"Istri saya sangat suka dengan rumah ini, kami siap membayar rumah ini dengan harga yang disepakati.""Tidak, rumah ini tidak jadi saya oper kredit!" jawabku lantang memotong ucapan Mas Hendra dengan Mas Hadi. Juwita yang tersentak kaget langsung menatap kw arahku tak suka kemudian bergelayut merengek pada suaminya. Semakin membuatku jijik saja. "Bagaimana ini Pak Hadi? Sebenarnya rumah ini mau dialihkan atau tidak? Jangan mempermainkan kami seperti ini!" marah pria hitam gendut itu pada kami. "Sebentar Mas, sepertinya ini ada kesalahpahaman." Mas Hadi beralih menatap tajam kepadaku seraya berbisik. "Kamu kesambet apa sih, Ma. Tiba-tiba marah-marah dan membatalkannya sepihak seperti ini? Kemarinkan kamu sudah setuju."Masa bodoh! Aku tak peduli sekali aku bilang tidak ya tetap saja tidak. Aku tak jadi mengalihkan rumah ini!" balasku tegas tak tergoyahkan. Pandangan mataku dan Juwita bertemu, aku mendengkus dan memainkan bibirku tak suka padanya. "Pokoknya Mami mau rumah ini Papi. T
Pagi ini udara terasa segar yang begitu cerah, secerah hatiku yang tengah berbunga-bunga. Tak ada angin dan tak ada hujan, Bang Hendra tiba-tiba mengirimkan aku uang satu juta setelah aku mengenalkannya dengan temanku yang cantik dan seksi dari dunia maya. Seperti biasa, pagi-pagi begini mang tukang sayur sudah nangkring aja di depan rumahku menjadi pendengar setia untuk ibu-ibu komplek yang merumpi. Dengan semangat 45 yang membara aku pun mendekati. Melirik-lirik plastik yang tergantung di gerobaknya. Sebenarnya aku ingin ke pasar setelah mendapatkan uang dari Bang Hendra, tapi kuurungkan niatku pergi ke pasar. Sepertinya lebih menarik belanja di mamang tukang sayur sekalian mamerin rumah baru."Kamu lagi ngapain Sri? Itu kardus-kardus besar depan rumahmu untuk apa sebanyak itu?" tanya Bu Endang. Aku tersenyum simpul. Inilah moment yang aku tunggu-tunggu dan aku memang sengaja meletakkan kardus di sana untuk memancir perhatian dari mereka semua. "Oh, itu untuk wadah paking baran
Hari yang dinantikan pun tiba. Dari pukul 10 pagi, sebuah mobil pick up terparkir di depan rumahku. Dua orang kubayar untuk memindahkan barang-barangku yang ada di kontrakan ini menuju rumah baruku. Aku sudah tak sabar bertemu dengan Mbak Anna. Menunjukkan padanya, aku juga bisa pindah ke rumah itu. Kontrakan Mbak Anna yang ada di sebelahku saat ini masih ada masa kontraknya. Barang-barangnya yang ada di dalam juga masih banyak.Katanya akan diangkat oleh orang tuanya awal bulan depan. Karena saat ini dia sedang hamil besar jadi tak sanggup membereskan semuanya sendiri. Dasar manja!"Hati-hati ngangkatnya ya, Bang! Itu barang saya semuanya mahallll!" seruku pada tukang angkut. Saat mereka tak sengaja membuat sofaku tersangkut di pintu. Alasannya pintu yang kekecilan dan sempit padahal mereka saja yang tidak hati-hati.Pukul tiga sore semua barang yang ada di rumah lama akhirnya selesai juga dipindahkan ke rumah baru. Semuanya sudah tersusun bertumpuk di ruang tamu, hanya tinggal beb
Pov. AnnaDi mana ada komplek perumahan, di situlah tukang sayur keliling hadir, menjajakan dagangan mereka. Seperti yang terjadi pagi ini. Ada Mamang sayur yang sedang terparkir di depan rumahku. Mang Joko namanya. Katanya dia langganan ibu-ibu komplek di jalur ini. Sebenarnya ada tiga orang tukang sayur yang keliling menjajakan dagangannya. Hanya saja, Mang Joko ini terkenal ramah, murah dan lengkap. Itu sebabnya ibu-ibu di sini suka berbelanja dengan Mang Joko dan selalu hapal jam-jam Mang Joko datang. Itu yang aku lihat setelah beberapa hari tinggal di komplek ini.Toet! Toet! Toet!Bunyi klakson Mang sayur berbunyi begitu nyaring memanggil ibu-ibu yang ada di komplek ini untuk berkumpul. Begitu pun denganku.Baru saja kaki ini melangkah ke depan teras, aku sudah melihat Sri bergabung dengan ibu-ibu komplek yang lain. Kuakui Sri adalah orang yang paling cepat berbaur. Baru dua hari pindah dia sudah bisa akrab dengan ibu-ibu di komplek ini. Walau nanti satu persatu mereka akan m
