LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....
Hari itu, hidup keduanya terasa kelabu, seperti cuaca pagi ini. Mendung, meski tak pula hujan. Keputusan keduanya adalah kembali bersama, dan Fandi akan mengakhiri semua dengan Indah. “Mas berangkat kerja dulu.” Dikecupnya kening Irena. Di mana sang istri masih berbaring tak bersemangat untuk melakukan aktifitas. Matanya sayu, sembab. Irena mengabaikan panggilan sang suami saat dirinya akan berangkat kerja. Wanita cantik itu terus mengusap perutnya yang rata. “Maafkan bunda, Sayang. Kehadiranmu diiringi tangis pilu bunda.” Irena kembali melow, wanita hamil itu memang sedang sensitif perasaannya. * Fandi menghela napas kala mengetahui Indah yang tak masuk kerja. “Ke mana dia?” tanya Fandi para anak magang lain. Tentunya mereka mengetahui hubungan Indah dan Fandi. “Katanya sih sakit,” jawab sang anak magang itu. Fandi meraup wajahnya kasar, dirinya susah payah memohon pada Irena untuk bisa bersamanya lagi. Keputusannya yang begitu gegabah membuat rumah tangga runyam. “Seharusnya aku membuat Irena bahagia kala kehadiran jabang bayi. Ya Allah, jahatnya aku!” Fandi mengusap dadanya. Seharian itu, Fandi tak bisa konsentrasi pada pekerjaannya. Pikirannya bercabang antara Irena dan Indah. Terlebih, Indah mengirim pesan pada Fandi. [Mas, ke tempatku. Ada hal yang harus kita bicarakan] Begitulah pesan Indah. Fandi yang bertekad mengakhiri semua, memilih menemui Indah di kediamannya. Gadis itu menunggu di ruang depan. Wajahnya pucat dengan riasan yang sepertinya tak dihapus dari kemarin. Indah begitu berantakan. “Ndah,” panggil Fandi iba. “Mas!” Indah langsung memeluk Fandi erat, tangisnya tak tertahan. “Jangan tinggalkan aku. Aku tak sanggup rupanya jika berpisah darimu,” pinta Indah menghiba. Fandi menggenggam erat tangan Indah yang terasa panas. “Indah, kamu—” Fandi tak berkata lagi, saat itu tubuh Indah luruh. Gadis itu demam tinggi. Mau tak mau Fandi pun memanggil beberapa teman Indah yang ternyata bekerja di kantor yang sama. “Tolong urus dia.” Fandi memberi obat yang sudah dia beli di apotek. “Mas Fandi gak nungguin Indah?” tanya seorang teman Indah. “Gak, saya harus pulang.” Fandi berlalu begitu saja. Saat mobilnya sudah menjauh dari tempat tinggal Indah, ponsel Fandi berdering. Senyumnya lebar, saat tahu sang istri yang menghubungi. “Halo Sayang,” sapa Fandi mesra. “Halo, Mas … Umi dan Fera di rumah. Segeralah pulang, jangan singgah ke tempat lain dulu.” Suara Irena pelan, tetapi begitu mengandung makna bagi Fandi. “Siap Ibu Bos!” * Irena tak menyangka, siang itu di kala dirinya merenung di kamar. Sang asisten rumah tangga mengetuk pintu kamarnya. Dengan malasnya Irena beranjak. “Ada apa?” tanya Irena ketus. “Maaf, Nyonya. Di bawah ada mertua Nyonya bersama Ipar Nyonya, Mbak Fera.” Asisten rumah tangga yang kerap dipanggil Mbok itu bergegas turun dan menyiapkan hidangan tanpa menunggu perintah dari Irena. Wanita cantik itu segera mengganti pakaiannya dengan dress cantik serta menggunakan make up tipis. Bibirnya dipoles lipstik merah kesukaannya. Parfum kesukaannya pun menambah meyakinkan penampilan Irena. “Assalamualaikum, Nak Mantu. Ya Allah, umi pangling Nak. Kamu semakin cantik saja,” sapa sang mertua. Dipeluknya Irena dengan erat, layaknya ibu dan anak. “Wa’alaikumsalam Umi, alhamdulillah Irena sama Mas Fandi sehat. Rejeki lancar, semua karena doa Umi yang tak putus untuk kami.” Irena menuntun mertuanya duduk di sofa empuk. Disapanya Fera juga Wisnu, sepasang suami istri. “Mbak