Share

Pengabdian Terakhir Seorang Istri
Pengabdian Terakhir Seorang Istri
Author: Agoes Tie Nae 2

PTSI 1 (Jenuh)

last update Last Updated: 2024-09-01 15:21:49

Bersama dalam mengarungi rumah tangga dan tampak selalu bahagia depan pasangan, ternyata tak membuat kata jenuh terhalang oleh cinta yang terucap. (Irena, dalam Pengabdian Terakhir Seorang Istri)

_____

"Aku tak mau bercerai, Mas! Aku tak mau!" Saat itu wanita yang perlahan bangkit dari duduknya menatap sendu wajah pria yang meneteskan air mata.

"Tapi aku ingin bahagia. Aku ingin bahagia, Irena!" pekik sang pria.

"Aku juga ingin bahagia Mas, kita bisa wujudkan itu bersama!" Wanita yang semula memegang perutnya, kini membelai pipi pria yang masih berstatus suaminya itu.

"Tiga bulan saja Mas, beri aku waktu tiga bulan untuk membuatmu yakin jika aku bisa berubah dan menjadi jalan pulangmu. Biarlah, tiga bulan itu menjadi pengabdianku yang terakhir sebagai istrimu. Kumohon Mas, setelah itu silakan ceraikan aku dan menikahlah dengan wanita yang kau ingin," pinta sang istri.

Ya, tiga bulan yang membuat sang suami merasa jika apa yang dilakukannya salah.

Tiga bulan yang membuat hatinya kembali merasa cinta yang begitu besar untuk sang istri.

Andai waktu bisa diulang, lelaki itu ingin kembali ke masa di mana semua perkara itu terjadi. Di mana rasa lelah dan ingin berpisah seakan menjadi solusi.

Andai waktu bisa diulang ....

Lelaki itu ingin kembali ke malam di mana Irena masih cerewet seperti itu.

_______________

“Dari mana kamu, Mas? Jam segini baru sampai rumah.” Seorang wanita menggunakan gaun mewah tengah menatap tajam pria yang baru saja keluar dari mobilnya.

“Dari kantor, emang aku bisa dari mana lagi.” Lelaki itu masuk begitu saja tanpa peduli sang wanita yang merupakan istrinya tengah berbalik dan memicingkan matanya.

“Cepat mandi dan kenakan pakaian yang sudah aku siapkan di kamar. Kita sudah terlambat ini,” ucap sang wanita.

“Aku lelah, kau saja yang pergi,” jawabnya.

“Mas!” pekik wanita itu melengking.

Langkahnya cepat menyusul sang suami yang tak menghentikan langkahnya meski sang istri memanggil.

“Kamu ini! Sudah tahu ini acara keluargaku, harusnya kalau gak bisa kasih kado mahal … ya datang ucapin selamat. Kok malah gak datang,” gerutu sang istri.

“Baiklah! Tunggu aku mandi sebentar.” Dilemparnya tas kerja ke atas ranjang dan pria itu langsung masuk ke kamar mandi.

Mereka adalah sepasang suami istri, Irena dan Fandi. Keduanya menikah karena cinta satu malam yang terjadi begitu saja hingga Irena hamil. Sayangnya, sebulan setelah menikah Irena keguguran.

Irena merupakan anak orang kaya dan Fandi hanya karyawan kantoran biasa. Meski begitu, rumah tangga mereka bertahan sampai di tahun kelima.

Meski lebih dominan Irena yang berperan. Bagaimana tidak, Irena yang merupakan pengusaha sukses. Terbiasa memberi perintah dari pada diperintah. Maka wajar, jika Irena selalu tak mau kalah dari Fandi. Begitu pun urusan keluarga. Irena lebih condong ke keluarganya dari pada pada sang mertua yang sudah renta di kampung Fandi.

Setahun sekali Irena dan Fandi berkunjung ke rumah orang tua Fandi. Itu pun tak menginap, sebab Irena tak biasa tidur di tempat yang ah … kumuh dan apalah katanya.

Fandi hanya bisa mengelus dada atas perkataan serta sikap istrinya itu.

Meski begitu, Irena selalu royal pada mertuanya. Rumah direnovasi dan adik-adik Fandi diberi modal untuk usaha serta bersekolah.

*

Ponsel Irena terus berdering, membuat wanita itu kesal kala melihat suaminya tampak enggan mengenakan pakaian yang disediakannya.

Terpaksa wanita itu turun tangan.

“Dengar ya Mas, ini pesta yang amat ditunggu Mamah. Gak mungkin kita gak hadir. Please, jaga image Mamah di depan para tamu undangannya,” ujar Irena memperingatkan.

