"Ini Mang, uang dua puluh lima ribunya. Saya duluan ya Ibu-ibu. Soalnya panas kuping saya mendengarkan mulut yang suka ghibah!" sindir Mbak Sarinah sambil berlalu pergi. Dia paling tak suka membicarakan orang. Mata Sri melotot melihat ke arah Mbak Sarinah sembari kembali mencebikkan bibir sinis. "Woo ... dasar perawan tua!" sorak Sri. Membuat Mbak Sarinah sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang."Semoga Tuhan memberimu hidayah!" balas Mbak Sarinah. Laku dia menghentakkan kakinya dan memutar badan. Kemudian melanjutkan kembali langkahnya menuju rumah."Nggak usah repot-repot doakan aku. Lebih baik doakan saja dirimu sendiri, biar laku. Huuu!" teriak Sri membalas ucapan itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku tak beradab Sri. Tak henti-hentinya dia mengejek status Mbak Sarinah yang masih single. Heran aku, apa itu menjadi masalah besar untuknya. Bukankah jodoh, anak dan rezeki adalah mutlak kuasa-nya. Jangan terlalu membanggakan diri atas apa
"Habibah!" suara nyaring Sri menggema di seluruh penjuru kontrakan ini.Wajar saja jika dia histeris. Ponsel yang dia sayang-sayang melebihi kekasih hati, harus berakhir naas di dalam aquarium berbentuk seperti vas bulat sebesar helm yang berfungsi sebagai aquarium mini. Ponsel Sri terendam di antara ikan glow fish yang berwarna-warni tengah meliuk-liuk menampilkan ekornya yang indah.Sri mengambil benda pipih yang harganya cukup mahal karena baru saja dibelinya. "Bibah apakan ponsel Mama? Hu ... hu ... hu," Sri mulai menangis. Antara sedih, kesal dan emosi bercampur menjadi satu. Aku masih memantau Sri dari depan pintu, aku hanya takut dia khilaf. Hanya karena sebuah ponsel, nanti dia malah memukul putrinya sendiri."Hp Mama anas. Jadi bibah rendam sama ikan. Biar hpnya ngingin," jawab Habibah begitu polos dengan logat cadelnya. Mata bulat bocah itu begitu menggemaskan di mataku."Kan, ponsel Mama kamu pakai untuk nonton utube, wajar saja dia panas Habibah!" ujar Sri geram.Tangan
Semenjak insiden aku hampir jatuh akibat ulah Sri, Mas Wahyu meniadi over protective. Dia melarang diriku untuk ikut campur dalam hal apa pun terhadap tetangga sebelah. Ya ... walau sebenarnya aku tak ada sedikit pun niat untuk ikut campur. Aku hanya kasihan pada anaknya. Tak hanya itu, semenjak ponselnya yang bernasib malang itu hilang. Sri tampak uring-uringan. Bagi Sri ponsel nyawa keduanya. Jika tak ada ponsel, maka dia tak bisa eksis di dunia Maya.Maklum artis sosmed. Ha ... ha ... ha."Pa ... gimana?" tanya Sri pada Mas Hadi. Aku yang duduk di balik jendela dengan kaca riben itu menoleh kearah mereka. Curi-curi dengar apa yang tengah mereka bicarakan berdua."Gimana apanya? Kamu gak lihat aku baru saja pulang," sungut Mas Hadi kesal. Dasar Sri, suaminya baru saja pulang sudah langsung ditodong dengan pertanyaan yang tak jelas. Lagi pula aku juga heran, baru jam sepuluh pagi. Tapi Mas Hadi sudah pulang aja dari tempat kerja. Apa dia tidak pergi kerja, ya?"Alah, gak usah le
Pov. Sri Mas Hadi benar-benar suami payah, diminta cariin pinjaman aja nggak bisa. Bibah juga bikin kesal, dikasih ponsel untuk mainan. Ehh malas dicemplungin di aquarium. Untung anak sendiri, kalau anak orang lain udah tak, hih! Sampai siang aku masih saja mundar-mandir seperti setrikaan kusut. Kupegang ponsel Mas Hadi yang butut. Ponsel seri miomi yang harga barunya tidak sampai dua juta. Jangankan untuk foto, untuk buka aplikasi sosial media aja, leletnya minta ampun. Kameranya juga buram tak sebagus kamera dari ponselku yang rusak itu. Aku berpikir keras, memutar otak. Aku harus membeli ponsel keluaran terbaru. Malu dong, seorang Sri Widiastuti, jika memakai ponsel kuno, lelet binti jadul. Setelah berpikir hampir satu jam, akhirnya aku menemukan sebuah ide. Aku bergegas ke rumah Mbak Wulan. Teman sosialitaku di kampung sebelah, Mbak Wulan terkenal kaya dan dia memang membuka 'koperasi' peminjaman uang dengan bunga yang cukup tinggi. Tak masalah! Asalkan aku bisa beli
