Pov. Ana
Hari ini cuaca pagi sangat cerah, secerah hatiku yang sedang bahagia. Bahagia karena baru saja mendapatkan jatah uang belanja tambahan dari suami tersayang. Aku mencuci piring sambil bersenandung riang, memang benar kata orang tua. Jika hati riang semua pekerjaan terasa ringan dikerjakan. Kebetulan sisa rendang semalam masih ada, jadi aku tidak masak lagi hari ini. "Mbak! Mbak Ana!" Panggil Sri sambil mengetuk pintu rumahku. Aishhh ... baru saja aku merasakan ketenangan, justru sekarang si pengacau sudah nongol aja pagi-pagi begini! Bikin hilang Mood. Malas rasanya membukakan pintu untuknya. "Mbak ... Mbak Ana! Buka pintunya Mbak!" teriak wanita itu lagi. Aku yang masih mencuci piring jadi terpaksa dengan cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piringku yang tinggal dua buah lagi. Dengan langkah yang malas aku menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Aku gak mau Sri menyelonong masuk lagi ke dalam rumahku seperti yang sudah-sudah. "Ada apa? Pagi-pagi udah heboh di rumah orang!" jawabku ketus. Aku memandang tak suka dengan kehadirannya di hadapanku, orang seperti dia pantang jika dibaik-baikin, pasti ngelunjak. "Ishhh ... Mbak Ana, masih pagi udah judes banget mukanya," sahutnya lembut, yang kutanggapi dengan memutar bola mataku jengah. Jadi pingin muntah mendengar nada manis yang keluar dari bibirnya. "Itu apaan yang kamu bawa, Sri? Mau minggat kamu?" Mataku menangkap tas gede yang ada di bawah Sri. Apa lagi yang mau di lakukan perempuan ini di rumahku? "Ishhh ... Mbak Ana ini, siapa juga yang mau minggat. Ini tu pakaian kotor aku dan Mas Hari sama Biba, rencananya aku mau numpang nyuci di rumah Mbak. Boleh ya, Mbak?" pintanya seraya nyengir. Ya Robby ... Dia pikir rumahku ini tempat laundry, apa?! "Ngak! Ngak bisa! Aku juga mau nyuci, kamu cuci di rumahmu sendiri saja sana!" tolakku mentah-mentah. Bisa berantakan semua rumahku nanti dia buat. "Ya ampun, Mbak! Di rumahku kan tidak ada mesin cuci, lagi pula cucianku ini tidak banyaknya. Jangan pelit-pelit sama saudara kenapa mbak, aku juga lagi gak enak badannya Mbak. Lagi pula sekali-sekalinya aku minta tolong sama, Mbak," ujarnya lagi. Sri memasang wajah mengiba padaku. Bikin aku jadi serba salah, inilah susahnya jadi orang yang mudah tak enakkan. Aku menghela napas panjang. "Ya sudah, bawa ke belakang sana! Tapi ingat jangan berantakan! Aku gak suka dapurku jadi banjir dan becek!" ucapku memperingatinya. Sri masuk ke dalam rumahku dengan riang, tangannya membawa tas yang berisi penuh pakaian, entah sudah berapa hari wanita itu tidak mencuci. "Mbak! Susunan dapur Mbak diubah, ya? Kulkas, Mbak letak di mana?" tanya Sri. Nah mulai lagi kan, pasti dia mau ngincar isi kulkasku, untung sudah kupindahin kekamar, kalau tidak bisa tekor lagi! "Memangnya kenapa Sri?" tanyaku menyelidik. Menoleh ke arah wanita berdaster itu yang tengah berdiri di lorong menuju dapur. Matanya tampak liar meneliti setiap sudut dapurku. "Nggak ada apa-apa sih, Mbak. Jadi terlihat lapang saja," sahut perempuan itu sambil terkekeh canggung. "Sudah cepat nyuci sana, awas kalau sampai dapurku berantakan dan becek!" "Iya, Mbak! Iya. Cerewet banget sih!" Sri mencebikkan bibir padaku. Tak kupedulikan perkataannya, kumpaskan pantat seksiku ini ke atas sofa. Menghidupkan televisi dan menikmati film sambil mengunyah rempeyek yang ada di toples. Aku ingin bersantai dulu. Biarkan saja Sri di belakang, terpenting semua bahan makananku sudah aman. Untuk kulkas yang ada di kamar, aku tidak perlu khawatir karena Sri tidak akan berani