Share

PTSI 2 (Dia Yang Lain)

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

PTSI 2

“Apa ini?” Baru saja Irena hendak membuka semua lampiran itu, ponselnya berdering.

“Ya, hallo!” Senyum wanita itu berkembang kala ternyata sang suami yang menelpon.

“Irena, tolong antarkan file yang ada di atas meja kerjaku. Aku butuh untuk meeting siang ini,” tukas sang suami, Fandi.

“Ah, iya! Ini juga lagi bersiap. Kebetulan menyiapkan bekalmu dan ini … apa ini, banyak kertas berserakan. Aku sedang membersihkannya.” Irena memilih memasukkan semuanya ke dalam tas.

“Aku berangkat sekarang, Sayang. Tunggu sebentar lagi,” sanggup Irena.

Panggilan itu pun diakhiri, Irena bergegas turun dan meraih kotak makan untuk sang suami yang sudah disiapkannya.

Wanita itu sudah yakin tampak cantik, penampilannya memang tak perlu diragukan lagi. Cantik, manis, seorang pengusaha sukses, dan memiliki suami yang dia cinta. Hanya tinggal satu yang belum dimilikinya, anak.

Tak butuh waktu lama, Irena sampai ke kantor Fandi tepat sebelum makan siang.

Namun, langkahnya terhenti kala melihat sang suami tengah berbincang dengan gadis muda di kantor itu.

“Siapa dia? Kenapa aku baru melihatnya?” Irena mendekat dan mengusap lembut lengan Fandi. “Mas!”

Senyum di wajah Fandi hilang seketika, berganti dengan raut wajah datarnya yang kini menuntun sang istri ke ruangan kerja.

“Siapa itu? Akrab kayaknya,” sungut Irena.

“Anak magang, dia itu selalu punya banyolan yang bikin para karyawan lain ketawa.” Seulas senyum tampak di wajah Fandi kala membicarakan gadis si anak magang.

“Oh, tapi awas ya Mas. Gak boleh dekat-dekat. Aku gak suka!” Irena memeluk sang suami dari belakang.

“Iya, mana file yang aku minta tadi?” pinta Fandi datar.

Irena mengeluarkannya dari dalam tas.

Bersama lampiran yang dilihatnya tadi.

“Oya, Mas. Ini lampiran siapa? Kamu gak lagi niat ceraikan aku ‘kan?” Irena masih bisa tersenyum dan memeluk suaminya erat.

“Punya teman, dia hanya memintaku untuk menyimpannya saja. Sebab, tak enak sama istrinya yang akan dia cerai,” alasan Fandi.

Andai Irena bisa menangkap, suara Fandi saat itu terdengar gemetar.

“Kasihan sekali, apa masalahnya begitu fatal hingga harus perceraian yang dipilih? Kalau aku tentu saja tidak mau,” ujar Irena.

Fandi hanya tersenyum getir, Irena tak lama sebab dirinya tak ingin mengganggu sang suami bekerja.

Jika karyawan lain ramah pada Irena, lain halnya dengan anak magang tadi. Matanya nyalang menatap Irena.

“Jadi dia, calon mantan istri Mas Fandi,” gumam wanita itu sinis.

*

Saat itu Irena tak pulang, melainkan ke tempat di mana sang adik berada menggantikan posisinya, Roy.

“Tumben, ada angin apa?” tanya Roy.

“Pengen aja, Oya … apa acara masih berlangsung lama setelah mbak pulang?” tanya Irena penasaran.

“Oh, tentu. Mbak gak lihat bagaimana Mamah sama Ayah berdansa, seharusnya Mbak dan Mas Fandi juga berdansa saat itu. Yahhh, susahnya punya ipar sensian,” sahut Roy.

“Jangan gitu ih, Mas Fandi lagi ada meeting aja. Jadi kudu istirahat awal, ini aja kembali lanjut meeting sampai sore katanya,” sanggah Irena pelan.

“Huft, jangan terlalu fokus sama kerjaan donk Mbak, lalu kapan lelaki tampan ini jadi uncle?” canda Roy.

Irena dan Roy tertawa bersama, begitulah saudara kandung yang memang saling menyayangi itu.

Siang itu Irena makan siang bersama sang adik. Mereka bercerita banyak hal. Termasuk perkembangan bisnis yang maju pesat.

