Share

PTSI 6

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

Hari itu, hidup keduanya terasa kelabu, seperti cuaca pagi ini.

Mendung, meski tak pula hujan.

Keputusan keduanya adalah kembali bersama, dan Fandi akan mengakhiri semua dengan Indah.

“Mas berangkat kerja dulu.” Dikecupnya kening Irena.

Di mana sang istri masih berbaring tak bersemangat untuk melakukan aktifitas.

Matanya sayu, sembab.

Irena mengabaikan panggilan sang suami saat dirinya akan berangkat kerja.

Wanita cantik itu terus mengusap perutnya yang rata.

“Maafkan bunda, Sayang. Kehadiranmu diiringi tangis pilu bunda.” Irena kembali melow, wanita hamil itu memang sedang sensitif perasaannya.

*

Fandi menghela napas kala mengetahui Indah yang tak masuk kerja.

“Ke mana dia?” tanya Fandi para anak magang lain.

Tentunya mereka mengetahui hubungan Indah dan Fandi.

“Katanya sih sakit,” jawab sang anak magang itu.

Fandi meraup wajahnya kasar, dirinya susah payah memohon pada Irena untuk bisa bersamanya lagi.

Keputusannya yang begitu gegabah membuat rumah tangga runyam.

“Seharusnya aku membuat Irena bahagia kala kehadiran jabang bayi. Ya Allah, jahatnya aku!” Fandi mengusap dadanya.

Seharian itu, Fandi tak bisa konsentrasi pada pekerjaannya.

Pikirannya bercabang antara Irena dan Indah.

Terlebih, Indah mengirim pesan pada Fandi.

[Mas, ke tempatku. Ada hal yang harus kita bicarakan]

Begitulah pesan Indah.

Fandi yang bertekad mengakhiri semua, memilih menemui Indah di kediamannya.

Gadis itu menunggu di ruang depan. Wajahnya pucat dengan riasan yang sepertinya tak dihapus dari kemarin.

Indah begitu berantakan.

“Ndah,” panggil Fandi iba.

“Mas!” Indah langsung memeluk Fandi erat, tangisnya tak tertahan.

“Jangan tinggalkan aku. Aku tak sanggup rupanya jika berpisah darimu,” pinta Indah menghiba.

Fandi menggenggam erat tangan Indah yang terasa panas.

“Indah, kamu—”

Fandi tak berkata lagi, saat itu tubuh Indah luruh.

Gadis itu demam tinggi.

Mau tak mau Fandi pun memanggil beberapa teman Indah yang ternyata bekerja di kantor yang sama.

“Tolong urus dia.” Fandi memberi obat yang sudah dia beli di apotek.

“Mas Fandi gak nungguin Indah?” tanya seorang teman Indah.

“Gak, saya harus pulang.” Fandi berlalu begitu saja.

Saat mobilnya sudah menjauh dari tempat tinggal Indah, ponsel Fandi berdering.

Senyumnya lebar, saat tahu sang istri yang menghubungi.

“Halo Sayang,” sapa Fandi mesra.

“Halo, Mas … Umi dan Fera di rumah. Segeralah pulang, jangan singgah ke tempat lain dulu.” Suara Irena pelan, tetapi begitu mengandung makna bagi Fandi.

“Siap Ibu Bos!”

*

Irena tak menyangka, siang itu di kala dirinya merenung di kamar. Sang asisten rumah tangga mengetuk pintu kamarnya.

Dengan malasnya Irena beranjak.

“Ada apa?” tanya Irena ketus.

“Maaf, Nyonya. Di bawah ada mertua Nyonya bersama Ipar Nyonya, Mbak Fera.” Asisten rumah tangga yang kerap dipanggil Mbok itu bergegas turun dan menyiapkan hidangan tanpa menunggu perintah dari Irena.

Wanita cantik itu segera mengganti pakaiannya dengan dress cantik serta menggunakan make up tipis. Bibirnya dipoles lipstik merah kesukaannya.

Parfum kesukaannya pun menambah meyakinkan penampilan Irena.

“Assalamualaikum, Nak Mantu. Ya Allah, umi pangling Nak. Kamu semakin cantik saja,” sapa sang mertua.

Dipeluknya Irena dengan erat, layaknya ibu dan anak.

“Wa’alaikumsalam Umi, alhamdulillah Irena sama Mas Fandi sehat. Rejeki lancar, semua karena doa Umi yang tak putus untuk kami.” Irena menuntun mertuanya duduk di sofa empuk.

Disapanya Fera juga Wisnu, sepasang suami istri.