Fandi tak bicara, dirinya pasrah saat Irena bergegas menarik tangannya untuk segera keluar dari kamar.

Di acara pesta, Fandi berkumpul dengan ayah mertua dan saudara laki-laki Irena.

Pembahasan yang begitu membosankan, membuat Fandi hanya tersenyum sembari memegang gelas minuman.

Di sana, Irena bersama ibunya tengah bercengkrama dengan para kerabat.

“Eh, Erik dan Wandy sudah kembali dari luar negeri. Kenapa kamu gak temui dia, Na. Kan teman sedari kecil, mana tahu bisa kasih jabatan tinggi di perusahaannya buat suamimu. Betah amat jadi karyawan biasa,” singgung sang kerabat.

Irena tak menjawab, senyumnya sinis ketika melirik sang suami di sana.

Hal itu membuat Fandi semakin tak betah di pesta tersebut.

Dengan alasan ada meeting besok pagi, Fandi mengajak Irena pulang.

“Padahal bentar lagi selesai lho Mas,” sungut Irena kesal.

“Kenapa? Kamu senang mendengar suamimu dinilai buruk dan direndahkan seperti itu oleh kerabatmu sendiri, hah!” Fandi sudah kadung naik pitam.

“Mas, apa-apaan sih? Kenapa diambil hati?” Irena melipat tangannya di dada.

Suasana dalam mobil saat itu seketika hening.

“Selalu begini,” celetuk Irena kemudian.

“Kamu itu kalau berada di taraf bawah ya terima aja. Lagian aku gak masalah kok, kita yang jalani hidup ini Mas. Jangan pikir hal yang penting seperti itu,” sambung Irena seenaknya.

Ciittt!

Mobil mengerem mendadak, di mana Fandi menatap Irena dengan tatapan nyalang.

Untung saja saat itu jalanan yang dilewati mereka tengah sepi.

“Sepertinya langkah yang kuambil memang tepat,” balas Fandi.

“Langkah apa? Bodo ‘ah! Terserah kamu aja Mas. Kayaknya kamu harus dikasih jatah biar gak sensi seperti ini,” canda Irena.

Andai Irena tahu, suaminya tak sedang bercanda saat ini.

Terlalu dirinya anggap suaminya gampang dalam hal hati.

*

*

*

Kening Irena mengernyit kala sesampainya di rumah, Fandi malah masuk ke ruang kerjanya. Tempat di mana dia akan mengerjakan semua pekerjaan lembur agar tak mengganggu istirahat sang istri.

“Ck, malah lembur tu laki. Padahal bini udah siap tempur gini.” Irena memang sudah berganti pakaian, wanita cantik itu menggunakan baju dinas yang sangat menggoda.

Pikirnya Fandi marah-marah karena belum mendapat jatah rutin suami istri.

Tok … tok … tok ….

Pintu ruangan kerja itu memang tak dikunci, tetapi wanita itu selalu mengetuknya kala hendak masuk.

Saat itu dirinya melihat banyak kertas berserakan di atas meja kerja sang suami.

Suaminya sendiri tengah berbaring di atas sofa panjang yang ada di ruangan tersebut.

“Mas, ayo!” Wanita cantik itu lalu meraih tangan sang suami.

“Aku tidur di sini saja,” tolak Fandi.

“Gak, ayo! Gak boleh ditunda! Ayo pokoknya. Biar Mas senyum lagi,” rayu Irena.

Akhirnya, Fandi pun menurut.

Irena sempat melihat kembali ke arah kertas tersebut, tetapi urusan dirinya dan Fadi lebih penting sekarang.

“Biarlah besok aku bereskan semua,” gumam Irena.

Aktivitas suami istri itu memang banyak menguras tenaga, Irena sampai terlelap dan bermimpi … di mana Fandi pergi meninggalkannya.

Meski hubungan mereka tercipta dari hal yang aneh, yaitu hubungan satu malam. Akan tetapi, lima tahun berumah tangga membuat lrena mencintai sang suami.

“Mas Fandi!” Irena terjaga, keringatnya begitu banyak.

Napasnya terengah-engah kala terjaga, tangannya mencoba meraih ke sebelah. Sang suami sudah tak ada.

Hanya ada note di atas nakas.

Ada meeting mendadak beneran. Jadi aku berangkat tanpa sempat membangunkanmu.

Maaf

Fandi.

Irena mencium kertas kecil itu, memang biasanya Fandi akan membangunkan sang istri. Keduanya akan menyiapkan sarapan bersama.

