Seperti biasa setiap minggu, di hari Jum'at selalu diadakan acara wirid Ibu-Ibu di komplek sini. Aku termasuk anggota yang aktif datang dalam pengajian ini, dari pada aku tidur saja di rumah, kan tidak berfaedah.Setiap anggota akan bergiliran untuk mengadakan acaranya wirid di rumahnya, dan kali ini acaranya jatuh di rumah Bu Susi. Bu Susi tinggal di rumah yang berada beberapa blok dari rumahku. Bu Susi orangnya baik, dan ramah membuat semua ibu-ibu wirid pengajian menjadi suka padanya.Aku mematut diriku di depan cermin, memakai gamis biru tosca yang simple dipadu dengan jilbab plisket warna abu-abu membuat tampilanku terlihat manis. Sedangkan untuk make up, aku hanya menggenakan cushion dari brand yg cukup ternama under 300 ribu dan memoles lipt tint sedikit di bibir agar tidak tampak pucat.Setelah kurasa patut dengan penampilanku, tidak norak dan tidak ngejreng karena ini mau pergi wirid bukan pergi ke kondangan, ye!Aku melangkah kaki keluar, mengenakan sendal lalu mengunci pint
Pov. Sri Hari Jumat siang ini adalah jadwal wirid wanita, biasanya sehabis pengajian ada acara makan-makan yang disuguhkan oleh tuan rumah. Apalagi yang menjadi tuan rumah kali ini adalah Bu Susi. Tetangga satu RT tapi lain gang. Sebenarnya aku males datang ke acara wirid Ibu-Ibu seperti ini, tapi karena Bu Susi terkenal baik dan dermawan tidak mungkin dia pelit dalam menjamu tamu-tamunya. Jadi sayang sekali jika aku melewatkan makanan yang enak-enak ini. Kupakai gamis terbaik dan perhiasan emasku agar terlihat waw! Dan cetar dari yang lain.Ya, iyalah! Sri Widiastuti ... siapa di kampung ini yang bisa mengalahkan kecantikanku? Dengan bangga aku keluar rumah sambil menggandeng tangan Habibah. Putriku ini harus ikut biar bisa dapat makanan dobel. Kan ada jatah anak.Aku mengunci pintu rumahku dan bertemu Ana yang kebetulan juga melakukan hal yang sama. Langsungku buang saja muka saat mata kami bertemu dan bertukar pandang.Aku sengaja tidak menyapanya, untuk apa menegur wanita pe
Pov. AnaAcara pengajian yang seharusnya diisi dengan tausiah dan rasa syukur justru berakhir dengan keributan yang tak berarti. Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Sri dan Mpok Kokom. Apa mereka datang di acara pengajian hanya untuk mendapatkan makanan?Hingga mereka sanggup bertengkar dan mempermalukan diri sendiri di depan orang banyak. Aku menggandeng tangan Habibah dan berjalan santai bersama Bu Endang. Jangan ditanya di mana Sri, tentu dia sudah kabur pulang ke rumah karena rasa malu dengan keadaan berantakan dan mengenaskan.Herannya kok ada ya seorang ibu yang kabur menyelamatkan diri sendiri tanpa ingat anaknya. Kuusap lembut kepala keponakanku yang cantik ini. Habibah adalah anak yang manis dan kalem, sangat berbeda dengan ibunya yang pecicilan serta usil. Kami berjalan bertiga pulang menuju rumah. Sri kebangetan kabur kok sampai lupa dengan anak. Untung ada aku bu'denya, jika tidak? Entah bagaimana nasib anak ini."Oalah ... Nduk! Saudaramu itu, loh. Celamitannya keb
Aku menggeleng- gelengkan kepala melihat tingkah Sri. Namun yang herannya, Mas Hadi sebagai suami justru diam saja melihat tingkah istrinya seperti itu."Oh ... ya, An. Memang gaji di resto tempat suamimu kerja itu gede, ya, An? Kalau memang iya, tolong masukkan suami Mbak dong, An!" pinta Mbak Eva membuatku bingung. "Setahu Ana gajinya gak besar-besar banget Mbak. Cukup untuk makan sama bayar hutang," jelasku sambil nyengir.Aku menggaruk-garuk pelipisku yang tak gatal. Aku bingung harus jawab apa. Sebenarnya gaji di resto tidak besar-besar amat.Sebagai penanggung jawab resto seperti suamiku saja hanya bergaji sekitar lima jutaan. Apalagi suami Sri yang hanya karyawan biasa, tentu gajinya jauh di bawah itu. Aku sendiri saja bingung, dari mana Sri dan Mas Hadi mendapatkan uang untuk membayar DP perumahan elit senilai empat puluh juta itu."Ahh ... kamu jangan suka merendah gitulah, An. Suami kamu kan, orang yang cukup berpengaruh di resto itu. Tolongin Mbaklah An, kasian Abangmu it