“Mbak makin cantik saja, Fera jadi pengen bisa bersolek kayak Mbak,” puji sang adik ipar.

Di depan mereka semua, Irena bisa menyembunyikan pilu hatinya.

Dirinya tersenyum, tertawa, bahkan heboh kala mendengar cerita mertua dan adik iparnya.

“Apa umi merepotkan, Nak? Datang gak bilang-bilang?” Mertua Irena mengusap punggung tangan sang menantu.

“Gak Um, lagian Irena juga lagi istirahat,” tanggap Irena lemah lembut.

“Umi gak tenang, sudah tiga hari ini umi gak bisa tidur. Jika tertidur pun selalu bermimpi buruk. Umi bermimpi, menantu umi yang cantik ini tengah menangis seorang diri.” Diusapnya pipi Irena.

“Hm, mungkin karena ada dia.” Irena menunjuk ke arah perutnya.

Membuat heboh mertua dan sang ipar. Saat yang sama, ibu dan ayah Irena datang setelah mendengar kabar dari Irena mengenai kedatangan sang mertua.

“Besan, bagaimana kabarnya? Kenapa gak bilang kalau mau kemari. Biar saya yang jemput.” Begitulah akrabnya orang tua Irena dan orang tua Fandi.

Meski berbeda status sosial, tak membuat keluarga Irena membedakan keluarga Fandi.

Meski memang Irena lebih condong ke keluarganya sendiri.

Mereka bersiap makan malam, di saat yang sama Fandi datang dan langsung memeluk ibunya.

Bertemu dengan sang ibu, serta mendengar alasan ibunya rela jauh-jauh datang ke kota tempat dirinya tinggal. Membuat hati Fandi terenyuh.

Kembali rasa sesal telah menyakiti Irena mencuat. Kala dilihatnya sang istri begitu baik pada ibunya.

Di mana setiap ucapan sang ibu, selalu ada doa yang terselip untuk kebahagiaan mereka.

“Makan yang banyak, Calon Ayah.” Fandi terkejut kala ayah Irena menepuk pundak Fandi.

Senyumnya lebar dan begitu tampak bahagia. Bagaimanapun menimang cucu adakah keinginan kedua orang tua Irena.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlaku di luar kamar sepasang suami istri pemilik rumah.

Di dalam kamar, Irena kembali diam dan memberi ponselnya pada Fandi.

“Lihat ini! Jadi ini yang membuat kamu merasa hidup berwarna itu? Dikirim poto menggugah h@srat kelelakianmu. Begitu, Mas?” Irena kembali menitikkan air mata.

“Aku kira kamu serius ingin kita kembali bersama, tapi dengan menemui Indah serta peduli padanya terus. Percuma kamu cabut ajuan permohonan talak itu Mas. Percuma!” Wanita itu benar-benar hancur.

Andai tak ada mertua di kediamannya sekarang. Irena ingin menjerit dan melampiaskan amarahnya.

“I—ini,” ucap Fandi terbata-bata.

Foto seksi Indah dan foto bu gilnya dikirim Indah ke nomor W******p Irena.

Nekad!

Fandi tak bisa mengelak, dirinya tak menyangka Indah senekad itu.

Fandi diam seribu bahasa, tak bisa mengelak dan tak mampu mengatakan iya.

Membuat kamar itu hening, Irena meringkuk di ranjang tanpa suara. Meski hatinya sakit dan air matanya tak henti mengalir.

Tak ingin menambah masalah, Fandi keluar dari kamar dan menuju ke arah dapur. Lelaki tampan itu meneguk air putih hingga habis satu gelas.

Rasanya haus, tenggorokannya kering hingga tak bisa berkata apa pun.

Fandi menghela napas panjang berkali-kali. Saat dirinya hendak kembali ke kamar, sang ibu keluar dari kamar yang dihuninya.

“Belum tidur?” tanya sang ibu.

Fandi tersenyum dan menjawab, “Belum, Umi sendiri … kenapa belum tidur?”

Tak dijawabnya pertanyaan sang anak. Wanita berumur enam puluh tahun itu mengajak Fandi duduk di luar, di taman yang terdapat ayunan dekat kolam renang.

“Apa terjadi sesuatu pada rumah tanggamu, Nak?” tanya sang ibu lembut.

“Umi—”

“Irena memang tersenyum, tapi sorot matanya tampak terluka. Ada apa sebenarnya?” Ibu Fandi mengusap punggung sang anak meski dicecarnya dengan banyak pertanyaan.

Pengabdian Terakhir Seorang Istri

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status