makin cantik saja, Fera jadi pengen bisa bersolek kayak Mbak,” puji sang adik ipar. Di depan mereka semua, Irena bisa menyembunyikan pilu hatinya. Dirinya tersenyum, tertawa, bahkan heboh kala mendengar cerita mertua dan adik iparnya. “Apa umi merepotkan, Nak? Datang gak bilang-bilang?” Mertua Irena mengusap punggung tangan sang menantu. “Gak Um, lagian Irena juga lagi istirahat,” tanggap Irena lemah lembut. “Umi gak tenang, sudah tiga hari ini umi gak bisa tidur. Jika tertidur pun selalu bermimpi buruk. Umi bermimpi, menantu umi yang cantik ini tengah menangis seorang diri.” Diusapnya pipi Irena. “Hm, mungkin karena ada dia.” Irena menunjuk ke arah perutnya. Membuat heboh mertua dan sang ipar. Saat yang sama, ibu dan ayah Irena datang setelah mendengar kabar dari Irena mengenai kedatangan sang mertua. “Besan, bagaimana kabarnya? Kenapa gak bilang kalau mau kemari. Biar saya yang jemput.” Begitulah akrabnya orang tua Irena dan orang tua Fandi. Meski berbeda status sosial, tak membuat keluarga Irena membedakan keluarga Fandi. Meski memang Irena lebih condong ke keluarganya sendiri. Mereka bersiap makan malam, di saat yang sama Fandi datang dan langsung memeluk ibunya. Bertemu dengan sang ibu, serta mendengar alasan ibunya rela jauh-jauh datang ke kota tempat dirinya tinggal. Membuat hati Fandi terenyuh. Kembali rasa sesal telah menyakiti Irena mencuat. Kala dilihatnya sang istri begitu baik pada ibunya. Di mana setiap ucapan sang ibu, selalu ada doa yang terselip untuk kebahagiaan mereka. “Makan yang banyak, Calon Ayah.” Fandi terkejut kala ayah Irena menepuk pundak Fandi. Senyumnya lebar dan begitu tampak bahagia. Bagaimanapun menimang cucu adakah keinginan kedua orang tua Irena. Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlaku di luar kamar sepasang suami istri pemilik rumah. Di dalam kamar, Irena kembali diam dan memberi ponselnya pada Fandi. “Lihat ini! Jadi ini yang membuat kamu merasa hidup berwarna itu? Dikirim poto menggugah h@srat kelelakianmu. Begitu, Mas?” Irena kembali menitikkan air mata. “Aku kira kamu serius ingin kita kembali bersama, tapi dengan menemui Indah serta peduli padanya terus. Percuma kamu cabut ajuan permohonan talak itu Mas. Percuma!” Wanita itu benar-benar hancur. Andai tak ada mertua di kediamannya sekarang. Irena ingin menjerit dan melampiaskan amarahnya. “I—ini,” ucap Fandi terbata-bata. Foto seksi Indah dan foto bu gilnya dikirim Indah ke nomor W******p Irena. Nekad! Fandi tak bisa mengelak, dirinya tak menyangka Indah senekad itu. Fandi diam seribu bahasa, tak bisa mengelak dan tak mampu mengatakan iya. Membuat kamar itu hening, Irena meringkuk di ranjang tanpa suara. Meski hatinya sakit dan air matanya tak henti mengalir. Tak ingin menambah masalah, Fandi keluar dari kamar dan menuju ke arah dapur. Lelaki tampan itu meneguk air putih hingga habis satu gelas. Rasanya haus, tenggorokannya kering hingga tak bisa berkata apa pun. Fandi menghela napas panjang berkali-kali. Saat dirinya hendak kembali ke kamar, sang ibu keluar dari kamar yang dihuninya. “Belum tidur?” tanya sang ibu. Fandi tersenyum dan menjawab, “Belum, Umi sendiri … kenapa belum tidur?” Tak dijawabnya pertanyaan sang anak. Wanita berumur enam puluh tahun itu mengajak Fandi duduk di luar, di taman yang terdapat ayunan dekat kolam renang. “Apa terjadi sesuatu pada rumah tanggamu, Nak?” tanya sang ibu lembut. “Umi—” “Irena memang tersenyum, tapi sorot matanya tampak terluka. Ada apa sebenarnya?” Ibu Fandi mengusap punggung sang anak meski dicecarnya dengan banyak pertanyaan. Pengabdian Terakhir Seorang IstriLIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi.“Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak.Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya.Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang m
