Besok paginya Mas Wahyu mengambil cuti. Sesuai rencana dia mengantarkan aku ke rumah Mama. Tapi sebelumnya tentu suamiku itu menelpon terlebih dahulu dan memberi kabar agar saat aku pulang kedua orang tuaku tak terkejut. Nanti disangka aku dan Mas Wahyu yang bertengkar. "Assalamualaikum," ujar aku dan Mas Wahyu secara berbarengan.Kami berdua masuk ke dalam rumah yang selama ini menjadi tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. "Waalaikum salam. Eh ... kalian sudah sampai, Nak? Ayo masuk, kok malah nunggu di depan," sahut Mama pada kami. Aku dan Mas Wahyu tersenyum. Bik janah datang menghampiri, aku menyapanya dengan ramah. Mama membawa aku dan Mas Wahyu duduk di ruang keluarga. Sedangkan Bik janah membantu membawakan tasku ke kamar. Aku tak membawa banyak pakaian ke sini. Karena pakaianku yang dulu juga masih banyak tersusun rapi di lemari kamarku. "Jadi rencana kalian, mau pindah dari kontrakan itu? Pindah kemana?" tanya Mama. "Belum tahu, Ma. Masih di cari, soalnya mencari kontr
Pov. Sri Aku kesal, kepalaku juga pusing. Mas Hadi sekarang sudah tidak seperti dulu lagi. Dulu dia selalu menuruti keinginanku tanpa membantahnya sedikit pun. Namun kini berbeda, dia selalu saja mengajakku berdebat dan bahkan dia mulai menyalahkan aku. Memarahiku bahkan tak segan-segan membentakku. Seperti tadi pagi. Mas Hadi memaki aku hanya karena hari sudah siang tetapi diriku belum juga masak. Biasanya juga aku masaknya siang. Salah dia sendiri kenapa nggak kerja. Kalau dia kerjakan enak, dia bisa makan di rumah makan tempatnya bekerja.Aku membongkar isi kulkasku. Mencari bahan makanan yang bisa aku masak untuk menu makan siang ini. Jika aku tidak masak bisa-bisa Mas Hadi mengamuk kembali. Lagi pula aku juga sudah tak punya uang, jika harus membeli makanan di luar. Ya, itung-itung sekalian penghematan gitu, walau sebenarnya terlambat."Ma! Kamu mau masak apa?" tanya Mas Hadi menghampiriku. Dia ikut nimbrung denganku melongok melihat isi kulkas dari atas."Nggak tahu! Nggak a
Semakin hari keuangan kami semakin menipis. Berkat bantuan abang pertamaku Mas Hadi akhirnya mendapatkan pekerjaan kembali. Dia bekerja menjadi satpam di sebuah rumah sakit. Dengan gaji kisaran dua juta rupiah. Tidak terlalu tinggi dari gaji yang dulu dan juga tak ada seseran tapi kerjanya cukup ringan hanya berdiri dan mengawasi saja. Jika mendapat shif malam, maka Mas Hadi harus rela jam tidurnya dia habiskan untuk bekerja sebagai gantinya dia akan tidur di siang hari. Sudah seperti kelelawar saja."Ma. Perumahan yang kita ambil itu, bagaimana kalau kita oper kredit saja. Lumayan, kan, uang cashback bisa kita gunakan untuk membeli rumah yang kecil tanpa harus membayar kredit setiap bulan. Lagi pula, kontrakan kita sebulan lagi akan habis. Aku sudah nggak sanggup bayar kontrakan lagi, Ma. Biar kecil dan jelek, enakan rumah sendiri." ujar Mas Hadi saat kami duduk berdua di teras belakang.Tadi malam Mas Hari dapat jatah jaga malam, makanya siang ini dia ada di rumah dan baru bangun
Mas Hadi terus membujukku tiada henti. Aku yang enggan lama-lama pun akhirnya ngikut juga. Aku pun memutuskan untuk melepas rumah yang menjadi impianku itu karena masalah keuangan kami yang tak memungkinkan. Minggu pagi, sesuai kesepakan aku dan Mas Hadi, kami pergi ke Presiden Suit Garden dengan orang yang katanya ingin menggantikan rumah tersebut. Kami menaiki motor sedangkan mereka menaiki mobil. Menjadi pemandangan yang kontras saat parkir bersebelahan.Motor kami terparkir rapi di sebelah mobil mereka. T*yota inn*va seri keluaran terbaru. Membuat motorku tampak begitu kecil. Seperti kereta kencana dan gerobak butut.Nama pasangan itu Hendra dan Juwita. Juwita umurnya mungkin lebih muda tiga atau dua tahun dariku. Sedangkan Hendra umurnya jauh lebih tua dari abangku, namanya pun juga sama tapi ya lebih ganteng abangku dari segi manapun. Selisih umur Juwita dan Hendra mungkin sekitar 10 tahun. Dari cerita yang aku tanggap dari Mas Hadi. Mas Hendra adalah duda anak satu, sedangka
