"

Sebelum Florence selesai berbicara, Silvia menyelanya dengan dingin.

Kemudian dengan tatapan penuh tuduhan, dia berkata, "Florence, jangan lupa. Kalau bukan berkat subsidi kami padamu, bisakah kamu kuliah di Kota Brost, bekerja di Grup Prescott dan memiliki kesempatan untuk mendekati Alaric? Sekarang kamu sudah hidup enak, bantuan sekecil ini pun nggak mau kamu bantu?"

Florence mengerutkan kening. "Bu Silvia, hubungan antara aku dan Alaric bukan seperti yang kamu pikirkan."

"Aku nggak peduli! Sekarang hanya kamu yang bisa menyelamatkan Phoebe. Kamu nggak diam saja, Florence. Kalau Phoebe mati, aku pun nggak mau hidup lagi. Aku akan mati di depanmu! Florence, aku mohon padamu ... jangan biarkan putriku mati mengingat kami pernah membantumu ...."

Silvia tidak mendengarkan penjelasan Florence sama sekali. Dia mengancam, menangis sambil memohon kepada Florence. Pokoknya Florence harus membantu.

Melihat Silvia hampir pingsan karena menangis, Florence tidak punya pilihan selain setuju.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status