LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....
“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi. “Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak. Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya. Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang menghabiskan lima tahun bergandeng tangan bersamanya. Memang, awal pertemuannya dengan Irena bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan. Mereka sedang asyik di club malam, mabuk dan berakhir di kamar hotel. Setelah itu, hubungan tak halal itu terus berlanjut hingga akhirnya Irena mengandung. Mau tak mau Fandi menikahinya. Ibu Fandi sampai pingsan saat mendengar alasan Fandi ingin menikah tanpa rencana sebelumnya. Akan tetapi, ibu Fandi mencoba menerima sang menantu hingga saat Irena keguguran, ibu Fandi pun menemani di rumah sakit. Perlahan-lahan, tahun ke tahun … Irena bak anaknya sendiri. Meski wanita itu tak mau menginap di rumah orang tua Fandi. Dua hari kemudian, Ibu Fandi bersama adik Fandi pulang. Kali ini mereka tak akan menunggu bis. Sebab orang tua Irena menyiapkan mobil untuk mengantar mereka pulang. Andai Fandi mau membuka mata hatinya, keluarga Irena begitu baik dan tak pernah membedakan antara dirinya juga keluarga. Hanya saja, hasutan setan telah membutakan mata hati Fandi. Sepeninggal keluarga, rumah itu kembali sepi. Fandi terus merayu sang istri agar tak marah seperti ini. Berbagai macam janji Fandi lontarkan. Hingga Fandi bersedia keluar dari perusahaan dan bekerja di perusahaan sang mertua demi mendapat kepercayaan Irena kembali. Sayangnya, Irena malah berkata. “Entah mengapa, aku tak yakin kau melupakan dia.” “Aku akan meninggalkan dia, untuk bisa bersama anak dan istri. Aku janji!” Fandi merengkuh tubuh Irena, memeluknya erat. “Aku mohon, percayalah pada suamimu ini. Sekali lagi!” * * * Fandi pun membuktikan perkataannya, dia keluar dari perusahaan tersebut dan bersedia bekerja di perusahaan ayah mertuanya. Fandi pun menempati posisi yang dia kuasai. Semua itu Fandi lakukan demi dapat melihat Irena tersenyum kembali. Sebulan berlalu, tak ada lagi Indah yang mengusik Fandi maupun Irena. Perihal mengirim foto, Rani … adiknya Irena mengambil bagian untuk memberi pelajaran pada sang wanita tak tahu diri tersebut. Irena tak bercerita, tetapi mendengar sang kakak hamil. Rani langsung menemuinya dan bermaksud menghibur Irena. Siapa sangka, saat dirinya datang … Irena tampak seperti tak bersemangat. Rani berhasil memancing sang kakak untuk bercerita dan akhirnya dia pun mengetahui kasus tersebut dari mulut Irena. Pikirnya, tak perlu lagi mengadu, sebab Irena sudah tahu sendiri. Saat itulah Irena mengatakan perihal lancangnya Indah mengirim Poto tak senonoh itu pada Irena langsung. “Mbak tenang saja, biar aku yang memberi dia pelajaran.” Rani tersenyum menyeringai. Siapa sangka, Rani mengancam Indah akan menyebarkan Poto tak senonohnya itu ke media sosial. Dengan begitu saja wanita itu ketakutan. “To—tolong jangan sebarin,” pinta Indah memelas. “Ada syaratnya!” seru Rani. “Apa itu?” tanya Indah. “Menjauhlah dan jangan pernah mengusik kebahagiaan wanita bernama Irena. Jika tidak, bommm!” Rani meniup poni Indah, sembari mendorong tubuh wanita itu hingga terjerembab di lantai. “Jangan macam-macam dengan keluarga kami,” gumam Rani. * * * “Sayang,” panggil Fandi pada sang istri. Saat itu, Irena sudah menyambutnya lagi. Senyum wanita itu kembali lebar untuk Fandi. Ya, seiring waktu Irena kembi menjadi istri yang begitu bahagia. Fandi selalu menghabiskan waktu untuk Irena dan si jabang