Share

Bab 14

Tubuh gadis ini begitu lembut dan panas.

Alaric yang tidak siap dengan pelukan itu pun menunjukkan tatapan gelap.

"Bu Florence, kalau kamu nggak melepaskan tanganmu, aku nggak keberatan untuk membuatmu berkeringat dengan cara lain."

Florence tidak sadar, tetapi Alaric dalam kesadaran penuh. Dia tidak tahan digoda seperti ini.

"..."

Florence masih menggumamkan sesuatu.

Alaric mendengarkan dengan saksama, alhasil dia mendengar Florence mengatakan kata-kata seperti, "Ibu, jangan pergi."

Wanita ini benar-benar menganggapnya sebagai ibu.

Raut Alaric menjadi muram. Dia berkata dengan ketus, "Bangun, Florence!"

"Kalau kamu nggak bangun, aku akan memotong gajimu!"

"Florence, aku akan hitung sampai tiga. Kalau kamu nggak bangun, aku akan memecatmu!"

"..."

Florence sama sekali tidak bereaksi.

Alaric jarang kewalahan seperti ini. Dia benar-benar kesal.

Rasanya dia ingin mencekik wanita itu hingga bangun. Akan tetapi, melihat wajah pucatnya, Alaric menjadi tidak tega.

Akhirnya, dia hanya bisa duduk di sofa sambil memeluk Florence.

Alaric meletakkan tangan Florence yang diinfus di depan, kemudian menggenggam pergelangan tangan Florence agar tangan wanita itu tidak bergerak sembarangan.

Dengan begitu, jarumnya tidak akan bergeser, darah Florence juga tidak akan keluar.

Kantor itu sangat hening.

Florence tidur dengan nyenyak, tetapi Alaric berbanding terbalik dengannya.

Tubuh mereka menempel dengan erat sehingga Alaric bisa merasakan lekuk tubuh Florence yang indah dengan jelas.

Suhu tubuh Florence sangat tinggi sehingga tubuhnya panas dan menguarkan aroma samar yang membuat darah Alaric berdesir.

Raut Alaric menjadi gelap. Dia menghela napas dengan kesal. Jemarinya memijat pelipisnya. Dia merasa bahwa membawa Florence ke kantor CEO adalah keputusan yang salah. Jika tahu begini, seharusnya dia mengirim Florence ke rumah sakit.

...

Florence dibangunkan oleh suara ketuk pintu.

Dia membuka matanya, kemudian melihat leher jubah mandi pria yang terbuka memperlihatkan dada liat Alaric, memancarkan maskulinitas yang kuat.

Florence tertegun beberapa detik, lalu dia membulatkan matanya.

Dia berada di dalam pelukan Alaric.

Apa yang terjadi?

Bukankah dia sedang diinfus? Kenapa dia bisa tidur bersama Alaric?

"Tok, tok, tok."

Suara ketuk pintu masih terdengar.

Alaric membuka matanya untuk melihat Florence sekilas, kemudian dia memejamkan matanya lagi.

"Suruh dia pergi."

Suara Alaric sangat dingin karena diganggu.

"..."

Florence memiliki segudang pertanyaan. Melihat pria yang tidur ini, dia hanya bisa menghadapi orang yang ada di luar dulu.

Karena tidur di sisi sofa, Florence hanya bisa merangkak melewati Alaric untuk turun dari sofa.

Sebelah tangan Florence bertopang pada pinggir sofa. Dia bergeser ke luar sofa dengan hati-hati. Tiba-tiba tangannya tergelincir.

Kebetulan Florence berada di atas Alaric. Saat ini tubuhnya langsung menimpa tubuh Alaric.

"Uh!"

Bibir Florence kebetulan mendarat di atas bibir Alaric.

Florence tercengang.

Menempelnya bibir lembut gadis itu membuat sekujur tubuh Alaric terkejut. Dia sontak membuka matanya, menatap Florence dengan tatapan gelap.

Sebenarnya itu tidak bisa disebut ciuman karena bibir Florence itu menabrak bibir Alaric hingga terasa sedikit sakit. Akan tetapi, sentuhan lembut Florence saat ini mengalahkan perasaan lainnya.

Mata mereka beradu.

Waktu seolah berhenti berjalan.

Beberapa detik kemudian, Florence tersadar. Dia segera bangun, wajahnya terasa panas. Dia berkata dengan terbata-bata, "Pak Alaric, aku ... aku ...."

"Bu Florence berubah pikiran?"

Alaric mengangkat sebelah alisnya.

Rambut Florence yang halus jatuh di atas dada Alaric, menggelitiknya. Manik hitam Alaric menggelap, bagian tertentu dari tubuhnya segera bereaksi.

Florence merasakannya, wajahnya pun merona. Dia berkata dengan canggung dan sedikit terisak, "Pak Alaric, kakiku kram ... aku nggak bisa bergerak."

Alaric, "..."

"Pak Alaric!"

Saat ini, pintu kantor CEO dibuka.