"Mas, tahu nggak? Saudara sepupumu itu mau ambil perumahan baru di ujung jalan raya sana," aduku pada Mas Wahyu. Saat kami sedang duduk santai depan tv.Mas Wahyu menatap ke arahku. Tatapan matanya sulit aku artikan. "Kamu kenapa, Mas. Menatap adek seperti itu?" tanyaku heran."Ssttt!" Mas Wahyu meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Jangan keras-keras nanti mereka dengar,""Siapa yang kamu maksud?""Itu, tetangga sebelah."Aku membuka mulut membentuk huruf O. "Mereka nggak ada. Pergi dari pagi hingga sekarang belum pulang-pulang. Memangnya ada apa sih? Bikin aku penasaran." Aku merapatkan dudukku kesebelah suamiku. Melihat raut wajah Mas Wahyu. Aku yakin ada sesuatu yang sangat serius yang tidak aku ketahui."Sebulan yang lalu Hadi diberi kepercayaan mengurus catering makanan untuk hajatan di gedung. Baik dari menu hingga pengeluaran, semuanya Hadi yang handle. Karena karyawan yang biasa menangani sedang kena musibah kecelakaan. Terus ada bisik-bisik sumbang yang Mas deng
Dug! Dag! Dug!Bunyi musik menggema seantero bedengan ini. Hari masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Namun tetangga perpaduan antara jin betina dan hantu itu sudah mulai beraksi.Kepalaku yang pusing akibat morning sickness, kini bertambah pusing saja karena ulahnya. Andai saja volume yang dia gunakan adalah volume dalam batas yang wajar mungkin aku masih bisa bertoleransi. Namun nyatanya, volume yang dia gunakan begitu kencang hampir membuat kepalaku terasa mau pecah. Aku berada disituasi ngomong tak enak, diam menderita. Bayangkan! Hingga waktu menunjukkan pukul setengah satu, musik itu masih bergema bersahut-sahutan dengan bunyi azan di masjid. Aku tak tahan lagi. Dia pikir ini diskotik!Bruk! Bruk! Bruk!Aku pukul dengan keras pintu kayu itu, semakin keras bunyi pintu yang aku pukul semakin sakit pula kepalaku. "Sri! Buka pintunya Sri!" teriakku lantang. "Ya Allah ya Tuhan, benar-benar gendeng saudaramu itu Anna!" teriak Bu Endang dari sebelah rumah. Karena suara
[Dasar tetangga irian! Nggak bisa ngelihat orang lain senang aja. Aku yang punya speaker aktif kamu yang kepanasan. Kalua mau juga beli sendiri bukannya marah-marah sama aku. Iri bilang boss! Tandanya kalian tak mampu🥴]Aku yang sudah selesai memasak dan mencuci merebahkan tubuhku di atas sofa pun berselancar ke dunia mayaSebuah caption status Sri tiba-tiba nongol di beranda FB samaranku. Disertai foto speaker baru serta sebuah foto rumah perumnas yang rencananya akan mereka beli. Di lihat dari waktunya, status ini diunggah tadi malam. Sejak kejadian status emas batangan itu, Sri memblokir akunku sehingga aku tak bisa lagi melihat status-status alay yang dia unggah. Sedangkan akunnya di privat hanya teman saja yang bisa melihat. Aku memang sengaja membuat akun samaran dengan foto profil wanita muslimah dalam bentuk kartun animasi. Khusus untuk melihat status-status terbaru Sri. Bisa dibilang aku kepo, tapi entah kenapa melihat status-status alay Sri menjadi kesenangan tersendiri u
"Minjam duit, nggak salah? Kamu kan banyak duit sekarang masa minjam duit sama aku yang nggak punya apa-apa ini," jawabku merendah. Tapi lebih tepatnya menyindir. Biar saja, biar dia ngerasa, biar otaknya agak lurus sedikit."Aku lagi butuh uang banget Mbak. Besok aku ada acara arisan di keluarganya Mas Hadi. Jadi aku butuh banget duit Mbak. Duitku sudah habis untuk dp rumah sama membeli elekronik kemarin. Tolonglah Mbak!" pinta Sri memelas.Begini nih kalau orang mental miskin, punya uang dihabiskan dalam sehari seakan besok tak butuh hidup saja.Dia memasang wajah memelas padaku. Aku memutar bola mata malas. Membantingkan pantatku ke sofa yang ada berseberangan dengan Sri. Mengepit toples-toples yang berisikan keripik cemilan kesukaanku.Biar saja dibilang pelit. Orang yang minta aja yang nggak punya otak. Minta kok sampai isi toples kosong. Huh!Dengan santai aku memakan keripik dari dalam toples bekas jarahan Sri yang tinggal sedikit itu."Mbak, tolong kenapa. Jangan diam saja! A
Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati
"Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit
"Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h
Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S
Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya
Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa
Acara makan siang kami yang harusnya santai menjadi tak mengenakkan. Mas Wahyu tampak kesal dengan apa yang di lihatnya barusan. Sementara Hadi tampak canggung di seberang sana dengan posisi yang telah kembali seperti semula. "Mas, kita pulang saja yuk. Makanannya juga sudah habis," ajakku. Niat hati masih ingin berlama-lama sambil menikmati view kolam ikan dan teratai kini pupus sudah. Mas Wahyu mengangguk. Kami keluar dari pondok kemudian menapaki jembatan anyaman bambu selangkah demi selangkah. Setelah membayar makanan di kasir, aku dan Mas Wahyu pun masuk ke dalam mobil. Suamiku tampak tengah memandangi ponselnya sejenak, raut wajah itu pun berubah semakin masam. "Ada apa Mas?" tanyaku yang tengah menarik sabun pengaman untuk melingkar ke badanku. "Kamu lihat sendiri, Dek."Mas Wahyu menunjukkan layar ponselnya padaku. Terlihat sebuah pesan chat masuk dari lelaki yang membuat kami kaget di pondok tadi. Pesannya berisi tentang permintaan untuk mengabaikan apa yang baru saja ka
Pov. AnnaPagi ini aku melihat Mertuanya Sri datang ke rumah mereka setelah Mas Wahyu memberi kabar tentang pertengkaran Sri dan Hadi. Sebenarnya aku kasihan melihat Sri dalam kondisi wajah bengkak seperti tadi malam. Tapi balik lagi semua ini karena ulahnya sendiri. "Sebenarnya semalam gara-gara apa mereka ribut, Mas?" tanyaku pada suamiku untuk memulai obrolan kami di pagi hari ini. Hari ini Mas Wahyu ambil cuti kerja. Dia menemaniku duduk santai di ruang tamu sambil sesekali mataku mengintip ke arah rumah Sri dari balik hordeng jendela. "Katanya Hadi ketahuan selingkuh, kepergok Sri mereka keluar dari hotel.""Astaghfirullah," ucapku istighfar seraya menutup mulut karena tak percaya. Hadi memang sifatnya tak dapat dipercaya dan curang tapi tak kepikiran juga kalau dia sanggup untuk selingkuh. Secara selama ini dia terlihat begitu menuruti segala keinginan Sri."Terus Mas?" tanyaku meminta Mas Wahyu melanjutkan lagi ceritanya. Aku begitu penasaran dan kalau bisa jangan sampai me
Pertengkaran diantara kami semakin memanas hingga tak ditemukan kata tenang. Mas Hadi dan Tika terus menyalahkanku, sementara aku tentu saja tak terima di salahkan. Bukannya memang tugas seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Jika pada akhirnya si istri berhutang di luaran sana itu berarti si suami yang tak bisa memenuhi kebutuhan istrinya. "Sudah! Sudah! Mama tambah pusing mendengar kalian semua. Tak ada satupun yang mau mengalah. Jika terus saja saling jawab menjawab, kapan masalah ini berakhir," sentak Mertua yang tak lagi tahan dengan kebisingan ini. Kini dia menatap mataku intenst. Ada pancaran tak suka dari tatapan matanya. Ya ... sebaik apa pun mertua tetap saja saat terjadi pertengkaran dia pasti akan membela anaknya. Entah itu secara halus atau terang-terangan. "Kamu juga, Sri. Tugas suami memang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, tapi kamu sebagai istri juga harus tahu diri. Jangan mengikuti ukuran sepatu orang lain dan inilah hasilnya," lanjutn