bayi. Fandi menjadi suami yang selalu ada, bahkan kala jam bekerja. Saat Irena ingin bersamanya, lelaki itu akan mencari waktu buat pulang. Meski hanya sebentar. Terkadang, Irena hanya meminta Fandi pulang untuk makan siang bersama, atau sekedar memeluknya sekejap. Fandi merasa semua kembali seperti sedia kala. Namun siapa sangka, bayang Indah hanya hilang kala tak bertemu saja. Saat dirinya tengah bekerja, ponselnya bergetar di dalam saku. Fandi meraih ponselnya, dia pikir sang istri yang menelpon. Ternyata, nomor yang suka lama dia hapus dari kontak. Kini menelpon dirinya kembali. Lelaki itu begitu hapal angka per angka nomor ponsel yang kini menelpon dirinya. Lama Fandi menatap layar ponsel, hatinya bimbang, antara menerima ataukah mengabaikan panggilan itu. Dirinya tak mau salah langkah, terlebih dirinya punya janji dengan sang istri akan menemani istrinya periksa kandungan. Diraupnya wajah, sempat meneguk air putih di meja kerjanya. Kini, Fandi mengangkat panggilan tersebut. “Ya halo!” Fandi berdiri, langsung dirinya bergegas keluar. “Tunggu! Saya akan ke sana! Di rumah sakit mana?” Fandi masih menerima panggilan sembari keluar dari kantor. Tanpa dirinya sadari, sepasang mata menatapnya tajam. Ya, siapa lagi kalau bukan mertuanya. “Fandi kenapa panik begitu? Coba telepon Irena. Dia di rumah saja ‘kan?” Ayah Irena menelpon sang anak. Di mana Irena tengah bersiap untuk berangkat ke kantor mengajak sang suami ke dokter kandungan. “Keluar? Panik? Irena belum menelpon Mas Fandi malah,” tanggap Irena tenang. Irena tak tinggal diam, wanita cantik itu langsung melacak keberadaan Fandi melalui aplikasi. Di mana keberadaan sang suami ada di sebuah rumah sakit. “Ngapain Mas Fandi ke rumah sakit?” Perasaan Irena sudah tak karuan, tetapi tak inginbberoikir yang tidak-tidak. Wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu perlahan keluar dari kamar dan bergegas ke garasi. Mobil yang digunakan Irena meluncur ke rumah sakit di mana Fandi berada. Bukan ke dokter kandungan yang sudah dibuat janji temu dengannya. Tak butuh waktu lama buat Irena sampai di rumah sakit tersebut. Langkahnya pelan ketika berada di pelataran rumah sakit. Diraihnya ponsel dan diteleponnya sang suami. “Halo, Mas. Lagi di mana?” tanya Irena. “Hm, Mas ada di … kantor,” jawab Fandi. Irena langsung mengakhiri panggilan itu. Dirinya berada di ruang IGD, di mana seorang wanita tengah meraung kesakitan karena kecelakaan dan tangannya menggenggam erat tangan Fandi. Irena memejamkan mata kala melihat Fandi mengecup kening wanita itu di setiap kali sang wanita meraung sakit. “Sakit Mas, kakiku rasanya patah,” rengek sang wanita. Tak lain adalah Indah. “Iya, tenang! Ada Mas di sini!” Dikecupnya lagi kening Indah, tangan keduanya seolah tak akan terpisah karena bertaut erat. Irena melangkah pelan, tangannya terasa dingin, lalu disentuhnya pundak sang suami. “Jika sudah selesai urusannya, segera pulang ya,” ucap Irena tenang. Pengabdian Terakhir Seorang IstriLIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA .... Hati wanita mana yang tak terluka, mendapati suami tercinta tengah menenangkan hati wanita lain. Terlebih lagi, wanita itu diperlakukan mesra di depan umum. Sepanjang jalan Irena mencoba tenang, wanita cantik itu berulang kali menyeka air mata yang tak kunjung usai menetes. Sesampainya di kamar, Irena meraung-raung. Tangisnya tak tertahan lagi, wanita itu luruh di lantai hingga meringkuk memeluk dirinya sendiri. “Aku lelah, sudah cukup ini semua. Aku hanya wanita yang terlalu mencintai orang yang tak pernah mencintaiku.” Irena menangis tersedu-sedu. Tak dirinya pedulikan lagi perutnya. Janji temu dengan dokter kandungan pun dilupakan begitu saja. Jika Irena nelangsa, Fandi tak tenang dan ingin segera pergi. Sayangnya tak ada yang menunggu Indah. Akhirnya Fandi menelpon ibu panti dan meminta bantuannya. Sore itu Fandi pulang, ditatapnya
