Share

PTSI 4

Penulis: Agoes Tie Nae 2
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

Irena amat menyukai musik, jadi jika sedang melakukan sesuatu … musik adalah hal yang akan menemani kegiatannya.

Seperti saat ini, sepulangnya sang ibu. Irena langsung masuk ke kamar dan berdandan cantik, ditatapnya hasil pemeriksaan berupa

USG yang masih samar terlihat. Ternyata, kehamilannya sudah masuk minggu ke delapan.

“Mas, penantian kita di tahun kelima. Akhirnya hadir juga, aku semakin mencintaimu, Mas!” Irena memeluk baju tidur sang suami yang disediakannya.

Memang, saat ini sudah memasuki jam petang. Jam di mana Fandi akan pulang kerja.

“Ah, iya! Ruang kerjanya belum dibersihkan.” Wanita cantik yang selalu mengusap perutnya itu, kini melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.

Irena merapikan, hingga tak menyisakan sebutir pun debu di sana.

Saat dirinya hendak meraih gelas kosong di meja. Irena tak sengaja menyenggol keyboard sehingga komputer itu menyala.

“Lho, apa ini? Yang kemarin ya, penasaran deh. Siapa sih wanita yang mau diceraikan itu?” Jari lentik Irena menggulir mouse dengan lincah.

Hingga tangannya gemetar dan menutup mulutnya sendiri. Bulir bening menetes tak dipinta.

“Ba–bagaimana bisa Mas Fandi, mau menceraikan aku?” Wanita itu terduduk di sana.

Tepat di kursi yang ada di meja kerja sang suami.

Dari data yang terlampir, rupanya file itu sudah masuk ke instansi yang bersangkutan tadi pagi.

“Apa salahku, Mas?” gumam Irena.

Lama wanita cantik itu berdiam diri, menenangkan hati yang terlanjur nelangsa tanpa ada penyebabnya.

Belum lagi, janin yang berkembang di rahimnya … bagiamana bisa Fandi berbuat demikian.

Irena pun meninggalkan ruangan tersebut dan masuk ke kamarnya.

Hasil pemeriksaannya hari ini dimasukkannya ke dalam laci. Tak lagi dirinya ingin memperlihatkan pada sang suami.

Irena ingin mendengar alasan Fandi berniat menceraikannya terlebih dahulu.

Jika itu pasal anak, Irena bahkan sedang hamil. Akan tetapi, jika karena yang lain seperti ….

“Ah, mana mungkin. Mas Fandi setia padaku,” gumam Irena memantapkan hati.

“Mas, segeralah pulang.” Irena menatap layar ponselnya di mana nomor sang suami sedang tak aktif.

“Mungkin sedang di perjalanan, atau habis daya.” Wanita itu mencoba tenang dengan terus berpikir positif.

Padahal saat itu, Fandi tengah makan malam bersama para anak panti di sebuah restoran.

Dia duduk bersama ibu panti dan Indah, dengan mesranya Indah bergelayut manja di lengan Fandi.

Saat yang sama, Rani … adik Irena sedang makan malam bersama pacarnya di sana.

Aksanya menatap tajam pada sang kakak ipar.

“Kenapa wajahmu begitu, Sayang?” tanya pacar Rani.

“Coba kamu lihat di sana, Yang. Apa dua orang yang duduk di samping ibu tua serta anak-anak itu seperti sepasang kekasih? Atau hanya rekan saja?” tanya Rani.

Pacar Rani menyipitkan matanya, “Fix, mereka kekasih. Lihat saja beberapa kali lelaki itu mencium kening si wanita.”

“Kau tahu, dia kakak iparku. Harusnya aku berbuat apa?” tanya Rani geram.

“Jangan gegabah Yang, lebih baik bermain cantik. Foto saja sebagai bukti, supaya nanti tak hanya dikata sekedar omong kosong. Jika dia kakak iparmu, berarti dia suami Mbak Irena dong,” jawab sang pacar.

Rani mengangguk, “Yang, ambil foto mereka. Kalau aku yang ke sana bisa-bisa mereka ngeles lagi.”

“Ok, siap! Apa sih yang gak buat kamu, Yang.” Sang pacar mencium pipi Rani.

Gadis cantik itu menatap dengan tatapan elang yang siap menerkam mangsa.

