Share

PTSI 5

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

“Sayang, ini gak—”

Fandi meraup wajahnya kasar, napasnya terdengar panjang terhela.

“Aku—”

Kini ditatapnya Irena yang luruh di lantai sembari memegang perutnya.

Andai Fandi tahu, saat ini Irena mengandung anaknya.

“Apa kurangku, Mas? Apa karena kita belum punya anak?” Irena mencecar Fandi.

Fandi sendiri tak tahu harus berkata apa, sebenarnya rasa sesal itu ada sudah terburu-buru mengajukan permohonan talak tersebut.

“Apa karena status sosial kita? Yang menurutmu tak sepadan ini?” Irena terus menduga-duga.

Fandi hanya dapat memeluk Irena erat, dirinya berulang kali meminta maaf.

“Maaf, sepertinya aku lelah dengan kehidupan kita. Bisa dibilang karena status sosial kita yang berbeda. Aku dan kamu bagai langit dan bumi,” alasan Fandi.

“Kenapa kamu gak bertanya sama aku, Mas? Kenapa tak dibicarakan hal seperti ini? Padahal, andai engkau membawa aku ke kubangan pun aku akan ikut. Asal kita selalu bersama. Aku akan mencoba beradaptasi sebisa mungkin. Kenapa tak dicoba malah langsung mengambil keputusan sepihak, andai kau tahu ….”

Irena tak melanjutkan kata-katanya.

Wanita itu menyeka air mata dan meninggalkan ruangan itu. Dirinya masuk ke kamar dan memilih tidur. Meski sebenarnya Irena hanya menangis tersedu-sedu.

Fandi sendiri meremas rambutnya dan merutuki perbuatannya yang terlalu gegabah itu.

Kali ini dia menghubungi kenalan yang tadi pagi dia temui di kantor tersebut.

Pada kenalannya itu, Fandi meminta berkas ajuannya ditarik.

“Maaf, aku merepotkanmu. Aku sudah mentransfer uang dan mohon, aku minta cabut permohonanku,” ujar Fandi.

Dirinya kini kalut dan ternyata, tak sanggup pula menyakiti Irena.

Terlebih, kata-kata sang istri tadi membuat Fandi merasa jika apa yang dilakukannya salah.

Hatinya kini bimbang, antara melepaskan Irena ataukah Indah yang begitu menggoda.

“Ah, si@l!” Fandi mengumpat dan beranjak ke kamar tidur. Di mana Irena terbaring di ranjang dengan posisi memunggunginya.

Dipeluknya tubuh Irena yang masih bergetar karena tangisnya. Berulang kali kata maaf diucapkan Fandi.

“Aku gak terima Mas ceraikan aku Mas. Padahal aku mencintaimu setengah mati,” isak Irena.

Fandi membalik tubuh Irena dan memeluknya erat.

“Maaf, aku sudah mencabut ajuannya. Sekarang kita masih suami istri, sampai kapan pun.” Fandi mencium wajah Irena.

“Maafkan mas, Sayang.”

*

Pagi itu suasana sudah kembali seperti semula, keduanya kembali mesra. Meski Irena tak mengatakan perihal kehamilannya.

Hatinya masih tersimpan amarah pada Fandi, sang suami. Biarlah nanti suaminya tahu dengan sendirinya.

Setelah sarapan, Fandi pun berangkat kerja.

Irena mengusap perutnya sembari mendoakan sang suami selamat hingga tujuan.

Irena ingin memperbaiki semua, dirinya berdandan cantik dan rencananya akan mengajak suaminya makan berdua dengan bekal yang dibawanya.

Irena yakin bisa membangkitkan keromantisan di antara keduanya.

Mungkin itu yang membuat Fandi bosan.

Siang itu, di jam makan siang Irena meluncur ke kantor Mas Fandi. Wanita cantik itu memasak dengan sepenuh hati.

Meski beberapa kali dirinya mual kala mencium bau yang menyengat.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke kantor Mas Fandi bekerja.

Tepat saat para karyawan keluar mencari makan. Irena bergegas ke ruangan Mas Fandi.

“Eh, Mbak Irena. Mau nganter makan siang ya? Mas Fandi baru aja pergi lho,” sapa rekan kerja Mas Fandi ramah.

“Oya, saya telat deh!” Irena hendak meraih ponselnya, tetapi seorang lelaki yang membawa kopi hitam di tangannya berkata, “Fandi ya, ke arah sana. Mungkin masih bisa dikejar.”

Wanita cantik itu pun berterima kasih dan bergegas ke arah yang ditunjuk.

“Eh, tangga? Kok Mas Fandi malah lewat tangga, bukan pake lift?” Irena hendak berbalik.

