Share

Bab 6

Florence menahan rasa sakitnya, bertopang pada dinding sambil bergeser menuju lift.

Kakinya kesakitan sehingga kecepatannya saat ini tak ubahnya seperti siput.

Waktu makan malam sudah lewat. Florence sangat lapar. Florence mengeluarkan ponselnya untuk menelepon sahabat guna bertanya apakah hari ini dia pulang dan malam makan apa.

"Kamu lambat sekali."

Tiba-tiba, suara tak sabar seorang pria terdengar dari atas kepala Florence.

Florence yang mendengar suara Alaric pun refleks mendongak. Terlihat Alaric yang berperawakan tinggi berdiri di depannya, tatapannya agak muram. Dia menatap Florence dengan alis bertaut.

"???"

Bukankah dia sudah pergi?

"Aku menekan lift menunggumu selama lima menit, alhasil kamu berjalan kurang dari sepuluh meter. Lama sekali."

Alaric melontarkan kalimatnya dengan ekspresi dingin.

Ternyata Alaric tidak pergi, melainkan membantu Florence menekan lift.

Bohong bila Florence tidak terkejut. Sebelum dia bereaksi, tubuhnya tiba-tiba digendong.

Badannya mendadak melayang membuat Florence refleks memeluk leher Alaric. Dia menoleh menatap Alaric dengan terkejut. Namun, jarak antara mereka terlalu dekat sehingga bibir Florence tak sengaja menempel pada pipi pria itu.

Pemandangan ini seolah Florence mencium Alaric.

Florence tercengang.

Tempelan bibir lembut gadis itu, sentuhan hangat itu membuat tatapan Alaric menggelap. Dia menatap Florence dengan lekat.

Alaric tidak berbicara, tetapi tatapannya sangat mendebarkan.

Florence tertegun beberapa detik sebelum bereaksi. Dia segera menghindar, lalu berkata dengan wajah merona, "Maaf! Saya nggak sengaja, Pak Alaric. Sungguh. Tadi saya nggak ...."

Florence merasa canggung. Alaric tentu tahu bahwa Florence tidak sengaja sehingga dia tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bergumam, lalu menggendong Florence melangkah ke dalam lift.

Kaki Florence benar-benar sakit ketika berjalan, jadi dia pun tidak menolak, tidak menyuruh Alaric menurunkan dirinya.

Florence digendong oleh pria untuk pertama kalinya. Lengan liat Alaric sangat bertenaga. Florence memiliki tinggi 168 sentimeter dan berat 50 kilogram. Berat badan yang akan dikatai terlalu gemuk oleh netizen. Namun, Alaric menggendongnya dengan santai seolah Florence seringan bulu. Gendongan Alaric sangat stabil sehingga memberikan rasa aman.

Florence menatap sisi wajah Alaric yang sempurna. Dia tiba-tiba merasa dirinya tidak mengerti Alaric.

Jelas-jelas Alaric membela Anna, menyuruh Florence meminta maaf kepada Anna. Akan tetapi, sekarang Alaric membantunya. Sebenarnya Alaric ini pria seperti apa?

Setelah malam itu, ini adalah pertama kalinya mereka berada begitu dekat dengan satu sama lain. Hangat dari dada bidang Alaric mengalir tubuh Florence.

Florence perlahan menjadi tak nyaman. Untungnya, saat ini perusahaan sudah tidak ada orang. Bila orang lain melihat Alaric menggendong Florence, gosip tentang mereka akan dikira benar adanya.

Mereka segera keluar dari perusahaan. Florence buru-buru berkata, "Pak Alaric, terima kasih sudah membantu saya malam ini. Bapak sudah boleh menurunkan saya. Saya akan pulang naik taksi."

Alaric melihat wajah merona Florence dengan tatapan datar. "Luka kakimu sangat parah, perlu pergi ke rumah sakit."

Florence tidak ingin merepotkan pria ini, dia juga tidak punya uang untuk pergi berobat. "Saya baik-baik saja. Kaki saya akan membaik setelah istirahat satu malam."

Alaric berujar, "Aku nggak mau besok ada sekretaris yang pincang. Hal itu akan memengaruhi efisiensi kerja."

"???"

Florence agak bingung.

Dia ingin bertanya, apakah dia sudah begitu penting hingga dapat memengaruhi efisiensi kerja?

