"Mas, kamu dan Mas Hadi kok hari ini pulang cepat?" tanyaku karena masih penasaran.Sekarang kami sedang duduk santai sambil menonton tv. Mulut Mas Wahyu tak berhenti mengunyah kue bawang yang kubeli secara online sore tadi. Ia menoleh padaku sekilas.Aku heran, diusia setua ini suamiku masih suka menonton kartun kucing dan guguk berkelahi. Terkadang dia sampai tertawa terbahak-bahak sendiri. Sungguh tidak cocok dengan tubuh dewasa yang kekar itu."Sebenarnya Mas tidak berniat. Saat Mas melihat Hadi menerima telpon dari Sri dengan wajah penuh emosi. Jadi Mas meminta izin untuk pulang cepat, gak mungkinkan Mas membiarkan istri Mas sendirian," jelasnya. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya mengunyah kue bawang itu."Terus apa yang Mas tunjukkan sama mereka, kenapa wajah mereka langsung terdiam begitu?" cercaku masih dengan mode penasaran. "Vidio. Kalau kami mau lihat, lihat saja di galeri gawai, Mas, tapi jangan di hapus!" ujar Mas Wahyu memperingati."Kenapa memangnya, Mas?" tanganku
"Eh ... Ada Ana, kapan sampai An?" sapa Mbak Eka kakak Iparku, istri Mas Andra kakaknya Mas Wahyu.Ketika aku baru saja bergabung di halaman belakang tempat mereka yang sedang memasak.Mbak Eka duduk bersama ibu-ibu serta saudara yang lain, duduk membuat lingkaran kecil yang tengahnya berisi sayur-sayuran, seperti buncis dan wortel yang akan dibersihkan dan dipotong-potong."Baru saja, Mbak. Oh ... ya, si kembar mana, Mbak?" ujarku ramah. Mbak Eka memiliki tiga orang anak, anak pertamanya perempuan berusia 7 tahun sedangkan anak keduanya kembar laki-laki berumur 5 tahun."Mereka pasti sedang main di depan sama teman-temannya, sini, An. Duduk samping Mbak! Sekalian ini kamu cicipi jenangnya. Enak benget deh, An." Aku duduk pada bangku kecil yang ada di samping mbak Eka, Mbak Eka menyodorkan sepiring jenang padaku. Aku mengambil sepotong dan mencicipinya, memang benar apa yang dia katakan, jenang ini begitu lembut dan legit serta manisnya pas membuat rasanya semakin enak.Kakak Iparku
Pukul sembilan pagi, aku dan Mas Wahyu sudah tiba di rumah Bu'de Ratmi kembali. Mas Wahyu mengambil cuti kerja selama dua hari dan Alhamdulillah bosnya mengizinkan. Lagi pula selama ini suamiku juga tidak pernah libur kerja kecuali dia sakit.Saat kami tiba suasana di ruangan tengah sudah ramai karena sebentar lagi akan diadakan ijab kabul pernikahan Ratna. Aku duduk bersebelahan dengan Mama dan Mbak Eka barisan dekat jendela.Mataku memindai setiap sudut ruangan mencari sosok seseorang yang sebenarnya paling malas aku temui. Aku pikir wanita itu sudah pergi duluan, tapi batang hidungnya tak jua tampak sedari tadi. "Sah!" ucap pak penghulu yang di jawab serentak oleh para saksi. Do'a-do'a di kumandangkan untuk kebahagiaan kedua mempelai. "Assalamualaikum! Maaf saya terlambat," ujar seseorang memberikan salam. Sontak kami semua menjawab salam itu sambil menoleh kearah suara yang aku yakini itu adalah Sri. Nyaris saja aku menjatuhkan rahang bawahku saat melihat sosok Sri yang baru
Semenjak kejadian di pesta Bu'de Ratmi, tingkah Sri semakin menjadi-jadi. Membuat emosiku dalam masa kehamilan ini yang seharusnya naik turun menjadi naik dan tidak turun-turun. Hebatnya lagi dia hanya akan melakukan semua keisengan itu disaat Ibu mertuaku tidak datang berkunjung ke rumahku. Jika ada Ibu mertuaku, Nenek sihir itu akan langsung berubah menjadi malaikat tanpa sayap yang polos tanpa dosa.Cih ... sungguh ratu drama!Baru saja aku membuka pintu setelah lelah beberes dapur, mataku langsung terbelalak tak percaya. Aku yakin sekarang wajahku sedang memerah seperti tomat karena saking kesalnya melihat teras rumahku berantakan lagi. Aku yakin sekali semua ini perbuatan manusia edan yang ada di samping rumahku ini."SRI ... SRI WIDIASTUTI!" teriakku histeris. Bayangkan saja, sepagi ini aku sudah harus nyapu teras depan rumahku sebanyak tiga kali. Sampah plastik jajan dari berbagai merk serta pasir bertebaran di depan teras membuat rumahku terlihat kumuh.Pucuk dicinta setan
