LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....
“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi. “Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak. Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya. Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang menghabiskan lima tahun bergandeng tangan bersamanya. Memang, awal pertemuannya dengan Irena bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan. Mereka sedang asyik di club malam, mabuk dan berakhir di kamar hotel. Setelah itu, hubungan tak halal itu terus berlanjut hingga akhirnya Irena mengandung. Mau tak mau Fandi menikahinya. Ibu Fandi sampai pingsan saat mendengar alasan Fandi ingin menikah tanpa rencana sebelumnya. Akan tetapi, ibu Fandi mencoba menerima sang menantu hingga saat Irena keguguran, ibu Fandi pun menemani di rumah sakit. Perlahan-lahan, tahun ke tahun … Irena bak anaknya sendiri. Meski wanita itu tak mau menginap di rumah orang tua Fandi. Dua hari kemudian, Ibu Fandi bersama adik Fandi pulang. Kali ini mereka tak akan menunggu bis. Sebab orang tua Irena menyiapkan mobil untuk mengantar mereka pulang. Andai Fandi mau membuka mata hatinya, keluarga Irena begitu baik dan tak pernah membedakan antara dirinya juga keluarga. Hanya saja, hasutan setan telah membutakan mata hati Fandi. Sepeninggal keluarga, rumah itu kembali sepi. Fandi terus merayu sang istri agar tak marah seperti ini. Berbagai macam janji Fandi lontarkan. Hingga Fandi bersedia keluar dari perusahaan dan bekerja di perusahaan sang mertua demi mendapat kepercayaan Irena kembali. Sayangnya, Irena malah berkata. “Entah mengapa, aku tak yakin kau melupakan dia.” “Aku akan meninggalkan dia, untuk bisa bersama anak dan istri. Aku janji!” Fandi merengkuh tubuh Irena, memeluknya erat. “Aku mohon, percayalah pada suamimu ini. Sekali lagi!” * * * Fandi pun membuktikan perkataannya, dia keluar dari perusahaan tersebut dan bersedia bekerja di perusahaan ayah mertuanya. Fandi pun menempati posisi yang dia kuasai. Semua itu Fandi lakukan demi dapat melihat Irena tersenyum kembali. Sebulan berlalu, tak ada lagi Indah yang mengusik Fandi maupun Irena. Perihal mengirim foto, Rani … adiknya Irena mengambil bagian untuk memberi pelajaran pada sang wanita tak tahu diri tersebut. Irena tak bercerita, tetapi mendengar sang kakak hamil. Rani langsung menemuinya dan bermaksud menghibur Irena. Siapa sangka, saat dirinya datang … Irena tampak seperti tak bersemangat. Rani berhasil memancing sang kakak untuk bercerita dan akhirnya dia pun mengetahui kasus tersebut dari mulut Irena. Pikirnya, tak perlu lagi mengadu, sebab Irena sudah tahu sendiri. Saat itulah Irena mengatakan perihal lancangnya Indah mengirim Poto tak senonoh itu pada Irena langsung. “Mbak tenang saja, biar aku yang memberi dia pelajaran.” Rani tersenyum menyeringai. Siapa sangka, Rani mengancam Indah akan menyebarkan Poto tak senonohnya itu ke media sosial. Dengan begitu saja wanita itu ketakutan. “To—tolong jangan sebarin,” pinta Indah memelas. “Ada syaratnya!” seru Rani. “Apa itu?” tanya Indah. “Menjauhlah dan jangan pernah mengusik kebahagiaan wanita bernama Irena. Jika tidak, bommm!” Rani meniup poni Indah, sembari mendorong tubuh wanita itu hingga terjerembab di lantai. “Jangan macam-macam dengan keluarga kami,” gumam Rani. * * * “Sayang,” panggil Fandi pada sang istri. Saat itu, Irena sudah menyambutnya lagi. Senyum wanita itu kembali lebar untuk Fandi. Ya, seiring waktu Irena kembi menjadi istri yang begitu bahagia. Fandi selalu menghabiskan waktu untuk Irena dan si jabang bayi. Fandi menjadi suami yang selalu ada, bahkan kala jam bekerja. Saat Irena ingin bersamanya, lelaki itu akan mencari