Hari yang dinantikan pun tiba. Dari pukul 10 pagi, sebuah mobil pick up terparkir di depan rumahku. Dua orang kubayar untuk memindahkan barang-barangku yang ada di kontrakan ini menuju rumah baruku. Aku sudah tak sabar bertemu dengan Mbak Anna. Menunjukkan padanya, aku juga bisa pindah ke rumah itu. Kontrakan Mbak Anna yang ada di sebelahku saat ini masih ada masa kontraknya. Barang-barangnya yang ada di dalam juga masih banyak.Katanya akan diangkat oleh orang tuanya awal bulan depan. Karena saat ini dia sedang hamil besar jadi tak sanggup membereskan semuanya sendiri. Dasar manja!"Hati-hati ngangkatnya ya, Bang! Itu barang saya semuanya mahallll!" seruku pada tukang angkut. Saat mereka tak sengaja membuat sofaku tersangkut di pintu. Alasannya pintu yang kekecilan dan sempit padahal mereka saja yang tidak hati-hati.Pukul tiga sore semua barang yang ada di rumah lama akhirnya selesai juga dipindahkan ke rumah baru. Semuanya sudah tersusun bertumpuk di ruang tamu, hanya tinggal beb
Pov. AnnaDi mana ada komplek perumahan, di situlah tukang sayur keliling hadir, menjajakan dagangan mereka. Seperti yang terjadi pagi ini. Ada Mamang sayur yang sedang terparkir di depan rumahku. Mang Joko namanya. Katanya dia langganan ibu-ibu komplek di jalur ini. Sebenarnya ada tiga orang tukang sayur yang keliling menjajakan dagangannya. Hanya saja, Mang Joko ini terkenal ramah, murah dan lengkap. Itu sebabnya ibu-ibu di sini suka berbelanja dengan Mang Joko dan selalu hapal jam-jam Mang Joko datang. Itu yang aku lihat setelah beberapa hari tinggal di komplek ini.Toet! Toet! Toet!Bunyi klakson Mang sayur berbunyi begitu nyaring memanggil ibu-ibu yang ada di komplek ini untuk berkumpul. Begitu pun denganku.Baru saja kaki ini melangkah ke depan teras, aku sudah melihat Sri bergabung dengan ibu-ibu komplek yang lain. Kuakui Sri adalah orang yang paling cepat berbaur. Baru dua hari pindah dia sudah bisa akrab dengan ibu-ibu di komplek ini. Walau nanti satu persatu mereka akan m
Bu Renny yang mulai malu langsung mengeluarkan dua lembaran merah dari dompetnya. "Berapa utang saya, Mang? Nih saya bayar lunas! Sebenarnya saya juga malas belanja di tukang sayur. Kemaren juga kalau bukan karena Mamang yang maksa, mana mau saya!" sungutnya sembari membanting uang di atas gerobak sayur tersebut. Mang Joko tampak terkejut dan geram, dia mungkin ingin membalas ucapan Bu Renny. Tapi nyalinya ciut melihat mata Bu Renny yang menjelit begitu tajam seakan ingin menebas kepala membuat Mang Joko diam. Dia langsung saja mengambil uang tersebut dengan mata yang sedikit berkaca-kaca dan membiarkan Bu Renny mengomel seorang diri. Aku yakin saat ini hati pria paruh baya itu tengah teriris. Saat mengutang manisnya ngalahin madu tapi saat di bayar malah balik menghina, pahit bak empedu. Begitulah manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu terima kasih seperti Bu Renny. "Lunas itu ya Mang. Jangan tagih-t
Tak terasa sudah hampir tiga bulan Sri pindah ke depan rumahku. Selama itu pula dia gencar mendekati tetangga-tetangga yang menurutnya kaya dan royal. Aku yang duduk di teras sambil mengemil buah, menatap ke arah rumah Sri yang tampak sepi ditinggal pemiliknya pergi jalan-jalan ke pantai dari postingan yang dia unggah satu jam yang lalu."Assalamualaikum, Ann!" seru Mbak Clara. Aku menoleh. Tangan kanannya berusaha membuka pintu rumah ini. Sedangkan tangannya satu lagi memegang sebuah kotak berwarna hijau yang cukup besar."Bisa Mbak?" tanyaku pada Mbak Clara sambil berusaha berdiri dari dudukku."Bisa kok Ann. Kamu duduk saja di sana! Kasihan Mbak lihat kamu bawa perut gede gitu!" blas Mbak Clara perhatian yang berhasil membuka pintu dan masuk ke dalam. Namun terlebih dahulu menutup pintu itu kembali rapat-rapat. "Apa itu Mbak?" tanyaku lagi saat dia sudah berdiri di hadapanku. Dahiku berkerut melihat kotak hijau yang sedari tadi
"Dia saudara sepupu Mbak Anna?" tanya Sri memastikan mendengarnya. Ekpresi wajahnya seolah tak percaya, tapi matanya masih memandang sinis ke arah Mbak Clara. Sedangkan Mbak Clara tersenyum geli. Lagian ada-ada saja dia, memang apa yang salah dari Mbak Clara. Penampilannya yang sederhana aku rasa masih pantas-pantas saja. "Iya, memangnya kenapa? Lagi pula, ngapain kamu ke sini?" ketusku. Rasanya ingin sekali mengusirnya. Amit-amit cabang bayi, aku mengusap perutku sembari merapalkan matra. Orang tua bilang jangan terlalu benci pada seseorang saat sedang hamil, takutnya nanti anak yang lahir akan mirip dengan orang tersebut dan aku tak mau hal itu terjadi. "Jngan marah-marah gitu dong Mbak. Aku kesini dengan maksud baik agar kita bisa sukses bersama. Walaupun Mbak Ana hanya Ibu rumah tangga biasa, Mbak juga bisa punya penghasilan dan tabungan biar gak dikira beban suami."Keningku berkerut mendengar ucapannya yang tak jelas mau kemana.
