Pov. AnaAcara pengajian yang seharusnya diisi dengan tausiah dan rasa syukur justru berakhir dengan keributan yang tak berarti. Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Sri dan Mpok Kokom. Apa mereka datang di acara pengajian hanya untuk mendapatkan makanan?Hingga mereka sanggup bertengkar dan mempermalukan diri sendiri di depan orang banyak. Aku menggandeng tangan Habibah dan berjalan santai bersama Bu Endang. Jangan ditanya di mana Sri, tentu dia sudah kabur pulang ke rumah karena rasa malu dengan keadaan berantakan dan mengenaskan.Herannya kok ada ya seorang ibu yang kabur menyelamatkan diri sendiri tanpa ingat anaknya. Kuusap lembut kepala keponakanku yang cantik ini. Habibah adalah anak yang manis dan kalem, sangat berbeda dengan ibunya yang pecicilan serta usil. Kami berjalan bertiga pulang menuju rumah. Sri kebangetan kabur kok sampai lupa dengan anak. Untung ada aku bu'denya, jika tidak? Entah bagaimana nasib anak ini."Oalah ... Nduk! Saudaramu itu, loh. Celamitannya keb
Aku menggeleng- gelengkan kepala melihat tingkah Sri. Namun yang herannya, Mas Hadi sebagai suami justru diam saja melihat tingkah istrinya seperti itu."Oh ... ya, An. Memang gaji di resto tempat suamimu kerja itu gede, ya, An? Kalau memang iya, tolong masukkan suami Mbak dong, An!" pinta Mbak Eva membuatku bingung. "Setahu Ana gajinya gak besar-besar banget Mbak. Cukup untuk makan sama bayar hutang," jelasku sambil nyengir.Aku menggaruk-garuk pelipisku yang tak gatal. Aku bingung harus jawab apa. Sebenarnya gaji di resto tidak besar-besar amat.Sebagai penanggung jawab resto seperti suamiku saja hanya bergaji sekitar lima jutaan. Apalagi suami Sri yang hanya karyawan biasa, tentu gajinya jauh di bawah itu. Aku sendiri saja bingung, dari mana Sri dan Mas Hadi mendapatkan uang untuk membayar DP perumahan elit senilai empat puluh juta itu."Ahh ... kamu jangan suka merendah gitulah, An. Suami kamu kan, orang yang cukup berpengaruh di resto itu. Tolongin Mbaklah An, kasian Abangmu it
"Mas, tahu nggak? Saudara sepupumu itu mau ambil perumahan baru di ujung jalan raya sana," aduku pada Mas Wahyu. Saat kami sedang duduk santai depan tv.Mas Wahyu menatap ke arahku. Tatapan matanya sulit aku artikan. "Kamu kenapa, Mas. Menatap adek seperti itu?" tanyaku heran."Ssttt!" Mas Wahyu meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Jangan keras-keras nanti mereka dengar,""Siapa yang kamu maksud?""Itu, tetangga sebelah."Aku membuka mulut membentuk huruf O. "Mereka nggak ada. Pergi dari pagi hingga sekarang belum pulang-pulang. Memangnya ada apa sih? Bikin aku penasaran." Aku merapatkan dudukku kesebelah suamiku. Melihat raut wajah Mas Wahyu. Aku yakin ada sesuatu yang sangat serius yang tidak aku ketahui."Sebulan yang lalu Hadi diberi kepercayaan mengurus catering makanan untuk hajatan di gedung. Baik dari menu hingga pengeluaran, semuanya Hadi yang handle. Karena karyawan yang biasa menangani sedang kena musibah kecelakaan. Terus ada bisik-bisik sumbang yang Mas deng
Dug! Dag! Dug!Bunyi musik menggema seantero bedengan ini. Hari masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Namun tetangga perpaduan antara jin betina dan hantu itu sudah mulai beraksi.Kepalaku yang pusing akibat morning sickness, kini bertambah pusing saja karena ulahnya. Andai saja volume yang dia gunakan adalah volume dalam batas yang wajar mungkin aku masih bisa bertoleransi. Namun nyatanya, volume yang dia gunakan begitu kencang hampir membuat kepalaku terasa mau pecah. Aku berada disituasi ngomong tak enak, diam menderita. Bayangkan! Hingga waktu menunjukkan pukul setengah satu, musik itu masih bergema bersahut-sahutan dengan bunyi azan di masjid. Aku tak tahan lagi. Dia pikir ini diskotik!Bruk! Bruk! Bruk!Aku pukul dengan keras pintu kayu itu, semakin keras bunyi pintu yang aku pukul semakin sakit pula kepalaku. "Sri! Buka pintunya Sri!" teriakku lantang. "Ya Allah ya Tuhan, benar-benar gendeng saudaramu itu Anna!" teriak Bu Endang dari sebelah rumah. Karena suara