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 9“Mbak!” Rani menatap Irena lekat.Irena tersenyum sembari mengangguk, “Mbak perlu waktu buat tenang dulu, Ran. Jika terus di sini. Mbak bisa gil4.”Rani mengangguk, mengiyakan keinginan sang kakak.Setelah mengatakan tujuannya pergi bersama Rani pada sang pembantu, mana tahu Fandi bertanya.Irena meninggalkan rumah itu bersama sang adik.*“Ren!” Ibu dan ayah Irena menyambut anak sulungnya. Tak banyak tanya, sebab Rani menjelaskan pada sang ibu lewat pesan tadi.“Mah, Irena sementara waktu di rumah dulu. Boleh ‘kan?” Irena sebisa mungkin menaham bulir bening yang sedari tadi hendak berjatuhan membasahi pipi.“Ya gak apa-apa donk. Ini juga rumah kamu, Nak. Kamu lahir dan besar di sini. Ayo, masuk! Mamah menyiapkan makanan kesukaan kamu lho,” ujar sang ibu mencoba menghibur.Tak sedikit pun ayah dan ibu Irena membahas perihal apa yang terj
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Di panti asuhan, Indah yang kesal karena tak bisa menghubungi Fandi. Kini berteriak dan terus menjerit histeris.“Tenangkan dirimu, Indah! Mungkin saja kekasihmu itu sedang sibuk bekerja. Biaya rumah sakit dan semua yang dia gelontorkan untukmu itu tak sedikit.” Ibu panti mencoba memberi pengertian.“Tidak! Tidak! Dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama istrinya! Dia pasti tengah memanjakan istrinya! Mana janjinya menceraikan wanita itu. Aku sudah lelah menunggu!” Indah meraung histeris. Semua yang ada di dekatnya dilempar sembarang arah.Ibu panti tercengang mendengar penuturan Indah, “Ya Allah Nak. Nyebut Nak nyebut! Istighfar Nak, dia suami orang? Kamu gak boleh mengganggu rumah tangga wanita lain Ndah. Gak boleh, kamu juga wanita. Istighfar Nak!”Indah menangis dalam pelukan ibu panti, “Tapi Indah mencintai Mas Fandi.”“Wanita baik ber
Tangan Irena gemetar, dirinya diantar pembantu dan supir ke rumah sakit.“Bu, saya telpon Nyonya Besar saja ya,” usul sang supir.“Jangan! Jangan telepon siapa pun. Berjanjilah! Ini rahasia kita bertiga.” Irena menatap kedua sosok yang kini menatap sendu padanya.Tak lama ponselnya berdering, di sana terpampang jelas nama sang suami yang melakukan panggilan.“Biarin aja Mbok. Bantu saya!” Irena dan si Mbok masuk ke dalam ruang periksa.Tadi di rumah, Irena sampai tergolek lemas tak berdaya di anak tangga terakhir.Rasa sakit di perutnya begitu tak tertahankan.Bercak darah mulai nampak di ujung dress yang dikenakannya.“Nyonya! Tolong!” Si Mbok menjerit panik begitu melihat Irena tak berdaya lagi di lantai.Dengan sigap, sang supir yang merupakan utusan dari keluarga Irena. Menetap sebagai supir di rumah sang anak Tuan Besar. Mengangkat tubuh ringkih Irena dan membawanya ke dalam mobil yang kerap digunakannya.Si Mbok ikut, sebab tangan wanita itu terus digenggam Irena sepanjang jala
