"Pa, Mbak Ana kebangetan banget hari ini, Pa!" aduku pada Mas Hadi.
Mas hari sudah beberapa waktu yang lalu sampai di rumah, dia sudah mandi juga. Jadi aku bisa santai bercerita dengannya. Mas Hadi tampak menarik bantal lalu meletakkannya di balik punggung untuk bersandar. Mengambil posisi ternyamannya di atas ranjang ini. Sedangkan putriku, Biba. Sudah tertidur lelap di sebelahku. "Memangnya ada apa dengan Mbak, Ana?" tanya suamiku acuh. "Mbak Ana gak seperti dulu lagi, Pa. Dia berubah drastis, sekarang dia pelit! Tadi pagi aja, gak biasanya kulkas dia kosong. Terus ... tadi sore Mama cium Mbak Ana masak rendang, Pa. Pas Mama ke rumahnya, pintunya gak dibukain sama Mbak Ana. Pelit banget kan, Pa!" jawabku. Mas Hari terlihat menghela napas berat. "Papa juga bingung, di tempat kerja Mas Wahyu juga berubah. Dia tidak seperti biasanya yang selalu bantu kerjaan Papa. Sekarang dia lebih cuek, jadinya Papa kena marah bos terus kerena ketahuan santai di jam kerja. Biasanya, kan, Mas Wahyu yang gantiin kerjaan Papa kalau Papa sedang tidur." Aku terdiam mendengar ucapan Mas Hadi, aneh ... kenapa suami-istri itu begitu kompak berubahnya. Kalau begini kan jadi susah, bisa-bisa gaji Mas Hadi hanya cukup untuk makan. Aku gak bisa lagi nabung dan itu artinya impian kami untuk memiliki rumah baru akan gagal. Nggak, ini gak boleh terjadi. Aku harus memikirkan cara agar aku bisa mengambil keuntungan lagi dari Mbak Ana. "Oh ... ya, Ma. Jadi rencananya kamu beli emas, kamu beli berapa gram?" tanya suamiku. Aku mengalihkan pandangan padanya. Aku dan suamiku sepakat untuk menabung dalam bentuk emas, selain bisa dipakai untuk pamer menaikkan gengsi, juga bisa cepat dicairkan dalam bentuk uang jika dibutuhkan dalam keadaan mendadak. "Jadi Pa, tadi aku beli logam mulia seberat tiga gram," jawabku dengan senyum bahagia mengingat sekarang aku bisa memiliki kepingan mahal itu. "Loh! Kok dibeli logam mulia sih, Ma? Lusakan pesta nikahnya Ratna, anaknya Bu'de Ratmi. Seharusnya kamu beli perhiasan gelang atau cincin gitu. Biar bisa kamu kenakan saat acara agar kamu terlihat cantik dan kita dianggap mapan! Papa yakin di sana pasti banyak sanak keluarga yang ngumpul," sahut suamiku cepat. Aku menepuk dahiku dengan pelan, aku lupa tentang hal itu. "Kamu benar juga ya, Pa. Mama lupa akan hal itu, Mama pikir karena untuk tabungan jadi Mama ambil aja yang berbentuk logam, soalnya penjual di toko emas bilang lebih untung untuk investasi." "Terus sekarang gimana?" Mas Hadi terlihat menghela napas panjang. "Mau gimana lagi, kan, sudah terlanjur dibeli juga. Gak mungkin Mama jual sekarang, kan, rugilah! Lagi pula Mama masih punya gelang dan cincin Yang Mama beli bulan kemaren, itu aja dipakai," jawabku pasrah. Mau gimana lagi, barang sudah terlanjur dibeli. "Terserah kamu lah, Ma, yang penting jangan bikin malu Papa di depan keluarga Papa nanti!" Mas Hadi menggeser tubuhnya dan menarik selimut, mulai memejamkan mata dan terlelap di alam mimpi tanpa memperdulikanku. ~ ~ ~ Keesokan paginya tak ada bahan yang bisa kumasak untuk sarapan suamiku pagi ini. Uang yang kumiliki pun juga sudah menipis, mana cukup untuk ke kondangan tempat Bu'de Ratmi besok. "Loh ... Ma, mana sarapannya? Kamu gak masak?" tanya Mas Hadi yang sudah rapi dengan seragam berlogokan nama rumah makan tempat dia bekerja. "Gak ada bahan, Pa. Bahan yang diambil dari rumah Mbak Ana juga sudah habis. Mana Mama gak pegang uang lagi, Pa. Besok ke tempat Bu'de Ratmi Mama gak ada uang," keluhku pada Mas Hadi. Berharap dia mengerti dan memberikan aku uang tambahan. "Ke tempat Bu'de Ratmi gak usah pakai uang, uangnya