"Pa, Mbak Ana kebangetan banget hari ini, Pa!" aduku pada Mas Hadi.Mas hari sudah beberapa waktu yang lalu sampai di rumah, dia sudah mandi juga. Jadi aku bisa santai bercerita dengannya.Mas Hadi tampak menarik bantal lalu meletakkannya di balik punggung untuk bersandar. Mengambil posisi ternyamannya di atas ranjang ini. Sedangkan putriku, Biba. Sudah tertidur lelap di sebelahku."Memangnya ada apa dengan Mbak, Ana?" tanya suamiku acuh."Mbak Ana gak seperti dulu lagi, Pa. Dia berubah drastis, sekarang dia pelit! Tadi pagi aja, gak biasanya kulkas dia kosong. Terus ... tadi sore Mama cium Mbak Ana masak rendang, Pa. Pas Mama ke rumahnya, pintunya gak dibukain sama Mbak Ana. Pelit banget kan, Pa!" jawabku.Mas Hari terlihat menghela napas berat. "Papa juga bingung, di tempat kerja Mas Wahyu juga berubah. Dia tidak seperti biasanya yang selalu bantu kerjaan Papa. Sekarang dia lebih cuek, jadinya Papa kena marah bos terus kerena ketahuan santai di jam kerja. Biasanya, kan, Mas Wahyu ya
Pov. Ana Hari ini cuaca pagi sangat cerah, secerah hatiku yang sedang bahagia. Bahagia karena baru saja mendapatkan jatah uang belanja tambahan dari suami tersayang. Aku mencuci piring sambil bersenandung riang, memang benar kata orang tua. Jika hati riang semua pekerjaan terasa ringan dikerjakan. Kebetulan sisa rendang semalam masih ada, jadi aku tidak masak lagi hari ini. "Mbak! Mbak Ana!" Panggil Sri sambil mengetuk pintu rumahku. Aishhh ... baru saja aku merasakan ketenangan, justru sekarang si pengacau sudah nongol aja pagi-pagi begini! Bikin hilang Mood. Malas rasanya membukakan pintu untuknya. "Mbak ... Mbak Ana! Buka pintunya Mbak!" teriak wanita itu lagi. Aku yang masih mencuci piring jadi terpaksa dengan cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piringku yang tinggal dua buah lagi. Dengan langkah yang malas aku menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Aku gak mau Sri menyelonong masuk lagi ke dalam rumahku seperti yang sudah-sudah. "Ada apa? Pagi-pagi udah heboh di ruma
"Ada apa sih, Mbak? Ngamuk-ngamuk depan rumah orang seperti kesetanan?" sahut Sri kaget setelah dia membukakan pintu untukku. Nafasku naik turun, sorot mataku menatapnya tajam. Dada ini sudah dipenuhi amarah yang selama ini aku kumpulkan dan siap meledak seperti bom waktu. "Kembalikan kotak yang berwarna hitam itu padaku, sekarang juga!" "Kotak apa yang Mbak maksud? Aku tak mengerti?" tanya Sri dengan wajah polosnya.Seolah-olah dia tidak tahu, tapi sorot matanya yang tak berani menatapku secara langsung serta ekspresinya yang gelisah cukup membuatku semakin yakin bahwa dialah yang mengambil barangku tersebut."Jangan pura-pura tidak tahu, Sri! Kembalikan kotak itu sekarang juga, cepat!" perintahku lagi semakin lantang padanya.Mata Sri mendelik tidak suka mendengar suaraku yang terus meninggi ditambah banyak mata yang tengah menyaksikan pertengkaran kami. "Aku beneran gak tahu, Mbak. Jangan asal menuduh orang sembarangan, deh! Lagi pula cuma kotak yang berisi jam tangan saja, Mba
Setelah satu jam keributan hebat yang terjadi diantara aku dan Sri tadi. Kini giliran aku mendengar suara Mas Wahyu di luar.Aku buru-buru buka pintu, telingaku seperti mendengar suara perdebatan panjang antara suamiku dan adik sepupunya itu. Kenapa Mas Wahyu pulang secepat ini? Ada apa sebenarnya? Apa Sri mengadu pada suaminya itu? Tapi, ya terserahlah ... aku yakin Mas Wahyu cukup bijak untuk menempatkan posisi antara keluarga dan istrinya ini.Aku juga yakin dia pasti membelaku, karena memang aku tidak salah, kok!Benar saja, saat pintu terbuka aku melihat perdebatan antara suamiku dan Mas Hari serta Sri yang sudah berurai air mata. Aku memutar bola mataku malas, drama apa lagi yang di lakukan wanita licik ini.Mas Hadi memandangku tajam dengan wajah yang tampak memerah."Kita bicarakan ini di dalam rumah saja, tidak enak dilihat tetangga!" ajak mas Wahyu.Aku memindai pandanganku ke sekeliling, dan benar saja, tampak tetangga yang telah bubar kini mulai muncul satu-persatu meman
