Pagi-pagi sekali aku menemui Mbak Yuni di rumahnya, setelah menitipkan Habibah sebentar pada Mbak Anna. Wanita itu sempat bingung melihatku yang sudah misuh-misuh pagi-pagi begini. Tapi urung dia tanya padaku. Lagi pula aku juga malas menjawabnya.Tok! Tok! Tok!Aku menggedor pintu rumah Mbak Yuni dengan keras. Emosiku yang telah aku pendam dari tadi malam masih membuncah di dalam dada.Aku juga tahu, hanya ada Mbak Yuni di rumah. Sedangkan Bang Hendra sedang ada di Batam saat ini. Mungkin dia akan pulang dua hari lagi.Ceklek!Mbak Yuni membuka pintu rumahnya, sebuah seringai mengejek terukir di sudut bibirnya saat melihat kehadiranku. Membuat emosiku semakin menjadi saja melihat kesombongannya itu."Mau ngapain kamu ke sini? Mau pinjam uang! Nggak ada!" ucapnya ketus menghujam ke hatiku.Sombong banget dia sebagai Ipar. Jika bukan karena abangku yang bekerja keras. Maka hidupnya tak mungkin layak seperti ini. Dia hanya anak pedagang susah. Jangankan untuk sekolah atau kuliah untuk m
Aku pulang ke rumah dengan perasaan dongkol. Mbak Yuni tak pernah merasa bersalah terhadap sikapnya terhadapku. Pendamaian yang disusun perangkat desa tak juga mempan pada kami dan kembali berujung pada pertengkaran sengit lagi. Jujur aku juga sedikit iri dengan Mbak Yuni yang dapat suami giat cari uang dan pintar memanfaatkan peluang. Tak seperti suamiku yang pemalas dan bodoh. Tapi kalau soal urusan ranjang aja jago. Setelah pulang ke rumah, aku langsung mampir ke rumah Mbak Anna. Menjemput putriku Habibah. Sebelum mulut istri Mas Wahyu itu mulai bernyanyi sumbang lagi. Heran, kenapa semua saudara iparku. Hatinya pada jelek banget sih. Nggak ada rasa empati sedikit pun pada saudara lain yang kesusahan. Boro-boro bantu dalam soal materi, minta kebutuhan yang ada di dapurnya saja pelitnya bukan main. Selalu iri jika melihat hidupku senang. Giliran aku susah malah diomongin. Huh!"Loh, Sri ... wajah kamu kenapa babak belur begitu?" tanya Mbak Anna saat aku Baru saja masuk ke dalam
Pov. AnnaPagi-pagi sekali, Sri menitipkan anaknya dengan raut wajah seperti guguk putus ekor. Saking galaknya, beruang saja enggan untuk menegurnya.Sampai siang hari dia jemput anaknya dari rumahku. Ekspresinya juga masih sama. Muka di tekuk. Ehh ... sore ini sudah balik girang lagi! Jadi penasaran aku. Cepat banget suasana hatinya berubah haluan?"Girang amat, Sri? Kalau ada yang yang menggembirakan, bagi-bagi dong!" seruku.Sri sedang berselfi ria di teras rumah dengan ponsel barunya. Tentu saja teras rumahku. Karena dia berfoto, dengan latar belakang halaman rumahku yang di tumbuhi beraneka ragam pot bunga dari jenis yang biasa hingga yang mahal."Ehh ... Mbak Anna. Sudah seperti hantu saja Mbak. Nongol nggak kedengeran langkah kakinya," sahut Sri sambil cengengesan.Mataku mendelik. Ingin sekali aku timpuk kepalanya dengan sendalku ini. Dipikirnya aku Mbak Kunti. Jalannya melayang!"Kamu aja yang asik dengan duniamu sendiri. Orang aku dari tadi ada di pintu ini!" gerutuku. Aku
Mas tadi Sri cerita padaku, katanya dia ngambil pinjaman online," ucapku memberi tahu Mas Wahyu. Kami sudah makan dan duduk santai di depan TV. Tempat yang menjadi favorit kami di rumah ini. Aku duduk di samping Mas Wahyu sambil bergelayut manja dengan tangan suamiku yang asik mengusap lembut calon anaknya."Pinjaman online? Untuk apa?" tanya Mas Wahyu. Menoleh ke arahku."Untuk beli ponsel apel dicokot!" jawabku santai. Toh ... bukan aku ini yang berhutang."Astagfirullah al'azim! Sampai segitunya, padahal ..." Mas Wahyu menggantung ucapannya membuatku penasaran."Padahal apa, Mas?""Padahal suaminya sebentar lagi bakalan dipecat," sambung Mas Wahyu membuatku kaget."Yang benar kamu, Mas? Karena apa?" tanyaku lagi menyelidik. "Husttt ... jangan keras-keras! Nanti mereka dengar," tegur suamiku.Aku nyengir sambil menggaruk hidungku yang tak gatal. Karena kepo aku jadi tak sadar jika kami bertetanggaan. "Kamu ingat yang pernah Mas ceritakan sama kamu. Soal Hadi yang kemungkinan besa
