Share

PTSI 7

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi.

“Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak.

Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya.

Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang menghabiskan lima tahun bergandeng tangan bersamanya.

Memang, awal pertemuannya dengan Irena bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan.

Mereka sedang asyik di club malam, mabuk dan berakhir di kamar hotel.

Setelah itu, hubungan tak halal itu terus berlanjut hingga akhirnya Irena mengandung. Mau tak mau Fandi menikahinya.

Ibu Fandi sampai pingsan saat mendengar alasan Fandi ingin menikah tanpa rencana sebelumnya.

Akan tetapi, ibu Fandi mencoba menerima sang menantu hingga saat Irena keguguran, ibu Fandi pun menemani di rumah sakit.

Perlahan-lahan, tahun ke tahun … Irena bak anaknya sendiri. Meski wanita itu tak mau menginap di rumah orang tua Fandi.

Dua hari kemudian, Ibu Fandi bersama adik Fandi pulang. Kali ini mereka tak akan menunggu bis. Sebab orang tua Irena menyiapkan mobil untuk mengantar mereka pulang.

Andai Fandi mau membuka mata hatinya, keluarga Irena begitu baik dan tak pernah membedakan antara dirinya juga keluarga. Hanya saja, hasutan setan telah membutakan mata hati Fandi.

Sepeninggal keluarga, rumah itu kembali sepi. Fandi terus merayu sang istri agar tak marah seperti ini.

Berbagai macam janji Fandi lontarkan.

Hingga Fandi bersedia keluar dari perusahaan dan bekerja di perusahaan sang mertua demi mendapat kepercayaan Irena kembali.

Sayangnya, Irena malah berkata. “Entah mengapa, aku tak yakin kau melupakan dia.”

“Aku akan meninggalkan dia, untuk bisa bersama anak dan istri. Aku janji!” Fandi merengkuh tubuh Irena, memeluknya erat.

“Aku mohon, percayalah pada suamimu ini. Sekali lagi!”

*

*

*

Fandi pun membuktikan perkataannya, dia keluar dari perusahaan tersebut dan bersedia bekerja di perusahaan ayah mertuanya.

Fandi pun menempati posisi yang dia kuasai.

Semua itu Fandi lakukan demi dapat melihat Irena tersenyum kembali.

Sebulan berlalu, tak ada lagi Indah yang mengusik Fandi maupun Irena.

Perihal mengirim foto, Rani … adiknya Irena mengambil bagian untuk memberi pelajaran pada sang wanita tak tahu diri tersebut.

Irena tak bercerita, tetapi mendengar sang kakak hamil. Rani langsung menemuinya dan bermaksud menghibur Irena.

Siapa sangka, saat dirinya datang … Irena tampak seperti tak bersemangat.

Rani berhasil memancing sang kakak untuk bercerita dan akhirnya dia pun mengetahui kasus tersebut dari mulut Irena.

Pikirnya, tak perlu lagi mengadu, sebab Irena sudah tahu sendiri.

Saat itulah Irena mengatakan perihal lancangnya Indah mengirim Poto tak senonoh itu pada Irena langsung.

“Mbak tenang saja, biar aku yang memberi dia pelajaran.” Rani tersenyum menyeringai.

Siapa sangka, Rani mengancam Indah akan menyebarkan Poto tak senonohnya itu ke media sosial. Dengan begitu saja wanita itu ketakutan.

“To—tolong jangan sebarin,” pinta Indah memelas.

“Ada syaratnya!” seru Rani.

“Apa itu?” tanya Indah.

“Menjauhlah dan jangan pernah mengusik kebahagiaan wanita bernama Irena. Jika tidak, bommm!” Rani meniup poni Indah, sembari mendorong tubuh wanita itu hingga terjerembab di lantai.

“Jangan macam-macam dengan keluarga kami,” gumam Rani.

*

*

*

“Sayang,” panggil Fandi pada sang istri.