waktu buat pulang. Meski hanya sebentar. Terkadang, Irena hanya meminta Fandi pulang untuk makan siang bersama, atau sekedar memeluknya sekejap. Fandi merasa semua kembali seperti sedia kala. Namun siapa sangka, bayang Indah hanya hilang kala tak bertemu saja. Saat dirinya tengah bekerja, ponselnya bergetar di dalam saku. Fandi meraih ponselnya, dia pikir sang istri yang menelpon. Ternyata, nomor yang suka lama dia hapus dari kontak. Kini menelpon dirinya kembali. Lelaki itu begitu hapal angka per angka nomor ponsel yang kini menelpon dirinya. Lama Fandi menatap layar ponsel, hatinya bimbang, antara menerima ataukah mengabaikan panggilan itu. Dirinya tak mau salah langkah, terlebih dirinya punya janji dengan sang istri akan menemani istrinya periksa kandungan. Diraupnya wajah, sempat meneguk air putih di meja kerjanya. Kini, Fandi mengangkat panggilan tersebut. “Ya halo!” Fandi berdiri, langsung dirinya bergegas keluar. “Tunggu! Saya akan ke sana! Di rumah sakit mana?” Fandi masih menerima panggilan sembari keluar dari kantor. Tanpa dirinya sadari, sepasang mata menatapnya tajam. Ya, siapa lagi kalau bukan mertuanya. “Fandi kenapa panik begitu? Coba telepon Irena. Dia di rumah saja ‘kan?” Ayah Irena menelpon sang anak. Di mana Irena tengah bersiap untuk berangkat ke kantor mengajak sang suami ke dokter kandungan. “Keluar? Panik? Irena belum menelpon Mas Fandi malah,” tanggap Irena tenang. Irena tak tinggal diam, wanita cantik itu langsung melacak keberadaan Fandi melalui aplikasi. Di mana keberadaan sang suami ada di sebuah rumah sakit. “Ngapain Mas Fandi ke rumah sakit?” Perasaan Irena sudah tak karuan, tetapi tak inginbberoikir yang tidak-tidak. Wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu perlahan keluar dari kamar dan bergegas ke garasi. Mobil yang digunakan Irena meluncur ke rumah sakit di mana Fandi berada. Bukan ke dokter kandungan yang sudah dibuat janji temu dengannya. Tak butuh waktu lama buat Irena sampai di rumah sakit tersebut. Langkahnya pelan ketika berada di pelataran rumah sakit. Diraihnya ponsel dan diteleponnya sang suami. “Halo, Mas. Lagi di mana?” tanya Irena. “Hm, Mas ada di … kantor,” jawab Fandi. Irena langsung mengakhiri panggilan itu. Dirinya berada di ruang IGD, di mana seorang wanita tengah meraung kesakitan karena kecelakaan dan tangannya menggenggam erat tangan Fandi. Irena memejamkan mata kala melihat Fandi mengecup kening wanita itu di setiap kali sang wanita meraung sakit. “Sakit Mas, kakiku rasanya patah,” rengek sang wanita. Tak lain adalah Indah. “Iya, tenang! Ada Mas di sini!” Dikecupnya lagi kening Indah, tangan keduanya seolah tak akan terpisah karena bertaut erat. Irena melangkah pelan, tangannya terasa dingin, lalu disentuhnya pundak sang suami. “Jika sudah selesai urusannya, segera pulang ya,” ucap Irena tenang. Pengabdian Terakhir Seorang IstriLIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA .... Hati wanita mana yang tak terluka, mendapati suami tercinta tengah menenangkan hati wanita lain. Terlebih lagi, wanita itu diperlakukan mesra di depan umum. Sepanjang jalan Irena mencoba tenang, wanita cantik itu berulang kali menyeka air mata yang tak kunjung usai menetes. Sesampainya di kamar, Irena meraung-raung. Tangisnya tak tertahan lagi, wanita itu luruh di lantai hingga meringkuk memeluk dirinya sendiri. “Aku lelah, sudah cukup ini semua. Aku hanya wanita yang terlalu mencintai orang yang tak pernah mencintaiku.” Irena menangis tersedu-sedu. Tak dirinya pedulikan lagi perutnya. Janji temu dengan dokter kandungan pun dilupakan begitu saja. Jika Irena nelangsa, Fandi tak tenang dan ingin segera pergi. Sayangnya tak ada yang menunggu Indah. Akhirnya Fandi menelpon ibu panti dan meminta bantuannya. Sore itu Fandi pulang, ditatapnya
