Share

4. Mulai beraksi kembali.

"Pa, Mbak Ana kebangetan banget hari ini, Pa!" aduku pada Mas Hadi.

Mas hari sudah beberapa waktu yang lalu sampai di rumah, dia sudah mandi juga. Jadi aku bisa santai bercerita dengannya.

Mas Hadi tampak menarik bantal lalu meletakkannya di balik punggung untuk bersandar. Mengambil posisi ternyamannya di atas ranjang ini. Sedangkan putriku, Biba. Sudah tertidur lelap di sebelahku.

"Memangnya ada apa dengan Mbak, Ana?" tanya suamiku acuh.

"Mbak Ana gak seperti dulu lagi, Pa. Dia berubah drastis, sekarang dia pelit! Tadi pagi aja, gak biasanya kulkas dia kosong. Terus ... tadi sore Mama cium Mbak Ana masak rendang, Pa. Pas Mama ke rumahnya, pintunya gak dibukain sama Mbak Ana. Pelit banget kan, Pa!" jawabku.

Mas Hari terlihat menghela napas berat. "Papa juga bingung, di tempat kerja Mas Wahyu juga berubah. Dia tidak seperti biasanya yang selalu bantu kerjaan Papa. Sekarang dia lebih cuek, jadinya Papa kena marah bos terus kerena ketahuan santai di jam kerja. Biasanya, kan, Mas Wahyu yang gantiin kerjaan Papa kalau Papa sedang tidur."

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Hadi, aneh ... kenapa suami-istri itu begitu kompak berubahnya. Kalau begini kan jadi susah, bisa-bisa gaji Mas Hadi hanya cukup untuk makan.

Aku gak bisa lagi nabung dan itu artinya impian kami untuk memiliki rumah baru akan gagal. Nggak, ini gak boleh terjadi. Aku harus memikirkan cara agar aku bisa mengambil keuntungan lagi dari Mbak Ana.

"Oh ... ya, Ma. Jadi rencananya kamu beli emas, kamu beli berapa gram?" tanya suamiku.

Aku mengalihkan pandangan padanya. Aku dan suamiku sepakat untuk menabung dalam bentuk emas, selain bisa dipakai untuk pamer menaikkan gengsi, juga bisa cepat dicairkan dalam bentuk uang jika dibutuhkan dalam keadaan mendadak.

"Jadi Pa, tadi aku beli logam mulia seberat tiga gram," jawabku dengan senyum bahagia mengingat sekarang aku bisa memiliki kepingan mahal itu.

"Loh! Kok dibeli logam mulia sih, Ma? Lusakan pesta nikahnya Ratna, anaknya Bu'de Ratmi. Seharusnya kamu beli perhiasan gelang atau cincin gitu. Biar bisa kamu kenakan saat acara agar kamu terlihat cantik dan kita dianggap mapan! Papa yakin di sana pasti banyak sanak keluarga yang ngumpul," sahut suamiku cepat. Aku menepuk dahiku dengan pelan, aku lupa tentang hal itu.

"Kamu benar juga ya, Pa. Mama lupa akan hal itu, Mama pikir karena untuk tabungan jadi Mama ambil aja yang berbentuk logam, soalnya penjual di toko emas bilang lebih untung untuk investasi."

"Terus sekarang gimana?" Mas Hadi terlihat menghela napas panjang.

"Mau gimana lagi, kan, sudah terlanjur dibeli juga. Gak mungkin Mama jual sekarang, kan, rugilah! Lagi pula Mama masih punya gelang dan cincin Yang Mama beli bulan kemaren, itu aja dipakai," jawabku pasrah. Mau gimana lagi, barang sudah terlanjur dibeli.

"Terserah kamu lah, Ma, yang penting jangan bikin malu Papa di depan keluarga Papa nanti!" Mas Hadi menggeser tubuhnya dan menarik selimut, mulai memejamkan mata dan terlelap di alam mimpi tanpa memperdulikanku.

~ ~ ~

Keesokan paginya tak ada bahan yang bisa kumasak untuk sarapan suamiku pagi ini. Uang yang kumiliki pun juga sudah menipis, mana cukup untuk ke kondangan tempat Bu'de Ratmi besok.

