Share

3. Pagi-pagi kesal.

Pov. Sri

Namaku Sri Widiastuti, aku menikah dengan Mas Hadi dan telah dikarunia satu putri yang berumur dua tahun, Habibah Aisyah namanya.

Selama ini hidup kami pas-pasan dan tak ada perkembangan, tapi semenjak beberapa bulan yang lalu Mas Hadi mengajakku pindah rumah di sebelah sepupunya ini. Hidup kami mulai ada peningkatan, bahkan aku juga bisa membeli beberapa perhiasan. Bukan karena gaji Mas Hadi yang naik. Akan tetapi, karena aku bisa lebih hemat dengan pengeluaran dapur.

Istri Mas Wahyu itu bernama Rumana Ayu Diandra Putri Iskandar, widihh ... panjang bener itu nama, tapi dipanggil Ana, biar gak pegal lidah mengucapnya.

Menurutku dia wanita yang baik dan sopan, untuk standar anak dari keluarga berada. Biasanya anak orang kaya itu sombong dan judes, tapi itu tidak berlaku dengan Mbak Ana.

Aku akrabin diri dengannya biar ada teman di kontrakan, apalagi suami kami bersaudara jadi berasa lebih dekat.

Aku minta ini dan itu, awalnya dia hanya melongo. Tentu saja ini kesempatan bagus untukku, mulai aku melebarkan sayap merambah ke dalam isi kulkasnya yang selalu penuh dan rapi.

Saat aku melihat isi kulkasnya, jiwa dan hatiku meronta-ronta. Seumur-umur belum pernah aku melihat kulkas gede dengan isi kulkas selengkap itu.

Semua ada di dalam sana, baik buah, sayur, cabe. Pokoknya lengkap. Kulkas orang miskin dengan orang kaya emang beda. Apalagi yang kutahu Mbak Ana adalah tipe orang yang hobby ngemil tapi gak suka beli, dia lebih suka buat sendiri. Lebih higienis, katanya.

Justru itu bagus untukku, aku jadi bisa dapat bahan makanan, gratis! Jadi uang yang diberikan Mas Hari bisa kutabung untuk beli emas, aku tertawa puas akan hal itu. Namun ternyata, semua tidak bertahan lama, tiba-tiba Mbak Ana berubah, dirinya tidak sebaik dulu. Ngomongpun sekarang agak lebih ketus padaku tidak selembut biasanya.

Seperti hari ini. Tiba-tiba kulkas yang biasa terisi penuh malah kosong melompong, bersih tak bersisa. Padahal aku hanya mau minta bawang sama wortel untuk kubuat sop untuk makan siang aku dan Biba, putriku.

"Ya ampun Mbak ... kulkas gede tapi gak ada isinya," cibirku siang tadi, karena yang kutahu Mbak Ana orangnya gak enakan. Siapa tahu habis kusindir begitu kulkasnya akan dia isi lagi.

"Biar aja kulkas gede tapi isi gak ada yang penting gak ganggu dapur sama uang belanja tetangga," jawabnya santai tapi cukup mencubit hatiku. Apa dia sedang menyindirku?

"Mbak ada bawang gak? Aku mau masak bawang di rumah habis," ujarku lembut selembutnya.

Kulirik setiap sudut dapurnya ini. Tak kutemui aneka bumbu serta rempah yang biasa bertengger tersusun rapi di atas meja.

"Ya, iyalah habis. Orang bawangmu itu, kan, bawang yang kamu ambil empat hari yang lalu dari rumahku."

Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar ucapannya itu. Memang benar itu bawang yang kuambil dari dapurnya empat hari yang lalu. Aku lihat stoknya banyak, jadi kuambil aja untuk beberapa hari kedepan.

Orang sesama saudara ini, juga. Lagian Mbak Ana dan Mas Wahyu kan belum punya anak, jadi belum banyak pengeluran. Apa salahnya jika berbagi sama saudara sendiri. Itung-itung sedekah.

"Terus, aku masak untuk Biba pakai apa dong, Mbak?" tanyaku bingung, karena uangku sudah habis aku beli logam mulia seberat tiga garam kemaren.

