Mentang-mentang status saudara, jadi ... mau apa-apa minta! Maunya selalu gratisan! Ngambil barang orang sesuka hati tanpa izin. Jangan uji kesabaran seseorang karena sabar itu ada batasnya!
Lihat lebih banyak"Mbak An! Mbak Ana!" teriak Sri. Ia tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Tanpa basa-basi ataupun izin, wanita itu nyelonong masuk ke dalam rumahku hingga menghampiriku yang sedang berada di dapur.
Sungguh tidak sopan! "Ada apa Sri?" ucapku ketus pertanda tidak suka dengan sikapnya. "Mbak ada cabe ndak, Mbak? Aku minta dikit," ujarnya seraya membuka pintu kulkasku tanpa izin. Mataku melotot melihat sikap beraninya itu. "Kamu jadi orang gak sopan banget sih, Sri. Main buka-buka aja tanpa izin!" tegurku. "Ya ampun, Mbak. Sama sepupu sendiri aja, pakai izin-izin segala," sahutnya tanpa rasa bersalah. Mataku mendelik melihat tangan gembulnya yang lincah memindahkan hampir setengah cabe yang kumiliki ke dalam plastik asoy yang dia ambil dari bawah meja. "Eh ... Sri, kamu minta apa merampok?! Itu kok diambil setengah!" tanyaku tidak terima. Baru kemaren aku membeli cabe yang beratnya sekilo itu dan baru aku masak sedikit semalam, itupun hanya untuk membuat sambal Mas Wahyu, suamiku. "Ya elah, Mbak. Cabe Mbak kan banyak, tinggal beli lagi napa? Sama saudara gak boleh pelit-pelit, Mbak!" ujarnya tak tahu malu. Darah ini serasa mendidih mendengar ucapannya itu. Ingin rasanya, semua cabe itu kusumpal kedalam mulutnya itu! "Kamu juga kalau minta yang tahu diri dikit, dong! Hidup itu modal, jangan cuma minta-minta doang! Udah sana, pulang kamu!" usirku kesal. Kudorong punggung wanita dengan body bohai itu, keluar dari rumahku. Jika lama-lama dia di sini bisa-bisa semua isi rumahku dia jarah. "Mbak ngusir aku? Mbak, jadi orang kok pelit banget, sih! Baru sekedar cabe juga." Aku mencebikkan bibirku, "Walau cuma cabe, itu beli! Sri Widiastuti! Bukan minta seperti kamu, lagian suamimu, kan kerja. Ya ... beli dong! Jangan seperti tikus yang selalu menggrogoti dapur orang!" Kulihat mata sri melotot, menatapku tak suka. Biar saja, memang kenyataannya seperti itu. Jika dia minta sekali-sekali mungkin aku tidak akan seberang ini. Ini ... hampir setiap hari dia meminta ke rumahku dari cabe, bawang, tomat, lauk serta hal-hal remeh hingga hal penting lainnya dan terkadang pernah dia meminjam koleksi tubbelwareku yang pada akhirnya tidak tahu lagi ada di mana. Awal-awalnya aku memberikan karena kupikir sesama saudara. Namun, lama kelamaan aku jengah juga dengan caranya. "Mbak, jadi saudara itu gak boleh pelit! Biar rezekinya lancar terus. Lagipula, gaji suamiku kan ... gak sebesar gaji suami mbak, apa lagi mbak juga gak punya anak kecil seperti aku. Gak beli perlengkapan susu dan Pampers, jadi wajar dong aku minta sedikit sama mbak. Lagi pula Mas Hadi kan adiknya Mas Wahyu," dalihnya Sri seraya berlalu pulang ke rumahnya. "Loh ... masalah pengeluaranmu besar itu bukan urusanku, gaji suamimu kecil memangnya salahku? Dasar gemblong!" Sahutku ketus seraya menutup pintu, lalu menguncinya. Hati ini rasanya kesal sekali, ingin rasanya kubelah otaknya itu dan mengintip isi yang ada di dalamnya. Ya ... Allah, kok ada manusia seperti itu, hobby jadi benalu untuk orang lain. Aku menyesal lupa mengunci pintu tadi, akhirnya cabeku lenyap hampir setengah kilo. Mana harga sekilo 60 ribu tadi. Ya Tuhan ... apes! Apes! Rumah yang kutempati ini adalah rumah sebuah yang dibelah dua, hampir mirip rumah bedengan petak