Pagi ini, tak ada sarapan.

Tampaknya Fandi tak sempat membuat sarapan.

Jadi, Irena pun berniat mengantarkan bekal makan siang.

Irena memang seorang pengusaha sukses, meski begitu semenjak menikah dengan Fandi, Irena hanya sesekali ke kantor. Semua di-handle sang adik, Roy.

Semula dirinya ingin perusahaan itu dipimpin Fandi, sayangnya sang suami menolak. Begitu pun tawaran kerja di perusahaan sang ayah Irena. Fandi menolak dengan alasan sudah nyaman dengan pekerjaan yang sekarang.

*

Irena bersenandung kala selesai bersiap untuk ke kantor sang suami bekerja.

Namun, dirinya teringat akan ruangan kerja Fandi yang berantakan.

Karena ruangan kerja tak boleh dibersihkan oleh pembantu, takut sembarang membuang barang … alasan Fandi.

Membuat Irena yang kerap membersihkannya.

Wanita itu masuk ke dalam ruangan kerja sang suami, satu per satu kertas itu dipungutnya.

Hingga matanya memicing kala mendapati surat yang begitu menarik perhatiannya.

“Apa ini? Pengajuan gugatan permohonan talak?”

Related chapters

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 2 (Dia Yang Lain)

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 2“Apa ini?” Baru saja Irena hendak membuka semua lampiran itu, ponselnya berdering. “Ya, hallo!” Senyum wanita itu berkembang kala ternyata sang suami yang menelpon.“Irena, tolong antarkan file yang ada di atas meja kerjaku. Aku butuh untuk meeting siang ini,” tukas sang suami, Fandi.“Ah, iya! Ini juga lagi bersiap. Kebetulan menyiapkan bekalmu dan ini … apa ini, banyak kertas berserakan. Aku sedang membersihkannya.” Irena memilih memasukkan semuanya ke dalam tas.“Aku berangkat sekarang, Sayang. Tunggu sebentar lagi,” sanggup Irena.Panggilan itu pun diakhiri, Irena bergegas turun dan meraih kotak makan untuk sang suami yang sudah disiapkannya.Wanita itu sudah yakin tampak cantik, penampilannya memang tak perlu diragukan lagi. Cantik, manis, seorang pengusaha sukses, dan memiliki suami yang dia cinta. Hanya tinggal satu yang belum di

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 3

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 3“Duh, pusing! Kenapa sekarang mudah pusing ya?” Irena yang sudah selesai menata meja makan ditemani sang pembantu, kini masuk ke kamar dan duduk di depan meja rias.“Pucat sekali aku,” ucapnya lagi.Baru saja dirinya hendak mengenakan lipstick, tiba-tiba perutnya bergejolak dan Irena bergegas ke kamar mandi untuk muntah.“Kenapa aku? Apa aku—” Matanya terbelalak dan bergegas membuka kotak obat di dekat wastafel kamar mandinya.Diraihnya alat tes kehamilan, saat itu … jantungnya berdegup kencang. “Apa aku hamil? Apa aku hamil?” Berulang kali wanita cantik itu memejamkan mata lalu membukanya kembali untuk memastikan apa yang terjadi.Tangannya gemetar kala meraih benda tersebut, hingga senyumnya begitu lebar kala melihat garis dua yang artinya dia sedang mengandung.“Aku kasih tahu Mas Fandi sekarang, apa—” Wanita itu langsung meraih kota

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 4

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Irena amat menyukai musik, jadi jika sedang melakukan sesuatu … musik adalah hal yang akan menemani kegiatannya.Seperti saat ini, sepulangnya sang ibu. Irena langsung masuk ke kamar dan berdandan cantik, ditatapnya hasil pemeriksaan berupaUSG yang masih samar terlihat. Ternyata, kehamilannya sudah masuk minggu ke delapan.“Mas, penantian kita di tahun kelima. Akhirnya hadir juga, aku semakin mencintaimu, Mas!” Irena memeluk baju tidur sang suami yang disediakannya.Memang, saat ini sudah memasuki jam petang. Jam di mana Fandi akan pulang kerja.“Ah, iya! Ruang kerjanya belum dibersihkan.” Wanita cantik yang selalu mengusap perutnya itu, kini melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.Irena merapikan, hingga tak menyisakan sebutir pun debu di sana.Saat dirinya hendak meraih gelas kosong di meja. Irena tak sengaja menyenggol keyboard sehingga

