Mas tadi Sri cerita padaku, katanya dia ngambil pinjaman online," ucapku memberi tahu Mas Wahyu. Kami sudah makan dan duduk santai di depan TV. Tempat yang menjadi favorit kami di rumah ini. Aku duduk di samping Mas Wahyu sambil bergelayut manja dengan tangan suamiku yang asik mengusap lembut calon anaknya."Pinjaman online? Untuk apa?" tanya Mas Wahyu. Menoleh ke arahku."Untuk beli ponsel apel dicokot!" jawabku santai. Toh ... bukan aku ini yang berhutang."Astagfirullah al'azim! Sampai segitunya, padahal ..." Mas Wahyu menggantung ucapannya membuatku penasaran."Padahal apa, Mas?""Padahal suaminya sebentar lagi bakalan dipecat," sambung Mas Wahyu membuatku kaget."Yang benar kamu, Mas? Karena apa?" tanyaku lagi menyelidik. "Husttt ... jangan keras-keras! Nanti mereka dengar," tegur suamiku.Aku nyengir sambil menggaruk hidungku yang tak gatal. Karena kepo aku jadi tak sadar jika kami bertetanggaan. "Kamu ingat yang pernah Mas ceritakan sama kamu. Soal Hadi yang kemungkinan besa
Aku memandikan Habibah. Dan memberikannya makan. Saat Habibah di kamar mandi aku sempatkan ke sebelah sebentar, meminta pakaian Habibah pada Mas Wahyu yang sedang melerai pertengkaran mereka.Aku sempat curi dengar perdebatan Sri dan Mas Hadi. Mereka berdebat masalah hutang Sri yang menumpuk serta dirinya yang terancam di PHK. Mendengarkannya saja sudah membuat kepalaku pusing apalagi menghadapinya. Pantas saja mereka berdua bertengkar hebat saat ini. "Biba mau makan, Nak? Biar Bu'de ambilkan," tawarku. Setelah memandikannya, aku meletakkan Habibah di kursi yang ada di meja makan."Mau Bu'de. Biba lapar. Tadi malam nggak makan," jawabnya polos. Aku tersenyum lirih, lalu mengambilkan nasi serta lauk yang disukai ponakan cantikku ini. "Memangnya tadi malam, kenapa Biba nggak makan?" tanyaku iseng. Sambil tangan ini menyuapi nasi ke mulut kecilnya. Biasanya anak kecil jika makannya disuapi pasti makannya banyak dan lahap."Mama malas masak. Sibuk cefi-cefi!" jawabnya cadel. Aku cuma
Besok paginya Mas Wahyu mengambil cuti. Sesuai rencana dia mengantarkan aku ke rumah Mama. Tapi sebelumnya tentu suamiku itu menelpon terlebih dahulu dan memberi kabar agar saat aku pulang kedua orang tuaku tak terkejut. Nanti disangka aku dan Mas Wahyu yang bertengkar. "Assalamualaikum," ujar aku dan Mas Wahyu secara berbarengan.Kami berdua masuk ke dalam rumah yang selama ini menjadi tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. "Waalaikum salam. Eh ... kalian sudah sampai, Nak? Ayo masuk, kok malah nunggu di depan," sahut Mama pada kami. Aku dan Mas Wahyu tersenyum. Bik janah datang menghampiri, aku menyapanya dengan ramah. Mama membawa aku dan Mas Wahyu duduk di ruang keluarga. Sedangkan Bik janah membantu membawakan tasku ke kamar. Aku tak membawa banyak pakaian ke sini. Karena pakaianku yang dulu juga masih banyak tersusun rapi di lemari kamarku. "Jadi rencana kalian, mau pindah dari kontrakan itu? Pindah kemana?" tanya Mama. "Belum tahu, Ma. Masih di cari, soalnya mencari kontr
Pov. Sri Aku kesal, kepalaku juga pusing. Mas Hadi sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Dulu dia selalu menuruti keinginanku tanpa membantahnya sedikit pun. Namun kini berbeda, dia selalu saja mengajakku berdebat dan bahkan dia mulai menyalahkan aku. Memarahiku bahkan tak segan-segan membentakku. Seperti tadi pagi. Mas Hadi memaki aku hanya karena hari sudah siang tetapi diriku belum juga masak. Biasanya juga aku masaknya siang. Salah dia sendiri kenapa nggak kerja. Kalau dia kerjakan enak, dia bisa makan di rumah makan tempatnya bekerja.Aku membongkar isi kulkasku. Mencari bahan makanan yang bisa aku masak untuk menu makan siang ini. Jika aku tidak masak bisa-bisa Mas Hadi mengamuk kembali. Lagi pula aku juga sudah tak punya uang, jika harus membeli makanan di luar. Ya, itung-itung sekalian penghematan gitu, walau sebenarnya terlambat."Ma! Kamu mau masak apa?" tanya Mas Hadi menghampiriku. Dia ikut nimbrung denganku melongok melihat isi kulkas dari atas."Nggak tahu! Nggak a