dua tapi permanen, sehingga suara Yang ada di sebuah tidak kedengaran orang yang tinggal di sebelahnya karena full tembok. Aku dan Mas Wahyu sudah menikah selama dua tahun, tapi kami baru mengontrak di sini satu tahun yang lalu. Setelah itu, tujuh bulan kemudian menyusul adik sepupunya Hadi ikut mengontrak di sebelahku. Kerena Hadi bekerja di tempat kerja yang sama dengan suamiku, di rumah makan ujung simpang sana. Biar enak ada yang nemenin katanya! Tapi kenyataanya, hidupku yang sengsara. Mereka yang hemat aku yang tekor kalau gini namanya. ~ ~ ~ "Mas, saudaramu itu kebangetan banget jadi orang! Kalau gini, lama-lama pengeluaranku jadi bengkak!" aduku pada mas Wahyu, malam saat dia sudah pulang. Kami sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Kubuatkan imamku itu secangkir kopi dan sepiring kecil pisang goreng garing kesukaannya. Mas Wahyu menyeruput kopi itu dengan nikmat, lalu meletakkannya kembali diatas meja. Dia tersenyum manis menatapku. "Memangnya ada masalah apalagi sih, Dek? Sampai wajah istri Mas yang cantik ini jadi kusut?" tanyanya yang tak lupa diselingi rayuan receh. "Istri adik sepupumu itu, hampir setiap hari jarah isi kulkas Adek. Ada saja yang di pintanya setiap hari. Dari cabe, bawang, dan yang lainnya. Mana kalau minta gak pernah mikir, hampir semuanya ia ambil, aku kan ... nyetok isi kulkas biar hemat! Kalau ginikan, jadi boros! Aku gak bisa nabung untuk buat rumah kita nanti," jawabku sewot padanya. Nafasku naik turun karena emosi, mengingat apa yang terjadi terhadap isi dapurku. Mas Wahyu menghela napas berat, "Mas bingung harus komentar apa, sayang. Lain kali kamu kunci aja pintunya, biar dia tidak masuk-masuk seenaknya. Lagi pula Mas gak enak negur Hadi tentang tingkah laku istrinya. Kamu tahu sendiri suami-istri itukan satu hati. Sama saja tingkahnya!" "Terkadang aku lupa, Mas. Lagi pula kenapa kita tidak pindah saja dari kontrakan ini, sih, Mas? Lama-lama aku gak betah kalau bertetanggaan dengan sepupumu itu." "Percuma kita pindah, Dek. Toh ... pada akhirnya mereka juga bakalan ngintilin lagi di sebelah kita. Lagi pula cuma rumah ini yang kontrakannya murah dan fasilitasnya bagus, mana dekat dengan tempat kerja, Mas," jelas Mas Wahyu. Aku menganggukkan kepala, apa yang dikatakan suamiku itu ada benarnya juga. Pria tinggi putih itu menarik pinggangku yang ramping agar berada di dekapannya. Lalu mencium pipiku dengan mesra, membuat wajahku merona. "Apaan sih, Mas?" tanyaku malu. Tanpa berbasa-basi sebagai seorang istri aku sudah tahu apa maksud dari tindakannya itu. "Masalah tetangga sebelah, Mas pasrahkan sama kamu! Mas yakin, istri Mas yang cantik ini pasti bisa mengatasinya. Tapi malam ini kamu punya tugas penting, sayang. Mengatasi adik kecil Mas yang sudah mulai berontak," ujar Mas Wahyu yang sedikit vulgar di telingaku. "Ishhh ... apaan sih, Mas. Bini lagi cerita eh ... malah bahas yang lain," ujarku sok jual mahal. Kupandangi mata suamiku yang mulai menghitam dipenuhi kabut gairah. "Kan Mas udah bilang, Mas pasrah aja sama apa yang kamu lakukan pada mereka. Ayo dong, sayang! Siapa tahu malam ini jadi dedek, jadi kamu gak kesepian di rumah!" pintanya. "Ya udah, ayo!" sahutku malu-malu. Aku berdiri beranjak menuju kamar yang disusul Mas Wahyu dari belakang. Kulihat pria itu nyengir kegirangan, seperti anak kecil yang di berikan lolipop. Dasar! Namun tak apalah, menyenangkan suami itu kan ibadah. Tapi menyenangkan tetangga yang tak tahu diri itu baru bodoh. Awas saja kamu ya, Sri. Lihat saja apa yang aku balas padamu nanti.Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati
"Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit
"Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h
Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S
Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya
Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa
Acara makan siang kami yang harusnya santai menjadi tak mengenakkan. Mas Wahyu tampak kesal dengan apa yang di lihatnya barusan. Sementara Hadi tampak canggung di seberang sana dengan posisi yang telah kembali seperti semula. "Mas, kita pulang saja yuk. Makanannya juga sudah habis," ajakku. Niat hati masih ingin berlama-lama sambil menikmati view kolam ikan dan teratai kini pupus sudah. Mas Wahyu mengangguk. Kami keluar dari pondok kemudian menapaki jembatan anyaman bambu selangkah demi selangkah. Setelah membayar makanan di kasir, aku dan Mas Wahyu pun masuk ke dalam mobil. Suamiku tampak tengah memandangi ponselnya sejenak, raut wajah itu pun berubah semakin masam. "Ada apa Mas?" tanyaku yang tengah menarik sabun pengaman untuk melingkar ke badanku. "Kamu lihat sendiri, Dek."Mas Wahyu menunjukkan layar ponselnya padaku. Terlihat sebuah pesan chat masuk dari lelaki yang membuat kami kaget di pondok tadi. Pesannya berisi tentang permintaan untuk mengabaikan apa yang baru saja ka
Pov. AnnaPagi ini aku melihat Mertuanya Sri datang ke rumah mereka setelah Mas Wahyu memberi kabar tentang pertengkaran Sri dan Hadi. Sebenarnya aku kasihan melihat Sri dalam kondisi wajah bengkak seperti tadi malam. Tapi balik lagi semua ini karena ulahnya sendiri. "Sebenarnya semalam gara-gara apa mereka ribut, Mas?" tanyaku pada suamiku untuk memulai obrolan kami di pagi hari ini. Hari ini Mas Wahyu ambil cuti kerja. Dia menemaniku duduk santai di ruang tamu sambil sesekali mataku mengintip ke arah rumah Sri dari balik hordeng jendela. "Katanya Hadi ketahuan selingkuh, kepergok Sri mereka keluar dari hotel.""Astaghfirullah," ucapku istighfar seraya menutup mulut karena tak percaya. Hadi memang sifatnya tak dapat dipercaya dan curang tapi tak kepikiran juga kalau dia sanggup untuk selingkuh. Secara selama ini dia terlihat begitu menuruti segala keinginan Sri."Terus Mas?" tanyaku meminta Mas Wahyu melanjutkan lagi ceritanya. Aku begitu penasaran dan kalau bisa jangan sampai me
Pertengkaran diantara kami semakin memanas hingga tak ditemukan kata tenang. Mas Hadi dan Tika terus menyalahkanku, sementara aku tentu saja tak terima di salahkan. Bukannya memang tugas seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Jika pada akhirnya si istri berhutang di luaran sana itu berarti si suami yang tak bisa memenuhi kebutuhan istrinya. "Sudah! Sudah! Mama tambah pusing mendengar kalian semua. Tak ada satupun yang mau mengalah. Jika terus saja saling jawab menjawab, kapan masalah ini berakhir," sentak Mertua yang tak lagi tahan dengan kebisingan ini. Kini dia menatap mataku intenst. Ada pancaran tak suka dari tatapan matanya. Ya ... sebaik apa pun mertua tetap saja saat terjadi pertengkaran dia pasti akan membela anaknya. Entah itu secara halus atau terang-terangan. "Kamu juga, Sri. Tugas suami memang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, tapi kamu sebagai istri juga harus tahu diri. Jangan mengikuti ukuran sepatu orang lain dan inilah hasilnya," lanjutn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen