Mas Wahyu sudah berangkat kerja, kubuatkan dia sarapan oseng buncis dan sambal serta ayam goreng. Ada sisa ayam beberapa potong di kulkas yang bisa kuolah untuk sarapannya pagi ini. Aku tidak menyiapkan bekal untuk suamiku, karena dia kerja di rumah makan, pasti makan siang di tempat kerja.
Aku duduk santai di ruang tamu sambil memainkan gawaiku, karena pekerjaan rumah sudah selesai semua. Hanya tinggal cucian yang sedang mutar di mesin cuci, jadi santai! Aku berselancar melihat sosial media yang berwarna biru itu. Mataku seketika melebar melihat postingan seseorang yang sangat aku kenal, siapa lagi kalau bukan tikus sebelah rumahku. [Alhamdulilah, hasil dari pintar mengelola uang suami. Walau gaji suami gak besar, tapi masih bisa nabung beli ini!] Seperti itulah status yang di tulis Sri dengan melampirkan sebuah foto logam mulia seberat tiga gram yang ia pegang. Aku meradang, emosiku mulai terpancing. Pantas saja ia bisa berhemat dan membeli benda itu. Setiap hari menjarah isi dapurku. Awas ya kamu Sri, ini tidak bisa dibiarkan. Aku beranjak dari dudukku menuju dapur, kukosongkan semua isi kulkas dari mulai sayuran dan buah-buahan. Kuletakkan di dalam lemari kaca yang kacanya sudah kulapisi stiker hingga tidak terlihat isi di dalamnya. Tidak lupa pula, bawang, telor dan stok-stok dapur yang lain aku masukkan sekalian. Kususun asal saja yang penting muat, setelah itu kukunci. Untuk lauk-pauk dan sabun keletakkan di tempat lain yang aman. Kulirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi, aku yakin sebentar lagi perempuan itu pasti muncul kesini, karena sekarang emang jam dia masak. "Mbak ... Mbak Ana!" Tok! Tok! Tok! Benarkan?! Baru saja aku bilang, eh ... yang diomong udah nongol aja. Aku tertawa cekikikan. "Apa? Mau minta apalagi?" jawabku ketus, setelahku bukakan pintu untuknya. "Sewot banget pagi-pagi, Mbak. Lagi dapet, ya?" cibit Sri. Dengan tidak sopan dirinya menggeser tubuhku dari depan pintu dan langsung menuju dapur dan membuka kulkas bergambar koroppy kesayanganku itu. Dasar tidak tahu adab! Aku bingung, bagaimana orang tuanya mendidiknya dulu hingga besarnya jadi Celamitan. "Mbak ... kulkas mbak kosong, ya?" Aku mengulum senyum melihat ekspresi terkejut di raut wajahnya itu. Ya, iyalah ... kosong! Orang habis di pindahin semua. Daripada habis dijarah kompeni era modern. "Ya ampun Mbak ... kulkas gede tapi gak ada isinya," cibir Sri lagi sambil menutup kembali pintu kulkas dua pintu itu. "Biar aja kulkas gede tapi isi gak ada, yang penting gak ganggu dapur sama uang belanja tetangga," jawabku santai. "Mbak ada bawang gak? Aku mau masak bawang di rumah habis," Sri melirik setiap sudut dapurku, melihat-lihat apa saja yang bisa ia pinta di dapurku ini. "Ya, iyalah habis. Orang bawangmu itu kan bawang yang kamu ambil empat hari yang lalu dari rumahku," ejekku. Mendengar ucapanku Sri hanya nyengir kuda. "Terus, aku masak untuk Biba pakai apa dong, Mbak?" "Loh kok tanya aku, itu ada tukang sayur di depan. Pergi beli sana!" usirku padanya. Kebetulan jam segini memang ada tukang sayur yang selalu mangkal di depan rumah. Sri mengarahkan tangannya padaku, kukerutkan kening lalu kutepuk tangannya yang mengadah itu. "Maksudnya apa nih?" Sri mendengkus. " Ya ... uanglah Mbak, memangnya beli sayur gak pakai uang." Apa? Apa telingaku gak salah dengar? Dia yang mau belanja kok malah aku yang harus ngeluarkan uang. Astagfirullah al'azim, sabar Ana ... sabar! "Aku tahu kalau belanja itu pakai uang juminten! Tapi yang butuhkan kamu, ya pakai uangmu sendirilah! Memangnya aku bapaknya Habibah!" kutekan setiap kata yang keluar, menahan emosi yang mulai memuncak. Jika tidak mikir malu sama tetangga dan saudara, sudahku sleding juga otak ini anak! "Uangku habis, Mbak. Pakai uang mbak dulu lah." Aku memutar bola mataku, beli logam mulia bisa. Ehh ... ketiba beli sayur mau pakai uang aku, wajar aja kamu bisa ngumpul, tapi aku nggak! "Lagi gak ada duit, duitku habis! Sudah sana! Aku mau beresin rumah, kerjaanku gak siap-siap kalau ada kamu. Sana husss!" usirku. "Yah, keluar duit lagi deh hari ini," gumamnya sewot, masa bodoh. Biar tahu rasa, nanti mau kususun ulang dapurku biar gak cepat