[Dasar tetangga irian! Nggak bisa ngelihat orang lain senang aja. Aku yang punya speaker aktif kamu yang kepanasan. Kalua mau juga beli sendiri bukannya marah-marah sama aku. Iri bilang boss! Tandanya kalian tak mampu🥴]Aku yang sudah selesai memasak dan mencuci merebahkan tubuhku di atas sofa pun berselancar ke dunia mayaSebuah caption status Sri tiba-tiba nongol di beranda FB samaranku. Disertai foto speaker baru serta sebuah foto rumah perumnas yang rencananya akan mereka beli. Di lihat dari waktunya, status ini diunggah tadi malam. Sejak kejadian status emas batangan itu, Sri memblokir akunku sehingga aku tak bisa lagi melihat status-status alay yang dia unggah. Sedangkan akunnya di privat hanya teman saja yang bisa melihat. Aku memang sengaja membuat akun samaran dengan foto profil wanita muslimah dalam bentuk kartun animasi. Khusus untuk melihat status-status terbaru Sri. Bisa dibilang aku kepo, tapi entah kenapa melihat status-status alay Sri menjadi kesenangan tersendiri u
"Minjam duit, nggak salah? Kamu kan banyak duit sekarang masa minjam duit sama aku yang nggak punya apa-apa ini," jawabku merendah. Tapi lebih tepatnya menyindir. Biar saja, biar dia ngerasa, biar otaknya agak lurus sedikit."Aku lagi butuh uang banget Mbak. Besok aku ada acara arisan di keluarganya Mas Hadi. Jadi aku butuh banget duit Mbak. Duitku sudah habis untuk dp rumah sama membeli elekronik kemarin. Tolonglah Mbak!" pinta Sri memelas.Begini nih kalau orang mental miskin, punya uang dihabiskan dalam sehari seakan besok tak butuh hidup saja.Dia memasang wajah memelas padaku. Aku memutar bola mata malas. Membantingkan pantatku ke sofa yang ada berseberangan dengan Sri. Mengepit toples-toples yang berisikan keripik cemilan kesukaanku.Biar saja dibilang pelit. Orang yang minta aja yang nggak punya otak. Minta kok sampai isi toples kosong. Huh!Dengan santai aku memakan keripik dari dalam toples bekas jarahan Sri yang tinggal sedikit itu."Mbak, tolong kenapa. Jangan diam saja! A
Burung berkicau tak henti-henti di atas kabel listrik depan teras rumahku. Berisik sekali, mungkin mereka bertengger sambil ngerumpi seperti ibu-ibu komplek ini.Aku menyapu halaman rumahku yang di penuhi oleh daun yang berguguran dari pohon mangga yang ada di sudut pagar pembatas rumahku dan rumah sebelah. Mumpung hari masih pagi. Cuaca belum panas-panas sekali. Kata orang Ibu hamil itu harus rajin-rajin bergerak saat pagi, agar saat melahirkan bisa lancar."Pagi Anna. Wah ... bumil satu ini, pagi-pagi sudah rajin. Mana makin cantik aja sekarang Ann," sapa Mbak Sarinah dari ujung sana."Ah ... Mbak bisa aja. Lagi nyari keringat aja Mbak. Katanya wanita hamil itu nggak boleh malas-malas biar lahirannya gampang," balasku tak kalah ramahnya.Sarina putri bungsu Bu Endang berumur 30 tahun. Tua tiga tahun dariku. Sebenarnya Sarina adalah gadis yang manis dan cantik, serta ramah. Hanya saja karena sesuatu hal, gadis itu memilih hidup sendiri. Gadis itu tampak enggan dekat dengan lawan je
"Ini Mang, uang dua puluh lima ribunya. Saya duluan ya Ibu-ibu. Soalnya panas kuping saya mendengarkan mulut yang suka ghibah!" sindir Mbak Sarinah sambil berlalu pergi. Dia paling tak suka membicarakan orang. Mata Sri melotot melihat ke arah Mbak Sarinah sembari kembali mencebikkan bibir sinis. "Woo ... dasar perawan tua!" sorak Sri. Membuat Mbak Sarinah sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang."Semoga Tuhan memberimu hidayah!" balas Mbak Sarinah. Laku dia menghentakkan kakinya dan memutar badan. Kemudian melanjutkan kembali langkahnya menuju rumah."Nggak usah repot-repot doakan aku. Lebih baik doakan saja dirimu sendiri, biar laku. Huuu!" teriak Sri membalas ucapan itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku tak beradab Sri. Tak henti-hentinya dia mengejek status Mbak Sarinah yang masih single. Heran aku, apa itu menjadi masalah besar untuknya. Bukankah jodoh, anak dan rezeki adalah mutlak kuasa-nya. Jangan terlalu membanggakan diri atas apa