Bu Renny yang mulai malu langsung mengeluarkan dua lembaran merah dari dompetnya. "Berapa utang saya, Mang? Nih saya bayar lunas! Sebenarnya saya juga malas belanja di tukang sayur. Kemaren juga kalau bukan karena Mamang yang maksa, mana mau saya!" sungutnya sembari membanting uang di atas gerobak sayur tersebut. Mang Joko tampak terkejut dan geram, dia mungkin ingin membalas ucapan Bu Renny. Tapi nyalinya ciut melihat mata Bu Renny yang menjelit begitu tajam seakan ingin menebas kepala membuat Mang Joko diam. Dia langsung saja mengambil uang tersebut dengan mata yang sedikit berkaca-kaca dan membiarkan Bu Renny mengomel seorang diri. Aku yakin saat ini hati pria paruh baya itu tengah teriris. Saat mengutang manisnya ngalahin madu tapi saat di bayar malah balik menghina, pahit bak empedu. Begitulah manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu terima kasih seperti Bu Renny. "Lunas itu ya Mang. Jangan tagih-t
Tak terasa sudah hampir tiga bulan Sri pindah ke depan rumahku. Selama itu pula dia gencar mendekati tetangga-tetangga yang menurutnya kaya dan royal. Aku yang duduk di teras sambil mengemil buah, menatap ke arah rumah Sri yang tampak sepi ditinggal pemiliknya pergi jalan-jalan ke pantai dari postingan yang dia unggah satu jam yang lalu."Assalamualaikum, Ann!" seru Mbak Clara. Aku menoleh. Tangan kanannya berusaha membuka pintu rumah ini. Sedangkan tangannya satu lagi memegang sebuah kotak berwarna hijau yang cukup besar."Bisa Mbak?" tanyaku pada Mbak Clara sambil berusaha berdiri dari dudukku."Bisa kok Ann. Kamu duduk saja di sana! Kasihan Mbak lihat kamu bawa perut gede gitu!" blas Mbak Clara perhatian yang berhasil membuka pintu dan masuk ke dalam. Namun terlebih dahulu menutup pintu itu kembali rapat-rapat. "Apa itu Mbak?" tanyaku lagi saat dia sudah berdiri di hadapanku. Dahiku berkerut melihat kotak hijau yang sedari tadi
"Dia saudara sepupu Mbak Anna?" tanya Sri memastikan mendengarnya. Ekpresi wajahnya seolah tak percaya, tapi matanya masih memandang sinis ke arah Mbak Clara. Sedangkan Mbak Clara tersenyum geli. Lagian ada-ada saja dia, memang apa yang salah dari Mbak Clara. Penampilannya yang sederhana aku rasa masih pantas-pantas saja. "Iya, memangnya kenapa? Lagi pula, ngapain kamu ke sini?" ketusku. Rasanya ingin sekali mengusirnya. Amit-amit cabang bayi, aku mengusap perutku sembari merapalkan matra. Orang tua bilang jangan terlalu benci pada seseorang saat sedang hamil, takutnya nanti anak yang lahir akan mirip dengan orang tersebut dan aku tak mau hal itu terjadi. "Jngan marah-marah gitu dong Mbak. Aku kesini dengan maksud baik agar kita bisa sukses bersama. Walaupun Mbak Ana hanya Ibu rumah tangga biasa, Mbak juga bisa punya penghasilan dan tabungan biar gak dikira beban suami."Keningku berkerut mendengar ucapannya yang tak jelas mau kemana.
"Mas saudara kamu itu lucu banget deh," ucapku pada Mas Wahyu di sela-sela makan malam kami."Sri maksud kamu, Dek? Lucu bagaimana?" tanyanya acuh. Mas Wahyu menikmati makan malamnya dengan lahap karena aku memasakkan menu favorit pesanannya."Masa tadi sore datang nawari aku dan Mbak Clara ikut arisan. Tapi maksa dan ngotot banget seakan kami harus berkata iya. Saat kami tetap kekeuh untuk tidak ikut. Ehh ... dia malah ngambek," jelasku.Mas Wahyu yang sudah selesai makan, langsung mengambil gelas yang berisi air putih di hadapannya. Meminumnya hingga tandas. Lalu meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. "Bagus deh kalau kamu nggak ikut, Dek. Soalnya nanti jadi masalah. Kamu tahu sendiri bagaimana watak mereka sedari dulu! Tak akan berubah." Aku mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan suamiku. Selesai makan, aku mengikuti langkah kaki suamiku ke ruang keluarga. Seperti biasa, kami akan mengobrol dan bercerita di ruang keluarga sambil menonton TV. Suamiku memutar chanel kes