Share

PTSI 3

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

PTSI 3

“Duh, pusing! Kenapa sekarang mudah pusing ya?” Irena yang sudah selesai menata meja makan ditemani sang pembantu, kini masuk ke kamar dan duduk di depan meja rias.

“Pucat sekali aku,” ucapnya lagi.

Baru saja dirinya hendak mengenakan lipstick, tiba-tiba perutnya bergejolak dan Irena bergegas ke kamar mandi untuk muntah.

“Kenapa aku? Apa aku—” Matanya terbelalak dan bergegas membuka kotak obat di dekat wastafel kamar mandinya.

Diraihnya alat tes kehamilan, saat itu … jantungnya berdegup kencang.

“Apa aku hamil? Apa aku hamil?” Berulang kali wanita cantik itu memejamkan mata lalu membukanya kembali untuk memastikan apa yang terjadi.

Tangannya gemetar kala meraih benda tersebut, hingga senyumnya begitu lebar kala melihat garis dua yang artinya dia sedang mengandung.

“Aku kasih tahu Mas Fandi sekarang, apa—” Wanita itu langsung meraih kotak di dalam laci dan memasukkan tespack itu ke dalamnya.

“Besok aku akan ke dokter, memastikan sudah berapa Minggu my baby dalam perutku ini.” Irena seketika tersenyum, raut wajahnya begitu riang.

Rasa mual ditahannya kala bersolek tipis menyambut sang suami.

Pukul delapan malam, Irena masih menunggu. Kebiasaan yang memang menjadi rutinitas Fandi, pulang terlambat.

Andai Irena tahu, saat ini Fandi tengah bersama Indah di panti asuhan. Bermain bersama anak-anak terlantar yang tak memiliki orang tua.

Indah merupakan anak yang tumbuh besar di panti asuhan. Meski sekarang sudah bekerja dan tinggal di sebuah kostan. Indah kerap membawa Fandi menghabiskan waktu di panti.

Ya, hubungan mereka memang tak jauh dari makan malam dan jalan ke panti saja.

Fandi tak mau merusak Indah, terlebih ruang lingkup kota yang begitu sempit. Bisa membuat hubungan dirinya dan Indah bermasalah ke depannya.

Pasalnya, keluarga Irena bukanlah orang biasa.

Fandi juga semula hanya iseng, tetapi semakin ke sini semakin menantang dan tak peduli apa pun lagi.

“Kita pulang yuk,” ajak Indah.

Fandi pun mengantar Indah pulang dan bergegas melesat ke rumah di mana istri tercinta sudah menunggu dengan setia.

Ting tong ….

Irena bergegas membuka pintu saat suara bel rumah berbunyi. Siapa lagi kalau bukan sang suami tercinta yang pulang.

Seperti biasa, Fandi akan dicecar pertanyaan ini dan itu, lalu letak baju yang sembarang serta wajah yang tak dipakaikan skincare membuat omelan Irena membosankan bagi Fandi.

“Mas!”

“Hm!”

Fandi membuang muka.

“Besok antar aku ya, kita ke—”

“Sendiri saja, besok ada survei ke lapangan bersama bos besar. Gak mungkin ditunda,” potong Fandi menolak.

“Oh, oke! Ngomong-ngomong kripik dari Fera enak lho, Mas mau coba?” tawar Irena bersemangat.

“Nanti saja, sekarang kita makan dulu. Lapar.” Suami istri itu bergandengan tangan melangkah turun ke ruang makan.

Irena begitu bahagia, entah sejak kapan wanita ini terlalu cinta pada sang suami. Meski dirinya tak mau ditentang, tetapi perlahan-lahan Irena menjadi wanita yang amat sangat penuh dengan cinta.

Cintanya membuat kewarasan serta kesigapannya berkurang. Irena terlalu percaya pada sang suami.

*

“Dulu kamu gak gini lho Mas, kamu selalu menuruti apa kataku. Sekarang kamu beda!” Saat akan tidur, Irena mulai melakukan triknya agar sang suami mau mengalah.

“Tapi—”

“Tak apa, cuma bos besar doank. Nanti Ayah akan bicara sama bos Mas biar gak kenapa-kenapa. Plis! Temani aku ya?!” Tangan Irena menjelajah ke area yang membuat Fandi tak bisa berpikir.

Andai Irena tahu, Fandi begitu tersinggung dengan perkataan Irena yang menggampangkan pekerjaannya.