Aku memandikan Habibah. Dan memberikannya makan. Saat Habibah di kamar mandi aku sempatkan ke sebelah sebentar, meminta pakaian Habibah pada Mas Wahyu yang sedang melerai pertengkaran mereka.Aku sempat curi dengar perdebatan Sri dan Mas Hadi. Mereka berdebat masalah hutang Sri yang menumpuk serta dirinya yang terancam di PHK. Mendengarkannya saja sudah membuat kepalaku pusing apalagi menghadapinya. Pantas saja mereka berdua bertengkar hebat saat ini. "Biba mau makan, Nak? Biar Bu'de ambilkan," tawarku. Setelah memandikannya, aku meletakkan Habibah di kursi yang ada di meja makan."Mau Bu'de. Biba lapar. Tadi malam nggak makan," jawabnya polos. Aku tersenyum lirih, lalu mengambilkan nasi serta lauk yang disukai ponakan cantikku ini. "Memangnya tadi malam, kenapa Biba nggak makan?" tanyaku iseng. Sambil tangan ini menyuapi nasi ke mulut kecilnya. Biasanya anak kecil jika makannya disuapi pasti makannya banyak dan lahap."Mama malas masak. Sibuk cefi-cefi!" jawabnya cadel. Aku cuma
Besok paginya Mas Wahyu mengambil cuti. Sesuai rencana dia mengantarkan aku ke rumah Mama. Tapi sebelumnya tentu suamiku itu menelpon terlebih dahulu dan memberi kabar agar saat aku pulang kedua orang tuaku tak terkejut. Nanti disangka aku dan Mas Wahyu yang bertengkar. "Assalamualaikum," ujar aku dan Mas Wahyu secara berbarengan.Kami berdua masuk ke dalam rumah yang selama ini menjadi tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. "Waalaikum salam. Eh ... kalian sudah sampai, Nak? Ayo masuk, kok malah nunggu di depan," sahut Mama pada kami. Aku dan Mas Wahyu tersenyum. Bik janah datang menghampiri, aku menyapanya dengan ramah. Mama membawa aku dan Mas Wahyu duduk di ruang keluarga. Sedangkan Bik janah membantu membawakan tasku ke kamar. Aku tak membawa banyak pakaian ke sini. Karena pakaianku yang dulu juga masih banyak tersusun rapi di lemari kamarku. "Jadi rencana kalian, mau pindah dari kontrakan itu? Pindah kemana?" tanya Mama. "Belum tahu, Ma. Masih di cari, soalnya mencari kontr
Pov. Sri Aku kesal, kepalaku juga pusing. Mas Hadi sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Dulu dia selalu menuruti keinginanku tanpa membantahnya sedikit pun. Namun kini berbeda, dia selalu saja mengajakku berdebat dan bahkan dia mulai menyalahkan aku. Memarahiku bahkan tak segan-segan membentakku. Seperti tadi pagi. Mas Hadi memaki aku hanya karena hari sudah siang tetapi diriku belum juga masak. Biasanya juga aku masaknya siang. Salah dia sendiri kenapa nggak kerja. Kalau dia kerjakan enak, dia bisa makan di rumah makan tempatnya bekerja.Aku membongkar isi kulkasku. Mencari bahan makanan yang bisa aku masak untuk menu makan siang ini. Jika aku tidak masak bisa-bisa Mas Hadi mengamuk kembali. Lagi pula aku juga sudah tak punya uang, jika harus membeli makanan di luar. Ya, itung-itung sekalian penghematan gitu, walau sebenarnya terlambat."Ma! Kamu mau masak apa?" tanya Mas Hadi menghampiriku. Dia ikut nimbrung denganku melongok melihat isi kulkas dari atas."Nggak tahu! Nggak a
Semakin hari keuangan kami semakin menipis. Berkat bantuan abang pertamaku Mas Hadi akhirnya mendapatkan pekerjaan kembali. Dia bekerja menjadi satpam di sebuah rumah sakit. Dengan gaji kisaran dua juta rupiah. Tidak terlalu tinggi dari gaji yang dulu dan juga tak ada seseran tapi kerjanya cukup ringan hanya berdiri dan mengawasi saja. Jika mendapat shif malam, maka Mas Hadi harus rela jam tidurnya dia habiskan untuk bekerja sebagai gantinya dia akan tidur di siang hari. Sudah seperti kelelawar saja."Ma. Perumahan yang kita ambil itu, bagaimana kalau kita oper kredit saja. Lumayan, kan, uang cashback bisa kita gunakan untuk membeli rumah yang kecil tanpa harus membayar kredit setiap bulan. Lagi pula, kontrakan kita sebulan lagi akan habis. Aku sudah nggak sanggup bayar kontrakan lagi, Ma. Biar kecil dan jelek, enakan rumah sendiri." ujar Mas Hadi saat kami duduk berdua di teras belakang.Tadi malam Mas Hari dapat jatah jaga malam, makanya siang ini dia ada di rumah dan baru bangun
Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati
"Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit
"Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h
Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S
Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya
Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa
Acara makan siang kami yang harusnya santai menjadi tak mengenakkan. Mas Wahyu tampak kesal dengan apa yang di lihatnya barusan. Sementara Hadi tampak canggung di seberang sana dengan posisi yang telah kembali seperti semula. "Mas, kita pulang saja yuk. Makanannya juga sudah habis," ajakku. Niat hati masih ingin berlama-lama sambil menikmati view kolam ikan dan teratai kini pupus sudah. Mas Wahyu mengangguk. Kami keluar dari pondok kemudian menapaki jembatan anyaman bambu selangkah demi selangkah. Setelah membayar makanan di kasir, aku dan Mas Wahyu pun masuk ke dalam mobil. Suamiku tampak tengah memandangi ponselnya sejenak, raut wajah itu pun berubah semakin masam. "Ada apa Mas?" tanyaku yang tengah menarik sabun pengaman untuk melingkar ke badanku. "Kamu lihat sendiri, Dek."Mas Wahyu menunjukkan layar ponselnya padaku. Terlihat sebuah pesan chat masuk dari lelaki yang membuat kami kaget di pondok tadi. Pesannya berisi tentang permintaan untuk mengabaikan apa yang baru saja ka
Pov. AnnaPagi ini aku melihat Mertuanya Sri datang ke rumah mereka setelah Mas Wahyu memberi kabar tentang pertengkaran Sri dan Hadi. Sebenarnya aku kasihan melihat Sri dalam kondisi wajah bengkak seperti tadi malam. Tapi balik lagi semua ini karena ulahnya sendiri. "Sebenarnya semalam gara-gara apa mereka ribut, Mas?" tanyaku pada suamiku untuk memulai obrolan kami di pagi hari ini. Hari ini Mas Wahyu ambil cuti kerja. Dia menemaniku duduk santai di ruang tamu sambil sesekali mataku mengintip ke arah rumah Sri dari balik hordeng jendela. "Katanya Hadi ketahuan selingkuh, kepergok Sri mereka keluar dari hotel.""Astaghfirullah," ucapku istighfar seraya menutup mulut karena tak percaya. Hadi memang sifatnya tak dapat dipercaya dan curang tapi tak kepikiran juga kalau dia sanggup untuk selingkuh. Secara selama ini dia terlihat begitu menuruti segala keinginan Sri."Terus Mas?" tanyaku meminta Mas Wahyu melanjutkan lagi ceritanya. Aku begitu penasaran dan kalau bisa jangan sampai me
Pertengkaran diantara kami semakin memanas hingga tak ditemukan kata tenang. Mas Hadi dan Tika terus menyalahkanku, sementara aku tentu saja tak terima di salahkan. Bukannya memang tugas seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Jika pada akhirnya si istri berhutang di luaran sana itu berarti si suami yang tak bisa memenuhi kebutuhan istrinya. "Sudah! Sudah! Mama tambah pusing mendengar kalian semua. Tak ada satupun yang mau mengalah. Jika terus saja saling jawab menjawab, kapan masalah ini berakhir," sentak Mertua yang tak lagi tahan dengan kebisingan ini. Kini dia menatap mataku intenst. Ada pancaran tak suka dari tatapan matanya. Ya ... sebaik apa pun mertua tetap saja saat terjadi pertengkaran dia pasti akan membela anaknya. Entah itu secara halus atau terang-terangan. "Kamu juga, Sri. Tugas suami memang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, tapi kamu sebagai istri juga harus tahu diri. Jangan mengikuti ukuran sepatu orang lain dan inilah hasilnya," lanjutn