"Mbak An! Mbak Ana!" teriak Sri. Ia tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Tanpa basa-basi ataupun izin, wanita itu nyelonong masuk ke dalam rumahku hingga menghampiriku yang sedang berada di dapur. Sungguh tidak sopan! "Ada apa Sri?" ucapku ketus pertanda tidak suka dengan sikapnya. "Mbak ada cabe ndak, Mbak? Aku minta dikit," ujarnya seraya membuka pintu kulkasku tanpa izin. Mataku melotot melihat sikap beraninya itu. "Kamu jadi orang gak sopan banget sih, Sri. Main buka-buka aja tanpa izin!" tegurku. "Ya ampun, Mbak. Sama sepupu sendiri aja, pakai izin-izin segala," sahutnya tanpa rasa bersalah. Mataku mendelik melihat tangan gembulnya yang lincah memindahkan hampir setengah cabe yang kumiliki ke dalam plastik asoy yang dia ambil dari bawah meja. "Eh ... Sri, kamu minta apa merampok?! Itu kok diambil setengah!" tanyaku tidak terima. Baru kemaren aku membeli cabe yang beratnya sekilo itu dan baru aku masak sedikit semalam, itupun hanya untuk membuat sambal Mas Wahyu, suami
Mas Wahyu sudah berangkat kerja, kubuatkan dia sarapan oseng buncis dan sambal serta ayam goreng. Ada sisa ayam beberapa potong di kulkas yang bisa kuolah untuk sarapannya pagi ini. Aku tidak menyiapkan bekal untuk suamiku, karena dia kerja di rumah makan, pasti makan siang di tempat kerja.Aku duduk santai di ruang tamu sambil memainkan gawaiku, karena pekerjaan rumah sudah selesai semua. Hanya tinggal cucian yang sedang mutar di mesin cuci, jadi santai! Aku berselancar melihat sosial media yang berwarna biru itu.Mataku seketika melebar melihat postingan seseorang yang sangat aku kenal, siapa lagi kalau bukan tikus sebelah rumahku.[Alhamdulilah, hasil dari pintar mengelola uang suami. Walau gaji suami gak besar, tapi masih bisa nabung beli ini!] Seperti itulah status yang di tulis Sri dengan melampirkan sebuah foto logam mulia seberat tiga gram yang ia pegang. Aku meradang, emosiku mulai terpancing. Pantas saja ia bisa berhemat dan membeli benda itu. Setiap hari menjarah isi dapu
Pov. SriNamaku Sri Widiastuti, aku menikah dengan Mas Hadi dan telah dikarunia satu putri yang berumur dua tahun, Habibah Aisyah namanya.Selama ini hidup kami pas-pasan dan tak ada perkembangan, tapi semenjak beberapa bulan yang lalu Mas Hadi mengajakku pindah rumah di sebelah sepupunya ini. Hidup kami mulai ada peningkatan, bahkan aku juga bisa membeli beberapa perhiasan. Bukan karena gaji Mas Hadi yang naik. Akan tetapi, karena aku bisa lebih hemat dengan pengeluaran dapur.Istri Mas Wahyu itu bernama Rumana Ayu Diandra Putri Iskandar, widihh ... panjang bener itu nama, tapi dipanggil Ana, biar gak pegal lidah mengucapnya.Menurutku dia wanita yang baik dan sopan, untuk standar anak dari keluarga berada. Biasanya anak orang kaya itu sombong dan judes, tapi itu tidak berlaku dengan Mbak Ana. Aku akrabin diri dengannya biar ada teman di kontrakan, apalagi suami kami bersaudara jadi berasa lebih dekat.Aku minta ini dan itu, awalnya dia hanya melongo. Tentu saja ini kesempatan bagus
"Pa, Mbak Ana kebangetan banget hari ini, Pa!" aduku pada Mas Hadi.Mas hari sudah beberapa waktu yang lalu sampai di rumah, dia sudah mandi juga. Jadi aku bisa santai bercerita dengannya.Mas Hadi tampak menarik bantal lalu meletakkannya di balik punggung untuk bersandar. Mengambil posisi ternyamannya di atas ranjang ini. Sedangkan putriku, Biba. Sudah tertidur lelap di sebelahku."Memangnya ada apa dengan Mbak, Ana?" tanya suamiku acuh."Mbak Ana gak seperti dulu lagi, Pa. Dia berubah drastis, sekarang dia pelit! Tadi pagi aja, gak biasanya kulkas dia kosong. Terus ... tadi sore Mama cium Mbak Ana masak rendang, Pa. Pas Mama ke rumahnya, pintunya gak dibukain sama Mbak Ana. Pelit banget kan, Pa!" jawabku.Mas Hari terlihat menghela napas berat. "Papa juga bingung, di tempat kerja Mas Wahyu juga berubah. Dia tidak seperti biasanya yang selalu bantu kerjaan Papa. Sekarang dia lebih cuek, jadinya Papa kena marah bos terus kerena ketahuan santai di jam kerja. Biasanya, kan, Mas Wahyu ya