masuk kedalam kamar orang lain tanpa izin. Itulah kelebihan yang dimiliki perempuan itu, mungkin didikan orang tuanya. Sekurang ajarnya ia, Sri tidak akan masuk kedalam area kamar. Paling sekedar area dapur dan ruang tamu yang habis dijarah olehnya. ~ ~ ~ "Mbak, aku pulang dulu, ya. Cucianku sudah siap semua, tenang saja. Dapur mbak gak berantakan, kok. Malah bersih!" ucap Sri yang baru keluar dari dapur dan berjalan menuju rumahnya. Aku tidak menjawab perkataanya, entah kenapa perasaanku tidak enak melihat senyum yang terukir di bibirnya itu. Seperti ada sesuatu yang ... entahlah. Aku juga bingung mengartikannya Karena asik menonton dan bermain gawai, membuatku tidak sadar jika sudah satu jam waktu berlalu. Semerbak bau wangi tercium dari dalam tas yang ia bawa. Aroma pewangi pakaian yang begitu aku kenal menyadarkanku. Karena penasaran aku bergegas menuju dapurku. Seketika mataku terbelalak melihat susunan rak yang berada di atas mesin cuci, bersebelahan dengan pintu kamar mandiku. Sabun cuci yang satu toples penuh tinggal seperempat, pewangi pakaian rentengnya masih satu lusin tinggal lima bungkus. Sabun mandi lima buah tinggal dua. Semua habis diangkut perempuan hantu itu, tapi ... bukan itu yang menjadi titik fokusku, melainkan sebuah kotak kecil yang berada di rak paling atas dari barang-barang yang kusebut tadi. Ada sesuatu yang hilang di sana dan aku yakin kalau aku meletakkannya di sana tadi, saat aku sedang mandi dan lupa untuk mengambilnya kembali. Aku yakin sekali Sri lah pelakunya. "Sri ...! Kurang ajar kamu, Sri!" teriakku histeris. Darahku mendidih, sungguh panas hati ini melihat itu semua. Aku menyingsingkan lengan bajuku sampai ke bahu, lengan pendek baju daster berwarna kuning yang kukenakan. Dengan emosi yang meletup-letup aku melangkah kasar ke rumah tetangga sebelah. Siap tempur! Door! Door! Door! Kupukul kasar pintu tetangga sebelah sampai dinding sedikit bergetar karena kuatnya. "Sri, keluar kamu! Keluar! Dasar manusia tidak tahu diuntung! Sudah dikasih hati minta jantung. Keluar kamu sekarang, Sri! Keluar!" teriakku seperti kesetanan. Bukannya Sri yang keluar, justru tetangga sebelah rumah yang pada berdatangan untuk mengintip. Selama tinggal di kontrakan ini, aku adalah warga yang tidak pernah membuat gaduh, tapi kali ini, aku sudah tidak tahan lagi. Tak kupedulikan beberapa pasang mata yang mulai menatapku penasaran. Aku tidak perduli banyaknya pasang mata yang menonton, terpenting hari ini akan kuberi pelajaran saudara dari neraka ini. Berani-beraninya dia mengambil barang-barangku tanpa izin dariku. "Cepat keluar, Sri! Keluar kamu, sebelum kudobrak pintu rumahmu, ini! KELUAR KAMU SRI!""Ada apa sih, Mbak? Ngamuk-ngamuk depan rumah orang seperti kesetanan?" sahut Sri kaget setelah dia membukakan pintu untukku. Nafasku naik turun, sorot mataku menatapnya tajam. Dada ini sudah dipenuhi amarah yang selama ini aku kumpulkan dan siap meledak seperti bom waktu. "Kembalikan kotak yang berwarna hitam itu padaku, sekarang juga!" "Kotak apa yang Mbak maksud? Aku tak mengerti?" tanya Sri dengan wajah polosnya.Seolah-olah dia tidak tahu, tapi sorot matanya yang tak berani menatapku secara langsung serta ekspresinya yang gelisah cukup membuatku semakin yakin bahwa dialah yang mengambil barangku tersebut."Jangan pura-pura tidak tahu, Sri! Kembalikan kotak itu sekarang juga, cepat!" perintahku lagi semakin lantang padanya.Mata Sri mendelik tidak suka mendengar suaraku yang terus meninggi ditambah banyak mata yang tengah menyaksikan pertengkaran kami. "Aku beneran gak tahu, Mbak. Jangan asal menuduh orang sembarangan, deh! Lagi pula cuma kotak yang berisi jam tangan saja, Mba