juga sudah banyak. Buktinya dia mengadakan pesta besar-besaran. Nanti pulangnya kamu bawa aja lauk-pauk yang banyak, kan lumayan! Kalau soal uang untuk pegangan kita, tenang! Nanti Papa pinjam sama seseorang," jawab Mas Hadi dengan senyum simpul di bibirnya. "Minjam? Harus di kembalikan, dong?" "Ngapain dikembalikan, rugi banget!" "Memangnya Papa mau pinjam sama siapa?" tanyaku bingung. Namanya meminjamkan pasti harus kembalikan, beda lagi kalau minta. "Itu, sama tetangga sebelah," jawab suamiku sambil menunjuk ke sebelah dengan dagunya, membuat kami berdua tertawa cekikikan. Mas Hadi, kan, adik sepupunya Mas Wahyu, jadi wajar saja jika kami menikmati sedikit jerih payahnya. Toh ... mereka juga tidak hidup kekurangan, kan. Bukannya sesama saudara itu harus saling tolong menolong, supaya rezeki yang kita miliki berkah. ~ ~ ~ Setelah Mas Hadi berangkat kerja aku kunci pintu depan dengan rapat lalu masuk ke dalam kamar, sedangkan Biba asik menonton kartun kesukaannya di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Kubuka lemari kayu dua pintu yang ada di kamarku, rumah petak ini berukuran 6 x 12 meter yang terbagi atas tiga ruangan. Dengan ukuran kamar 4 x 3 meter, cukup luas untuk standar rumah kontrakan dengan harga murah. Rumahku sangat jauh berbeda dari rumah Mbak Ana yang penuh dengan perabot lengkap. Terkadang aku iri melihat isi rumahnya yang semuanya ada, entah kapan aku bisa memiliki semua itu. Mas Hadi suamiku tidak serajin Mas Wahyu, itu sebabnya hingga detik ini gaji yang dia miliki tidak ada peningkatan, masih bersyukur dirinya tidak dipecat karena sifat malasnya. Kupandangi dua buah perhiasan yang aku pasangkan ditanganku ini, setelah sekian lama berhemat akhirnya aku bisa memiliki benda ini. Sungguh tampak cantik sekali! "Ahh ... kalau Mbak Ana pelit begini, bisa-bisa gak nambah perhiasan di badanku, mana cucian juga udah numpuk! Huh ... tapi aku coba saja ke samping, siapa tahu Mbak Ana sudah nggak pelit lagi seperti kemaren, lumayan sabun gratis!" Dengan semangat kupunguti semua baju kotor milik kami. Lalu memasukkannya ke dalam tas ransel besar dan Bergegas ke rumah sebelah. Biasanya jam segini mbak Ana pasti lagi masak, lumayan bisa dapat lauk gratis juga! Enaknya punya rumah dua, apa-apa tinggal pakai dan ambil. "Biba, Mama tempat Bu'de Ana, ya. Biba di rumah aja nonton, kalau ada apa-apa panggil Mama di sebelah!" pesanku pada putri kecilku. Tak ada sahutan darinya, kecuali kepala kecil itu bergerak manggut-manggut tanda mengerti. Sepertinya dia masih asik dengan kartun kesayangannya itu. Hewan laut berbentuk spons berwarna warna kuning dengan sahabatnya berbentuk bintang berwarna merah muda beserta bos mereka yang berbentuk kepiting. Entah kenapa aku tak suka dengan kepiting tersebut, pelit dan hobby mencapit gaji karyawannya.Pov. Ana Hari ini cuaca pagi sangat cerah, secerah hatiku yang sedang bahagia. Bahagia karena baru saja mendapatkan jatah uang belanja tambahan dari suami tersayang. Aku mencuci piring sambil bersenandung riang, memang benar kata orang tua. Jika hati riang semua pekerjaan terasa ringan dikerjakan. Kebetulan sisa rendang semalam masih ada, jadi aku tidak masak lagi hari ini. "Mbak! Mbak Ana!" Panggil Sri sambil mengetuk pintu rumahku. Aishhh ... baru saja aku merasakan ketenangan, justru sekarang si pengacau sudah nongol aja pagi-pagi begini! Bikin hilang Mood. Malas rasanya membukakan pintu untuknya. "Mbak ... Mbak Ana! Buka pintunya Mbak!" teriak wanita itu lagi. Aku yang masih mencuci piring jadi terpaksa dengan cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piringku yang tinggal dua buah lagi. Dengan langkah yang malas aku menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Aku gak mau Sri menyelonong masuk lagi ke dalam rumahku seperti yang sudah-sudah. "Ada apa? Pagi-pagi udah heboh di ruma
