Share

PTSI 4

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

Irena amat menyukai musik, jadi jika sedang melakukan sesuatu … musik adalah hal yang akan menemani kegiatannya.

Seperti saat ini, sepulangnya sang ibu. Irena langsung masuk ke kamar dan berdandan cantik, ditatapnya hasil pemeriksaan berupa

USG yang masih samar terlihat. Ternyata, kehamilannya sudah masuk minggu ke delapan.

“Mas, penantian kita di tahun kelima. Akhirnya hadir juga, aku semakin mencintaimu, Mas!” Irena memeluk baju tidur sang suami yang disediakannya.

Memang, saat ini sudah memasuki jam petang. Jam di mana Fandi akan pulang kerja.

“Ah, iya! Ruang kerjanya belum dibersihkan.” Wanita cantik yang selalu mengusap perutnya itu, kini melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.

Irena merapikan, hingga tak menyisakan sebutir pun debu di sana.

Saat dirinya hendak meraih gelas kosong di meja. Irena tak sengaja menyenggol keyboard sehingga komputer itu menyala.

“Lho, apa ini? Yang kemarin ya, penasaran deh. Siapa sih wanita yang mau diceraikan itu?” Jari lentik Irena menggulir mouse dengan lincah.

Hingga tangannya gemetar dan menutup mulutnya sendiri. Bulir bening menetes tak dipinta.

“Ba–bagaimana bisa Mas Fandi, mau menceraikan aku?” Wanita itu terduduk di sana.

Tepat di kursi yang ada di meja kerja sang suami.

Dari data yang terlampir, rupanya file itu sudah masuk ke instansi yang bersangkutan tadi pagi.

“Apa salahku, Mas?” gumam Irena.

Lama wanita cantik itu berdiam diri, menenangkan hati yang terlanjur nelangsa tanpa ada penyebabnya.

Belum lagi, janin yang berkembang di rahimnya … bagiamana bisa Fandi berbuat demikian.

Irena pun meninggalkan ruangan tersebut dan masuk ke kamarnya.

Hasil pemeriksaannya hari ini dimasukkannya ke dalam laci. Tak lagi dirinya ingin memperlihatkan pada sang suami.

Irena ingin mendengar alasan Fandi berniat menceraikannya terlebih dahulu.

Jika itu pasal anak, Irena bahkan sedang hamil. Akan tetapi, jika karena yang lain seperti ….

“Ah, mana mungkin. Mas Fandi setia padaku,” gumam Irena memantapkan hati.

“Mas, segeralah pulang.” Irena menatap layar ponselnya di mana nomor sang suami sedang tak aktif.

“Mungkin sedang di perjalanan, atau habis daya.” Wanita itu mencoba tenang dengan terus berpikir positif.

Padahal saat itu, Fandi tengah makan malam bersama para anak panti di sebuah restoran.

Dia duduk bersama ibu panti dan Indah, dengan mesranya Indah bergelayut manja di lengan Fandi.

Saat yang sama, Rani … adik Irena sedang makan malam bersama pacarnya di sana.

Aksanya menatap tajam pada sang kakak ipar.

“Kenapa wajahmu begitu, Sayang?” tanya pacar Rani.

“Coba kamu lihat di sana, Yang. Apa dua orang yang duduk di samping ibu tua serta anak-anak itu seperti sepasang kekasih? Atau hanya rekan saja?” tanya Rani.

Pacar Rani menyipitkan matanya, “Fix, mereka kekasih. Lihat saja beberapa kali lelaki itu mencium kening si wanita.”

“Kau tahu, dia kakak iparku. Harusnya aku berbuat apa?” tanya Rani geram.

“Jangan gegabah Yang, lebih baik bermain cantik. Foto saja sebagai bukti, supaya nanti tak hanya dikata sekedar omong kosong. Jika dia kakak iparmu, berarti dia suami Mbak Irena dong,” jawab sang pacar.

Rani mengangguk, “Yang, ambil foto mereka. Kalau aku yang ke sana bisa-bisa mereka ngeles lagi.”

“Ok, siap! Apa sih yang gak buat kamu, Yang.” Sang pacar mencium pipi Rani.

Gadis cantik itu menatap dengan tatapan elang yang siap menerkam mangsa.