"Loh ... Ma, mana sarapannya? Kamu gak masak?" tanya Mas Hadi yang sudah rapi dengan seragam berlogokan nama rumah makan tempat dia bekerja.

"Gak ada bahan, Pa. Bahan yang diambil dari rumah Mbak Ana juga sudah habis. Mana Mama gak pegang uang lagi, Pa. Besok ke tempat Bu'de Ratmi Mama gak ada uang," keluhku pada Mas Hadi. Berharap dia mengerti dan memberikan aku uang tambahan.

"Ke tempat Bu'de Ratmi gak usah pakai uang, uangnya juga sudah banyak. Buktinya dia mengadakan pesta besar-besaran. Nanti pulangnya kamu bawa aja lauk-pauk yang banyak, kan lumayan! Kalau soal uang untuk pegangan kita, tenang! Nanti Papa pinjam sama seseorang," jawab Mas Hadi dengan senyum simpul di bibirnya.

"Minjam? Harus di kembalikan, dong?"

"Ngapain dikembalikan, rugi banget!"

"Memangnya Papa mau pinjam sama siapa?" tanyaku bingung. Namanya meminjamkan pasti harus kembalikan, beda lagi kalau minta.

"Itu, sama tetangga sebelah," jawab suamiku sambil menunjuk ke sebelah dengan dagunya, membuat kami berdua tertawa cekikikan.

Mas Hadi, kan, adik sepupunya Mas Wahyu, jadi wajar saja jika kami menikmati sedikit jerih payahnya. Toh ... mereka juga tidak hidup kekurangan, kan.

Bukannya sesama saudara itu harus saling tolong menolong, supaya rezeki yang kita miliki berkah.

~ ~ ~

Setelah Mas Hadi berangkat kerja aku kunci pintu depan dengan rapat lalu masuk ke dalam kamar, sedangkan Biba asik menonton kartun kesukaannya di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga.

Kubuka lemari kayu dua pintu yang ada di kamarku, rumah petak ini berukuran 6 x 12 meter yang terbagi atas tiga ruangan. Dengan ukuran kamar 4 x 3 meter, cukup luas untuk standar rumah kontrakan dengan harga murah.

Rumahku sangat jauh berbeda dari rumah Mbak Ana yang penuh dengan perabot lengkap. Terkadang aku iri melihat isi rumahnya yang semuanya ada, entah kapan aku bisa memiliki semua itu. Mas Hadi suamiku tidak serajin Mas Wahyu, itu sebabnya hingga detik ini gaji yang dia miliki tidak ada peningkatan, masih bersyukur dirinya tidak dipecat karena sifat malasnya.

Kupandangi  dua buah perhiasan yang aku pasangkan ditanganku ini, setelah sekian lama berhemat akhirnya aku bisa memiliki benda ini. Sungguh tampak cantik sekali!

"Ahh ... kalau Mbak Ana  pelit begini, bisa-bisa gak nambah perhiasan di badanku, mana cucian juga udah numpuk! Huh ... tapi aku coba saja ke samping, siapa tahu Mbak Ana sudah nggak pelit lagi seperti kemaren, lumayan sabun gratis!"

Dengan semangat kupunguti semua baju kotor milik kami. Lalu memasukkannya ke dalam tas ransel besar dan Bergegas ke rumah sebelah. Biasanya jam segini mbak Ana pasti lagi masak, lumayan bisa dapat lauk gratis juga! Enaknya punya rumah dua, apa-apa tinggal pakai dan ambil.

"Biba, Mama tempat Bu'de Ana, ya. Biba di rumah  aja nonton, kalau ada apa-apa panggil Mama di sebelah!" pesanku pada putri kecilku.

Tak ada sahutan darinya, kecuali kepala kecil itu bergerak manggut-manggut tanda mengerti. Sepertinya dia masih asik dengan kartun kesayangannya itu. Hewan laut berbentuk spons berwarna warna kuning dengan sahabatnya berbentuk bintang berwarna merah muda beserta bos mereka yang berbentuk kepiting.

Entah kenapa aku tak suka dengan kepiting tersebut, pelit dan hobby mencapit gaji karyawannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status