Aku pulang ke rumah dengan perasaan dongkol. Mbak Yuni tak pernah merasa bersalah terhadap sikapnya terhadapku. Pendamaian yang disusun perangkat desa tak juga mempan pada kami dan kembali berujung pada pertengkaran sengit lagi. Jujur aku juga sedikit iri dengan Mbak Yuni yang dapat suami giat cari uang dan pintar memanfaatkan peluang. Tak seperti suamiku yang pemalas dan bodoh. Tapi kalau soal urusan ranjang aja jago. Setelah pulang ke rumah, aku langsung mampir ke rumah Mbak Anna. Menjemput putriku Habibah. Sebelum mulut istri Mas Wahyu itu mulai bernyanyi sumbang lagi. Heran, kenapa semua saudara iparku. Hatinya pada jelek banget sih. Nggak ada rasa empati sedikit pun pada saudara lain yang kesusahan. Boro-boro bantu dalam soal materi, minta kebutuhan yang ada di dapurnya saja pelitnya bukan main. Selalu iri jika melihat hidupku senang. Giliran aku susah malah diomongin. Huh!"Loh, Sri ... wajah kamu kenapa babak belur begitu?" tanya Mbak Anna saat aku Baru saja masuk ke dalam
Pov. AnnaPagi-pagi sekali, Sri menitipkan anaknya dengan raut wajah seperti guguk putus ekor. Saking galaknya, beruang saja enggan untuk menegurnya.Sampai siang hari dia jemput anaknya dari rumahku. Ekspresinya juga masih sama. Muka di tekuk. Ehh ... sore ini sudah balik girang lagi! Jadi penasaran aku. Cepat banget suasana hatinya berubah haluan?"Girang amat, Sri? Kalau ada yang yang menggembirakan, bagi-bagi dong!" seruku.Sri sedang berselfi ria di teras rumah dengan ponsel barunya. Tentu saja teras rumahku. Karena dia berfoto, dengan latar belakang halaman rumahku yang di tumbuhi beraneka ragam pot bunga dari jenis yang biasa hingga yang mahal."Ehh ... Mbak Anna. Sudah seperti hantu saja Mbak. Nongol nggak kedengeran langkah kakinya," sahut Sri sambil cengengesan.Mataku mendelik. Ingin sekali aku timpuk kepalanya dengan sendalku ini. Dipikirnya aku Mbak Kunti. Jalannya melayang!"Kamu aja yang asik dengan duniamu sendiri. Orang aku dari tadi ada di pintu ini!" gerutuku. Aku
Mas tadi Sri cerita padaku, katanya dia ngambil pinjaman online," ucapku memberi tahu Mas Wahyu. Kami sudah makan dan duduk santai di depan TV. Tempat yang menjadi favorit kami di rumah ini. Aku duduk di samping Mas Wahyu sambil bergelayut manja dengan tangan suamiku yang asik mengusap lembut calon anaknya."Pinjaman online? Untuk apa?" tanya Mas Wahyu. Menoleh ke arahku."Untuk beli ponsel apel dicokot!" jawabku santai. Toh ... bukan aku ini yang berhutang."Astagfirullah al'azim! Sampai segitunya, padahal ..." Mas Wahyu menggantung ucapannya membuatku penasaran."Padahal apa, Mas?""Padahal suaminya sebentar lagi bakalan dipecat," sambung Mas Wahyu membuatku kaget."Yang benar kamu, Mas? Karena apa?" tanyaku lagi menyelidik. "Husttt ... jangan keras-keras! Nanti mereka dengar," tegur suamiku.Aku nyengir sambil menggaruk hidungku yang tak gatal. Karena kepo aku jadi tak sadar jika kami bertetanggaan. "Kamu ingat yang pernah Mas ceritakan sama kamu. Soal Hadi yang kemungkinan besa
Aku memandikan Habibah. Dan memberikannya makan. Saat Habibah di kamar mandi aku sempatkan ke sebelah sebentar, meminta pakaian Habibah pada Mas Wahyu yang sedang melerai pertengkaran mereka.Aku sempat curi dengar perdebatan Sri dan Mas Hadi. Mereka berdebat masalah hutang Sri yang menumpuk serta dirinya yang terancam di PHK. Mendengarkannya saja sudah membuat kepalaku pusing apalagi menghadapinya. Pantas saja mereka berdua bertengkar hebat saat ini. "Biba mau makan, Nak? Biar Bu'de ambilkan," tawarku. Setelah memandikannya, aku meletakkan Habibah di kursi yang ada di meja makan."Mau Bu'de. Biba lapar. Tadi malam nggak makan," jawabnya polos. Aku tersenyum lirih, lalu mengambilkan nasi serta lauk yang disukai ponakan cantikku ini. "Memangnya tadi malam, kenapa Biba nggak makan?" tanyaku iseng. Sambil tangan ini menyuapi nasi ke mulut kecilnya. Biasanya anak kecil jika makannya disuapi pasti makannya banyak dan lahap."Mama malas masak. Sibuk cefi-cefi!" jawabnya cadel. Aku cuma
Besok paginya Mas Wahyu mengambil cuti. Sesuai rencana dia mengantarkan aku ke rumah Mama. Tapi sebelumnya tentu suamiku itu menelpon terlebih dahulu dan memberi kabar agar saat aku pulang kedua orang tuaku tak terkejut. Nanti disangka aku dan Mas Wahyu yang bertengkar. "Assalamualaikum," ujar aku dan Mas Wahyu secara berbarengan.Kami berdua masuk ke dalam rumah yang selama ini menjadi tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. "Waalaikum salam. Eh ... kalian sudah sampai, Nak? Ayo masuk, kok malah nunggu di depan," sahut Mama pada kami. Aku dan Mas Wahyu tersenyum. Bik janah datang menghampiri, aku menyapanya dengan ramah. Mama membawa aku dan Mas Wahyu duduk di ruang keluarga. Sedangkan Bik janah membantu membawakan tasku ke kamar. Aku tak membawa banyak pakaian ke sini. Karena pakaianku yang dulu juga masih banyak tersusun rapi di lemari kamarku. "Jadi rencana kalian, mau pindah dari kontrakan itu? Pindah kemana?" tanya Mama. "Belum tahu, Ma. Masih di cari, soalnya mencari kontr
Pov. Sri Aku kesal, kepalaku juga pusing. Mas Hadi sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Dulu dia selalu menuruti keinginanku tanpa membantahnya sedikit pun. Namun kini berbeda, dia selalu saja mengajakku berdebat dan bahkan dia mulai menyalahkan aku. Memarahiku bahkan tak segan-segan membentakku. Seperti tadi pagi. Mas Hadi memaki aku hanya karena hari sudah siang tetapi diriku belum juga masak. Biasanya juga aku masaknya siang. Salah dia sendiri kenapa nggak kerja. Kalau dia kerjakan enak, dia bisa makan di rumah makan tempatnya bekerja.Aku membongkar isi kulkasku. Mencari bahan makanan yang bisa aku masak untuk menu makan siang ini. Jika aku tidak masak bisa-bisa Mas Hadi mengamuk kembali. Lagi pula aku juga sudah tak punya uang, jika harus membeli makanan di luar. Ya, itung-itung sekalian penghematan gitu, walau sebenarnya terlambat."Ma! Kamu mau masak apa?" tanya Mas Hadi menghampiriku. Dia ikut nimbrung denganku melongok melihat isi kulkas dari atas."Nggak tahu! Nggak a
Semakin hari keuangan kami semakin menipis. Berkat bantuan abang pertamaku Mas Hadi akhirnya mendapatkan pekerjaan kembali. Dia bekerja menjadi satpam di sebuah rumah sakit. Dengan gaji kisaran dua juta rupiah. Tidak terlalu tinggi dari gaji yang dulu dan juga tak ada seseran tapi kerjanya cukup ringan hanya berdiri dan mengawasi saja. Jika mendapat shif malam, maka Mas Hadi harus rela jam tidurnya dia habiskan untuk bekerja sebagai gantinya dia akan tidur di siang hari. Sudah seperti kelelawar saja."Ma. Perumahan yang kita ambil itu, bagaimana kalau kita oper kredit saja. Lumayan, kan, uang cashback bisa kita gunakan untuk membeli rumah yang kecil tanpa harus membayar kredit setiap bulan. Lagi pula, kontrakan kita sebulan lagi akan habis. Aku sudah nggak sanggup bayar kontrakan lagi, Ma. Biar kecil dan jelek, enakan rumah sendiri." ujar Mas Hadi saat kami duduk berdua di teras belakang.Tadi malam Mas Hari dapat jatah jaga malam, makanya siang ini dia ada di rumah dan baru bangun
Mas Hadi terus membujukku tiada henti. Aku yang enggan lama-lama pun akhirnya ngikut juga. Aku pun memutuskan untuk melepas rumah yang menjadi impianku itu karena masalah keuangan kami yang tak memungkinkan. Minggu pagi, sesuai kesepakan aku dan Mas Hadi, kami pergi ke Presiden Suit Garden dengan orang yang katanya ingin menggantikan rumah tersebut. Kami menaiki motor sedangkan mereka menaiki mobil. Menjadi pemandangan yang kontras saat parkir bersebelahan.Motor kami terparkir rapi di sebelah mobil mereka. T*yota inn*va seri keluaran terbaru. Membuat motorku tampak begitu kecil. Seperti kereta kencana dan gerobak butut.Nama pasangan itu Hendra dan Juwita. Juwita umurnya mungkin lebih muda tiga atau dua tahun dariku. Sedangkan Hendra umurnya jauh lebih tua dari abangku, namanya pun juga sama tapi ya lebih ganteng abangku dari segi manapun. Selisih umur Juwita dan Hendra mungkin sekitar 10 tahun. Dari cerita yang aku tanggap dari Mas Hadi. Mas Hendra adalah duda anak satu, sedangka