"Mas saudara kamu itu lucu banget deh," ucapku pada Mas Wahyu di sela-sela makan malam kami."Sri maksud kamu, Dek? Lucu bagaimana?" tanyanya acuh. Mas Wahyu menikmati makan malamnya dengan lahap karena aku memasakkan menu favorit pesanannya."Masa tadi sore datang nawari aku dan Mbak Clara ikut arisan. Tapi maksa dan ngotot banget seakan kami harus berkata iya. Saat kami tetap kekeuh untuk tidak ikut. Ehh ... dia malah ngambek," jelasku.Mas Wahyu yang sudah selesai makan, langsung mengambil gelas yang berisi air putih di hadapannya. Meminumnya hingga tandas. Lalu meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. "Bagus deh kalau kamu nggak ikut, Dek. Soalnya nanti jadi masalah. Kamu tahu sendiri bagaimana watak mereka sedari dulu! Tak akan berubah." Aku mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan suamiku. Selesai makan, aku mengikuti langkah kaki suamiku ke ruang keluarga. Seperti biasa, kami akan mengobrol dan bercerita di ruang keluarga sambil menonton TV. Suamiku memutar chanel kes
"Assalamualaikum," seru para ibu-ibu dari pintu depan menghentikan obrolan kami tentang arisan get ala Sri."Waalaikum salam. Eh ... sudah pada datang. Ayo ... masuk ibu-ibu!" jawab Mbak Clara. Kami yang duduk di meja makan langsung keluar menemui para ibu-ibu tersebut. Kami duduk di atas karpet bulu milik Mbak Clara. Karpet bulu import yang halus. Terkadang aku bingung dengan Mbak Clara. Semua barang yang dia miliki adalah barang mewah. Bahkan baju serta sepatunya, bahkan tas. Semuanya barang branded dan tersusun banyak di lemari. Tetapi, kenapa yang dipakainya sehari-hari adalah daster itu pun sampai pudar warnanya?Kalau kata dia sih, daster kalau semakin lama. Bahannya semakin enak dan adem. Apalagi jika bolong sedikit terasa ada fentilasinya. Silir-silir semriwing."Wah Mbak Anna ternyata sudah duluan. Saya senang lihat persaudaraan yang akur seperti kalian berdua ini. Adem saja liahtnya." ujar Bu Eka. Semua orang di sini sudah tahu jika Mbak Clara adalah istri dari Kakak sepu
"Mbak An! Mbak Ana!" teriak Sri. Ia tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Tanpa basa-basi ataupun izin, wanita itu nyelonong masuk ke dalam rumahku hingga menghampiriku yang sedang berada di dapur. Sungguh tidak sopan! "Ada apa Sri?" ucapku ketus pertanda tidak suka dengan sikapnya. "Mbak ada cabe ndak, Mbak? Aku minta dikit," ujarnya seraya membuka pintu kulkasku tanpa izin. Mataku melotot melihat sikap beraninya itu. "Kamu jadi orang gak sopan banget sih, Sri. Main buka-buka aja tanpa izin!" tegurku. "Ya ampun, Mbak. Sama sepupu sendiri aja, pakai izin-izin segala," sahutnya tanpa rasa bersalah. Mataku mendelik melihat tangan gembulnya yang lincah memindahkan hampir setengah cabe yang kumiliki ke dalam plastik asoy yang dia ambil dari bawah meja. "Eh ... Sri, kamu minta apa merampok?! Itu kok diambil setengah!" tanyaku tidak terima. Baru kemaren aku membeli cabe yang beratnya sekilo itu dan baru aku masak sedikit semalam, itupun hanya untuk membuat sambal Mas Wahyu, suami