Semakin hari keuangan kami semakin menipis. Berkat bantuan abang pertamaku Mas Hadi akhirnya mendapatkan pekerjaan kembali. Dia bekerja menjadi satpam di sebuah rumah sakit. Dengan gaji kisaran dua juta rupiah. Tidak terlalu tinggi dari gaji yang dulu dan juga tak ada seseran tapi kerjanya cukup ringan hanya berdiri dan mengawasi saja. Jika mendapat shif malam, maka Mas Hadi harus rela jam tidurnya dia habiskan untuk bekerja sebagai gantinya dia akan tidur di siang hari. Sudah seperti kelelawar saja."Ma. Perumahan yang kita ambil itu, bagaimana kalau kita oper kredit saja. Lumayan, kan, uang cashback bisa kita gunakan untuk membeli rumah yang kecil tanpa harus membayar kredit setiap bulan. Lagi pula, kontrakan kita sebulan lagi akan habis. Aku sudah nggak sanggup bayar kontrakan lagi, Ma. Biar kecil dan jelek, enakan rumah sendiri." ujar Mas Hadi saat kami duduk berdua di teras belakang.Tadi malam Mas Hari dapat jatah jaga malam, makanya siang ini dia ada di rumah dan baru bangun
Mas Hadi terus membujukku tiada henti. Aku yang enggan lama-lama pun akhirnya ngikut juga. Aku pun memutuskan untuk melepas rumah yang menjadi impianku itu karena masalah keuangan kami yang tak memungkinkan. Minggu pagi, sesuai kesepakan aku dan Mas Hadi, kami pergi ke Presiden Suit Garden dengan orang yang katanya ingin menggantikan rumah tersebut. Kami menaiki motor sedangkan mereka menaiki mobil. Menjadi pemandangan yang kontras saat parkir bersebelahan.Motor kami terparkir rapi di sebelah mobil mereka. T*yota inn*va seri keluaran terbaru. Membuat motorku tampak begitu kecil. Seperti kereta kencana dan gerobak butut.Nama pasangan itu Hendra dan Juwita. Juwita umurnya mungkin lebih muda tiga atau dua tahun dariku. Sedangkan Hendra umurnya jauh lebih tua dari abangku, namanya pun juga sama tapi ya lebih ganteng abangku dari segi manapun. Selisih umur Juwita dan Hendra mungkin sekitar 10 tahun. Dari cerita yang aku tanggap dari Mas Hadi. Mas Hendra adalah duda anak satu, sedangka
"Istri saya sangat suka dengan rumah ini, kami siap membayar rumah ini dengan harga yang disepakati.""Tidak, rumah ini tidak jadi saya oper kredit!" jawabku lantang memotong ucapan Mas Hendra dengan Mas Hadi. Juwita yang tersentak kaget langsung menatap kw arahku tak suka kemudian bergelayut merengek pada suaminya. Semakin membuatku jijik saja. "Bagaimana ini Pak Hadi? Sebenarnya rumah ini mau dialihkan atau tidak? Jangan mempermainkan kami seperti ini!" marah pria hitam gendut itu pada kami. "Sebentar Mas, sepertinya ini ada kesalahpahaman." Mas Hadi beralih menatap tajam kepadaku seraya berbisik. "Kamu kesambet apa sih, Ma. Tiba-tiba marah-marah dan membatalkannya sepihak seperti ini? Kemarinkan kamu sudah setuju."Masa bodoh! Aku tak peduli sekali aku bilang tidak ya tetap saja tidak. Aku tak jadi mengalihkan rumah ini!" balasku tegas tak tergoyahkan. Pandangan mataku dan Juwita bertemu, aku mendengkus dan memainkan bibirku tak suka padanya. "Pokoknya Mami mau rumah ini Papi. T
Pagi ini udara terasa segar yang begitu cerah, secerah hatiku yang tengah berbunga-bunga. Tak ada angin dan tak ada hujan, Bang Hendra tiba-tiba mengirimkan aku uang satu juta setelah aku mengenalkannya dengan temanku yang cantik dan seksi dari dunia maya. Seperti biasa, pagi-pagi begini mang tukang sayur sudah nangkring aja di depan rumahku menjadi pendengar setia untuk ibu-ibu komplek yang merumpi. Dengan semangat 45 yang membara aku pun mendekati. Melirik-lirik plastik yang tergantung di gerobaknya. Sebenarnya aku ingin ke pasar setelah mendapatkan uang dari Bang Hendra, tapi kuurungkan niatku pergi ke pasar. Sepertinya lebih menarik belanja di mamang tukang sayur sekalian mamerin rumah baru."Kamu lagi ngapain Sri? Itu kardus-kardus besar depan rumahmu untuk apa sebanyak itu?" tanya Bu Endang. Aku tersenyum simpul. Inilah moment yang aku tunggu-tunggu dan aku memang sengaja meletakkan kardus di sana untuk memancir perhatian dari mereka semua. "Oh, itu untuk wadah paking baran