Setelah satu jam keributan hebat yang terjadi diantara aku dan Sri tadi. Kini giliran aku mendengar suara Mas Wahyu di luar.Aku buru-buru buka pintu, telingaku seperti mendengar suara perdebatan panjang antara suamiku dan adik sepupunya itu. Kenapa Mas Wahyu pulang secepat ini? Ada apa sebenarnya? Apa Sri mengadu pada suaminya itu? Tapi, ya terserahlah ... aku yakin Mas Wahyu cukup bijak untuk menempatkan posisi antara keluarga dan istrinya ini.Aku juga yakin dia pasti membelaku, karena memang aku tidak salah, kok!Benar saja, saat pintu terbuka aku melihat perdebatan antara suamiku dan Mas Hari serta Sri yang sudah berurai air mata. Aku memutar bola mataku malas, drama apa lagi yang di lakukan wanita licik ini.Mas Hadi memandangku tajam dengan wajah yang tampak memerah."Kita bicarakan ini di dalam rumah saja, tidak enak dilihat tetangga!" ajak mas Wahyu.Aku memindai pandanganku ke sekeliling, dan benar saja, tampak tetangga yang telah bubar kini mulai muncul satu-persatu meman
"Mas, kamu dan Mas Hadi kok hari ini pulang cepat?" tanyaku karena masih penasaran.Sekarang kami sedang duduk santai sambil menonton tv. Mulut Mas Wahyu tak berhenti mengunyah kue bawang yang kubeli secara online sore tadi. Ia menoleh padaku sekilas.Aku heran, diusia setua ini suamiku masih suka menonton kartun kucing dan guguk berkelahi. Terkadang dia sampai tertawa terbahak-bahak sendiri. Sungguh tidak cocok dengan tubuh dewasa yang kekar itu."Sebenarnya Mas tidak berniat. Saat Mas melihat Hadi menerima telpon dari Sri dengan wajah penuh emosi. Jadi Mas meminta izin untuk pulang cepat, gak mungkinkan Mas membiarkan istri Mas sendirian," jelasnya. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya mengunyah kue bawang itu."Terus apa yang Mas tunjukkan sama mereka, kenapa wajah mereka langsung terdiam begitu?" cercaku masih dengan mode penasaran. "Vidio. Kalau kami mau lihat, lihat saja di galeri gawai, Mas, tapi jangan di hapus!" ujar Mas Wahyu memperingati."Kenapa memangnya, Mas?" tanganku
"Eh ... Ada Ana, kapan sampai An?" sapa Mbak Eka kakak Iparku, istri Mas Andra kakaknya Mas Wahyu.Ketika aku baru saja bergabung di halaman belakang tempat mereka yang sedang memasak.Mbak Eka duduk bersama ibu-ibu serta saudara yang lain, duduk membuat lingkaran kecil yang tengahnya berisi sayur-sayuran, seperti buncis dan wortel yang akan dibersihkan dan dipotong-potong."Baru saja, Mbak. Oh ... ya, si kembar mana, Mbak?" ujarku ramah. Mbak Eka memiliki tiga orang anak, anak pertamanya perempuan berusia 7 tahun sedangkan anak keduanya kembar laki-laki berumur 5 tahun."Mereka pasti sedang main di depan sama teman-temannya, sini, An. Duduk samping Mbak! Sekalian ini kamu cicipi jenangnya. Enak benget deh, An." Aku duduk pada bangku kecil yang ada di samping mbak Eka, Mbak Eka menyodorkan sepiring jenang padaku. Aku mengambil sepotong dan mencicipinya, memang benar apa yang dia katakan, jenang ini begitu lembut dan legit serta manisnya pas membuat rasanya semakin enak.Kakak Iparku
