Share

Bab 13

Florence tidak ingin menjadi kambing hitam. Dia merasa perlu menjelaskannya.

"Pak Alaric, aku dan Pak Nikol nggak punya hubungan apa pun. Dia melihatku sakit, jadi berbaik hati meminjamkan jasnya."

Berbaik hati ....

Alaric mendengus sinis. "Bu Florence, baik hatinya pria itu ada tujuannya."

Florence agak tak bisa berkata-kata. "Pak Alaric, Pak Nikol hanya perhatian sebagai rekan kerja. Jangan berbicara seolah setiap orang sama seperti dirimu."

"Apanya yang sama sepertiku?"

Florence itu pemalu. Dia hanya menatap Alaric tanpa mengatakannya.

Namun, Alaric membantunya mengucapkannya. "Sama sepertiku yang ingin menidurimu?"

Florence, "..."

Bisakah Alaric tidak mengatakannya dengan begitu terus terang?

Ke mana perginya sikap dingin Alaric ketika rapat tadi?

Alaric menatap Florence sembari berujar, "Aku ingin menidurimu, aku mengatakannya dengan jelas kepadamu. Kamu pikir dia nggak ingin menidurimu? Bisa-bisanya kamu berterima kasih kepada seorang pria yang punya pikiran untuk menggaulimu, Bu Florence. Apakah otakmu sudah rusak karena demam?"

Florence tak bisa berkata-kata. Rona pada pipinya itu entah karena demam atau malu. "Pak Alaric, bisakah kamu jangan mengatakannya lagi. Aku ... aku akan kembali ke kantor. Sampai jumpa."

Florence yang tidak ingin mendengar Alaric mengatakan hal-hal seperti itu lagi pun berbalik untuk pergi. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, kakinya lemas, dia hampir jatuh.

Sepasang lengan liat menahannya.

Detik berikutnya, tubuh Florence diangkat.

Florence yang tiba-tiba melayang pun refleks memeluk leher pria itu. Dia membelalakkan matanya.

"Pak Alaric, turunkan aku .... Uhuk, uhuk ... turunkan aku ...."

Tubuh mungilnya begitu panas.

Alaric mengernyit. "Sudah sakit masih sok kuat. Kalau aku menurunkanmu, memangnya kamu bisa berjalan?"

Florence tidak tahu betapa pucatnya wajahnya saat ini. Dia seperti akan pingsan kapan pun.

"Masalahnya nanti orang lain akan melihat kita. Cepat turunkan aku."

Siapa pun akan melewati tempat itu. Para petinggi perusahaan yang rapat belum pergi semua. Suara mereka masih terdengar dari ruang rapat. Bila mereka keluar dari ruang rapat, mereka bisa melihat Florence dan Alaric.

Alaric menatap wanita yang ada di dalam gendongannya dengan dingin.

Wanita lain yang memiliki kesempatan untuk berduaan dengannya pasti ingin diketahui semua orang, tetapi Florence malah takut ketahuan.

Saat ini, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang rapat. Jantung Florence menegang.

"Turunkan aku! Mereka sudah mau keluar!"

Alaric menatap Florence sekilas dengan dingin, kemudian membawanya menuju lift.

Florence, "..."

...

Alaric menggendong Florence untuk kedua kalinya.

Baru kali ini Florence merasa bahwa jarak dari ruang rapat ke kantor CEO begitu panjang.

Untungnya, mereka tidak bertemu rekan kerja di sepanjang jalan. Jika tidak, Florence tidak akan bisa membuktikan kepolosannya.

"Pak Alaric, kamu sudah bisa menurunkan aku."

Kantor sekretaris ada di depan, jadi Florence mengambil inisiatif untuk bersuara.

Alaric tidak merespons maupun menurunkan Florence. Dia menggendong wanita tersebut sambil terus berjalan lurus ke depan.

Florence, "..."

Tunggu, apakah Alaric akan menggendongnya ke kantor sekretaris?

Memikirkan tatapan Anna yang seolah ingin melahapnya, Florence merasa pusing. Dia hendak mengatakan, "Nggak perlu repot-repot, Pak Alaric." Namun, langkah Alaric malah berjalan melewati kantor sekretaris menuju kantor CEO.

"Pak Alaric, turunkan aku!" Ekspresi Florence berubah drastis.

Alaric masih saja tidak menggubrisnya. Dia langsung berjalan ke dalam kantor CEO.

Bam!

Pintu kantor CEO ditendang hingga terbuka, kemudian ditutup.

Bulu kuduk Florence berdiri.

Menemukan bahwa Alaric berjalan ke arah sofa, Florence pun meronta sambil berkata dengan nada dingin.

"Pak Alaric, turunkan aku! Aku nggak mau!"

"..."

"Alaric, aku benar-benar akan membencimu kalau kamu seperti ini! Alaric!"

