Sampai di rumah aku membalas pesan yang masuk pada ponsel Mas Hadi. Aku lalu diarahkan pada sebuah applikasi pinjaman online. Tentu aku tersenyum puas karena berhasil mendapat pinjaman dua juta rupiah yang dipotong admin dua ratus lima puluh ribu. Itu tak jadi masalah yang penting aku bisa meminjamnya dengan mudah hanya bermodalkan KTP saja. Tak perlu jaminan BPKB seperti yang diminta Mbak Wulan padaku tadi.Karena yang kubutuhkan adalah uang sepuluh juta. Jadi aku meminjam dengan nominal yang sama pada tujuh aplikasi pinjaman online yang berbeda-beda.Uang yang masuk ke dalam rekeningku kini berjumlah sepuluh juta lima ratus ribu, sedangkan jatuh tempo masih satu bulan lagi. Lagian bisa dicicil, kok. Jika dalam jatuh tempo aku tidak dapat membayar semuanya sekaligus paling dikenakan denda."Ma ... kamu kenapa? Tumben-tumbenan menyambut suami pulang ke rumah dengan senyam-senyum gitu. Sepertinya girang banget?" tanya Mas Hadi tiba-tiba. Pervaya diri sekali dia. Dia pikir dirinya yan
Sesampainya di rumah, Mas Hadi langsung berganti pakaian dan tidur bersama Habibah. Sedangkan aku? Tentu saja aku mulai berselancar di media sosial. Memasang beberapa foto di resto tadi, aku pilih beberapa foto terbaikku. Lalu mengunggahnya dengan caption bagus walau terkesan berlebihan.[Terima kasih sayang, kamu selalu membahagiakanku. Semoga rezekinya tambah lancar, ya, Pa] lengkap dengan emoticon gambar kepala memberi ciuman berbentuk love dan tak lupa hastag restorannya.Baru hitungan detik sudah begitu banyak komentar yang bermunculan. Kebanyakan komentar itu berisi kekaguman dan rasa iri mereka padaku. Secara siapa yang tak tahu restoran yang aku tandai itu. Restoran itu adalah restoran mahal. kebanyakan orang yang bermobil yang bisa makan di sana dan kami sudah makan di tempat itu, dengan sajian menu yang mewah. tentu saja membuat aku bangga.[Ya ampun, so sweet banget sih ... pasangan ini. Jadi gemes] tersemat emoticon kepala dengan mata berbentuk love.Aku tersenyum baha
Pagi-pagi sekali aku menemui Mbak Yuni di rumahnya, setelah menitipkan Habibah sebentar pada Mbak Anna. Wanita itu sempat bingung melihatku yang sudah misuh-misuh pagi-pagi begini. Tapi urung dia tanya padaku. Lagi pula aku juga malas menjawabnya.Tok! Tok! Tok!Aku menggedor pintu rumah Mbak Yuni dengan keras. Emosiku yang telah aku pendam dari tadi malam masih membuncah di dalam dada.Aku juga tahu, hanya ada Mbak Yuni di rumah. Sedangkan Bang Hendra sedang ada di Batam saat ini. Mungkin dia akan pulang dua hari lagi.Ceklek!Mbak Yuni membuka pintu rumahnya, sebuah seringai mengejek terukir di sudut bibirnya saat melihat kehadiranku. Membuat emosiku semakin menjadi saja melihat kesombongannya itu."Mau ngapain kamu ke sini? Mau pinjam uang! Nggak ada!" ucapnya ketus menghujam ke hatiku.Sombong banget dia sebagai Ipar. Jika bukan karena abangku yang bekerja keras. Maka hidupnya tak mungkin layak seperti ini. Dia hanya anak pedagang susah. Jangankan untuk sekolah atau kuliah untuk m
Aku pulang ke rumah dengan perasaan dongkol. Mbak Yuni tak pernah merasa bersalah terhadap sikapnya terhadapku. Pendamaian yang disusun perangkat desa tak juga mempan pada kami dan kembali berujung pada pertengkaran sengit lagi. Jujur aku juga sedikit iri dengan Mbak Yuni yang dapat suami giat cari uang dan pintar memanfaatkan peluang. Tak seperti suamiku yang pemalas dan bodoh. Tapi kalau soal urusan ranjang aja jago. Setelah pulang ke rumah, aku langsung mampir ke rumah Mbak Anna. Menjemput putriku Habibah. Sebelum mulut istri Mas Wahyu itu mulai bernyanyi sumbang lagi. Heran, kenapa semua saudara iparku. Hatinya pada jelek banget sih. Nggak ada rasa empati sedikit pun pada saudara lain yang kesusahan. Boro-boro bantu dalam soal materi, minta kebutuhan yang ada di dapurnya saja pelitnya bukan main. Selalu iri jika melihat hidupku senang. Giliran aku susah malah diomongin. Huh!"Loh, Sri ... wajah kamu kenapa babak belur begitu?" tanya Mbak Anna saat aku Baru saja masuk ke dalam