“Bagaimana? Apakah ada lowongan?” Fandi menyugar rambutnya. Di tengah kesibukannya, Fandi masih menyempatkan diri mencari pekerjaan untuk Indah.Senyumnya merekah, kala mendapat angin segar dari sang kolega.“Ok, besok aku suruh saudaraku datang ke kantormu. Terima kasih sebelumnya.” Fandi tersenyum.Hatinya bahagia, antara bisa berhubungan kembali dengan Indah ataukah bisa memberi pekerjaan pada sang wanita yang masih membuat hatinya penasaran.[Sore ini Mas ke tempatmu. Jangan ke mana-mana ya. Ada kabar bagus]Begitu pesan yang Fandi kirim untuk Indah.Indah tak membalas, tetapi Fandi tahu jika pesannya sudah dibaca.Sore itu, Fandi meluncur langsung ke tempat di mana Indah berada.Tak banyak yang dibicarakan. Indah dan Fandi lebih banyak diam dan sekedar bicara tentang pekerjaan yang didapat.Setelah sekian lama tak bersama, rasa canggung itu ada.Namun, saat Fandi hendak beranjak pulang. Indah menawarkan makanan yang sudah dia masak.Sebab dirinya tahu Fandi akan memilih ke tempa
Irena terdiam, kala kini dirinya duduk di taman yang ada di rumahnya.Pertemuannya dengan sang suami di pusat perbelanjaan itu membuatnya bersedih.Rasa sakit di perutnya pun menjadi-jadi.Irena memejamkan mata, dirinya mengingat apa yang ustadzah tadi katakan kala di pengajian.“Ingatlah para wanita, Ibu-Ibu calon penghuni Syurga. Ada satu perkara yang mana Allah halalkan tetapi paling Allah benci adalah cerai. Jadi, bagaimana kita menyingkapi hubungan yang sepertinya mustahil bersama? Satu jawabannya, ikhlas dan minta petunjuk dari Allah.”Irena mengusap dada, air matanya mengalir mengingat bagaimana suaminya memilih mengantar Indah daripada bersamanya.“Nyonya, ada Nyonya besar.” Si Mbok menghampiri Irena yang duduk di taman.Wanita cantik itu menyeka air matanya dan berdiri kala sang ibu tampak tak jauh darinya.“Mamah,” panggil Irena lirih.Dipeluknya tubuh sang ibu, dirinya ingin sekali menumpahkan semua kegundahan. Sayangnya, dia takut menjadikan hubungannya dan Fandi makin run
“Indah! Lepas! Mas bilang lepas!” Lelaki itu melepas paksa tubuh wanita yang memeluknya erat.Indah hampir hilang kendali, menghujani Fandi dengan c1uman yang memburu. Serta bersiap membuka pakaiannya.“Kau g1la! Istighfar Indah!” Lelaki itu, dengan tegasnya membentak wanita yang hilang akal karena cinta.“Aku seperti ini karena Mas. Aku ingin bersamamu … hingga akhir nanti. Hanya kamu yang mengerti aku, Mas!” Indah menangis tersedu-sedu.Siapa sangka, pagi itu sudah membuat keduanya runyam.Lama keduanya terdiam, hingga Indah menyeka air matanya dan berkata, “Temani aku Mas, temani aku interview lalu jadilah pacarku selama sehari.”“Indah, Mas—”“Hari ini saja Mas, setelah itu … aku akan menjadi Indah yang baru. Demi hidup yang baik dan masa depan yang cerah. Biarkan Mas menjadi pemanis dalam kisah hidupku. Sehari saja Mas, setelah itu … aku tak ingin apa-apa,” mohon Indah begitu memelas.“Baiklah! Sehari ini saja,” sanggup Fandi.Untung saja Fandi sudah menitipkan pekerjaannya pada
“Tiga bulan? Apa maksudmu tiga bulan, Irena?” Fandi bertanya-tanya.Irena hanya tersenyum, “Aku hanya minta tiga bulan Mas, setelah itu jika kau ingin kembali merajut cinta dengan Indah, atau siapa pun itu. Silakan! Aku minta tiga bulan untuk kita bersama, hanya tiga bulan Mas.” Irena luruh di lantai, wanita itu … menahan sakit hati dan sakit pada tubuhnya yang seakan kompak melebur jasad Irena.Fandi mengangguk, “Jika itu yang terbaik. Mari … kita bertahan tiga bulan lagi. Nanti, jika salah satu di antara kita masih merasa terbebani dan tak bahagia. Mari berpisah.”Irena mengangguk, “Tiga bulan. Aku hanya butuh tiga bulan.”***“Kenapa belum tidur?” Ayah Irena mendapati sang istri tengah berdiri di balkon kamar mereka di kala dirinya pulang kerja.“Ayah baru pulang? Bagaimana dengan para investor itu, apa semua berjalan mulus?” Istrinya meraih tas kerja dan membuka jas hingga dasi sang suami tercinta.“Tentu saja, itu semua berkat doa istri tercinta dan dukungannya yang tak pernah