Namun suara gaduh antara wanita dan pria membuatnya penasaran. Terlebih suara itu mirip suara suaminya, Fandi.

“Apa Mas Fandi lagi bersitegang dengan rekan kerjanya ya?” Langkah Irena perlahan semakin mendekat, hingga akhirnya wanita cantik itu berada tepat di lantai atas tangga yang mana Fandi dan seorang wanita bersitegang.

“Kamu bohong, Mas! Katanya mau ceraikan wanita itu dan menikahiku! Sekarang bimbang dan apa ini? Mas tak bisa menceraikannya? Lalu aku bagaimana, Mas?”

Irena yang tadinya mengintip, kini berada tepat di samping mereka. Hanya berbatas dinding saja.

Wanita itu menangis, sama seperti Irena yang saat ini menangis sembari menutup mulutnya agar tak bersuara.

“Aku gak bisa, Indah! Aku gak bisa ceraikan dia! Kalau kupikir-pikir, aku sangat mencintai istriku,” sesal Fandi.

Lelaki itu pun tergugu, lalu luruh di lantai dengan wajah yang basah karena air mata.

“Baiklah! Kalau begitu tinggalkan aku! Kita selesai Mas. Tak ada lagi kisah di antara kita, aku mohon … mari saling melupakan.” Wanita cantik nan muda itu luruh dan memeluk Fandi erat, siapa sangka keduanya malah bertukar saliva.

“Tapi aku tak bisa tanpamu, jangan pergi dariku Indah! Kau yang buat hidupku berwarna.” Keduanya lalu melupakan semua, ibarat dunia sudah milik berdua.

Saling bertukar saliva tanpa takut ada yang melihat. Hingga brak!

Rantang makanan yang dibawa Irena tak mampu dipegang wanita itu lagi. Tangannya gemetar, dan tubuhnya serasa kaku.

Fandi yang menyadari kehadiran sang istri, bergegas mendekat dan membujuk Irena yang dalam keadaan tak baik-baik saja.

Kini, Indah pergi meninggalkan Fandi dan Irena yang saling menangisi nasib.

*

Fandi saat itu langsung pulang membawa Irena.

Tak ada yang bicara selama perjalanan pulang.

Biasanya Irena yang paling senang berceloteh.

Akan tetapi, kini semua hilang seiring wajah sendu Irena yang tak semangat hidup.

Tangannya merapat erat di perut yang rata.

Fandi sendiri sesekali melihat ke arah Irena. Kata maaf terucap, tetapi lidah sang wanita seolah kelu.

Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Irena.

Begitu sampai rumah, bekal makanan itu diletakkan Irena begitu saja.

Langkahnya gontai menuju kamar tidur.

Fandi pun menyusul.

“Aku akan berhenti bekerja,” ujar Fandi memulai bicara.

“Percuma, bukankah kamu gak bisa hidup tanpa dia?” Suara Irena bergetar, tandanya dia kembali menangis.

“Aku pikir kamu hendak menceraikanku karena aku kurang perhatian padamu. Aku pikir karena anak yang tak kunjung hadir. Padahal, aku hendak menyampaikan kabar baik padamu. Ternyata, aku yang terjungkal karena mendengar kabar dari suamiku sendiri. Yang ternyata menginginkan adanya perceraian karena hatinya yang sudah berbagi. Kalau urusan hati, aku menyerah. Di kantor saja kalian bisa mesra saling bertukar lidah seperti itu, apa lagi di luaran sana!” Irena berteriak, meluapkan rasa di hati.

Seketika dia lupa jika di kandungannya ada janin yang begitu lemah.

“Aku memang salah, Irena. Tapi aku tak pernah berbuat sehina yang kau tuduhkan selain tadi. Aku menc1umnya. Aku akui aku salah,” aku Fandi.

Irena yang naik pitam, kini menghampiri Fandi dan meremas ujung kerah baju sang suami.

“Hidupmu berwarna bersama dia, kau semangat untuk hidup dan dia sumber bahagiamu ‘kan? Pergilah bersamanya dan biarkan aku sendiri. Kau ingin menceraikan aku demi bisa bersama dia. Silakan! Biar aku di sini, bersama dia yang kupikir kau tunggu kehadirannya selama ini. Aku pikir kau menunggunya hadir.” Irena tak kuasa menahan tangis.

Tubuhnya luruh, seolah dunianya runtuh.

Fandi yang terdiam membeku, mencoba mencerna perkataan sang istri.

Lalu berjongkok sembari menyentuh perut Irena yang rata, “Di—dia ada?”

Pengabdian Terakhir Seorang Istri

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status