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 9“Mbak!” Rani menatap Irena lekat.Irena tersenyum sembari mengangguk, “Mbak perlu waktu buat tenang dulu, Ran. Jika terus di sini. Mbak bisa gil4.”Rani mengangguk, mengiyakan keinginan sang kakak.Setelah mengatakan tujuannya pergi bersama Rani pada sang pembantu, mana tahu Fandi bertanya.Irena meninggalkan rumah itu bersama sang adik.*“Ren!” Ibu dan ayah Irena menyambut anak sulungnya. Tak banyak tanya, sebab Rani menjelaskan pada sang ibu lewat pesan tadi.“Mah, Irena sementara waktu di rumah dulu. Boleh ‘kan?” Irena sebisa mungkin menaham bulir bening yang sedari tadi hendak berjatuhan membasahi pipi.“Ya gak apa-apa donk. Ini juga rumah kamu, Nak. Kamu lahir dan besar di sini. Ayo, masuk! Mamah menyiapkan makanan kesukaan kamu lho,” ujar sang ibu mencoba menghibur.Tak sedikit pun ayah dan ibu Irena membahas perihal apa yang terj
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Di panti asuhan, Indah yang kesal karena tak bisa menghubungi Fandi. Kini berteriak dan terus menjerit histeris.“Tenangkan dirimu, Indah! Mungkin saja kekasihmu itu sedang sibuk bekerja. Biaya rumah sakit dan semua yang dia gelontorkan untukmu itu tak sedikit.” Ibu panti mencoba memberi pengertian.“Tidak! Tidak! Dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama istrinya! Dia pasti tengah memanjakan istrinya! Mana janjinya menceraikan wanita itu. Aku sudah lelah menunggu!” Indah meraung histeris. Semua yang ada di dekatnya dilempar sembarang arah.Ibu panti tercengang mendengar penuturan Indah, “Ya Allah Nak. Nyebut Nak nyebut! Istighfar Nak, dia suami orang? Kamu gak boleh mengganggu rumah tangga wanita lain Ndah. Gak boleh, kamu juga wanita. Istighfar Nak!”Indah menangis dalam pelukan ibu panti, “Tapi Indah mencintai Mas Fandi.”“Wanita baik ber
Tangan Irena gemetar, dirinya diantar pembantu dan supir ke rumah sakit.“Bu, saya telpon Nyonya Besar saja ya,” usul sang supir.“Jangan! Jangan telepon siapa pun. Berjanjilah! Ini rahasia kita bertiga.” Irena menatap kedua sosok yang kini menatap sendu padanya.Tak lama ponselnya berdering, di sana terpampang jelas nama sang suami yang melakukan panggilan.“Biarin aja Mbok. Bantu saya!” Irena dan si Mbok masuk ke dalam ruang periksa.Tadi di rumah, Irena sampai tergolek lemas tak berdaya di anak tangga terakhir.Rasa sakit di perutnya begitu tak tertahankan.Bercak darah mulai nampak di ujung dress yang dikenakannya.“Nyonya! Tolong!” Si Mbok menjerit panik begitu melihat Irena tak berdaya lagi di lantai.Dengan sigap, sang supir yang merupakan utusan dari keluarga Irena. Menetap sebagai supir di rumah sang anak Tuan Besar. Mengangkat tubuh ringkih Irena dan membawanya ke dalam mobil yang kerap digunakannya.Si Mbok ikut, sebab tangan wanita itu terus digenggam Irena sepanjang jala
“Bagaimana? Apakah ada lowongan?” Fandi menyugar rambutnya. Di tengah kesibukannya, Fandi masih menyempatkan diri mencari pekerjaan untuk Indah.Senyumnya merekah, kala mendapat angin segar dari sang kolega.“Ok, besok aku suruh saudaraku datang ke kantormu. Terima kasih sebelumnya.” Fandi tersenyum.Hatinya bahagia, antara bisa berhubungan kembali dengan Indah ataukah bisa memberi pekerjaan pada sang wanita yang masih membuat hatinya penasaran.[Sore ini Mas ke tempatmu. Jangan ke mana-mana ya. Ada kabar bagus]Begitu pesan yang Fandi kirim untuk Indah.Indah tak membalas, tetapi Fandi tahu jika pesannya sudah dibaca.Sore itu, Fandi meluncur langsung ke tempat di mana Indah berada.Tak banyak yang dibicarakan. Indah dan Fandi lebih banyak diam dan sekedar bicara tentang pekerjaan yang didapat.Setelah sekian lama tak bersama, rasa canggung itu ada.Namun, saat Fandi hendak beranjak pulang. Indah menawarkan makanan yang sudah dia masak.Sebab dirinya tahu Fandi akan memilih ke tempa