Semakin hari keuangan kami semakin menipis. Berkat bantuan abang pertamaku Mas Hadi akhirnya mendapatkan pekerjaan kembali. Dia bekerja menjadi satpam di sebuah rumah sakit. Dengan gaji kisaran dua juta rupiah. Tidak terlalu tinggi dari gaji yang dulu dan juga tak ada seseran tapi kerjanya cukup ringan hanya berdiri dan mengawasi saja. Jika mendapat shif malam, maka Mas Hadi harus rela jam tidurnya dia habiskan untuk bekerja sebagai gantinya dia akan tidur di siang hari. Sudah seperti kelelawar saja."Ma. Perumahan yang kita ambil itu, bagaimana kalau kita oper kredit saja. Lumayan, kan, uang cashback bisa kita gunakan untuk membeli rumah yang kecil tanpa harus membayar kredit setiap bulan. Lagi pula, kontrakan kita sebulan lagi akan habis. Aku sudah nggak sanggup bayar kontrakan lagi, Ma. Biar kecil dan jelek, enakan rumah sendiri." ujar Mas Hadi saat kami duduk berdua di teras belakang.Tadi malam Mas Hari dapat jatah jaga malam, makanya siang ini dia ada di rumah dan baru bangun
Mas Hadi terus membujukku tiada henti. Aku yang enggan lama-lama pun akhirnya ngikut juga. Aku pun memutuskan untuk melepas rumah yang menjadi impianku itu karena masalah keuangan kami yang tak memungkinkan. Minggu pagi, sesuai kesepakan aku dan Mas Hadi, kami pergi ke Presiden Suit Garden dengan orang yang katanya ingin menggantikan rumah tersebut. Kami menaiki motor sedangkan mereka menaiki mobil. Menjadi pemandangan yang kontras saat parkir bersebelahan.Motor kami terparkir rapi di sebelah mobil mereka. T*yota inn*va seri keluaran terbaru. Membuat motorku tampak begitu kecil. Seperti kereta kencana dan gerobak butut.Nama pasangan itu Hendra dan Juwita. Juwita umurnya mungkin lebih muda tiga atau dua tahun dariku. Sedangkan Hendra umurnya jauh lebih tua dari abangku, namanya pun juga sama tapi ya lebih ganteng abangku dari segi manapun. Selisih umur Juwita dan Hendra mungkin sekitar 10 tahun. Dari cerita yang aku tanggap dari Mas Hadi. Mas Hendra adalah duda anak satu, sedangka
"Istri saya sangat suka dengan rumah ini, kami siap membayar rumah ini dengan harga yang disepakati.""Tidak, rumah ini tidak jadi saya oper kredit!" jawabku lantang memotong ucapan Mas Hendra dengan Mas Hadi. Juwita yang tersentak kaget langsung menatap kw arahku tak suka kemudian bergelayut merengek pada suaminya. Semakin membuatku jijik saja. "Bagaimana ini Pak Hadi? Sebenarnya rumah ini mau dialihkan atau tidak? Jangan mempermainkan kami seperti ini!" marah pria hitam gendut itu pada kami. "Sebentar Mas, sepertinya ini ada kesalahpahaman." Mas Hadi beralih menatap tajam kepadaku seraya berbisik. "Kamu kesambet apa sih, Ma. Tiba-tiba marah-marah dan membatalkannya sepihak seperti ini? Kemarinkan kamu sudah setuju."Masa bodoh! Aku tak peduli sekali aku bilang tidak ya tetap saja tidak. Aku tak jadi mengalihkan rumah ini!" balasku tegas tak tergoyahkan. Pandangan mataku dan Juwita bertemu, aku mendengkus dan memainkan bibirku tak suka padanya. "Pokoknya Mami mau rumah ini Papi. T
Pagi ini udara terasa segar yang begitu cerah, secerah hatiku yang tengah berbunga-bunga. Tak ada angin dan tak ada hujan, Bang Hendra tiba-tiba mengirimkan aku uang satu juta setelah aku mengenalkannya dengan temanku yang cantik dan seksi dari dunia maya. Seperti biasa, pagi-pagi begini mang tukang sayur sudah nangkring aja di depan rumahku menjadi pendengar setia untuk ibu-ibu komplek yang merumpi. Dengan semangat 45 yang membara aku pun mendekati. Melirik-lirik plastik yang tergantung di gerobaknya. Sebenarnya aku ingin ke pasar setelah mendapatkan uang dari Bang Hendra, tapi kuurungkan niatku pergi ke pasar. Sepertinya lebih menarik belanja di mamang tukang sayur sekalian mamerin rumah baru."Kamu lagi ngapain Sri? Itu kardus-kardus besar depan rumahmu untuk apa sebanyak itu?" tanya Bu Endang. Aku tersenyum simpul. Inilah moment yang aku tunggu-tunggu dan aku memang sengaja meletakkan kardus di sana untuk memancir perhatian dari mereka semua. "Oh, itu untuk wadah paking baran