Pukul sembilan pagi, aku dan Mas Wahyu sudah tiba di rumah Bu'de Ratmi kembali. Mas Wahyu mengambil cuti kerja selama dua hari dan Alhamdulillah bosnya mengizinkan. Lagi pula selama ini suamiku juga tidak pernah libur kerja kecuali dia sakit.Saat kami tiba suasana di ruangan tengah sudah ramai karena sebentar lagi akan diadakan ijab kabul pernikahan Ratna. Aku duduk bersebelahan dengan Mama dan Mbak Eka barisan dekat jendela.Mataku memindai setiap sudut ruangan mencari sosok seseorang yang sebenarnya paling malas aku temui. Aku pikir wanita itu sudah pergi duluan, tapi batang hidungnya tak jua tampak sedari tadi. "Sah!" ucap pak penghulu yang di jawab serentak oleh para saksi. Do'a-do'a di kumandangkan untuk kebahagiaan kedua mempelai. "Assalamualaikum! Maaf saya terlambat," ujar seseorang memberikan salam. Sontak kami semua menjawab salam itu sambil menoleh kearah suara yang aku yakini itu adalah Sri. Nyaris saja aku menjatuhkan rahang bawahku saat melihat sosok Sri yang baru
Semenjak kejadian di pesta Bu'de Ratmi, tingkah Sri semakin menjadi-jadi. Membuat emosiku dalam masa kehamilan ini yang seharusnya naik turun menjadi naik dan tidak turun-turun. Hebatnya lagi dia hanya akan melakukan semua keisengan itu disaat Ibu mertuaku tidak datang berkunjung ke rumahku. Jika ada Ibu mertuaku, Nenek sihir itu akan langsung berubah menjadi malaikat tanpa sayap yang polos tanpa dosa.Cih ... sungguh ratu drama!Baru saja aku membuka pintu setelah lelah beberes dapur, mataku langsung terbelalak tak percaya. Aku yakin sekarang wajahku sedang memerah seperti tomat karena saking kesalnya melihat teras rumahku berantakan lagi. Aku yakin sekali semua ini perbuatan manusia edan yang ada di samping rumahku ini."SRI ... SRI WIDIASTUTI!" teriakku histeris. Bayangkan saja, sepagi ini aku sudah harus nyapu teras depan rumahku sebanyak tiga kali. Sampah plastik jajan dari berbagai merk serta pasir bertebaran di depan teras membuat rumahku terlihat kumuh.Pucuk dicinta setan
Seperti biasa setiap minggu, di hari Jum'at selalu diadakan acara wirid Ibu-Ibu di komplek sini. Aku termasuk anggota yang aktif datang dalam pengajian ini, dari pada aku tidur saja di rumah, kan tidak berfaedah.Setiap anggota akan bergiliran untuk mengadakan acaranya wirid di rumahnya, dan kali ini acaranya jatuh di rumah Bu Susi. Bu Susi tinggal di rumah yang berada beberapa blok dari rumahku. Bu Susi orangnya baik, dan ramah membuat semua ibu-ibu wirid pengajian menjadi suka padanya.Aku mematut diriku di depan cermin, memakai gamis biru tosca yang simple dipadu dengan jilbab plisket warna abu-abu membuat tampilanku terlihat manis. Sedangkan untuk make up, aku hanya menggenakan cushion dari brand yg cukup ternama under 300 ribu dan memoles lipt tint sedikit di bibir agar tidak tampak pucat.Setelah kurasa patut dengan penampilanku, tidak norak dan tidak ngejreng karena ini mau pergi wirid bukan pergi ke kondangan, ye!Aku melangkah kaki keluar, mengenakan sendal lalu mengunci pint
Pov. Sri Hari Jumat siang ini adalah jadwal wirid wanita, biasanya sehabis pengajian ada acara makan-makan yang disuguhkan oleh tuan rumah. Apalagi yang menjadi tuan rumah kali ini adalah Bu Susi. Tetangga satu RT tapi lain gang. Sebenarnya aku males datang ke acara wirid Ibu-Ibu seperti ini, tapi karena Bu Susi terkenal baik dan dermawan tidak mungkin dia pelit dalam menjamu tamu-tamunya. Jadi sayang sekali jika aku melewatkan makanan yang enak-enak ini. Kupakai gamis terbaik dan perhiasan emasku agar terlihat waw! Dan cetar dari yang lain.Ya, iyalah! Sri Widiastuti ... siapa di kampung ini yang bisa mengalahkan kecantikanku? Dengan bangga aku keluar rumah sambil menggandeng tangan Habibah. Putriku ini harus ikut biar bisa dapat makanan dobel. Kan ada jatah anak.Aku mengunci pintu rumahku dan bertemu Ana yang kebetulan juga melakukan hal yang sama. Langsungku buang saja muka saat mata kami bertemu dan bertukar pandang.Aku sengaja tidak menyapanya, untuk apa menegur wanita pe