*

Di tempat lain, Fandi memandang bekal yang dibawa Irena. Dirinya tak berminat membukanya sama sekali. Hatinya ragu, apakah terus menyelesaikan berkas perceraian itu ataukah membatalkan niatnya.

Saat Fandi bimbang, pintu ruangannya terbuka dan masuklah seorang gadis cantik dan dikuncinya pintu tersebut.

Senyumnya lebar dan menggoda.

Namun, seketika senyumnya pudar kala melihat Fandi termenung hingga tak menyadarinya masuk.

“Pasti gara-gara wanita tadi,” sungut sang gadis.

Langkahnya cepat dan diraihnya bekal di atas meja lalu dibuangnya isi bekal tersebut.

Saat itu, Fandi terhenyak dan baru sadar akan kehadiran sang gadis yang bernama Indah. Gadis magang cantik yang dua bulan ini membuat dirinya mulai memikirkan perpisahan dengan Irena.

“Indah, apa yang kamu lakukan?” Fandi meraih bekal yang kini sudah kosong.

“Mas janji kalau sama aku gak ingat dia. Kenapa sekarang malah termenung begitu saat aku masuk? Mas Inis serius gak sih sama aku?” Indah memukul dada bidang Fandi.

Gegas dipeluknya erat sang gadis, “St, jangan ribut. Kita lagi di kantor. Maaf, mas sedang banyak pikiran.”

“Ayo kita makan siang,” ajak Indah.

Ya, dua insan yang tak harusnya bersama itu. Sudah menjadi rahasia umum di kantor memiliki kedekatan.

Indah yang enerjik dan selalu membuat orang sekitar tertawa dan merasa nyaman. Berhasil membuat Fandi yang kaku menjadi merasa dunIa kembali berwarna.

Dua bulan ini keduanya berhubungan, meski belum sampai tahap yang fatal. Akan tetapi Indah membutuhkan kepastian.

Fandi sendiri merasa hidupnya yang banyak diatur Irena serasa tak bergairah lagi. Terlebih dirinya kerap direndahkan oleh pihak keluarga inti Irena, meski orang tua dan saudara Irena tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Fandi merasa bebas kala bersama Indah dan kini, mulai bimbang untuk mempertahankan rumah tangga bersama Irena.

“Mas, kita makan sama Mas Bagus aja ya?” Indah menarik tangan Fandi untuk duduk bersama rekan kerja lain, Bagus namanya.

“Uhuk-uhuk, yang lagi pacaran. Gak ingat bini di rumah dah, padahal beningnya mau nyaingi artis Korea,” ejek Bagus.

“Ih, Mas Bagus ini … selalu begitu! Iri ya,” balas Indah.

Sedang Fandi sendiri hanya terdiam sembari tak peduli perkataan Bagus.

“Ngapain iri sama yang jalan di jalur setan. Wong enak make bini sendiri. Mana bekalnya tadi, saya lihat Irena bawa bekal. Wah, gak benar ini! Tobat Fan, tobat!” Bagus berlalu, hilang selera makannya dekat dua insan yang sudah putus urat malunya.

Tak sedikit rekan kerja yang menasihati Fandi, tetapi lelaki tampan itu kadung penasaran pada cinta yang ditawarkan Indah.

Membuatnya buta mata dan hati.

Meski begitu, saat melihat lampiran surat pengajuan itu … hati Fandi kembali bimbang.

Saat dirinya bimbang, ponsel Fandi berdering. Senyumnya berkembang kala nama sang adik di kampung tertera di sana.

“Halo, assalamualaikum.” Suara khas keibuan yang lemah lembut membuat Fandi merasa tenang.

“Wa’alaikumsalam, Umi. Tumben menelpon,” jawab Fandi.

“Ini, Umi mengirim keripik pisang dan kripik ubi buat Nak menantu. Sebenarnya itu dari Fera, karena merasa terbantu sekali dengan dana yang istrimu berikan. Kalau tak begitu, entah bagaimana kehidupan Fera sama Wisnu sekarang. Tolong sampaikan rasa terima kasih Umi ya Nak pada istrimu. Katakan juga kalau kemari nanti Umi buatkan istrimu kue donat kesukaannya,” jabar sang ibu Fandi.

Setelah panggilan diakhiri. Fandi hanya bisa mengusap dada dan menyimpan kembali lampiran itu ke dalam laci meja kerjanya.

“Sepertinya aku harus pikir-pikir lagi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status