Share

Bab 5

Florence sama sekali tidak tahu bahwa dirinya sedang diintai.

Anthony memegang dagunya sembari berdecak kagum di depan jendela. "Gadis itu terlihat lemah, nggak disangka dia begitu jago berkelahi. Kak Al, ternyata dia itu sekretarismu. Kebetulan sekali."

"Memang sangat kebetulan," sahut Alaric tanpa ekspresi.

Anthony menyadari makna tersirat dalam kata-kata Alaric. Dia itu cerdas sehingga dia langsung terpikir akan sesuatu. Ekspresinya menjadi serius. "Kak Al, apakah kamu curiga kalau dia itu orang yang ditempatkan di sekitarmu?"

Malam itu Alaric diberi obat perangsang, Florence membantunya, kemudian berubah menjadi sekretaris di perusahaannya. Mereka tidak percaya yang namanya "kebetulan".

Terlebih lagi, Florence dicari oleh orang tersebut.

Bila Florence benar-benar diatur oleh seseorang untuk berada di sekitar Alaric, maka hal ini tak lepas dari orang itu.

"Kak Al, apakah kamu sudah mencari tahu tentang latar belakangnya?" tanya Anthony dengan cepat.

"Untuk sementara nggak menemukan hal yang janggal."

Manik Alaric tampak dingin.

Tentu saja dia sudah menyelidikinya. Jika ada yang janggal dari Florence, wanita itu tidak mungkin masih berada di perusahaannya.

Saat ini, Jordan melangkah masuk, lalu dia berkata dengan hormat, "Pak Alaric, soal perkelahian itu sudah diselidiki dengan jelas. Bu Anna dan beberapa karyawan lainnya menggosipkan Bapak dan Bu Florence di pantri. Katanya ...."

Jordan terdiam sehingga Alaric bertanya, "Apa katanya?"

Jordan menatap atasannya itu sebelum memberanikan diri untuk lanjut berujar, "Katanya Bu Florence membuka pakaiannya untuk menggoda Bapak, kemudian bermain dengan Bapak di kantor .... Pokoknya kata-katanya sangat nggak sopan. Kebetulan Bu Florence mendengarnya, jadi mereka bertengkar."

Anthony berkomentar, "Kalau begitu bukan salah gadis itu seorang. Siapa yang tahan kalau mendengar hal seperti itu?"

Tatapan Alaric menjadi dingin. Auranya pun demikian. Dia menoleh ke arah jendela.

Di dalam kantor sebelah, Florence sedang mengikat rambutnya. Pinggangnya yang ramping tampak tegak. Dia tidak menggunakan sisir, melainkan merapikan rambut hitamnya dengan jari-jarinya, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih.

Cahaya matahari menyelimutinya. Dia begitu cantik bak lukisan.

Florence.

Begitu indah layaknya lukisan.

Orangnya seindah namanya.

Tatapan Alaric berlabuh pada leher gadis itu.

Dia tahu bahwa di bagian itu terdapat sebuah tahi lalat. Tampak begitu memesona setelah basah oleh keringat.

Pemandangan malam itu diingatkan kembali. Florence berbaring di bawah tubuh Alaric. Dia begitu putih dan lembut seperti tahu. Wajahnya yang hanya sebesar telapak tangan Alaric tampak merona. Dia tidak berani mendorong Alaric walau dia kesakitan. Dia hanya bisa terisak pelan sambil memohon Alaric untuk berhenti.

Ingatan Alaric tentang malam itu sangat jelas karena terlalu nikmat. Dia tiba-tiba merasa agak kesal.

Anthony terpikir akan sesuatu, kemudian dia berkata, "Kak Al, kebetulan aku sedang kurang seorang sekretaris. Toh kamu juga mencurigai gadis itu. Berikan saja dia kepadaku. Biar aku memainkannya selama beberapa hari. Aku akan membantumu mengawasinya."

Mendengar Anthony mengatakan "memainkannya selama beberapa hari", tatapan Alaric langsung berubah dingin. "Kamu nggak ada kerjaan?"

Nada ketus Alaric membuat Anthony tertegun. Dia segera bersikap serius. "Ada, ada. Bukankah aku datang untuk membahas proyek pengembangan Kota Junco denganmu? Kalau begitu sekarang kita ...."

"Hari ini aku sibuk." Alaric memerintah Jordan tanpa ekspresi. "Beri tahu petinggi perusahaan ada rapat sepuluh menit kemudian."

Anthony, "???"

Bukankah dia disuruh datang ke perusahaan untuk mendiskusikan proyek pengembangan? Kenapa Alaric tiba-tiba mau rapat? Apakah dia sedang dipermainkan?

...

Florence sedang merapikan dokumen ketika sebuah kepala muncul dari samping komputer, membuatnya terperanjat.

"Namamu Florence ya?"

Anthony melihat tanda nama Florence sambil tersenyum.

Florence mengenali Anthony sebagai pria tampan yang tadi datang bersama Alaric. Tahu bahwa dia adalah tamu Alaric, Florence pun bertanya dengan sopan, "Ada yang bisa saya bantu?"

Saat ini, Florence tampak patuh dan lembut, berbeda dengan orang yang tadi menjambak dan menampar orang lain.