Ada tiga sekretaris di Departemen Sekretariat. Tugas Florence hanya merapikan dokumen. Dia tidak pernah mengutak-atik dokumen penting apa pun. Pekerjaannya bisa dilakukan oleh orang lain. Dia seperti makhluk transparan. Akhir-akhir ini, Florence selalu khawatir dirinya akan kehilangan pekerjaan ini begitu masa magangnya berakhir.

Alaric langsung membawa Florence ke rumah sakit tanpa memberinya kesempatan untuk menolak.

Hasil diagnosis dokter adalah hanya terkilir biasa. Tulang Florence baik-baik saja. Dia cukup istirahat selama beberapa hari.

Setelah mereka selesai menangani luka Florence sudah larut malam. Florence duduk di kursi lobi. Melihat pria yang sedang mengambil obat untuknya, dia merasakan perasaan yang tak terdeskripsikan dalam hatinya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Alaric berjalan mendekat sambil membawa obat.

Florence tersadar lalu tersenyum padanya. "Bukan apa-apa."

Dulu bila Florence sakit, dia datang ke rumah sakit sendirian. Pertama kali ada yang merawatnya, mengambil obat untuknya, ternyata orangnya adalah Alaric.

Alaric tidak lagi mengatakan apa-apa. Dia menggendong Florence keluar dari rumah sakit, kemudian mengantarnya pulang.

Maybach Alaric melintas di jalan malam. Lampu jalan yang menyeruak ke dalam mobil sesekali menyapu wajah tampan Alaric. Auranya juga tidak biasa.

"Apa yang ingin kamu katakan?"

Ketika Florence melihat ke arah Alaric untuk ketiga kalinya, pria itu tiba-tiba bertanya.

Florence tertegun. Dia melihat sekilas cincin nikah yang melingkar di jari manis Alaric sebelum berujar, "Pak Alaric, terima kasih sudah membawa saya ke rumah sakit. Saya akan mengembalikan biaya pengobatannya."

Sebenarnya hal yang Florence pikirkan adalah ....

Mereka sama-sama belum makan malam. Malam ini Alaric sudah banyak membantu, seharusnya Florence mentraktirnya makan.

Namun jika dipikir-pikir, waktunya sudah terlalu malam. Istri Alaric pasti sedang menunggunya untuk pulang. Mereka berduaan pada malam hari juga tidak pantas.

Alaric menatap Florence sekilas.

Mata Florence sangat bersih dan polos. Dia benar-benar tidak mengerti bahwa bantuan pria itu ada tujuannya.

Alaric melihat ke arah depan lalu berkata dengan suara rendah, "Kalau kamu harus memukul setiap orang yang menyebar hoaks, kamu sendiri yang akan lelah. Bertengkar adalah cara terbodoh dalam menyelesaikan masalah."

Florence tercenung. Dia bertanya dengan heran, "Bapak tahu kalau mereka menyebar hoaks?"

Dia tidak tahu bagaimana Alaric mengetahuinya, mungkin pria tersebut sudah mendengar tentang hoaks-hoaks itu. Emosi Florence seketika tersulut. "Mereka keterlaluan. Katanya saya dan Bapak ...."

Karena terpikir akan sesuatu, ucapan Florence pun terpotong.

Alaric menoleh ke arah Florence lagi. Entah Florence salah melihat atau bukan, sepertinya ada tatapan geli dalam mata Alaric.

Wajah Florence makin terbakar.

Mereka sama-sama tahu apa yang akan Florence selanjutnya.

Bagaimanapun, rumor yang tersebar adalah soal mereka tidur bersama. Bila mereka benar-benar tidak pernah melakukannya, itu bukan apa-apa. Masalahnya, mereka pernah melakukannya sekali.

Mereka sama-sama teringat akan malam itu.

Mobil terlalu hening sehingga sesuatu yang ambigu menyebar di antara mereka.

Florence agak tidak tahan dengan suasana seperti ini. Dia menarik napas, lalu mengalihkan topik dengan berpura-pura tenang, "Saat itu saya terlalu marah, jadi lepas kendali."

Alaric melirik paha Florence yang mengenakan stocking, kemudian berkata, "Mulut punya mereka. Kamu main tangan hanya akan mencelakai diri sendiri. Kalau Bu Anna menuntutmu atas kejadian hari ini, kamu akan terlibat masalah."

