Dug! Dag! Dug!Bunyi musik menggema seantero bedengan ini. Hari masih pagi, jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Namun tetangga perpaduan antara jin betina dan hantu itu sudah mulai beraksi.Kepalaku yang pusing akibat morning sickness, kini bertambah pusing saja karena ulahnya. Andai saja volume yang dia gunakan adalah volume dalam batas yang wajar mungkin aku masih bisa bertoleransi. Namun nyatanya, volume yang dia gunakan begitu kencang hampir membuat kepalaku terasa mau pecah. Aku berada disituasi ngomong tak enak, diam menderita. Bayangkan! Hingga waktu menunjukkan pukul setengah satu, musik itu masih bergema bersahut-sahutan dengan bunyi azan di masjid. Aku tak tahan lagi. Dia pikir ini diskotik!Bruk! Bruk! Bruk!Aku pukul dengan keras pintu kayu itu, semakin keras bunyi pintu yang aku pukul semakin sakit pula kepalaku. "Sri! Buka pintunya Sri!" teriakku lantang. "Ya Allah ya Tuhan, benar-benar gendeng saudaramu itu Anna!" teriak Bu Endang dari sebelah rumah. Karena suara
[Dasar tetangga irian! Nggak bisa ngelihat orang lain senang aja. Aku yang punya speaker aktif kamu yang kepanasan. Kalua mau juga beli sendiri bukannya marah-marah sama aku. Iri bilang boss! Tandanya kalian tak mampu🥴]Aku yang sudah selesai memasak dan mencuci merebahkan tubuhku di atas sofa pun berselancar ke dunia mayaSebuah caption status Sri tiba-tiba nongol di beranda FB samaranku. Disertai foto speaker baru serta sebuah foto rumah perumnas yang rencananya akan mereka beli. Di lihat dari waktunya, status ini diunggah tadi malam. Sejak kejadian status emas batangan itu, Sri memblokir akunku sehingga aku tak bisa lagi melihat status-status alay yang dia unggah. Sedangkan akunnya di privat hanya teman saja yang bisa melihat. Aku memang sengaja membuat akun samaran dengan foto profil wanita muslimah dalam bentuk kartun animasi. Khusus untuk melihat status-status terbaru Sri. Bisa dibilang aku kepo, tapi entah kenapa melihat status-status alay Sri menjadi kesenangan tersendiri u
"Minjam duit, nggak salah? Kamu kan banyak duit sekarang masa minjam duit sama aku yang nggak punya apa-apa ini," jawabku merendah. Tapi lebih tepatnya menyindir. Biar saja, biar dia ngerasa, biar otaknya agak lurus sedikit."Aku lagi butuh uang banget Mbak. Besok aku ada acara arisan di keluarganya Mas Hadi. Jadi aku butuh banget duit Mbak. Duitku sudah habis untuk dp rumah sama membeli elekronik kemarin. Tolonglah Mbak!" pinta Sri memelas.Begini nih kalau orang mental miskin, punya uang dihabiskan dalam sehari seakan besok tak butuh hidup saja.Dia memasang wajah memelas padaku. Aku memutar bola mata malas. Membantingkan pantatku ke sofa yang ada berseberangan dengan Sri. Mengepit toples-toples yang berisikan keripik cemilan kesukaanku.Biar saja dibilang pelit. Orang yang minta aja yang nggak punya otak. Minta kok sampai isi toples kosong. Huh!Dengan santai aku memakan keripik dari dalam toples bekas jarahan Sri yang tinggal sedikit itu."Mbak, tolong kenapa. Jangan diam saja! A
Burung berkicau tak henti-henti di atas kabel listrik depan teras rumahku. Berisik sekali, mungkin mereka bertengger sambil ngerumpi seperti ibu-ibu komplek ini.Aku menyapu halaman rumahku yang di penuhi oleh daun yang berguguran dari pohon mangga yang ada di sudut pagar pembatas rumahku dan rumah sebelah. Mumpung hari masih pagi. Cuaca belum panas-panas sekali. Kata orang Ibu hamil itu harus rajin-rajin bergerak saat pagi, agar saat melahirkan bisa lancar."Pagi Anna. Wah ... bumil satu ini, pagi-pagi sudah rajin. Mana makin cantik aja sekarang Ann," sapa Mbak Sarinah dari ujung sana."Ah ... Mbak bisa aja. Lagi nyari keringat aja Mbak. Katanya wanita hamil itu nggak boleh malas-malas biar lahirannya gampang," balasku tak kalah ramahnya.Sarina putri bungsu Bu Endang berumur 30 tahun. Tua tiga tahun dariku. Sebenarnya Sarina adalah gadis yang manis dan cantik, serta ramah. Hanya saja karena sesuatu hal, gadis itu memilih hidup sendiri. Gadis itu tampak enggan dekat dengan lawan je
