Bu Renny yang mulai malu langsung mengeluarkan dua lembaran merah dari dompetnya.
"Berapa utang saya, Mang? Nih saya bayar lunas! Sebenarnya saya juga malas belanja di tukang sayur. Kemaren juga kalau bukan karena Mamang yang maksa, mana mau saya!" sungutnya sembari membanting uang di atas gerobak sayur tersebut. Mang Joko tampak terkejut dan geram, dia mungkin ingin membalas ucapan Bu Renny. Tapi nyalinya ciut melihat mata Bu Renny yang menjelit begitu tajam seakan ingin menebas kepala membuat Mang Joko diam. Dia langsung saja mengambil uang tersebut dengan mata yang sedikit berkaca-kaca dan membiarkan Bu Renny mengomel seorang diri. Aku yakin saat ini hati pria paruh baya itu tengah teriris. Saat mengutang manisnya ngalahin madu tapi saat di bayar malah balik menghina, pahit bak empedu. Begitulah manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu terima kasih seperti Bu Renny. "Lunas itu ya Mang. Jangan tagih-tTak terasa sudah hampir tiga bulan Sri pindah ke depan rumahku. Selama itu pula dia gencar mendekati tetangga-tetangga yang menurutnya kaya dan royal. Aku yang duduk di teras sambil mengemil buah, menatap ke arah rumah Sri yang tampak sepi ditinggal pemiliknya pergi jalan-jalan ke pantai dari postingan yang dia unggah satu jam yang lalu."Assalamualaikum, Ann!" seru Mbak Clara. Aku menoleh. Tangan kanannya berusaha membuka pintu rumah ini. Sedangkan tangannya satu lagi memegang sebuah kotak berwarna hijau yang cukup besar."Bisa Mbak?" tanyaku pada Mbak Clara sambil berusaha berdiri dari dudukku."Bisa kok Ann. Kamu duduk saja di sana! Kasihan Mbak lihat kamu bawa perut gede gitu!" blas Mbak Clara perhatian yang berhasil membuka pintu dan masuk ke dalam. Namun terlebih dahulu menutup pintu itu kembali rapat-rapat. "Apa itu Mbak?" tanyaku lagi saat dia sudah berdiri di hadapanku. Dahiku berkerut melihat kotak hijau yang sedari tadi
"Dia saudara sepupu Mbak Anna?" tanya Sri memastikan mendengarnya. Ekpresi wajahnya seolah tak percaya, tapi matanya masih memandang sinis ke arah Mbak Clara. Sedangkan Mbak Clara tersenyum geli. Lagian ada-ada saja dia, memang apa yang salah dari Mbak Clara. Penampilannya yang sederhana aku rasa masih pantas-pantas saja. "Iya, memangnya kenapa? Lagi pula, ngapain kamu ke sini?" ketusku. Rasanya ingin sekali mengusirnya. Amit-amit cabang bayi, aku mengusap perutku sembari merapalkan matra. Orang tua bilang jangan terlalu benci pada seseorang saat sedang hamil, takutnya nanti anak yang lahir akan mirip dengan orang tersebut dan aku tak mau hal itu terjadi. "Jngan marah-marah gitu dong Mbak. Aku kesini dengan maksud baik agar kita bisa sukses bersama. Walaupun Mbak Ana hanya Ibu rumah tangga biasa, Mbak juga bisa punya penghasilan dan tabungan biar gak dikira beban suami."Keningku berkerut mendengar ucapannya yang tak jelas mau kemana.
"Mas saudara kamu itu lucu banget deh," ucapku pada Mas Wahyu di sela-sela makan malam kami."Sri maksud kamu, Dek? Lucu bagaimana?" tanyanya acuh. Mas Wahyu menikmati makan malamnya dengan lahap karena aku memasakkan menu favorit pesanannya."Masa tadi sore datang nawari aku dan Mbak Clara ikut arisan. Tapi maksa dan ngotot banget seakan kami harus berkata iya. Saat kami tetap kekeuh untuk tidak ikut. Ehh ... dia malah ngambek," jelasku.Mas Wahyu yang sudah selesai makan, langsung mengambil gelas yang berisi air putih di hadapannya. Meminumnya hingga tandas. Lalu meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. "Bagus deh kalau kamu nggak ikut, Dek. Soalnya nanti jadi masalah. Kamu tahu sendiri bagaimana watak mereka sedari dulu! Tak akan berubah." Aku mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan suamiku. Selesai makan, aku mengikuti langkah kaki suamiku ke ruang keluarga. Seperti biasa, kami akan mengobrol dan bercerita di ruang keluarga sambil menonton TV. Suamiku memutar chanel kes
"Assalamualaikum," seru para ibu-ibu dari pintu depan menghentikan obrolan kami tentang arisan get ala Sri."Waalaikum salam. Eh ... sudah pada datang. Ayo ... masuk ibu-ibu!" jawab Mbak Clara. Kami yang duduk di meja makan langsung keluar menemui para ibu-ibu tersebut. Kami duduk di atas karpet bulu milik Mbak Clara. Karpet bulu import yang halus. Terkadang aku bingung dengan Mbak Clara. Semua barang yang dia miliki adalah barang mewah. Bahkan baju serta sepatunya, bahkan tas. Semuanya barang branded dan tersusun banyak di lemari. Tetapi, kenapa yang dipakainya sehari-hari adalah daster itu pun sampai pudar warnanya?Kalau kata dia sih, daster kalau semakin lama. Bahannya semakin enak dan adem. Apalagi jika bolong sedikit terasa ada fentilasinya. Silir-silir semriwing."Wah Mbak Anna ternyata sudah duluan. Saya senang lihat persaudaraan yang akur seperti kalian berdua ini. Adem saja liahtnya." ujar Bu Eka. Semua orang di sini sudah tahu jika Mbak Clara adalah istri dari Kakak sepu