Pov. Ana Hari ini cuaca pagi sangat cerah, secerah hatiku yang sedang bahagia. Bahagia karena baru saja mendapatkan jatah uang belanja tambahan dari suami tersayang. Aku mencuci piring sambil bersenandung riang, memang benar kata orang tua. Jika hati riang semua pekerjaan terasa ringan dikerjakan. Kebetulan sisa rendang semalam masih ada, jadi aku tidak masak lagi hari ini. "Mbak! Mbak Ana!" Panggil Sri sambil mengetuk pintu rumahku. Aishhh ... baru saja aku merasakan ketenangan, justru sekarang si pengacau sudah nongol aja pagi-pagi begini! Bikin hilang Mood. Malas rasanya membukakan pintu untuknya. "Mbak ... Mbak Ana! Buka pintunya Mbak!" teriak wanita itu lagi. Aku yang masih mencuci piring jadi terpaksa dengan cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piringku yang tinggal dua buah lagi. Dengan langkah yang malas aku menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Aku gak mau Sri menyelonong masuk lagi ke dalam rumahku seperti yang sudah-sudah. "Ada apa? Pagi-pagi udah heboh di ruma
"Ada apa sih, Mbak? Ngamuk-ngamuk depan rumah orang seperti kesetanan?" sahut Sri kaget setelah dia membukakan pintu untukku. Nafasku naik turun, sorot mataku menatapnya tajam. Dada ini sudah dipenuhi amarah yang selama ini aku kumpulkan dan siap meledak seperti bom waktu. "Kembalikan kotak yang berwarna hitam itu padaku, sekarang juga!" "Kotak apa yang Mbak maksud? Aku tak mengerti?" tanya Sri dengan wajah polosnya.Seolah-olah dia tidak tahu, tapi sorot matanya yang tak berani menatapku secara langsung serta ekspresinya yang gelisah cukup membuatku semakin yakin bahwa dialah yang mengambil barangku tersebut."Jangan pura-pura tidak tahu, Sri! Kembalikan kotak itu sekarang juga, cepat!" perintahku lagi semakin lantang padanya.Mata Sri mendelik tidak suka mendengar suaraku yang terus meninggi ditambah banyak mata yang tengah menyaksikan pertengkaran kami. "Aku beneran gak tahu, Mbak. Jangan asal menuduh orang sembarangan, deh! Lagi pula cuma kotak yang berisi jam tangan saja, Mba
Setelah satu jam keributan hebat yang terjadi diantara aku dan Sri tadi. Kini giliran aku mendengar suara Mas Wahyu di luar.Aku buru-buru buka pintu, telingaku seperti mendengar suara perdebatan panjang antara suamiku dan adik sepupunya itu. Kenapa Mas Wahyu pulang secepat ini? Ada apa sebenarnya? Apa Sri mengadu pada suaminya itu? Tapi, ya terserahlah ... aku yakin Mas Wahyu cukup bijak untuk menempatkan posisi antara keluarga dan istrinya ini.Aku juga yakin dia pasti membelaku, karena memang aku tidak salah, kok!Benar saja, saat pintu terbuka aku melihat perdebatan antara suamiku dan Mas Hari serta Sri yang sudah berurai air mata. Aku memutar bola mataku malas, drama apa lagi yang di lakukan wanita licik ini.Mas Hadi memandangku tajam dengan wajah yang tampak memerah."Kita bicarakan ini di dalam rumah saja, tidak enak dilihat tetangga!" ajak mas Wahyu.Aku memindai pandanganku ke sekeliling, dan benar saja, tampak tetangga yang telah bubar kini mulai muncul satu-persatu meman
"Mas, kamu dan Mas Hadi kok hari ini pulang cepat?" tanyaku karena masih penasaran.Sekarang kami sedang duduk santai sambil menonton tv. Mulut Mas Wahyu tak berhenti mengunyah kue bawang yang kubeli secara online sore tadi. Ia menoleh padaku sekilas.Aku heran, diusia setua ini suamiku masih suka menonton kartun kucing dan guguk berkelahi. Terkadang dia sampai tertawa terbahak-bahak sendiri. Sungguh tidak cocok dengan tubuh dewasa yang kekar itu."Sebenarnya Mas tidak berniat. Saat Mas melihat Hadi menerima telpon dari Sri dengan wajah penuh emosi. Jadi Mas meminta izin untuk pulang cepat, gak mungkinkan Mas membiarkan istri Mas sendirian," jelasnya. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya mengunyah kue bawang itu."Terus apa yang Mas tunjukkan sama mereka, kenapa wajah mereka langsung terdiam begitu?" cercaku masih dengan mode penasaran. "Vidio. Kalau kami mau lihat, lihat saja di galeri gawai, Mas, tapi jangan di hapus!" ujar Mas Wahyu memperingati."Kenapa memangnya, Mas?" tanganku