"Ini Mang, uang dua puluh lima ribunya. Saya duluan ya Ibu-ibu. Soalnya panas kuping saya mendengarkan mulut yang suka ghibah!" sindir Mbak Sarinah sambil berlalu pergi. Dia paling tak suka membicarakan orang. Mata Sri melotot melihat ke arah Mbak Sarinah sembari kembali mencebikkan bibir sinis. "Woo ... dasar perawan tua!" sorak Sri. Membuat Mbak Sarinah sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang."Semoga Tuhan memberimu hidayah!" balas Mbak Sarinah. Laku dia menghentakkan kakinya dan memutar badan. Kemudian melanjutkan kembali langkahnya menuju rumah."Nggak usah repot-repot doakan aku. Lebih baik doakan saja dirimu sendiri, biar laku. Huuu!" teriak Sri membalas ucapan itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku tak beradab Sri. Tak henti-hentinya dia mengejek status Mbak Sarinah yang masih single. Heran aku, apa itu menjadi masalah besar untuknya. Bukankah jodoh, anak dan rezeki adalah mutlak kuasa-nya. Jangan terlalu membanggakan diri atas apa
"Habibah!" suara nyaring Sri menggema di seluruh penjuru kontrakan ini.Wajar saja jika dia histeris. Ponsel yang dia sayang-sayang melebihi kekasih hati, harus berakhir naas di dalam aquarium berbentuk seperti vas bulat sebesar helm yang berfungsi sebagai aquarium mini. Ponsel Sri terendam di antara ikan glow fish yang berwarna-warni tengah meliuk-liuk menampilkan ekornya yang indah.Sri mengambil benda pipih yang harganya cukup mahal karena baru saja dibelinya. "Bibah apakan ponsel Mama? Hu ... hu ... hu," Sri mulai menangis. Antara sedih, kesal dan emosi bercampur menjadi satu. Aku masih memantau Sri dari depan pintu, aku hanya takut dia khilaf. Hanya karena sebuah ponsel, nanti dia malah memukul putrinya sendiri."Hp Mama anas. Jadi bibah rendam sama ikan. Biar hpnya ngingin," jawab Habibah begitu polos dengan logat cadelnya. Mata bulat bocah itu begitu menggemaskan di mataku."Kan, ponsel Mama kamu pakai untuk nonton utube, wajar saja dia panas Habibah!" ujar Sri geram.Tangan
Semenjak insiden aku hampir jatuh akibat ulah Sri, Mas Wahyu meniadi over protective. Dia melarang diriku untuk ikut campur dalam hal apa pun terhadap tetangga sebelah. Ya ... walau sebenarnya aku tak ada sedikit pun niat untuk ikut campur. Aku hanya kasihan pada anaknya. Tak hanya itu, semenjak ponselnya yang bernasib malang itu hilang. Sri tampak uring-uringan. Bagi Sri ponsel nyawa keduanya. Jika tak ada ponsel, maka dia tak bisa eksis di dunia Maya.Maklum artis sosmed. Ha ... ha ... ha."Pa ... gimana?" tanya Sri pada Mas Hadi. Aku yang duduk di balik jendela dengan kaca riben itu menoleh kearah mereka. Curi-curi dengar apa yang tengah mereka bicarakan berdua."Gimana apanya? Kamu gak lihat aku baru saja pulang," sungut Mas Hadi kesal. Dasar Sri, suaminya baru saja pulang sudah langsung ditodong dengan pertanyaan yang tak jelas. Lagi pula aku juga heran, baru jam sepuluh pagi. Tapi Mas Hadi sudah pulang aja dari tempat kerja. Apa dia tidak pergi kerja, ya?"Alah, gak usah le
Pov. Sri Mas Hadi benar-benar suami payah, diminta cariin pinjaman aja nggak bisa. Bibah juga bikin kesal, dikasih ponsel untuk mainan. Ehh malas dicemplungin di aquarium. Untung anak sendiri, kalau anak orang lain udah tak, hih! Sampai siang aku masih saja mundar-mandir seperti setrikaan kusut. Kupegang ponsel Mas Hadi yang butut. Ponsel seri miomi yang harga barunya tidak sampai dua juta. Jangankan untuk foto, untuk buka aplikasi sosial media aja, leletnya minta ampun. Kameranya juga buram tak sebagus kamera dari ponselku yang rusak itu. Aku berpikir keras, memutar otak. Aku harus membeli ponsel keluaran terbaru. Malu dong, seorang Sri Widiastuti, jika memakai ponsel kuno, lelet binti jadul. Setelah berpikir hampir satu jam, akhirnya aku menemukan sebuah ide. Aku bergegas ke rumah Mbak Wulan. Teman sosialitaku di kampung sebelah, Mbak Wulan terkenal kaya dan dia memang membuka 'koperasi' peminjaman uang dengan bunga yang cukup tinggi. Tak masalah! Asalkan aku bisa beli