"Mbak An! Mbak Ana!" teriak Sri. Ia tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Tanpa basa-basi ataupun izin, wanita itu nyelonong masuk ke dalam rumahku hingga menghampiriku yang sedang berada di dapur. Sungguh tidak sopan! "Ada apa Sri?" ucapku ketus pertanda tidak suka dengan sikapnya. "Mbak ada cabe ndak, Mbak? Aku minta dikit," ujarnya seraya membuka pintu kulkasku tanpa izin. Mataku melotot melihat sikap beraninya itu. "Kamu jadi orang gak sopan banget sih, Sri. Main buka-buka aja tanpa izin!" tegurku. "Ya ampun, Mbak. Sama sepupu sendiri aja, pakai izin-izin segala," sahutnya tanpa rasa bersalah. Mataku mendelik melihat tangan gembulnya yang lincah memindahkan hampir setengah cabe yang kumiliki ke dalam plastik asoy yang dia ambil dari bawah meja. "Eh ... Sri, kamu minta apa merampok?! Itu kok diambil setengah!" tanyaku tidak terima. Baru kemaren aku membeli cabe yang beratnya sekilo itu dan baru aku masak sedikit semalam, itupun hanya untuk membuat sambal Mas Wahyu, suami
Mas Wahyu sudah berangkat kerja, kubuatkan dia sarapan oseng buncis dan sambal serta ayam goreng. Ada sisa ayam beberapa potong di kulkas yang bisa kuolah untuk sarapannya pagi ini. Aku tidak menyiapkan bekal untuk suamiku, karena dia kerja di rumah makan, pasti makan siang di tempat kerja.Aku duduk santai di ruang tamu sambil memainkan gawaiku, karena pekerjaan rumah sudah selesai semua. Hanya tinggal cucian yang sedang mutar di mesin cuci, jadi santai! Aku berselancar melihat sosial media yang berwarna biru itu.Mataku seketika melebar melihat postingan seseorang yang sangat aku kenal, siapa lagi kalau bukan tikus sebelah rumahku.[Alhamdulilah, hasil dari pintar mengelola uang suami. Walau gaji suami gak besar, tapi masih bisa nabung beli ini!] Seperti itulah status yang di tulis Sri dengan melampirkan sebuah foto logam mulia seberat tiga gram yang ia pegang. Aku meradang, emosiku mulai terpancing. Pantas saja ia bisa berhemat dan membeli benda itu. Setiap hari menjarah isi dapu
Pov. SriNamaku Sri Widiastuti, aku menikah dengan Mas Hadi dan telah dikarunia satu putri yang berumur dua tahun, Habibah Aisyah namanya.Selama ini hidup kami pas-pasan dan tak ada perkembangan, tapi semenjak beberapa bulan yang lalu Mas Hadi mengajakku pindah rumah di sebelah sepupunya ini. Hidup kami mulai ada peningkatan, bahkan aku juga bisa membeli beberapa perhiasan. Bukan karena gaji Mas Hadi yang naik. Akan tetapi, karena aku bisa lebih hemat dengan pengeluaran dapur.Istri Mas Wahyu itu bernama Rumana Ayu Diandra Putri Iskandar, widihh ... panjang bener itu nama, tapi dipanggil Ana, biar gak pegal lidah mengucapnya.Menurutku dia wanita yang baik dan sopan, untuk standar anak dari keluarga berada. Biasanya anak orang kaya itu sombong dan judes, tapi itu tidak berlaku dengan Mbak Ana. Aku akrabin diri dengannya biar ada teman di kontrakan, apalagi suami kami bersaudara jadi berasa lebih dekat.Aku minta ini dan itu, awalnya dia hanya melongo. Tentu saja ini kesempatan bagus
"Pa, Mbak Ana kebangetan banget hari ini, Pa!" aduku pada Mas Hadi.Mas hari sudah beberapa waktu yang lalu sampai di rumah, dia sudah mandi juga. Jadi aku bisa santai bercerita dengannya.Mas Hadi tampak menarik bantal lalu meletakkannya di balik punggung untuk bersandar. Mengambil posisi ternyamannya di atas ranjang ini. Sedangkan putriku, Biba. Sudah tertidur lelap di sebelahku."Memangnya ada apa dengan Mbak, Ana?" tanya suamiku acuh."Mbak Ana gak seperti dulu lagi, Pa. Dia berubah drastis, sekarang dia pelit! Tadi pagi aja, gak biasanya kulkas dia kosong. Terus ... tadi sore Mama cium Mbak Ana masak rendang, Pa. Pas Mama ke rumahnya, pintunya gak dibukain sama Mbak Ana. Pelit banget kan, Pa!" jawabku.Mas Hari terlihat menghela napas berat. "Papa juga bingung, di tempat kerja Mas Wahyu juga berubah. Dia tidak seperti biasanya yang selalu bantu kerjaan Papa. Sekarang dia lebih cuek, jadinya Papa kena marah bos terus kerena ketahuan santai di jam kerja. Biasanya, kan, Mas Wahyu ya