Pov. AnnaPagi-pagi sekali, Sri menitipkan anaknya dengan raut wajah seperti guguk putus ekor. Saking galaknya, beruang saja enggan untuk menegurnya.Sampai siang hari dia jemput anaknya dari rumahku. Ekspresinya juga masih sama. Muka di tekuk. Ehh ... sore ini sudah balik girang lagi! Jadi penasaran aku. Cepat banget suasana hatinya berubah haluan?"Girang amat, Sri? Kalau ada yang yang menggembirakan, bagi-bagi dong!" seruku.Sri sedang berselfi ria di teras rumah dengan ponsel barunya. Tentu saja teras rumahku. Karena dia berfoto, dengan latar belakang halaman rumahku yang di tumbuhi beraneka ragam pot bunga dari jenis yang biasa hingga yang mahal."Ehh ... Mbak Anna. Sudah seperti hantu saja Mbak. Nongol nggak kedengeran langkah kakinya," sahut Sri sambil cengengesan.Mataku mendelik. Ingin sekali aku timpuk kepalanya dengan sendalku ini. Dipikirnya aku Mbak Kunti. Jalannya melayang!"Kamu aja yang asik dengan duniamu sendiri. Orang aku dari tadi ada di pintu ini!" gerutuku. Aku
Mas tadi Sri cerita padaku, katanya dia ngambil pinjaman online," ucapku memberi tahu Mas Wahyu. Kami sudah makan dan duduk santai di depan TV. Tempat yang menjadi favorit kami di rumah ini. Aku duduk di samping Mas Wahyu sambil bergelayut manja dengan tangan suamiku yang asik mengusap lembut calon anaknya."Pinjaman online? Untuk apa?" tanya Mas Wahyu. Menoleh ke arahku."Untuk beli ponsel apel dicokot!" jawabku santai. Toh ... bukan aku ini yang berhutang."Astagfirullah al'azim! Sampai segitunya, padahal ..." Mas Wahyu menggantung ucapannya membuatku penasaran."Padahal apa, Mas?""Padahal suaminya sebentar lagi bakalan dipecat," sambung Mas Wahyu membuatku kaget."Yang benar kamu, Mas? Karena apa?" tanyaku lagi menyelidik. "Husttt ... jangan keras-keras! Nanti mereka dengar," tegur suamiku.Aku nyengir sambil menggaruk hidungku yang tak gatal. Karena kepo aku jadi tak sadar jika kami bertetanggaan. "Kamu ingat yang pernah Mas ceritakan sama kamu. Soal Hadi yang kemungkinan besa
Aku memandikan Habibah. Dan memberikannya makan. Saat Habibah di kamar mandi aku sempatkan ke sebelah sebentar, meminta pakaian Habibah pada Mas Wahyu yang sedang melerai pertengkaran mereka.Aku sempat curi dengar perdebatan Sri dan Mas Hadi. Mereka berdebat masalah hutang Sri yang menumpuk serta dirinya yang terancam di PHK. Mendengarkannya saja sudah membuat kepalaku pusing apalagi menghadapinya. Pantas saja mereka berdua bertengkar hebat saat ini. "Biba mau makan, Nak? Biar Bu'de ambilkan," tawarku. Setelah memandikannya, aku meletakkan Habibah di kursi yang ada di meja makan."Mau Bu'de. Biba lapar. Tadi malam nggak makan," jawabnya polos. Aku tersenyum lirih, lalu mengambilkan nasi serta lauk yang disukai ponakan cantikku ini. "Memangnya tadi malam, kenapa Biba nggak makan?" tanyaku iseng. Sambil tangan ini menyuapi nasi ke mulut kecilnya. Biasanya anak kecil jika makannya disuapi pasti makannya banyak dan lahap."Mama malas masak. Sibuk cefi-cefi!" jawabnya cadel. Aku cuma
Besok paginya Mas Wahyu mengambil cuti. Sesuai rencana dia mengantarkan aku ke rumah Mama. Tapi sebelumnya tentu suamiku itu menelpon terlebih dahulu dan memberi kabar agar saat aku pulang kedua orang tuaku tak terkejut. Nanti disangka aku dan Mas Wahyu yang bertengkar. "Assalamualaikum," ujar aku dan Mas Wahyu secara berbarengan.Kami berdua masuk ke dalam rumah yang selama ini menjadi tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. "Waalaikum salam. Eh ... kalian sudah sampai, Nak? Ayo masuk, kok malah nunggu di depan," sahut Mama pada kami. Aku dan Mas Wahyu tersenyum. Bik janah datang menghampiri, aku menyapanya dengan ramah. Mama membawa aku dan Mas Wahyu duduk di ruang keluarga. Sedangkan Bik janah membantu membawakan tasku ke kamar. Aku tak membawa banyak pakaian ke sini. Karena pakaianku yang dulu juga masih banyak tersusun rapi di lemari kamarku. "Jadi rencana kalian, mau pindah dari kontrakan itu? Pindah kemana?" tanya Mama. "Belum tahu, Ma. Masih di cari, soalnya mencari kontr