Sampai di rumah aku membalas pesan yang masuk pada ponsel Mas Hadi. Aku lalu diarahkan pada sebuah applikasi pinjaman online. Tentu aku tersenyum puas karena berhasil mendapat pinjaman dua juta rupiah yang dipotong admin dua ratus lima puluh ribu. Itu tak jadi masalah yang penting aku bisa meminjamnya dengan mudah hanya bermodalkan KTP saja. Tak perlu jaminan BPKB seperti yang diminta Mbak Wulan padaku tadi.Karena yang kubutuhkan adalah uang sepuluh juta. Jadi aku meminjam dengan nominal yang sama pada tujuh aplikasi pinjaman online yang berbeda-beda.Uang yang masuk ke dalam rekeningku kini berjumlah sepuluh juta lima ratus ribu, sedangkan jatuh tempo masih satu bulan lagi. Lagian bisa dicicil, kok. Jika dalam jatuh tempo aku tidak dapat membayar semuanya sekaligus paling dikenakan denda."Ma ... kamu kenapa? Tumben-tumbenan menyambut suami pulang ke rumah dengan senyam-senyum gitu. Sepertinya girang banget?" tanya Mas Hadi tiba-tiba. Pervaya diri sekali dia. Dia pikir dirinya yan
Sesampainya di rumah, Mas Hadi langsung berganti pakaian dan tidur bersama Habibah. Sedangkan aku? Tentu saja aku mulai berselancar di media sosial. Memasang beberapa foto di resto tadi, aku pilih beberapa foto terbaikku. Lalu mengunggahnya dengan caption bagus walau terkesan berlebihan.[Terima kasih sayang, kamu selalu membahagiakanku. Semoga rezekinya tambah lancar, ya, Pa] lengkap dengan emoticon gambar kepala memberi ciuman berbentuk love dan tak lupa hastag restorannya.Baru hitungan detik sudah begitu banyak komentar yang bermunculan. Kebanyakan komentar itu berisi kekaguman dan rasa iri mereka padaku. Secara siapa yang tak tahu restoran yang aku tandai itu. Restoran itu adalah restoran mahal. kebanyakan orang yang bermobil yang bisa makan di sana dan kami sudah makan di tempat itu, dengan sajian menu yang mewah. tentu saja membuat aku bangga.[Ya ampun, so sweet banget sih ... pasangan ini. Jadi gemes] tersemat emoticon kepala dengan mata berbentuk love.Aku tersenyum baha
Pagi-pagi sekali aku menemui Mbak Yuni di rumahnya, setelah menitipkan Habibah sebentar pada Mbak Anna. Wanita itu sempat bingung melihatku yang sudah misuh-misuh pagi-pagi begini. Tapi urung dia tanya padaku. Lagi pula aku juga malas menjawabnya.Tok! Tok! Tok!Aku menggedor pintu rumah Mbak Yuni dengan keras. Emosiku yang telah aku pendam dari tadi malam masih membuncah di dalam dada.Aku juga tahu, hanya ada Mbak Yuni di rumah. Sedangkan Bang Hendra sedang ada di Batam saat ini. Mungkin dia akan pulang dua hari lagi.Ceklek!Mbak Yuni membuka pintu rumahnya, sebuah seringai mengejek terukir di sudut bibirnya saat melihat kehadiranku. Membuat emosiku semakin menjadi saja melihat kesombongannya itu."Mau ngapain kamu ke sini? Mau pinjam uang! Nggak ada!" ucapnya ketus menghujam ke hatiku.Sombong banget dia sebagai Ipar. Jika bukan karena abangku yang bekerja keras. Maka hidupnya tak mungkin layak seperti ini. Dia hanya anak pedagang susah. Jangankan untuk sekolah atau kuliah untuk m
Aku pulang ke rumah dengan perasaan dongkol. Mbak Yuni tak pernah merasa bersalah terhadap sikapnya terhadapku. Pendamaian yang disusun perangkat desa tak juga mempan pada kami dan kembali berujung pada pertengkaran sengit lagi. Jujur aku juga sedikit iri dengan Mbak Yuni yang dapat suami giat cari uang dan pintar memanfaatkan peluang. Tak seperti suamiku yang pemalas dan bodoh. Tapi kalau soal urusan ranjang aja jago. Setelah pulang ke rumah, aku langsung mampir ke rumah Mbak Anna. Menjemput putriku Habibah. Sebelum mulut istri Mas Wahyu itu mulai bernyanyi sumbang lagi. Heran, kenapa semua saudara iparku. Hatinya pada jelek banget sih. Nggak ada rasa empati sedikit pun pada saudara lain yang kesusahan. Boro-boro bantu dalam soal materi, minta kebutuhan yang ada di dapurnya saja pelitnya bukan main. Selalu iri jika melihat hidupku senang. Giliran aku susah malah diomongin. Huh!"Loh, Sri ... wajah kamu kenapa babak belur begitu?" tanya Mbak Anna saat aku Baru saja masuk ke dalam