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 5

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....“Sayang, ini gak—” Fandi meraup wajahnya kasar, napasnya terdengar panjang terhela.“Aku—” Kini ditatapnya Irena yang luruh di lantai sembari memegang perutnya.Andai Fandi tahu, saat ini Irena mengandung anaknya.“Apa kurangku, Mas? Apa karena kita belum punya anak?” Irena mencecar Fandi.Fandi sendiri tak tahu harus berkata apa, sebenarnya rasa sesal itu ada sudah terburu-buru mengajukan permohonan talak tersebut. “Apa karena status sosial kita? Yang menurutmu tak sepadan ini?” Irena terus menduga-duga.Fandi hanya dapat memeluk Irena erat, dirinya berulang kali meminta maaf.“Maaf, sepertinya aku lelah dengan kehidupan kita. Bisa dibilang karena status sosial kita yang berbeda. Aku dan kamu bagai langit dan bumi,” alasan Fandi.“Kenapa kamu gak bertanya sama aku, Mas? Kenapa tak dibicarakan hal seperti ini? Padahal, andai engkau membawa a

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 6

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Hari itu, hidup keduanya terasa kelabu, seperti cuaca pagi ini. Mendung, meski tak pula hujan.Keputusan keduanya adalah kembali bersama, dan Fandi akan mengakhiri semua dengan Indah.“Mas berangkat kerja dulu.” Dikecupnya kening Irena. Di mana sang istri masih berbaring tak bersemangat untuk melakukan aktifitas.Matanya sayu, sembab.Irena mengabaikan panggilan sang suami saat dirinya akan berangkat kerja.Wanita cantik itu terus mengusap perutnya yang rata.“Maafkan bunda, Sayang. Kehadiranmu diiringi tangis pilu bunda.” Irena kembali melow, wanita hamil itu memang sedang sensitif perasaannya.*Fandi menghela napas kala mengetahui Indah yang tak masuk kerja.“Ke mana dia?” tanya Fandi para anak magang lain.Tentunya mereka mengetahui hubungan Indah dan Fandi.“Katanya sih sakit,” jawab sang anak magang itu.Fandi meraup wajahnya kasar, dir

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 7

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi.“Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak.Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya.Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang m

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 8

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA .... Hati wanita mana yang tak terluka, mendapati suami tercinta tengah menenangkan hati wanita lain. Terlebih lagi, wanita itu diperlakukan mesra di depan umum. Sepanjang jalan Irena mencoba tenang, wanita cantik itu berulang kali menyeka air mata yang tak kunjung usai menetes. Sesampainya di kamar, Irena meraung-raung. Tangisnya tak tertahan lagi, wanita itu luruh di lantai hingga meringkuk memeluk dirinya sendiri. “Aku lelah, sudah cukup ini semua. Aku hanya wanita yang terlalu mencintai orang yang tak pernah mencintaiku.” Irena menangis tersedu-sedu. Tak dirinya pedulikan lagi perutnya. Janji temu dengan dokter kandungan pun dilupakan begitu saja. Jika Irena nelangsa, Fandi tak tenang dan ingin segera pergi. Sayangnya tak ada yang menunggu Indah. Akhirnya Fandi menelpon ibu panti dan meminta bantuannya. Sore itu Fandi pulang, ditatapnya

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 9

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 9“Mbak!” Rani menatap Irena lekat.Irena tersenyum sembari mengangguk, “Mbak perlu waktu buat tenang dulu, Ran. Jika terus di sini. Mbak bisa gil4.”Rani mengangguk, mengiyakan keinginan sang kakak.Setelah mengatakan tujuannya pergi bersama Rani pada sang pembantu, mana tahu Fandi bertanya.Irena meninggalkan rumah itu bersama sang adik.*“Ren!” Ibu dan ayah Irena menyambut anak sulungnya. Tak banyak tanya, sebab Rani menjelaskan pada sang ibu lewat pesan tadi.“Mah, Irena sementara waktu di rumah dulu. Boleh ‘kan?” Irena sebisa mungkin menaham bulir bening yang sedari tadi hendak berjatuhan membasahi pipi.“Ya gak apa-apa donk. Ini juga rumah kamu, Nak. Kamu lahir dan besar di sini. Ayo, masuk! Mamah menyiapkan makanan kesukaan kamu lho,” ujar sang ibu mencoba menghibur.Tak sedikit pun ayah dan ibu Irena membahas perihal apa yang terj

    Last Updated : 2024-09-01

Latest chapter

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Season 2 (1)

    Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Ending ss 1

    Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    50

    “Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    49

    Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    48

    Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    47

    “Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    46

    Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri     45. Pengabdian Terakhir Irena Pada Fandi.

    Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    44

    Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per

DMCA.com Protection Status