"Istri saya sangat suka dengan rumah ini, kami siap membayar rumah ini dengan harga yang disepakati.""Tidak, rumah ini tidak jadi saya oper kredit!" jawabku lantang memotong ucapan Mas Hendra dengan Mas Hadi. Juwita yang tersentak kaget langsung menatap kw arahku tak suka kemudian bergelayut merengek pada suaminya. Semakin membuatku jijik saja. "Bagaimana ini Pak Hadi? Sebenarnya rumah ini mau dialihkan atau tidak? Jangan mempermainkan kami seperti ini!" marah pria hitam gendut itu pada kami. "Sebentar Mas, sepertinya ini ada kesalahpahaman." Mas Hadi beralih menatap tajam kepadaku seraya berbisik. "Kamu kesambet apa sih, Ma. Tiba-tiba marah-marah dan membatalkannya sepihak seperti ini? Kemarinkan kamu sudah setuju."Masa bodoh! Aku tak peduli sekali aku bilang tidak ya tetap saja tidak. Aku tak jadi mengalihkan rumah ini!" balasku tegas tak tergoyahkan. Pandangan mataku dan Juwita bertemu, aku mendengkus dan memainkan bibirku tak suka padanya. "Pokoknya Mami mau rumah ini Papi. T
Pagi ini udara terasa segar yang begitu cerah, secerah hatiku yang tengah berbunga-bunga. Tak ada angin dan tak ada hujan, Bang Hendra tiba-tiba mengirimkan aku uang satu juta setelah aku mengenalkannya dengan temanku yang cantik dan seksi dari dunia maya. Seperti biasa, pagi-pagi begini mang tukang sayur sudah nangkring aja di depan rumahku menjadi pendengar setia untuk ibu-ibu komplek yang merumpi. Dengan semangat 45 yang membara aku pun mendekati. Melirik-lirik plastik yang tergantung di gerobaknya. Sebenarnya aku ingin ke pasar setelah mendapatkan uang dari Bang Hendra, tapi kuurungkan niatku pergi ke pasar. Sepertinya lebih menarik belanja di mamang tukang sayur sekalian mamerin rumah baru."Kamu lagi ngapain Sri? Itu kardus-kardus besar depan rumahmu untuk apa sebanyak itu?" tanya Bu Endang. Aku tersenyum simpul. Inilah moment yang aku tunggu-tunggu dan aku memang sengaja meletakkan kardus di sana untuk memancir perhatian dari mereka semua. "Oh, itu untuk wadah paking baran
Hari yang dinantikan pun tiba. Dari pukul 10 pagi, sebuah mobil pick up terparkir di depan rumahku. Dua orang kubayar untuk memindahkan barang-barangku yang ada di kontrakan ini menuju rumah baruku. Aku sudah tak sabar bertemu dengan Mbak Anna. Menunjukkan padanya, aku juga bisa pindah ke rumah itu. Kontrakan Mbak Anna yang ada di sebelahku saat ini masih ada masa kontraknya. Barang-barangnya yang ada di dalam juga masih banyak.Katanya akan diangkat oleh orang tuanya awal bulan depan. Karena saat ini dia sedang hamil besar jadi tak sanggup membereskan semuanya sendiri. Dasar manja!"Hati-hati ngangkatnya ya, Bang! Itu barang saya semuanya mahallll!" seruku pada tukang angkut. Saat mereka tak sengaja membuat sofaku tersangkut di pintu. Alasannya pintu yang kekecilan dan sempit padahal mereka saja yang tidak hati-hati.Pukul tiga sore semua barang yang ada di rumah lama akhirnya selesai juga dipindahkan ke rumah baru. Semuanya sudah tersusun bertumpuk di ruang tamu, hanya tinggal beb
Pov. AnnaDi mana ada komplek perumahan, di situlah tukang sayur keliling hadir, menjajakan dagangan mereka. Seperti yang terjadi pagi ini. Ada Mamang sayur yang sedang terparkir di depan rumahku. Mang Joko namanya. Katanya dia langganan ibu-ibu komplek di jalur ini. Sebenarnya ada tiga orang tukang sayur yang keliling menjajakan dagangannya. Hanya saja, Mang Joko ini terkenal ramah, murah dan lengkap. Itu sebabnya ibu-ibu di sini suka berbelanja dengan Mang Joko dan selalu hapal jam-jam Mang Joko datang. Itu yang aku lihat setelah beberapa hari tinggal di komplek ini.Toet! Toet! Toet!Bunyi klakson Mang sayur berbunyi begitu nyaring memanggil ibu-ibu yang ada di komplek ini untuk berkumpul. Begitu pun denganku.Baru saja kaki ini melangkah ke depan teras, aku sudah melihat Sri bergabung dengan ibu-ibu komplek yang lain. Kuakui Sri adalah orang yang paling cepat berbaur. Baru dua hari pindah dia sudah bisa akrab dengan ibu-ibu di komplek ini. Walau nanti satu persatu mereka akan m
Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati
"Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit
"Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h
Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S
Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya
Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa
Acara makan siang kami yang harusnya santai menjadi tak mengenakkan. Mas Wahyu tampak kesal dengan apa yang di lihatnya barusan. Sementara Hadi tampak canggung di seberang sana dengan posisi yang telah kembali seperti semula. "Mas, kita pulang saja yuk. Makanannya juga sudah habis," ajakku. Niat hati masih ingin berlama-lama sambil menikmati view kolam ikan dan teratai kini pupus sudah. Mas Wahyu mengangguk. Kami keluar dari pondok kemudian menapaki jembatan anyaman bambu selangkah demi selangkah. Setelah membayar makanan di kasir, aku dan Mas Wahyu pun masuk ke dalam mobil. Suamiku tampak tengah memandangi ponselnya sejenak, raut wajah itu pun berubah semakin masam. "Ada apa Mas?" tanyaku yang tengah menarik sabun pengaman untuk melingkar ke badanku. "Kamu lihat sendiri, Dek."Mas Wahyu menunjukkan layar ponselnya padaku. Terlihat sebuah pesan chat masuk dari lelaki yang membuat kami kaget di pondok tadi. Pesannya berisi tentang permintaan untuk mengabaikan apa yang baru saja ka
Pov. AnnaPagi ini aku melihat Mertuanya Sri datang ke rumah mereka setelah Mas Wahyu memberi kabar tentang pertengkaran Sri dan Hadi. Sebenarnya aku kasihan melihat Sri dalam kondisi wajah bengkak seperti tadi malam. Tapi balik lagi semua ini karena ulahnya sendiri. "Sebenarnya semalam gara-gara apa mereka ribut, Mas?" tanyaku pada suamiku untuk memulai obrolan kami di pagi hari ini. Hari ini Mas Wahyu ambil cuti kerja. Dia menemaniku duduk santai di ruang tamu sambil sesekali mataku mengintip ke arah rumah Sri dari balik hordeng jendela. "Katanya Hadi ketahuan selingkuh, kepergok Sri mereka keluar dari hotel.""Astaghfirullah," ucapku istighfar seraya menutup mulut karena tak percaya. Hadi memang sifatnya tak dapat dipercaya dan curang tapi tak kepikiran juga kalau dia sanggup untuk selingkuh. Secara selama ini dia terlihat begitu menuruti segala keinginan Sri."Terus Mas?" tanyaku meminta Mas Wahyu melanjutkan lagi ceritanya. Aku begitu penasaran dan kalau bisa jangan sampai me
Pertengkaran diantara kami semakin memanas hingga tak ditemukan kata tenang. Mas Hadi dan Tika terus menyalahkanku, sementara aku tentu saja tak terima di salahkan. Bukannya memang tugas seorang suami untuk membahagiakan istrinya. Jika pada akhirnya si istri berhutang di luaran sana itu berarti si suami yang tak bisa memenuhi kebutuhan istrinya. "Sudah! Sudah! Mama tambah pusing mendengar kalian semua. Tak ada satupun yang mau mengalah. Jika terus saja saling jawab menjawab, kapan masalah ini berakhir," sentak Mertua yang tak lagi tahan dengan kebisingan ini. Kini dia menatap mataku intenst. Ada pancaran tak suka dari tatapan matanya. Ya ... sebaik apa pun mertua tetap saja saat terjadi pertengkaran dia pasti akan membela anaknya. Entah itu secara halus atau terang-terangan. "Kamu juga, Sri. Tugas suami memang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, tapi kamu sebagai istri juga harus tahu diri. Jangan mengikuti ukuran sepatu orang lain dan inilah hasilnya," lanjutn