Hari yang dinantikan pun tiba. Dari pukul 10 pagi, sebuah mobil pick up terparkir di depan rumahku. Dua orang kubayar untuk memindahkan barang-barangku yang ada di kontrakan ini menuju rumah baruku. Aku sudah tak sabar bertemu dengan Mbak Anna. Menunjukkan padanya, aku juga bisa pindah ke rumah itu. Kontrakan Mbak Anna yang ada di sebelahku saat ini masih ada masa kontraknya. Barang-barangnya yang ada di dalam juga masih banyak.Katanya akan diangkat oleh orang tuanya awal bulan depan. Karena saat ini dia sedang hamil besar jadi tak sanggup membereskan semuanya sendiri. Dasar manja!"Hati-hati ngangkatnya ya, Bang! Itu barang saya semuanya mahallll!" seruku pada tukang angkut. Saat mereka tak sengaja membuat sofaku tersangkut di pintu. Alasannya pintu yang kekecilan dan sempit padahal mereka saja yang tidak hati-hati.Pukul tiga sore semua barang yang ada di rumah lama akhirnya selesai juga dipindahkan ke rumah baru. Semuanya sudah tersusun bertumpuk di ruang tamu, hanya tinggal beb
Pov. AnnaDi mana ada komplek perumahan, di situlah tukang sayur keliling hadir, menjajakan dagangan mereka. Seperti yang terjadi pagi ini. Ada Mamang sayur yang sedang terparkir di depan rumahku. Mang Joko namanya. Katanya dia langganan ibu-ibu komplek di jalur ini. Sebenarnya ada tiga orang tukang sayur yang keliling menjajakan dagangannya. Hanya saja, Mang Joko ini terkenal ramah, murah dan lengkap. Itu sebabnya ibu-ibu di sini suka berbelanja dengan Mang Joko dan selalu hapal jam-jam Mang Joko datang. Itu yang aku lihat setelah beberapa hari tinggal di komplek ini.Toet! Toet! Toet!Bunyi klakson Mang sayur berbunyi begitu nyaring memanggil ibu-ibu yang ada di komplek ini untuk berkumpul. Begitu pun denganku.Baru saja kaki ini melangkah ke depan teras, aku sudah melihat Sri bergabung dengan ibu-ibu komplek yang lain. Kuakui Sri adalah orang yang paling cepat berbaur. Baru dua hari pindah dia sudah bisa akrab dengan ibu-ibu di komplek ini. Walau nanti satu persatu mereka akan m
Bu Renny yang mulai malu langsung mengeluarkan dua lembaran merah dari dompetnya. "Berapa utang saya, Mang? Nih saya bayar lunas! Sebenarnya saya juga malas belanja di tukang sayur. Kemaren juga kalau bukan karena Mamang yang maksa, mana mau saya!" sungutnya sembari membanting uang di atas gerobak sayur tersebut. Mang Joko tampak terkejut dan geram, dia mungkin ingin membalas ucapan Bu Renny. Tapi nyalinya ciut melihat mata Bu Renny yang menjelit begitu tajam seakan ingin menebas kepala membuat Mang Joko diam. Dia langsung saja mengambil uang tersebut dengan mata yang sedikit berkaca-kaca dan membiarkan Bu Renny mengomel seorang diri. Aku yakin saat ini hati pria paruh baya itu tengah teriris. Saat mengutang manisnya ngalahin madu tapi saat di bayar malah balik menghina, pahit bak empedu. Begitulah manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu terima kasih seperti Bu Renny. "Lunas itu ya Mang. Jangan tagih-t
Tak terasa sudah hampir tiga bulan Sri pindah ke depan rumahku. Selama itu pula dia gencar mendekati tetangga-tetangga yang menurutnya kaya dan royal. Aku yang duduk di teras sambil mengemil buah, menatap ke arah rumah Sri yang tampak sepi ditinggal pemiliknya pergi jalan-jalan ke pantai dari postingan yang dia unggah satu jam yang lalu."Assalamualaikum, Ann!" seru Mbak Clara. Aku menoleh. Tangan kanannya berusaha membuka pintu rumah ini. Sedangkan tangannya satu lagi memegang sebuah kotak berwarna hijau yang cukup besar."Bisa Mbak?" tanyaku pada Mbak Clara sambil berusaha berdiri dari dudukku."Bisa kok Ann. Kamu duduk saja di sana! Kasihan Mbak lihat kamu bawa perut gede gitu!" blas Mbak Clara perhatian yang berhasil membuka pintu dan masuk ke dalam. Namun terlebih dahulu menutup pintu itu kembali rapat-rapat. "Apa itu Mbak?" tanyaku lagi saat dia sudah berdiri di hadapanku. Dahiku berkerut melihat kotak hijau yang sedari tadi