“Mbak Irena, suamimu bukan lelaki setia. Bagaimana ini, bukankah Mbak dan Mamah tadi pagi pergi ke dokter kandungan karena Mbak yang katanya hamil. Dasar b@jingan! Awas kamu, Mas Fandi!” Rani sampai menitikkan air mata kala mengingat senyum bahagia kakaknya tadi pagi.

Ibunya menjemput Irena lalu mereka singgah ke rumah utama terlebih dahulu sebelum akhirnya sang ibu mengantar anak sulungnya pulang.

*

“Nak Fandi, ibu mewakili Anak-Anak panti mengucapkan terima kasih atas semua perhatian. Malam ini mereka makan enak. Entah ada hajat apa kalian berdua, ibu hanya bisa mendoakan semoga Allah mengabulkan doa kalian,” ucap syukur ibu panti.

“Tentu saja, Bu. Aku dan Mas Fandi tak lama lagi akan menikah. Iya ‘kan Mas?” Indah begitu percaya diri, baginya pengajuan itu sudah menjadi tiketnya bersama Fandi.

Padahal, pria itu sendiri masih gamang. Ada rasa sesal dalam hati melayangkan pengajuan.

Maka dari itu, Fandi tak begitu fokus akan pembicaraan Indah dan ibu panti.

Lelaki itu hanya menganggukkan kepala saja.

Aksanya mengarah ke arloji mahal pemberian sang istri di ulang tahun pernikahan mereka keempat, tahun kemarin.

Pukul setengah tujuh malam, Fandi pun mengajak mereka semua pulang. Terlebih mereka sudah selesai makan.

Rani dan sang pacar menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Mbak Irena,” ucap Rani lirih.

Sang pacar pun mengajak Rani pulang, karena Rani menangis setelah Fandi dan rombongannya keluar.

*

Irena duduk di ruang makan, ditatapnya nanar semua hidangan yang semula tampak menggugah selera.

Tak dapat dirinya pungkiri, hatinya hancur dengan melihat itu semua tanpa menunggu penjelasan Fandi.

Ceklek.

Pintu terbuka dan sosok pria yang dicinta Irena masuk dan memanggil sang istri.

Langkahnya terhenti kala melihat Irena yang kuyu di ruang makan.

“Maaf terlambat, tadi kami langsung makan bersama para atasan. Gak enak kalau pulang duluan ‘kan?” Fandi merasa bersalah, melihat semua makanan tersaji dan belum tersentuh sama sekali.

Tadinya dia hendak menelpon Irena memberitahukan jika dia akan makan di luar. Sayangnya ponsel Fandi direbut Indah begitu tahu akan memberi kabar pada Irena.

Ponsel dikembalikan dalam keadaan tak aktif.

Dikecupnya kening Irena, lalu dirinya duduk di samping sang istri. Diraihnya piring dan diambilnya nasi beserta lauk. Kali ini hanya satu piring dan rencananya akan Fandi makan bersama Irena berdua.

Cara seperti ini biasa ampuh untuk menaklukan Irena yang kerap marah dan mengomel tak henti.

Jika dulu dirinya merasa bising dan tak suka, hari ini dia merindukan suara yang baginya bising itu.

Tatapan mata Irena begitu dalam padanya, ‘Apa ini? Apa Irena tahu aku makan di luar bersama wanita lain? Ah, Indah! Aku sudah memperingatkan dia tadi!’

“Sayang, makan dulu. Mari kita makan bersama,” bujuk Fandi.

Senyumnya merekah kala melihat Irena membuka mulut dan mengunyah nasi yang disuapnya.

Keduanya makan dalam diam hingga nasi di piring habis.

“Mau tambah lagi?” tanya Fandi.

Irena menggeleng, “Segeralah mandi Mas, aku ingin bicara denganmu.”

Nada bicara Irena begitu tak bersemangat, Fandi hapal betul … jika begitu tandanya sang istri sedang bersedih.

‘Apa dia tahu?’ batin Fandi.

Setelah mandi, Irena tetap melayani Fandi seperti biasa. Hanya saja setelah itu, Irena menarik tangan Fandi menuju ke ruang kerja.

Di situ, Fandi langsung didudukkan Irena telat di kursi meja kerjanya.

Klik.

Komputer menyala.