"Ada apa sih, Mbak? Ngamuk-ngamuk depan rumah orang seperti kesetanan?" sahut Sri kaget setelah dia membukakan pintu untukku. Nafasku naik turun, sorot mataku menatapnya tajam. Dada ini sudah dipenuhi amarah yang selama ini aku kumpulkan dan siap meledak seperti bom waktu. "Kembalikan kotak yang berwarna hitam itu padaku, sekarang juga!" "Kotak apa yang Mbak maksud? Aku tak mengerti?" tanya Sri dengan wajah polosnya.Seolah-olah dia tidak tahu, tapi sorot matanya yang tak berani menatapku secara langsung serta ekspresinya yang gelisah cukup membuatku semakin yakin bahwa dialah yang mengambil barangku tersebut."Jangan pura-pura tidak tahu, Sri! Kembalikan kotak itu sekarang juga, cepat!" perintahku lagi semakin lantang padanya.Mata Sri mendelik tidak suka mendengar suaraku yang terus meninggi ditambah banyak mata yang tengah menyaksikan pertengkaran kami. "Aku beneran gak tahu, Mbak. Jangan asal menuduh orang sembarangan, deh! Lagi pula cuma kotak yang berisi jam tangan saja, Mba
Setelah satu jam keributan hebat yang terjadi diantara aku dan Sri tadi. Kini giliran aku mendengar suara Mas Wahyu di luar.Aku buru-buru buka pintu, telingaku seperti mendengar suara perdebatan panjang antara suamiku dan adik sepupunya itu. Kenapa Mas Wahyu pulang secepat ini? Ada apa sebenarnya? Apa Sri mengadu pada suaminya itu? Tapi, ya terserahlah ... aku yakin Mas Wahyu cukup bijak untuk menempatkan posisi antara keluarga dan istrinya ini.Aku juga yakin dia pasti membelaku, karena memang aku tidak salah, kok!Benar saja, saat pintu terbuka aku melihat perdebatan antara suamiku dan Mas Hari serta Sri yang sudah berurai air mata. Aku memutar bola mataku malas, drama apa lagi yang di lakukan wanita licik ini.Mas Hadi memandangku tajam dengan wajah yang tampak memerah."Kita bicarakan ini di dalam rumah saja, tidak enak dilihat tetangga!" ajak mas Wahyu.Aku memindai pandanganku ke sekeliling, dan benar saja, tampak tetangga yang telah bubar kini mulai muncul satu-persatu meman
"Mas, kamu dan Mas Hadi kok hari ini pulang cepat?" tanyaku karena masih penasaran.Sekarang kami sedang duduk santai sambil menonton tv. Mulut Mas Wahyu tak berhenti mengunyah kue bawang yang kubeli secara online sore tadi. Ia menoleh padaku sekilas.Aku heran, diusia setua ini suamiku masih suka menonton kartun kucing dan guguk berkelahi. Terkadang dia sampai tertawa terbahak-bahak sendiri. Sungguh tidak cocok dengan tubuh dewasa yang kekar itu."Sebenarnya Mas tidak berniat. Saat Mas melihat Hadi menerima telpon dari Sri dengan wajah penuh emosi. Jadi Mas meminta izin untuk pulang cepat, gak mungkinkan Mas membiarkan istri Mas sendirian," jelasnya. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya mengunyah kue bawang itu."Terus apa yang Mas tunjukkan sama mereka, kenapa wajah mereka langsung terdiam begitu?" cercaku masih dengan mode penasaran. "Vidio. Kalau kami mau lihat, lihat saja di galeri gawai, Mas, tapi jangan di hapus!" ujar Mas Wahyu memperingati."Kenapa memangnya, Mas?" tanganku