Florence tahu kebenaran dalam omongan Alaric, tetapi dia tetap bergumam dengan tidak terima, "Tapi aku nggak bisa berpura-pura nggak mendengarnya."

Florence terlihat lembut, ternyata temperamennya tidak demikian.

Alaric menyahut dengan ekspresi datar, "Lain kali tahan, lalu cari kesempatan untuk menyerang balik. Mereka itu rekan kerjamu, ada banyak kesempatan untuk melakukannya."

"..."

Florence menatap Alaric dengan tidak percaya. Dia pikir dirinya salah dengar. "Pak Alaric, Bapak ...."

"Kenapa? Bu Florence merasa kalau aku licik?" tanya Alaric dengan sebelah alis terangkat, tampak berandal.

Sangat licik!

Florence mengira Alaric melarangnya bertengkar karena takut berdampak negatif terhadap perusahaan. Tak disangka Alaric memberinya saran seperti ini.

Di mana-mana atasan selalu berharap bawahannya bisa akur, tidak ingin sesuatu terjadi pada perusahaan. Bisa-bisanya Alaric mengajari Florence untuk menikam orang dari belakang. CEO seperti Alaric sangatlah langka.

Florence mengatupkan bibirnya. "Bukan. Saya hanya nggak menyangka Bapak akan mengatakan hal seperti itu."

"Apakah kamu sudah mengingatnya?"

"Hm, sudah."

Hari ini Florence dan Anna sudah berkelahi. Florence tidak berencana untuk mengerjai mereka di belakang, kecuali mereka mengganggu Florence lagi.

Namun, harus diakui bahwa omongan Alaric ada benarnya. Florence terlalu gegabah karena main tangan. Jika hal ini terjadi di perusahaan lain, kemungkinan besar Florence akan dipecat. Untungnya, Alaric tidak terlalu perhitungan.

...

Tempat tinggal Florence adalah sebuah kompleks kumuh, jauh dari perkotaan, tetapi harganya murah.

Mobil mahal itu berhenti, Florence melepaskan sabuk pengaman lalu berkata dengan sopan, "Pak Alaric, kaki saya sudah jauh membaik. Saya bisa jalan sendiri, Bapak nggak perlu repot-repot lagi."

Pandangan Alaric jatuh pada Florence, jemarinya membelai setir dengan pelan. "Kamu punya pacar, jadi aku nggak boleh bertamu?"

Ambiguitas dalam pertanyaan itu sangat jelas sehingga orang dewasa mana pun mengerti apa maksudnya.

Florence tertegun.

Malam ini Alaric memberi perhatian lebih kepada Florence. Florence sempat menebak bahwa Alaric mungkin memiliki maksud ke arah itu. Akan tetapi, Florence juga takut dirinya salah paham.

Saat ini Alaric bertanya demikian, maka Florence pun langsung mengklarifikasi.

"Saya nggak punya pacar."

"Pak Alaric, kejadian malam itu sudah berlalu. Kalau kita masih berhubungan, itu akan menyakiti istri Bapak. Nggak baik."

"Saya sangat berterima kasih atas bantuan Bapak. Lain kali saya akan bekerja dengan baik sebagai balasannya."

Alaric sudah menikah. Sebelumnya Florence tidak tahu ketika dia menjual diri dan berhubungan dengan pria itu. Dia sudah salah kepada istrinya Alaric satu kali. Sekarang Florence sudah mengetahuinya, maka dia harus menjaga jarak dari Alaric. Tidak boleh lagi berhubungan dengan pria itu.

Florence sudah memaparkan penolakannya dengan jelas, bahkan menggunakan kata-kata yang sopan. Dia hanya kurang memberi Alaric bungkukan hormat.

Alaric baru pertama kali menerima penolakan yang begitu jelas dari wanita, tetapi dia tidak memasukkannya ke dalam hati. Dia menatap Florence tanpa memberi respons apa pun.

Diamnya Alaric membuat Florence hanya bisa berdiri diam sambil melihat pria itu, sebab langsung pergi terasa tidak sopan.

"Bip ... bip ...."

Tiba-tiba dering ponsel merusak keheningan itu.

Ponsel Alaric tersambung dengan bluetooth dalam mobil sehingga suara wanita yang lembut dan ceria terdengar di dalam mobil yang hening.

"Suamiku ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status