Mata Fandi langsung terbelalak dan mengarah kepada Irena yang sudah berderai air mata di sampingnya.

“Bisakah Mas jelaskan ini? Apa salahku Mas?”

Bab terkait

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 5

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....“Sayang, ini gak—” Fandi meraup wajahnya kasar, napasnya terdengar panjang terhela.“Aku—” Kini ditatapnya Irena yang luruh di lantai sembari memegang perutnya.Andai Fandi tahu, saat ini Irena mengandung anaknya.“Apa kurangku, Mas? Apa karena kita belum punya anak?” Irena mencecar Fandi.Fandi sendiri tak tahu harus berkata apa, sebenarnya rasa sesal itu ada sudah terburu-buru mengajukan permohonan talak tersebut. “Apa karena status sosial kita? Yang menurutmu tak sepadan ini?” Irena terus menduga-duga.Fandi hanya dapat memeluk Irena erat, dirinya berulang kali meminta maaf.“Maaf, sepertinya aku lelah dengan kehidupan kita. Bisa dibilang karena status sosial kita yang berbeda. Aku dan kamu bagai langit dan bumi,” alasan Fandi.“Kenapa kamu gak bertanya sama aku, Mas? Kenapa tak dibicarakan hal seperti ini? Padahal, andai engkau membawa a

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 6

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Hari itu, hidup keduanya terasa kelabu, seperti cuaca pagi ini. Mendung, meski tak pula hujan.Keputusan keduanya adalah kembali bersama, dan Fandi akan mengakhiri semua dengan Indah.“Mas berangkat kerja dulu.” Dikecupnya kening Irena. Di mana sang istri masih berbaring tak bersemangat untuk melakukan aktifitas.Matanya sayu, sembab.Irena mengabaikan panggilan sang suami saat dirinya akan berangkat kerja.Wanita cantik itu terus mengusap perutnya yang rata.“Maafkan bunda, Sayang. Kehadiranmu diiringi tangis pilu bunda.” Irena kembali melow, wanita hamil itu memang sedang sensitif perasaannya.*Fandi menghela napas kala mengetahui Indah yang tak masuk kerja.“Ke mana dia?” tanya Fandi para anak magang lain.Tentunya mereka mengetahui hubungan Indah dan Fandi.“Katanya sih sakit,” jawab sang anak magang itu.Fandi meraup wajahnya kasar, dir

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 7

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi.“Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak.Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya.Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang m

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 8

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA .... Hati wanita mana yang tak terluka, mendapati suami tercinta tengah menenangkan hati wanita lain. Terlebih lagi, wanita itu diperlakukan mesra di depan umum. Sepanjang jalan Irena mencoba tenang, wanita cantik itu berulang kali menyeka air mata yang tak kunjung usai menetes. Sesampainya di kamar, Irena meraung-raung. Tangisnya tak tertahan lagi, wanita itu luruh di lantai hingga meringkuk memeluk dirinya sendiri. “Aku lelah, sudah cukup ini semua. Aku hanya wanita yang terlalu mencintai orang yang tak pernah mencintaiku.” Irena menangis tersedu-sedu. Tak dirinya pedulikan lagi perutnya. Janji temu dengan dokter kandungan pun dilupakan begitu saja. Jika Irena nelangsa, Fandi tak tenang dan ingin segera pergi. Sayangnya tak ada yang menunggu Indah. Akhirnya Fandi menelpon ibu panti dan meminta bantuannya. Sore itu Fandi pulang, ditatapnya

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 9

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....PTSI 9“Mbak!” Rani menatap Irena lekat.Irena tersenyum sembari mengangguk, “Mbak perlu waktu buat tenang dulu, Ran. Jika terus di sini. Mbak bisa gil4.”Rani mengangguk, mengiyakan keinginan sang kakak.Setelah mengatakan tujuannya pergi bersama Rani pada sang pembantu, mana tahu Fandi bertanya.Irena meninggalkan rumah itu bersama sang adik.*“Ren!” Ibu dan ayah Irena menyambut anak sulungnya. Tak banyak tanya, sebab Rani menjelaskan pada sang ibu lewat pesan tadi.“Mah, Irena sementara waktu di rumah dulu. Boleh ‘kan?” Irena sebisa mungkin menaham bulir bening yang sedari tadi hendak berjatuhan membasahi pipi.“Ya gak apa-apa donk. Ini juga rumah kamu, Nak. Kamu lahir dan besar di sini. Ayo, masuk! Mamah menyiapkan makanan kesukaan kamu lho,” ujar sang ibu mencoba menghibur.Tak sedikit pun ayah dan ibu Irena membahas perihal apa yang terj