Tidak peduli bagaimana Florence meronta, dia tidak bisa melepaskan diri.

Ketika Alaric menurunkannya di atas sofa, ketakutan Florence pun mencapai puncak. Dia dengan cepat merangkak ke sisi lain sofa, lalu menatap Alaric dengan tatapan waspada.

"Kenapa? Kamu pikir aku ingin menidurimu?"

Alaric berdiri di samping sofa sambil memandang Florence.

"..."

Memangnya bukan?

Florence mengira Alaric membawanya ke kantor untuk memaksanya karena dia sedang sakit.

Florence sangat ketakutan.

Dia tahu betapa kuatnya tenaga Alaric. Pria itu bisa mengunci pergerakan Florence dengan satu tangan. Dalam kondisi sehat saja, Florence bukan lawan Alaric, apalagi sekarang dia sedang sakit.

Akan tetapi, Alaric menatapnya dengan tatapan mencemooh seolah sedang menertawakan kege-eran Florence.

Alaric pun tidak menjelaskannya. Dia melihat wanita itu sekilas, kemudian berbalik, mengeluarkan ponsel untuk menelepon seseorang.

Florence mendengar pria tersebut memberi perintah dengan nada dingin. "Suruh Dokter Liora kemari."

"..."

Tatapan heran melintas di mata Florence.

Jadi, Alaric membawanya ke kantor CEO untuk menyuruh dokter datang memeriksanya?

Bagaimanapun, tidak ada pasien lain selain Florence di ruangan itu.

Usai menelepon, Alaric melempar ponselnya, kemudian pergi ke ruang istirahat tanpa mengindahkan Florence.

Florence melihat pintu ruang istirahat yang terbuka dengan tatapan rumit.

Dia pikir Alaric akan menyalahkannya karena dia menghadiri rapat dalam kondisi sakit dan hampir mengacaukan rapat. Akan tetapi, pria tersebut tidak mengatakan apa pun tentang itu. Alaric justru membawanya ke kantor CEO, lalu memanggil dokter untuknya.

Kenapa Alaric begitu baik padanya?

Apakah karena mengincar tubuhnya?

Sebenarnya Alaric itu pria seperti apa?

Kepala Florence terasa sakit. Dia tidak ingin berpikir lagi, lantas dia bersandar pada sofa lalu tertidur.

Samar-samar, dia merasakan sakit pada punggung tangannya. Begitu membuka matanya, Florence melihat seorang wanita muda yang sedang menginfusnya.

"Bu Florence, kamu nggak istirahat dengan baik selama ini. Daya tahan tubuhmu menurun sehingga kamu demam tinggi. Aku sedang menginfusmu."

Ketika melihat Florence terbangun, dokter muda nan cantik itu menjelaskan dengan datar.

"Kamu adalah Dokter Liora?"

"Aku adalah dokter pribadi Pak Alaric, Liora Gaulin. Kamu bisa memanggilku Dokter Liora."

Florence agak terkejut. Mungkin orang lain merasa bahwa dokter seharusnya sudah tua atau setidaknya paruh baya. Tak disangka ternyata seorang wanita muda yang cantik.

"Sejak kapan kamu menjadi simpanan Pak Alaric?" tanya Liora dengan nada yang agak dingin.

Florence tertegun.

Liora tersenyum. Dia menatap Florence dengan sedikit cemoohan. "Baru kali ini dia memintaku untuk memeriksa seorang sekretaris. Kamu cukup beruntung."

Florence mengernyit, tetapi Liora tidak ingin mengobrol lagi dengannya. Usai menginfus Florence, Liora mengemas kotak P3K-nya, kemudian membawa kotak itu ke ruang istirahat. Dia membuka pintu, lalu melangkah masuk.

Tatapan heran melintas di mata Florence.

Alaric berada di dalam ruang istirahat, tetapi Liora langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Hubungan mereka jelas melampaui hubungan atasan dan bawahan. Mungkin Liora juga salah satu wanita Alaric.

Wanita Alaric benar-benar banyak.

Sebuah pertanyaan jahat melintas di benak Florence. Apakah pria itu tidak takut mengalami defisiensi ginjal?

Florence memejamkan mata dengan tidak nyaman. Tak lama kemudian, dia pun tertidur.

...

Di dalam ruang istirahat.

Alaric duduk di sofa berwarna hitam. Tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya. Dia sedang membaca sebuah dokumen rahasia.

Begitu mendengar suara langkah kaki, dia mengangkat tatapannya untuk melihat orang yang masuk. Setelah itu, dia bertanya, "Bagaimana kondisinya?"

"Hanya demam biasa, bukan masalah besar."

Usai berbicara, Liora tampak ingin mengatakan sesuatu.

Ekspresi Alaric agak dingin. "Katakan saja kalau ada yang ingin kamu katakan."

Liora menatapnya. "Kamu menyukai sekretaris itu, 'kan?"