Saat itu, Irena sudah menyambutnya lagi. Senyum wanita itu kembali lebar untuk Fandi.

Ya, seiring waktu Irena kembi menjadi istri yang begitu bahagia.

Fandi selalu menghabiskan waktu untuk Irena dan si jabang bayi.

Fandi menjadi suami yang selalu ada, bahkan kala jam bekerja. Saat Irena ingin bersamanya, lelaki itu akan mencari waktu buat pulang.

Meski hanya sebentar. Terkadang, Irena hanya meminta Fandi pulang untuk makan siang bersama, atau sekedar memeluknya sekejap.

Fandi merasa semua kembali seperti sedia kala.

Namun siapa sangka, bayang Indah hanya hilang kala tak bertemu saja.

Saat dirinya tengah bekerja, ponselnya bergetar di dalam saku.

Fandi meraih ponselnya, dia pikir sang istri yang menelpon.

Ternyata, nomor yang suka lama dia hapus dari kontak. Kini menelpon dirinya kembali.

Lelaki itu begitu hapal angka per angka nomor ponsel yang kini menelpon dirinya.

Lama Fandi menatap layar ponsel, hatinya bimbang, antara menerima ataukah mengabaikan panggilan itu.

Dirinya tak mau salah langkah, terlebih dirinya punya janji dengan sang istri akan menemani istrinya periksa kandungan.

Diraupnya wajah, sempat meneguk air putih di meja kerjanya. Kini, Fandi mengangkat panggilan tersebut.

“Ya halo!”

Fandi berdiri, langsung dirinya bergegas keluar.

“Tunggu! Saya akan ke sana! Di rumah sakit mana?” Fandi masih menerima panggilan sembari keluar dari kantor.

Tanpa dirinya sadari, sepasang mata menatapnya tajam.

Ya, siapa lagi kalau bukan mertuanya.

“Fandi kenapa panik begitu? Coba telepon Irena. Dia di rumah saja ‘kan?” Ayah Irena menelpon sang anak. Di mana Irena tengah bersiap untuk berangkat ke kantor mengajak sang suami ke dokter kandungan.

“Keluar? Panik? Irena belum menelpon Mas Fandi malah,” tanggap Irena tenang.

Irena tak tinggal diam, wanita cantik itu langsung melacak keberadaan Fandi melalui aplikasi. Di mana keberadaan sang suami ada di sebuah rumah sakit.

“Ngapain Mas Fandi ke rumah sakit?”

Perasaan Irena sudah tak karuan, tetapi tak inginbberoikir yang tidak-tidak.

Wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu perlahan keluar dari kamar dan bergegas ke garasi.

Mobil yang digunakan Irena meluncur ke rumah sakit di mana Fandi berada. Bukan ke dokter kandungan yang sudah dibuat janji temu dengannya.

Tak butuh waktu lama buat Irena sampai di rumah sakit tersebut.

Langkahnya pelan ketika berada di pelataran rumah sakit.

Diraihnya ponsel dan diteleponnya sang suami.

“Halo, Mas. Lagi di mana?” tanya Irena.

“Hm, Mas ada di … kantor,” jawab Fandi.

Irena langsung mengakhiri panggilan itu.

Dirinya berada di ruang IGD, di mana seorang wanita tengah meraung kesakitan karena kecelakaan dan tangannya menggenggam erat tangan Fandi.

Irena memejamkan mata kala melihat Fandi mengecup kening wanita itu di setiap kali sang wanita meraung sakit.

“Sakit Mas, kakiku rasanya patah,” rengek sang wanita.

Tak lain adalah Indah.

“Iya, tenang! Ada Mas di sini!” Dikecupnya lagi kening Indah, tangan keduanya seolah tak akan terpisah karena bertaut erat.

Irena melangkah pelan, tangannya terasa dingin, lalu disentuhnya pundak sang suami.

“Jika sudah selesai urusannya, segera pulang ya,” ucap Irena tenang.

Pengabdian Terakhir Seorang Istri

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status