“Mbak Irena, suamimu bukan lelaki setia. Bagaimana ini, bukankah Mbak dan Mamah tadi pagi pergi ke dokter kandungan karena Mbak yang katanya hamil. Dasar b@jingan! Awas kamu, Mas Fandi!” Rani sampai menitikkan air mata kala mengingat senyum bahagia kakaknya tadi pagi.

Ibunya menjemput Irena lalu mereka singgah ke rumah utama terlebih dahulu sebelum akhirnya sang ibu mengantar anak sulungnya pulang.

*

“Nak Fandi, ibu mewakili Anak-Anak panti mengucapkan terima kasih atas semua perhatian. Malam ini mereka makan enak. Entah ada hajat apa kalian berdua, ibu hanya bisa mendoakan semoga Allah mengabulkan doa kalian,” ucap syukur ibu panti.

“Tentu saja, Bu. Aku dan Mas Fandi tak lama lagi akan menikah. Iya ‘kan Mas?” Indah begitu percaya diri, baginya pengajuan itu sudah menjadi tiketnya bersama Fandi.

Padahal, pria itu sendiri masih gamang. Ada rasa sesal dalam hati melayangkan pengajuan.

Maka dari itu, Fandi tak begitu fokus akan pembicaraan Indah dan ibu panti.

Lelaki itu hanya menganggukkan kepala saja.

Aksanya mengarah ke arloji mahal pemberian sang istri di ulang tahun pernikahan mereka keempat, tahun kemarin.

Pukul setengah tujuh malam, Fandi pun mengajak mereka semua pulang. Terlebih mereka sudah selesai makan.

Rani dan sang pacar menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Mbak Irena,” ucap Rani lirih.

Sang pacar pun mengajak Rani pulang, karena Rani menangis setelah Fandi dan rombongannya keluar.

*

Irena duduk di ruang makan, ditatapnya nanar semua hidangan yang semula tampak menggugah selera.

Tak dapat dirinya pungkiri, hatinya hancur dengan melihat itu semua tanpa menunggu penjelasan Fandi.

Ceklek.

Pintu terbuka dan sosok pria yang dicinta Irena masuk dan memanggil sang istri.

Langkahnya terhenti kala melihat Irena yang kuyu di ruang makan.

“Maaf terlambat, tadi kami langsung makan bersama para atasan. Gak enak kalau pulang duluan ‘kan?” Fandi merasa bersalah, melihat semua makanan tersaji dan belum tersentuh sama sekali.

Tadinya dia hendak menelpon Irena memberitahukan jika dia akan makan di luar. Sayangnya ponsel Fandi direbut Indah begitu tahu akan memberi kabar pada Irena.

Ponsel dikembalikan dalam keadaan tak aktif.

Dikecupnya kening Irena, lalu dirinya duduk di samping sang istri. Diraihnya piring dan diambilnya nasi beserta lauk. Kali ini hanya satu piring dan rencananya akan Fandi makan bersama Irena berdua.

Cara seperti ini biasa ampuh untuk menaklukan Irena yang kerap marah dan mengomel tak henti.

Jika dulu dirinya merasa bising dan tak suka, hari ini dia merindukan suara yang baginya bising itu.

Tatapan mata Irena begitu dalam padanya, ‘Apa ini? Apa Irena tahu aku makan di luar bersama wanita lain? Ah, Indah! Aku sudah memperingatkan dia tadi!’

“Sayang, makan dulu. Mari kita makan bersama,” bujuk Fandi.

Senyumnya merekah kala melihat Irena membuka mulut dan mengunyah nasi yang disuapnya.

Keduanya makan dalam diam hingga nasi di piring habis.

“Mau tambah lagi?” tanya Fandi.

Irena menggeleng, “Segeralah mandi Mas, aku ingin bicara denganmu.”

Nada bicara Irena begitu tak bersemangat, Fandi hapal betul … jika begitu tandanya sang istri sedang bersedih.

‘Apa dia tahu?’ batin Fandi.

Setelah mandi, Irena tetap melayani Fandi seperti biasa. Hanya saja setelah itu, Irena menarik tangan Fandi menuju ke ruang kerja.

Di situ, Fandi langsung didudukkan Irena telat di kursi meja kerjanya.

Klik.

Komputer menyala.

Mata Fandi langsung terbelalak dan mengarah kepada Irena yang sudah berderai air mata di sampingnya.

“Bisakah Mas jelaskan ini? Apa salahku Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status