Jordan dan Anna berdiri di ambang pintu. Ketika melihat dua insan yang ada di atas sofa itu, mereka langsung tertegun.

Jordan tampak tidak percaya. Karena ketukannya tidak menerima respons dari dalam, dia takut sesuatu terjadi pada Alaric sehingga dia menerobos masuk. Tak disangka dia malah menyaksikan adegan sevulgar ini.

Jordan benar-benar syok.

Dia selalu berpikir bahwa Alaric tertarik pada Florence. Tak disangka Florence-lah yang memegang kendali.

Sedangkan Anna menatap Florence dengan tatapan membunuh seolah ingin menelannya hidup-hidup.

Florence juga melihat dua orang yang berdiri di ambang pintu itu. Dia ingin bangun, tetapi kakinya sama sekali tidak dapat bergerak. Selain itu, kram sangatlah sakit.

"Uh!"

Menyadari bahwa suara yang dia buat mudah membuat orang lain salah paham, Florence pun menggigit bibirnya.

Namun, itu sudah terlambat. Jordan dan Anna pasti telah mendengar suara itu dan mengira mereka sedang melakukan hal yang tak senonoh.

Florence mengubur wajahnya di dada Alaric. Rasanya dia ingin menghilang saja.

Gawat, setelah ini penjelasannya tidak akan didengar.

Dibandingkan dengan Florence, Alaric tampak tenang seperti orang yang tidak bersangkutan. Dia memeluk pinggang Florence sambil melihat ke arah pintu.

"Belum puas melihat?"

Jordan tersadar lalu dia segera berkata, "Maaf, Pak Alaric. Kami nggak tahu. Kalian lanjut saja, lanjut saja."

Usai berbicara, Jordan menarik Anna keluar, sekalian menutup pintu.

Florence, "..."

...

Beberapa menit kemudian, Florence duduk di atas sofa. Alaric memijat pahanya yang kram.

Tangan pria itu menekan paha Florence yang kram, rasanya seperti ada semut yang merangkak di kulitnya.

Rasanya geli itu menyebar ke seluruh tubuh Florence, membuatnya berseru, "Ah!"

Rok Florence menjadi makin pendek ketika duduk. Kemejanya membungkus dadanya dengan erat. Suaranya yang gemetar mengandung sedikit isakan, sama seperti suara malam itu.

Tatapan Alaric menggelap. Dia berkata, "Diam."

"Aku ... sakit sekali, Pak Alaric. Aku nggak mau ...."

Florence ingin menahannya, tetapi dia tidak bisa.

Dia juga tahu bahwa Alaric itu berniat baik. Paha yang kram harus dipijat agar segera membaik, tetapi ini sangat menyakitkan. Florence lebih pilih tidak dipijat daripada menerima siksaan seperti ini.

"Pak Alaric, aku nggak mau lagi .... Lepaskan aku .... Jangan ...."

Florence menggigit bibirnya. Kedua matanya basah oleh air mata. Dia tidak tahu bahwa cara dia mengatakan "jangan" saat ini terdengar seperti undangan bagi Alaric.

Alaric menahan paha Florence. Saraf sekujur tubuhnya agak tegang. Dia mengernyit, lalu berteriak dengan kesal, "Jangan menggodaku, Florence!"

Jika Florence berteriak lagi, Alaric tidak yakin masih bisa menahan diri.

Nada Alaric sangat galak. Tatapannya juga menjadi makin tajam.

Florence menggigit bibirnya, tidak berani bersuara lagi. Dia merasa bahwa Alaric aneh. Dirinya kesakitan dan menyuruh Alaric berhenti menyiksanya. Bagian mana yang merupakan indikasi sedang menggoda pria itu?

...

Sepuluh menit kemudian, kaki Florence sudah kembali semula.

Alaric melepaskan paha Florence, kemudian melihat wanita itu sekilas sebelum berdiri dan berjalan menuju meja kerja.

Florence menggerakkan kakinya, lalu merapikan rambutnya. Dia melihat punggung pria itu, kemudian bertanya dengan curiga, "Pak Alaric, kenapa kamu bisa ada di sofa?"

Demam Florence sudah turun, wajahnya kembali putih, bukan pucat. Bulu matanya yang panjang mengepak. Dia kembali cantik seperti sedia kala.

"Kenapa? Kamu pikir aku sudah menidurimu?" tanya Alaric dengan tatapan angkuh.

"..."

Tentu saja Florence tidak berpikir demikian.

Sebelumnya setelah mereka melakukan hal itu, Florence kesakitan selama beberapa hari. Sekarang tubuhnya tidak merasakan ketidaknyamanan apa pun.

Florence tahu bahwa Alaric tidak melakukan apa-apa padanya. Dia hanya penasaran kenapa mereka bisa berbaring di atas sofa.

Alaric menjawab tanpa ekspresi, "Kamu nggak mau melepaskanku, jadi aku hanya bisa tidur di sofa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status