Anthony merasa terhibur. "Kulit wajahmu terluka dan akan meninggalkan bekas. Biar aku mengantarmu ke rumah sakit. Aku tahu sebuah rumah sakit bedah plastik yang diminati banyak artis perempuan. Dokter di sana sangat pandai menghilangkan bekas luka. Sungguh."

Florence agak bingung.

Jangan-jangan Anthony adalah pemilik rumah sakit bedah plastik itu? Apakah sekarang orang kaya itu mempromosikannya sendiri?

Namun mengingat pria ini adalah teman Alaric, Florence pun menolak dengan sopan, "Nggak perlu. Saya masih ada pekerjaan."

Anthony tersenyum. "Kak Al hanya menggajimu beberapa juta, kamu sudah bekerja begitu keras. Bagaimana kalau kamu mengundurkan diri, lalu bekerja padaku? Aku akan memberimu gaji ...."

Mendengar kata "gaji", mata Florence seketika berbinar. Pada saat ini, interkom yang ada di atas meja tiba-tiba mengeluarkan raungan Alaric.

"Pergi, Anthony!"

Harimau sudah menunjukkan taringnya. Ekspresi Anthony yang sedang menggoda perempuan pun berubah. Dia langsung pergi.

Melihat Anthony yang lari terbirit-birit, Florence merasa menyesal. Padahal dia masih ingin mendengar apakah Anthony akan memberinya gaji dua kali lipat. Kesempatannya untuk menjadi kaya musnah, deh.

Kemudian, tidak ada suara lagi dari interkom.

Florence lanjut bekerja.

Sorenya, Florence kerja lembur sebentar. Ketika dia akhirnya menyelesaikan pekerjaannya, waktu sudah menunjuk pukul sembilan malam.

Saat pulang kerja, pergelangan kaki Florence terasa sakit sehingga dia terkesiap. Wajahnya agak memucat.

Dia menunduk untuk melihat, lalu mendapati bahwa pergelangan kakinya bengkak seperti bakpao.

Florence menggigit bibirnya sambil menahan rasa sakit itu. Dia berjalan menuju pintu dengan pelan, keluar dari Departemen Sekretariat. Ekor matanya tidak sengaja menangkap bayangan hitam yang tinggi nan besar dari tempat yang tak jauh darinya. Seketika dia menjerit terkejut.

"Ah!!! Pak ... Pak Alaric?"

Saat melihat wajah bayangan hitam itu dengan jelas, Florence pun tertegun.

Alaric baru saja keluar dari kantor. Jasnya disampirkan di lekukan lengannya. Wajahnya tak bercela di bawah cahaya lampu. Tubuh jangkungnya berdiri diam di tempat. Aura dinginnya membuatnya terasa tak terjangkau.

Pria ini sungguh tampan. Pantas saja wanita-wanita itu menggertakkan gigi ketika menggosipkan Florence.

Florence tidak menduga bahwa Alaric belum pulang kerja padahal sudah begitu malam. Bisakah dia bersuara?

Mengejutkan orang tanpa bersuara bisa lebih menakutkan daripada hantu, tahu?

Tentu saja Florence tidak berani melontarkan protes seperti itu. Dia menenangkan diri sebelum menyapa dengan sopan, "Pak Alaric baru pulang kerja?"

Alaric menatap gadis yang wajahnya memucat akibat terkejut itu. Dia tidak melewatkan tatapan kesal di mata Florence.

Florence berani bertengkar dengan orang lain sehingga Alaric mengira nyali gadis itu sangat besar. Ternyata dia cukup penakut, seperti tikus.

Kaki jenjang Florence yang berada di bawah rok pendek itu mengenakan stocking berwarna krem, sangat menarik perhatian. Kakinya adalah jenis kaki indah yang disukai kaum adam. Hanya saja pergelangan kaki kanannya yang bengkak merusak keindahan tersebut.

"Kakimu terluka?"

Suara rendah Alaric terdengar jernih dan merdu di lorong.

Florence agak heran Alaric akan berbicara dengannya. Dia menyahut, "Hm."

"Kenapa kamu nggak mengatakannya?"

Nada Alaric sangat santai seolah sedang mengobrol dengan Florence.

"Nggak perlu."

Memangnya kenapa kalau Florence mengatakannya?

Mungkin karena ibunya Florence meninggal ketika dia masih kecil, ditambah kondisi ekonominya juga tidak baik. Sehingga Florence terbiasa menahan rasa sakit dan luka kecil. Semuanya dia tanggung sendiri karena tidak ingin merepotkan orang lain.

Alaric memandang wajah tenang Florence. Mungkin karena sakit, alis Florence agak bertaut untuk menahan rasa sakitnya. Matanya yang jernih penuh dengan ketegaran.

Alaric memicingkan mata. "Perlu bantuan?"

Nada pria itu terdengar dingin yang sungkan. Florence tercenung. Dia tidak benar-benar berpikir bahwa Alaric akan membantunya. Dia melihat ke bawah sambil menjawab, "Terima kasih, Pak Alaric. Tapi Bapak nggak perlu repot-repot. Saya bisa jalan sendiri."

Nada Florence terdengar sungkan sekaligus menjaga jarak.

Alaric mengangkat sebelah alisnya tanpa berbicara lagi, melainkan melangkah menuju lift.

Sosok tinggi Alaric berjalan melewati Florence tanpa menghentikan langkahnya sedetik pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status