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 10

    LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....Di panti asuhan, Indah yang kesal karena tak bisa menghubungi Fandi. Kini berteriak dan terus menjerit histeris.“Tenangkan dirimu, Indah! Mungkin saja kekasihmu itu sedang sibuk bekerja. Biaya rumah sakit dan semua yang dia gelontorkan untukmu itu tak sedikit.” Ibu panti mencoba memberi pengertian.“Tidak! Tidak! Dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama istrinya! Dia pasti tengah memanjakan istrinya! Mana janjinya menceraikan wanita itu. Aku sudah lelah menunggu!” Indah meraung histeris. Semua yang ada di dekatnya dilempar sembarang arah.Ibu panti tercengang mendengar penuturan Indah, “Ya Allah Nak. Nyebut Nak nyebut! Istighfar Nak, dia suami orang? Kamu gak boleh mengganggu rumah tangga wanita lain Ndah. Gak boleh, kamu juga wanita. Istighfar Nak!”Indah menangis dalam pelukan ibu panti, “Tapi Indah mencintai Mas Fandi.”“Wanita baik ber

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 11

    Tangan Irena gemetar, dirinya diantar pembantu dan supir ke rumah sakit.“Bu, saya telpon Nyonya Besar saja ya,” usul sang supir.“Jangan! Jangan telepon siapa pun. Berjanjilah! Ini rahasia kita bertiga.” Irena menatap kedua sosok yang kini menatap sendu padanya.Tak lama ponselnya berdering, di sana terpampang jelas nama sang suami yang melakukan panggilan.“Biarin aja Mbok. Bantu saya!” Irena dan si Mbok masuk ke dalam ruang periksa.Tadi di rumah, Irena sampai tergolek lemas tak berdaya di anak tangga terakhir.Rasa sakit di perutnya begitu tak tertahankan.Bercak darah mulai nampak di ujung dress yang dikenakannya.“Nyonya! Tolong!” Si Mbok menjerit panik begitu melihat Irena tak berdaya lagi di lantai.Dengan sigap, sang supir yang merupakan utusan dari keluarga Irena. Menetap sebagai supir di rumah sang anak Tuan Besar. Mengangkat tubuh ringkih Irena dan membawanya ke dalam mobil yang kerap digunakannya.Si Mbok ikut, sebab tangan wanita itu terus digenggam Irena sepanjang jala

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 12

    “Bagaimana? Apakah ada lowongan?” Fandi menyugar rambutnya. Di tengah kesibukannya, Fandi masih menyempatkan diri mencari pekerjaan untuk Indah.Senyumnya merekah, kala mendapat angin segar dari sang kolega.“Ok, besok aku suruh saudaraku datang ke kantormu. Terima kasih sebelumnya.” Fandi tersenyum.Hatinya bahagia, antara bisa berhubungan kembali dengan Indah ataukah bisa memberi pekerjaan pada sang wanita yang masih membuat hatinya penasaran.[Sore ini Mas ke tempatmu. Jangan ke mana-mana ya. Ada kabar bagus]Begitu pesan yang Fandi kirim untuk Indah.Indah tak membalas, tetapi Fandi tahu jika pesannya sudah dibaca.Sore itu, Fandi meluncur langsung ke tempat di mana Indah berada.Tak banyak yang dibicarakan. Indah dan Fandi lebih banyak diam dan sekedar bicara tentang pekerjaan yang didapat.Setelah sekian lama tak bersama, rasa canggung itu ada.Namun, saat Fandi hendak beranjak pulang. Indah menawarkan makanan yang sudah dia masak.Sebab dirinya tahu Fandi akan memilih ke tempa

Bab terbaru

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Season 2 (1)

    Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Ending ss 1

    Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    50

    “Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    49

    Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    48

    Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    47

    “Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    46

    Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri     45. Pengabdian Terakhir Irena Pada Fandi.

    Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    44

    Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per

DMCA.com Protection Status