Alasan pria itu tak mau bekerja di perusahaan istri dan sang mertua adalah ingin bebas dan tak mau dikatakan kacung seperti prediksi orang lain selama ini.

Fandi ingin membuktikan jika dia bisa berada di tempat sekarang atas kerja kerasnya sendiri tanpa membawa nama istri maupun sang mertua.

Setelah selesai menyenangkan sang istri, Fandi kembali ke ruang kerja dan mengisi lampiran perceraian itu dan siap Fandi ajukan.

Tinggal klik lalu kirim, tetapi tangan Fandi rasanya tak mampu bergerak sama sekali.

Lelaki tampan itu lalu berchatt ria dengan Indah.

Tak dirinya pedulikan saat itu sudah larut malam, dirinya tak dapat tidur dan terus mengeluh pada Indah tentang banyak hal.

[Mas, mau Poto aku saat ini gak?]

[Mau]

Tak lama banyak Poto yang menggairahkan syahwat lelaki yang dikirim Indah.

Dirinya bahkan berpoto bu gil lalu dengan beraninya mengirimkan pada Fandi.

Lelaki itu langsung panas dingin dan berakhir dengan kembali menggarap Irena.

*

Pagi itu, Irena begitu bahagia. Suami tercinta begitu membuatnya melayang dua kali.

Senyumnya tak lekang, terlebih kala melihat Fandi keluar dari kamar dan bergegas menghampirinya di ruang makan.

“Mas hari ini kerja ya. Ada yang penting harus diurus.”

“Lho, kan udah—”

“Sama Mamah aja, biasanya juga ke mana-mana sama Mamah. Nanti malam kita dinner, ok!” Fandi mencium kening Irena lalu langsung meluncur pergi.

Irena hendak marah dan mengomel saat itu, tetapi diingatnya lagi kondisi yang sedang berbadan dua. Marah-marah berdampak buruk bagi si jabang bayi.

“Calm down, ok! Lebih baik memang menghubungi Mamah,” kata Irena pelan.

Dirinya pun menghubungi sang ibu. Mendapat kabar bahagia, ibunya tentu saja bersemangat dan mau menemani Irena.

“Mamah berangkat sekarang,” sanggup sang ibu.

Di tempat lain, Fandi ditemani Indah berada di gedung Pengadilan Agama. Indah meyakinkan Fandi agar tetap teguh pada pendiriannya yaitu menceraikan Irena lalu segera menghalalkan Indah.

Tak butuh waktu lama untuk sekedar mengajukan permohonan talak. Satu jam kemudian Fandi dan Indah sudah keluar dari kantor tersebut, karena sebelumnya sudah membuat janji dengan pegawai di sana.

“Kalau begini, setiap hari kirim Poto polos juga Indah mau kok,” rayu Indah.

“Sudah, jangan begitu. Nanti pas dihalalin biar lebih grerget. Sekarang kita biasa saja, sampai ketuk palu yang mengesahkan Mas sama Irena pisah.” Fandi tetapi fokus berkendara.

Meski Indah merungut karena ditolak mentah-mentah oleh Fandi.

‘Gak salah milih Mas Fandi jadi imam. Dia benar-benar perfect,’ batin Indah.

Keduanya langsung masuk kantor, karena Fandi memang dijadwalkan ke lapangan. Maka dirinya bergegas meluncur tanpa sempat mengecek file yang dia salin semalam di komputernya yang ada di rumah.

Sementara itu, Irena ditemani sang ibu kembali ke rumah.

Ibunya begitu bahagia, sebentar lagi akan memiliki cucu.

Bagaimana tidak, Irena merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Roy dan Rani.

Jika Roy menghandle bisnis Irena, maka Rani masih kuliah.

Tentu saja ini cucu pertama yang ditunggu-tunggu.

“Jangan lupa kasih tahu Umi, mertuamu. Beliau juga patut tahu kabar bahagia ini,” saran ibu Irena.

“Ya Mah, pasti itu. Tapi nanti, setelah Irena kasih tahu Mas Fandi dulu. Tadi dia tergesa-gesa karena ada urusan penting di tempat kerja,” jelas Irena panjang lebar.

Ibunya mengusap pipi lembut sang anak, “Ya, belajarlah untuk mengerti suamimu. Sekarang sudah mau jadi ibu. Harus lebih dewasa lagi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status