"Kenapa? Kamu tertarik dengan urusan pribadiku?"

Nada Alaric sangat datar, tetapi tatapannya yang tadinya datar tiba-tiba menjadi dingin.

Liora segera menyadari bahwa dia telah melewati batas. Biarpun dia sudah mengenal Alaric selama bertahun-tahun, dia tetap takut pada tatapan Alaric yang mengintimidasi. Dia segera menunduk.

"Bukan itu maksudku. Aku hanya merasa sedikit penasaran."

"Jangan penasaran terhadap sesuatu yang nggak seharusnya." Nada Alaric sangat dingin. "Di mana dokumennya?"

Liora segera mengeluarkan setumpuk dokumen untuk diserahkan kepada Alaric. "Semua ini adalah catatan perusahaan Tuan Muda Kedua dan transaksi dana luar negeri. Dia sangat berhati-hati dalam melakukan sesuatu, mulut bawahannya juga rapat. Sejauh ini baru ditemukan sebanyak ini, sisanya masih dalam tahap penyelidikan."

Alaric menerima, kemudian membaca dokumen tersebut tanpa ekspresi.

Liora menunggu sejenak. Karena Alaric tidak lagi berbicara, Liora pun tidak memiliki alasan untuk tinggal lebih lama. Tatapan rumit melintas di matanya, kemudian dia pergi dalam diam.

...

Florence bermimpi.

Dalam mimpinya, Florence kecil kembali ke desa pegunungan tempat dia tinggal bersama ibunya. Kamar yang gelap dipenuhi dengan aroma obat tradisional yang kuat dan pahit. Ibunya yang kurus terbaring di ranjang.

Florence berjongkok di samping ranjang sambil menarik tangan ibunya, memanggil ibunya untuk makan.

Namun, tidak peduli bagaimana Florence memanggil, tidak ada reaksi dari ibunya.

Florence mengira ibunya tertidur, suaranya terlalu kecil sehingga ibunya tidak bangun. Lantas, suaranya menjadi makin kencang. "Ibu ... Ibu ... Ibu ...."

...

Ruang istirahat terbuka, Alaric melangkah keluar.

Auranya sungguh tak biasa. Kedua manik hitamnya menatap Florence yang tertidur sofa.

Wanita itu meringkuk di sofa, wajahnya memucat, matanya terpejam erat, bulu matanya yang panjang membayang di atas kelopak matanya.

Tubuhnya meringkuk mungkin karena dingin. Dia seperti boneka porselen yang mudah hancur.

Florence tiba-tiba mengernyit seolah melihat sesuatu yang mengerikan. Tangannya membentuk tinju, terkepal erat.

Karena mengepal tangan terlalu kuat, darahnya masuk ke dalam selang infus.

Alaric memicingkan mata, kemudian dia melangkah mendekat. Dia berdiri di samping sofa. "Florence, bangun."

"..."

Florence yang tenggelam dalam mimpi buruknya tidak bereaksi.

Keringat dingin muncul di dahi Florence. Darah yang mengalir ke dalam selang infus makin banyak.

Tatapan Alaric menggelap. Tangannya mencengkeram tangan Florence yang diinfus, kemudian membuka jari wanita itu satu per satu.

Darah di dalam selang segera kembali ke tubuh Florence.

Alaric hendak melepaskan tangannya, tetapi Florence yang sedang tidur malah mencengkeram tangannya. Lalu dia memanggil dengan suara yang sangat pelan, "Ibu ...."

Raut Alaric seketika menggelap.

Dia ingin menarik tangannya, tetapi begitu tangannya bergerak, Florence langsung menyadarinya. Seolah takut Alaric pergi, Florence mencengkeramnya dengan lebih kuat.

Karena itu, darah kembali mengalir ke dalam selang infus.

"Ibu, jangan pergi ... jangan pergi ...."

Florence mencengkeram tangan Alaric. Telapak tangannya sangat hangat. Air mata keluar dari sudut matanya, mengalir ke pipinya.

Ekspresi Alaric menjadi muram. Dia memelototi wanita yang tengah tidur itu. Siapa ibumu?!

"Ibu ... ibu ...."

Alaric memicingkan matanya. Dia duduk di samping Florence, kemudian berkata dengan nada tertahan, "Oke, aku nggak pergi. Lepaskan tanganmu dulu."

Cengkeraman Florence begitu erat, jarumnya bisa bergeser. Jika demikian, nanti Florence harus ditusuk ulang.

Florence seolah mendengar kata-kata Alaric. Dia perlahan melepaskan tangan Alaric. Alaric membenarkan letak selang infus, mencegahnya mengepalkan tangan lagi sehingga Alaric menggenggam tangan Florence yang diinfus.

Florence yang merasakan ada orang di sampingnya pun mengulurkan tangan untuk memeluk orang itu. Tubuhnya yang lembut bergeser ke sisi Alaric, menempel padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status