"Mas, kamu dan Mas Hadi kok hari ini pulang cepat?" tanyaku karena masih penasaran.Sekarang kami sedang duduk santai sambil menonton tv. Mulut Mas Wahyu tak berhenti mengunyah kue bawang yang kubeli secara online sore tadi. Ia menoleh padaku sekilas.Aku heran, diusia setua ini suamiku masih suka menonton kartun kucing dan guguk berkelahi. Terkadang dia sampai tertawa terbahak-bahak sendiri. Sungguh tidak cocok dengan tubuh dewasa yang kekar itu."Sebenarnya Mas tidak berniat. Saat Mas melihat Hadi menerima telpon dari Sri dengan wajah penuh emosi. Jadi Mas meminta izin untuk pulang cepat, gak mungkinkan Mas membiarkan istri Mas sendirian," jelasnya. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya mengunyah kue bawang itu."Terus apa yang Mas tunjukkan sama mereka, kenapa wajah mereka langsung terdiam begitu?" cercaku masih dengan mode penasaran. "Vidio. Kalau kami mau lihat, lihat saja di galeri gawai, Mas, tapi jangan di hapus!" ujar Mas Wahyu memperingati."Kenapa memangnya, Mas?" tanganku
"Eh ... Ada Ana, kapan sampai An?" sapa Mbak Eka kakak Iparku, istri Mas Andra kakaknya Mas Wahyu.Ketika aku baru saja bergabung di halaman belakang tempat mereka yang sedang memasak.Mbak Eka duduk bersama ibu-ibu serta saudara yang lain, duduk membuat lingkaran kecil yang tengahnya berisi sayur-sayuran, seperti buncis dan wortel yang akan dibersihkan dan dipotong-potong."Baru saja, Mbak. Oh ... ya, si kembar mana, Mbak?" ujarku ramah. Mbak Eka memiliki tiga orang anak, anak pertamanya perempuan berusia 7 tahun sedangkan anak keduanya kembar laki-laki berumur 5 tahun."Mereka pasti sedang main di depan sama teman-temannya, sini, An. Duduk samping Mbak! Sekalian ini kamu cicipi jenangnya. Enak benget deh, An." Aku duduk pada bangku kecil yang ada di samping mbak Eka, Mbak Eka menyodorkan sepiring jenang padaku. Aku mengambil sepotong dan mencicipinya, memang benar apa yang dia katakan, jenang ini begitu lembut dan legit serta manisnya pas membuat rasanya semakin enak.Kakak Iparku
Pukul sembilan pagi, aku dan Mas Wahyu sudah tiba di rumah Bu'de Ratmi kembali. Mas Wahyu mengambil cuti kerja selama dua hari dan Alhamdulillah bosnya mengizinkan. Lagi pula selama ini suamiku juga tidak pernah libur kerja kecuali dia sakit.Saat kami tiba suasana di ruangan tengah sudah ramai karena sebentar lagi akan diadakan ijab kabul pernikahan Ratna. Aku duduk bersebelahan dengan Mama dan Mbak Eka barisan dekat jendela.Mataku memindai setiap sudut ruangan mencari sosok seseorang yang sebenarnya paling malas aku temui. Aku pikir wanita itu sudah pergi duluan, tapi batang hidungnya tak jua tampak sedari tadi. "Sah!" ucap pak penghulu yang di jawab serentak oleh para saksi. Do'a-do'a di kumandangkan untuk kebahagiaan kedua mempelai. "Assalamualaikum! Maaf saya terlambat," ujar seseorang memberikan salam. Sontak kami semua menjawab salam itu sambil menoleh kearah suara yang aku yakini itu adalah Sri. Nyaris saja aku menjatuhkan rahang bawahku saat melihat sosok Sri yang baru
Semenjak kejadian di pesta Bu'de Ratmi, tingkah Sri semakin menjadi-jadi. Membuat emosiku dalam masa kehamilan ini yang seharusnya naik turun menjadi naik dan tidak turun-turun. Hebatnya lagi dia hanya akan melakukan semua keisengan itu disaat Ibu mertuaku tidak datang berkunjung ke rumahku. Jika ada Ibu mertuaku, Nenek sihir itu akan langsung berubah menjadi malaikat tanpa sayap yang polos tanpa dosa.Cih ... sungguh ratu drama!Baru saja aku membuka pintu setelah lelah beberes dapur, mataku langsung terbelalak tak percaya. Aku yakin sekarang wajahku sedang memerah seperti tomat karena saking kesalnya melihat teras rumahku berantakan lagi. Aku yakin sekali semua ini perbuatan manusia edan yang ada di samping rumahku ini."SRI ... SRI WIDIASTUTI!" teriakku histeris. Bayangkan saja, sepagi ini aku sudah harus nyapu teras depan rumahku sebanyak tiga kali. Sampah plastik jajan dari berbagai merk serta pasir bertebaran di depan teras membuat rumahku terlihat kumuh.Pucuk dicinta setan