Seperti biasa setiap minggu, di hari Jum'at selalu diadakan acara wirid Ibu-Ibu di komplek sini. Aku termasuk anggota yang aktif datang dalam pengajian ini, dari pada aku tidur saja di rumah, kan tidak berfaedah.Setiap anggota akan bergiliran untuk mengadakan acaranya wirid di rumahnya, dan kali ini acaranya jatuh di rumah Bu Susi. Bu Susi tinggal di rumah yang berada beberapa blok dari rumahku. Bu Susi orangnya baik, dan ramah membuat semua ibu-ibu wirid pengajian menjadi suka padanya.Aku mematut diriku di depan cermin, memakai gamis biru tosca yang simple dipadu dengan jilbab plisket warna abu-abu membuat tampilanku terlihat manis. Sedangkan untuk make up, aku hanya menggenakan cushion dari brand yg cukup ternama under 300 ribu dan memoles lipt tint sedikit di bibir agar tidak tampak pucat.Setelah kurasa patut dengan penampilanku, tidak norak dan tidak ngejreng karena ini mau pergi wirid bukan pergi ke kondangan, ye!Aku melangkah kaki keluar, mengenakan sendal lalu mengunci pint
Pov. Sri Hari Jumat siang ini adalah jadwal wirid wanita, biasanya sehabis pengajian ada acara makan-makan yang disuguhkan oleh tuan rumah. Apalagi yang menjadi tuan rumah kali ini adalah Bu Susi. Tetangga satu RT tapi lain gang. Sebenarnya aku males datang ke acara wirid Ibu-Ibu seperti ini, tapi karena Bu Susi terkenal baik dan dermawan tidak mungkin dia pelit dalam menjamu tamu-tamunya. Jadi sayang sekali jika aku melewatkan makanan yang enak-enak ini. Kupakai gamis terbaik dan perhiasan emasku agar terlihat waw! Dan cetar dari yang lain.Ya, iyalah! Sri Widiastuti ... siapa di kampung ini yang bisa mengalahkan kecantikanku? Dengan bangga aku keluar rumah sambil menggandeng tangan Habibah. Putriku ini harus ikut biar bisa dapat makanan dobel. Kan ada jatah anak.Aku mengunci pintu rumahku dan bertemu Ana yang kebetulan juga melakukan hal yang sama. Langsungku buang saja muka saat mata kami bertemu dan bertukar pandang.Aku sengaja tidak menyapanya, untuk apa menegur wanita pe
Pov. AnaAcara pengajian yang seharusnya diisi dengan tausiah dan rasa syukur justru berakhir dengan keributan yang tak berarti. Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Sri dan Mpok Kokom. Apa mereka datang di acara pengajian hanya untuk mendapatkan makanan?Hingga mereka sanggup bertengkar dan mempermalukan diri sendiri di depan orang banyak. Aku menggandeng tangan Habibah dan berjalan santai bersama Bu Endang. Jangan ditanya di mana Sri, tentu dia sudah kabur pulang ke rumah karena rasa malu dengan keadaan berantakan dan mengenaskan.Herannya kok ada ya seorang ibu yang kabur menyelamatkan diri sendiri tanpa ingat anaknya. Kuusap lembut kepala keponakanku yang cantik ini. Habibah adalah anak yang manis dan kalem, sangat berbeda dengan ibunya yang pecicilan serta usil. Kami berjalan bertiga pulang menuju rumah. Sri kebangetan kabur kok sampai lupa dengan anak. Untung ada aku bu'denya, jika tidak? Entah bagaimana nasib anak ini."Oalah ... Nduk! Saudaramu itu, loh. Celamitannya keb
Aku menggeleng- gelengkan kepala melihat tingkah Sri. Namun yang herannya, Mas Hadi sebagai suami justru diam saja melihat tingkah istrinya seperti itu."Oh ... ya, An. Memang gaji di resto tempat suamimu kerja itu gede, ya, An? Kalau memang iya, tolong masukkan suami Mbak dong, An!" pinta Mbak Eva membuatku bingung. "Setahu Ana gajinya gak besar-besar banget Mbak. Cukup untuk makan sama bayar hutang," jelasku sambil nyengir.Aku menggaruk-garuk pelipisku yang tak gatal. Aku bingung harus jawab apa. Sebenarnya gaji di resto tidak besar-besar amat.Sebagai penanggung jawab resto seperti suamiku saja hanya bergaji sekitar lima jutaan. Apalagi suami Sri yang hanya karyawan biasa, tentu gajinya jauh di bawah itu. Aku sendiri saja bingung, dari mana Sri dan Mas Hadi mendapatkan uang untuk membayar DP perumahan elit senilai empat puluh juta itu."Ahh ... kamu jangan suka merendah gitulah, An. Suami kamu kan, orang yang cukup berpengaruh di resto itu. Tolongin Mbaklah An, kasian Abangmu it