Irena terdiam, kala kini dirinya duduk di taman yang ada di rumahnya.Pertemuannya dengan sang suami di pusat perbelanjaan itu membuatnya bersedih.Rasa sakit di perutnya pun menjadi-jadi.Irena memejamkan mata, dirinya mengingat apa yang ustadzah tadi katakan kala di pengajian.“Ingatlah para wanita, Ibu-Ibu calon penghuni Syurga. Ada satu perkara yang mana Allah halalkan tetapi paling Allah benci adalah cerai. Jadi, bagaimana kita menyingkapi hubungan yang sepertinya mustahil bersama? Satu jawabannya, ikhlas dan minta petunjuk dari Allah.”Irena mengusap dada, air matanya mengalir mengingat bagaimana suaminya memilih mengantar Indah daripada bersamanya.“Nyonya, ada Nyonya besar.” Si Mbok menghampiri Irena yang duduk di taman.Wanita cantik itu menyeka air matanya dan berdiri kala sang ibu tampak tak jauh darinya.“Mamah,” panggil Irena lirih.Dipeluknya tubuh sang ibu, dirinya ingin sekali menumpahkan semua kegundahan. Sayangnya, dia takut menjadikan hubungannya dan Fandi makin run
“Indah! Lepas! Mas bilang lepas!” Lelaki itu melepas paksa tubuh wanita yang memeluknya erat.Indah hampir hilang kendali, menghujani Fandi dengan c1uman yang memburu. Serta bersiap membuka pakaiannya.“Kau g1la! Istighfar Indah!” Lelaki itu, dengan tegasnya membentak wanita yang hilang akal karena cinta.“Aku seperti ini karena Mas. Aku ingin bersamamu … hingga akhir nanti. Hanya kamu yang mengerti aku, Mas!” Indah menangis tersedu-sedu.Siapa sangka, pagi itu sudah membuat keduanya runyam.Lama keduanya terdiam, hingga Indah menyeka air matanya dan berkata, “Temani aku Mas, temani aku interview lalu jadilah pacarku selama sehari.”“Indah, Mas—”“Hari ini saja Mas, setelah itu … aku akan menjadi Indah yang baru. Demi hidup yang baik dan masa depan yang cerah. Biarkan Mas menjadi pemanis dalam kisah hidupku. Sehari saja Mas, setelah itu … aku tak ingin apa-apa,” mohon Indah begitu memelas.“Baiklah! Sehari ini saja,” sanggup Fandi.Untung saja Fandi sudah menitipkan pekerjaannya pada
“Tiga bulan? Apa maksudmu tiga bulan, Irena?” Fandi bertanya-tanya.Irena hanya tersenyum, “Aku hanya minta tiga bulan Mas, setelah itu jika kau ingin kembali merajut cinta dengan Indah, atau siapa pun itu. Silakan! Aku minta tiga bulan untuk kita bersama, hanya tiga bulan Mas.” Irena luruh di lantai, wanita itu … menahan sakit hati dan sakit pada tubuhnya yang seakan kompak melebur jasad Irena.Fandi mengangguk, “Jika itu yang terbaik. Mari … kita bertahan tiga bulan lagi. Nanti, jika salah satu di antara kita masih merasa terbebani dan tak bahagia. Mari berpisah.”Irena mengangguk, “Tiga bulan. Aku hanya butuh tiga bulan.”***“Kenapa belum tidur?” Ayah Irena mendapati sang istri tengah berdiri di balkon kamar mereka di kala dirinya pulang kerja.“Ayah baru pulang? Bagaimana dengan para investor itu, apa semua berjalan mulus?” Istrinya meraih tas kerja dan membuka jas hingga dasi sang suami tercinta.“Tentu saja, itu semua berkat doa istri tercinta dan dukungannya yang tak pernah
Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula
Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug
“Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”
Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit
Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih
“Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su
Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga
Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber
Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per