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA .... Hati wanita mana yang tak terluka, mendapati suami tercinta tengah menenangkan hati wanita lain. Terlebih lagi, wanita itu diperlakukan mesra di depan umum. Sepanjang jalan Irena mencoba tenang, wanita cantik itu berulang kali menyeka air mata yang tak kunjung usai menetes. Sesampainya di kamar, Irena meraung-raung. Tangisnya tak tertahan lagi, wanita itu luruh di lantai hingga meringkuk memeluk dirinya sendiri. “Aku lelah, sudah cukup ini semua. Aku hanya wanita yang terlalu mencintai orang yang tak pernah mencintaiku.” Irena menangis tersedu-sedu. Tak dirinya pedulikan lagi perutnya. Janji temu dengan dokter kandungan pun dilupakan begitu saja. Jika Irena nelangsa, Fandi tak tenang dan ingin segera pergi. Sayangnya tak ada yang menunggu Indah. Akhirnya Fandi menelpon ibu panti dan meminta bantuannya. Sore itu Fandi pulang, ditatapnya
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 9“Mbak!” Rani menatap Irena lekat.Irena tersenyum sembari mengangguk, “Mbak perlu waktu buat tenang dulu, Ran. Jika terus di sini. Mbak bisa gil4.”Rani mengangguk, mengiyakan keinginan sang kakak.Setelah mengatakan tujuannya pergi bersama Rani pada sang pembantu, mana tahu Fandi bertanya.Irena meninggalkan rumah itu bersama sang adik.*“Ren!” Ibu dan ayah Irena menyambut anak sulungnya. Tak banyak tanya, sebab Rani menjelaskan pada sang ibu lewat pesan tadi.“Mah, Irena sementara waktu di rumah dulu. Boleh ‘kan?” Irena sebisa mungkin menaham bulir bening yang sedari tadi hendak berjatuhan membasahi pipi.“Ya gak apa-apa donk. Ini juga rumah kamu, Nak. Kamu lahir dan besar di sini. Ayo, masuk! Mamah menyiapkan makanan kesukaan kamu lho,” ujar sang ibu mencoba menghibur.Tak sedikit pun ayah dan ibu Irena membahas perihal apa yang terj
LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Di panti asuhan, Indah yang kesal karena tak bisa menghubungi Fandi. Kini berteriak dan terus menjerit histeris.“Tenangkan dirimu, Indah! Mungkin saja kekasihmu itu sedang sibuk bekerja. Biaya rumah sakit dan semua yang dia gelontorkan untukmu itu tak sedikit.” Ibu panti mencoba memberi pengertian.“Tidak! Tidak! Dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama istrinya! Dia pasti tengah memanjakan istrinya! Mana janjinya menceraikan wanita itu. Aku sudah lelah menunggu!” Indah meraung histeris. Semua yang ada di dekatnya dilempar sembarang arah.Ibu panti tercengang mendengar penuturan Indah, “Ya Allah Nak. Nyebut Nak nyebut! Istighfar Nak, dia suami orang? Kamu gak boleh mengganggu rumah tangga wanita lain Ndah. Gak boleh, kamu juga wanita. Istighfar Nak!”Indah menangis dalam pelukan ibu panti, “Tapi Indah mencintai Mas Fandi.”“Wanita baik ber