"Eh ... Ada Ana, kapan sampai An?" sapa Mbak Eka kakak Iparku, istri Mas Andra kakaknya Mas Wahyu.Ketika aku baru saja bergabung di halaman belakang tempat mereka yang sedang memasak.Mbak Eka duduk bersama ibu-ibu serta saudara yang lain, duduk membuat lingkaran kecil yang tengahnya berisi sayur-sayuran, seperti buncis dan wortel yang akan dibersihkan dan dipotong-potong."Baru saja, Mbak. Oh ... ya, si kembar mana, Mbak?" ujarku ramah. Mbak Eka memiliki tiga orang anak, anak pertamanya perempuan berusia 7 tahun sedangkan anak keduanya kembar laki-laki berumur 5 tahun."Mereka pasti sedang main di depan sama teman-temannya, sini, An. Duduk samping Mbak! Sekalian ini kamu cicipi jenangnya. Enak benget deh, An." Aku duduk pada bangku kecil yang ada di samping mbak Eka, Mbak Eka menyodorkan sepiring jenang padaku. Aku mengambil sepotong dan mencicipinya, memang benar apa yang dia katakan, jenang ini begitu lembut dan legit serta manisnya pas membuat rasanya semakin enak.Kakak Iparku
Pukul sembilan pagi, aku dan Mas Wahyu sudah tiba di rumah Bu'de Ratmi kembali. Mas Wahyu mengambil cuti kerja selama dua hari dan Alhamdulillah bosnya mengizinkan. Lagi pula selama ini suamiku juga tidak pernah libur kerja kecuali dia sakit.Saat kami tiba suasana di ruangan tengah sudah ramai karena sebentar lagi akan diadakan ijab kabul pernikahan Ratna. Aku duduk bersebelahan dengan Mama dan Mbak Eka barisan dekat jendela.Mataku memindai setiap sudut ruangan mencari sosok seseorang yang sebenarnya paling malas aku temui. Aku pikir wanita itu sudah pergi duluan, tapi batang hidungnya tak jua tampak sedari tadi. "Sah!" ucap pak penghulu yang di jawab serentak oleh para saksi. Do'a-do'a di kumandangkan untuk kebahagiaan kedua mempelai. "Assalamualaikum! Maaf saya terlambat," ujar seseorang memberikan salam. Sontak kami semua menjawab salam itu sambil menoleh kearah suara yang aku yakini itu adalah Sri. Nyaris saja aku menjatuhkan rahang bawahku saat melihat sosok Sri yang baru
Semenjak kejadian di pesta Bu'de Ratmi, tingkah Sri semakin menjadi-jadi. Membuat emosiku dalam masa kehamilan ini yang seharusnya naik turun menjadi naik dan tidak turun-turun. Hebatnya lagi dia hanya akan melakukan semua keisengan itu disaat Ibu mertuaku tidak datang berkunjung ke rumahku. Jika ada Ibu mertuaku, Nenek sihir itu akan langsung berubah menjadi malaikat tanpa sayap yang polos tanpa dosa.Cih ... sungguh ratu drama!Baru saja aku membuka pintu setelah lelah beberes dapur, mataku langsung terbelalak tak percaya. Aku yakin sekarang wajahku sedang memerah seperti tomat karena saking kesalnya melihat teras rumahku berantakan lagi. Aku yakin sekali semua ini perbuatan manusia edan yang ada di samping rumahku ini."SRI ... SRI WIDIASTUTI!" teriakku histeris. Bayangkan saja, sepagi ini aku sudah harus nyapu teras depan rumahku sebanyak tiga kali. Sampah plastik jajan dari berbagai merk serta pasir bertebaran di depan teras membuat rumahku terlihat kumuh.Pucuk dicinta setan
Seperti biasa setiap minggu, di hari Jum'at selalu diadakan acara wirid Ibu-Ibu di komplek sini. Aku termasuk anggota yang aktif datang dalam pengajian ini, dari pada aku tidur saja di rumah, kan tidak berfaedah.Setiap anggota akan bergiliran untuk mengadakan acaranya wirid di rumahnya, dan kali ini acaranya jatuh di rumah Bu Susi. Bu Susi tinggal di rumah yang berada beberapa blok dari rumahku. Bu Susi orangnya baik, dan ramah membuat semua ibu-ibu wirid pengajian menjadi suka padanya.Aku mematut diriku di depan cermin, memakai gamis biru tosca yang simple dipadu dengan jilbab plisket warna abu-abu membuat tampilanku terlihat manis. Sedangkan untuk make up, aku hanya menggenakan cushion dari brand yg cukup ternama under 300 ribu dan memoles lipt tint sedikit di bibir agar tidak tampak pucat.Setelah kurasa patut dengan penampilanku, tidak norak dan tidak ngejreng karena ini mau pergi wirid bukan pergi ke kondangan, ye!Aku melangkah kaki keluar, mengenakan sendal lalu mengunci pint