Lumayan untuk tabungan bangun rumah. Selama ini boro-boro bisa nabung beli emas, untuk makan saja kurang.

"Loh kok tanya aku, itu ada tukang sayur di depan. Pergi beli sana!" usirnya padaku, sambil menunjuk kearah tukang sayur yang sedang mangkal.

Uangku hanya tersisa seratus ribu, sedangkan Mas Hadi gajian masih satu minggu lagi. Ahh ... mana cukup uang segitu jika dipakai belanja sampai suamiku itu gajian. Akupun dilema.

Kucoba mengadahkan tangan padanya, siapa tahu dia akan memberikan uang tambahan belanja untukku. Tapi bukannya uang malah makian dan hinaan yang kudapat.

Terpaksa aku pergi ke tukang sayur, jadi keluar duit, deh. Huh!

"Eh ... neng Sri, tumben neng belanja?" tanya tukang sayur.

"Iya Mang, kemaren masih banyak stok sayur," jawabku santai sembari melirik aneka sayur yang ada di gerobaknya.

"Mang, aku minta bawang merah lima ribu sama tempe lima ribu, dong!" pintaku, karena uang minim terpaksa cuma masak oseng tempe saja nanti, untuk Biba kudadarkan saja telor yang tersisa dua biji di rumah.

"Stok sayur sendiri atau stok sayur tetangga sebelah, Neng?" sindir Bu Endang, sontak membuatku menatap tajam kearahnya.

Wanita bertubuh langsing dan sudah memiliki anak tiga ini adalah tetangga sebelah rumahku. Antara kontrakanku juga terdapat kontrakan yang jaraknya cuma dipisahkan dengan gang sekitar dua meter lebarnya.

"Stok sayur saya dong, Bu. Memangnya stok sayur siapa lagi?" sahutku tak suka.

"Siapa tahu, kan, habisnya selama pindah ke sini, saya gak pernah lihat tu ... Neng Sri pergi belanja ke pasar, yang adanya Neng Sri selalu ke rumahnya Neng Ana ngambil bahan-bahan dari sana. Saudara sih saudara, Neng. Tapi jangan sampai jadi parasit untuk saudara."

Panas dada ini mendengarnya, apalagi ada beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja mulai berbisik membicarakanku.

"Maksud Bu Endang apa, ya? Jangan fitnah. Aku kan belanjanya pagi-pagi banget makanya Ibu gak lihat, lagi pula aku ke rumah Mbak Ana kerena memang nitip di kulkasnya dia. Secara aku kan gak punya kulkas, sedangkan kulkasnya Mbak Ana gede. Kan sayang kalau gak ada isinya, jadi kutitipkan saja belanjaanku di sana," ujarku membela diri.

Mulut Bu Endang ini lemes banget sih, bikin malu aku saja. Bisa hilang harga diriku kalau sampai satu komplek tahu.

"Yakin cuma nitip, bukannya merampok punya orang? Soalnya saya selalu lihat mbak Ana marah-marah setiap kamu habis ngambil sesuatu di rumah dia," balas Bu Endang sambil mencebikkan bibirnya padaku seolah mengejek.

tangannya santai mengeluarkan sejumlah uang pada Mang sayur dan berlalu pulang meninggalkanku tanpa meminta maaf.

"Ehh, Bu ... jangan sembarangan kalau bicara, ya! Gaji suami saya gede, jadi gak mungkin saya begitu!" teriakku tak terima. Sedangkan Bu Endang hanya melambai-lambaikan tangan menatapku sinis.

Kuambil plastik berisi belanjaanku dan menyodorkan uang sepuluh ribu pada Mang sayur. Aku kesal, sangat kesal! berani-beraninya dia mempermalukan aku seperti ini.

Pasti ini karena mulut Mbak Ana yang lemes, cerita sama tetangga dan buruk-burukkan aku. Kalau tidak, bagaimana Bu Endang bisa tahu? Tidak mungkinkan dia melihat aku setiap hari pergi kesana, padahal aku selalu mencari moment saat orang lain tidak melihat. Awas kamu Mbak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status