Tangan Irena gemetar, dirinya diantar pembantu dan supir ke rumah sakit.“Bu, saya telpon Nyonya Besar saja ya,” usul sang supir.“Jangan! Jangan telepon siapa pun. Berjanjilah! Ini rahasia kita bertiga.” Irena menatap kedua sosok yang kini menatap sendu padanya.Tak lama ponselnya berdering, di sana terpampang jelas nama sang suami yang melakukan panggilan.“Biarin aja Mbok. Bantu saya!” Irena dan si Mbok masuk ke dalam ruang periksa.Tadi di rumah, Irena sampai tergolek lemas tak berdaya di anak tangga terakhir.Rasa sakit di perutnya begitu tak tertahankan.Bercak darah mulai nampak di ujung dress yang dikenakannya.“Nyonya! Tolong!” Si Mbok menjerit panik begitu melihat Irena tak berdaya lagi di lantai.Dengan sigap, sang supir yang merupakan utusan dari keluarga Irena. Menetap sebagai supir di rumah sang anak Tuan Besar. Mengangkat tubuh ringkih Irena dan membawanya ke dalam mobil yang kerap digunakannya.Si Mbok ikut, sebab tangan wanita itu terus digenggam Irena sepanjang jala
“Bagaimana? Apakah ada lowongan?” Fandi menyugar rambutnya. Di tengah kesibukannya, Fandi masih menyempatkan diri mencari pekerjaan untuk Indah.Senyumnya merekah, kala mendapat angin segar dari sang kolega.“Ok, besok aku suruh saudaraku datang ke kantormu. Terima kasih sebelumnya.” Fandi tersenyum.Hatinya bahagia, antara bisa berhubungan kembali dengan Indah ataukah bisa memberi pekerjaan pada sang wanita yang masih membuat hatinya penasaran.[Sore ini Mas ke tempatmu. Jangan ke mana-mana ya. Ada kabar bagus]Begitu pesan yang Fandi kirim untuk Indah.Indah tak membalas, tetapi Fandi tahu jika pesannya sudah dibaca.Sore itu, Fandi meluncur langsung ke tempat di mana Indah berada.Tak banyak yang dibicarakan. Indah dan Fandi lebih banyak diam dan sekedar bicara tentang pekerjaan yang didapat.Setelah sekian lama tak bersama, rasa canggung itu ada.Namun, saat Fandi hendak beranjak pulang. Indah menawarkan makanan yang sudah dia masak.Sebab dirinya tahu Fandi akan memilih ke tempa
Irena terdiam, kala kini dirinya duduk di taman yang ada di rumahnya.Pertemuannya dengan sang suami di pusat perbelanjaan itu membuatnya bersedih.Rasa sakit di perutnya pun menjadi-jadi.Irena memejamkan mata, dirinya mengingat apa yang ustadzah tadi katakan kala di pengajian.“Ingatlah para wanita, Ibu-Ibu calon penghuni Syurga. Ada satu perkara yang mana Allah halalkan tetapi paling Allah benci adalah cerai. Jadi, bagaimana kita menyingkapi hubungan yang sepertinya mustahil bersama? Satu jawabannya, ikhlas dan minta petunjuk dari Allah.”Irena mengusap dada, air matanya mengalir mengingat bagaimana suaminya memilih mengantar Indah daripada bersamanya.“Nyonya, ada Nyonya besar.” Si Mbok menghampiri Irena yang duduk di taman.Wanita cantik itu menyeka air matanya dan berdiri kala sang ibu tampak tak jauh darinya.“Mamah,” panggil Irena lirih.Dipeluknya tubuh sang ibu, dirinya ingin sekali menumpahkan semua kegundahan. Sayangnya, dia takut menjadikan hubungannya dan Fandi makin run
“Indah! Lepas! Mas bilang lepas!” Lelaki itu melepas paksa tubuh wanita yang memeluknya erat.Indah hampir hilang kendali, menghujani Fandi dengan c1uman yang memburu. Serta bersiap membuka pakaiannya.“Kau g1la! Istighfar Indah!” Lelaki itu, dengan tegasnya membentak wanita yang hilang akal karena cinta.“Aku seperti ini karena Mas. Aku ingin bersamamu … hingga akhir nanti. Hanya kamu yang mengerti aku, Mas!” Indah menangis tersedu-sedu.Siapa sangka, pagi itu sudah membuat keduanya runyam.Lama keduanya terdiam, hingga Indah menyeka air matanya dan berkata, “Temani aku Mas, temani aku interview lalu jadilah pacarku selama sehari.”“Indah, Mas—”“Hari ini saja Mas, setelah itu … aku akan menjadi Indah yang baru. Demi hidup yang baik dan masa depan yang cerah. Biarkan Mas menjadi pemanis dalam kisah hidupku. Sehari saja Mas, setelah itu … aku tak ingin apa-apa,” mohon Indah begitu memelas.“Baiklah! Sehari ini saja,” sanggup Fandi.Untung saja Fandi sudah menitipkan pekerjaannya pada