habis diambil dia lagi. ~ ~ ~ Seharian ini aku tidak keluar rumah, pintu depan pun kukunci. Akhirnya selesai juga aku merombak posisi dapurku. Untuk kulkas kuletakkan di dalam kamar, biar lebih aman. Aku terbiasa berbelanja seminggu sekali ke pasar, karena menurutku beli di pasar jauh lebih hemat daripada beli ke tukang sayur. Itu sebabnya kulkasku tak pernah kosong, tapi semenjak tetangga sebelah ada. Bukan kulkasku saja yang kosong, dompetku pun ikut meringis. Selesai berberes dan masak untuk makan malam, aku pergi mandi. Baru saja aku habis mandi dan memakai pakaian, pintu rumahku sudah di gedor-gedor. "Mbak Ana, bukain pintunya Mbak!" Hmmm ... seperti suara Sri. Aku tak menjawab, kubiarkan saja dia berteriak. Karena tubuhku sudah capek seharian beberes rumah, aku mau istirahat. Pasti dia datang hanya mau minta lauk rendang yang kumasak tadi, aromanya yang kuat pasti tercium hingga sebelah. Apalagi kucium tadi dirinya hanya masak oseng tempe dan teri saja. Inilah resiko rumah serta dapur berdempetan, setiap apa yang dimasak tetangga sebelah pasti akan tercium oleh tetangga lainnya. Mau bagaimana lagi, tampaknya Sri menyerah setelah beberapa lama gedorannya tak kurespon. Walaupun nanti dia nongol saat Mas Wahyu pulang, aku tak khawatir karena sudah aku sembunyikan sebagian. Bukannya pelit, tapi ... terkadang kesal dan jengah saja melihat sikapnya. Setiap orang kan punya kebutuhan. Apalagi sifatnya yang suka pamer itu yang membuatku tambah kesal, pernah suatu hari dia pamer padaku bisa membeli gamis cantik yang menjadi incaranku. Habis-habisan dia menyendirku bilang aku boros, beli gamis empat ratus ribu saja tidak mampu padahal gaji suamiku lebih besar dari gaji suaminya. Gimana mau beli coba, kalau uang belanja dapurku melunjak dua kali lipat semenjak ada dia disebelahku. Huhh ... jika ingat kejadian itu, hatiku kembali sakit dibuatnya!Pov. SriNamaku Sri Widiastuti, aku menikah dengan Mas Hadi dan telah dikarunia satu putri yang berumur dua tahun, Habibah Aisyah namanya.Selama ini hidup kami pas-pasan dan tak ada perkembangan, tapi semenjak beberapa bulan yang lalu Mas Hadi mengajakku pindah rumah di sebelah sepupunya ini. Hidup kami mulai ada peningkatan, bahkan aku juga bisa membeli beberapa perhiasan. Bukan karena gaji Mas Hadi yang naik. Akan tetapi, karena aku bisa lebih hemat dengan pengeluaran dapur.Istri Mas Wahyu itu bernama Rumana Ayu Diandra Putri Iskandar, widihh ... panjang bener itu nama, tapi dipanggil Ana, biar gak pegal lidah mengucapnya.Menurutku dia wanita yang baik dan sopan, untuk standar anak dari keluarga berada. Biasanya anak orang kaya itu sombong dan judes, tapi itu tidak berlaku dengan Mbak Ana. Aku akrabin diri dengannya biar ada teman di kontrakan, apalagi suami kami bersaudara jadi berasa lebih dekat.Aku minta ini dan itu, awalnya dia hanya melongo. Tentu saja ini kesempatan bagus
"Pa, Mbak Ana kebangetan banget hari ini, Pa!" aduku pada Mas Hadi.Mas hari sudah beberapa waktu yang lalu sampai di rumah, dia sudah mandi juga. Jadi aku bisa santai bercerita dengannya.Mas Hadi tampak menarik bantal lalu meletakkannya di balik punggung untuk bersandar. Mengambil posisi ternyamannya di atas ranjang ini. Sedangkan putriku, Biba. Sudah tertidur lelap di sebelahku."Memangnya ada apa dengan Mbak, Ana?" tanya suamiku acuh."Mbak Ana gak seperti dulu lagi, Pa. Dia berubah drastis, sekarang dia pelit! Tadi pagi aja, gak biasanya kulkas dia kosong. Terus ... tadi sore Mama cium Mbak Ana masak rendang, Pa. Pas Mama ke rumahnya, pintunya gak dibukain sama Mbak Ana. Pelit banget kan, Pa!" jawabku.Mas Hari terlihat menghela napas berat. "Papa juga bingung, di tempat kerja Mas Wahyu juga berubah. Dia tidak seperti biasanya yang selalu bantu kerjaan Papa. Sekarang dia lebih cuek, jadinya Papa kena marah bos terus kerena ketahuan santai di jam kerja. Biasanya, kan, Mas Wahyu ya
Pov. Ana Hari ini cuaca pagi sangat cerah, secerah hatiku yang sedang bahagia. Bahagia karena baru saja mendapatkan jatah uang belanja tambahan dari suami tersayang. Aku mencuci piring sambil bersenandung riang, memang benar kata orang tua. Jika hati riang semua pekerjaan terasa ringan dikerjakan. Kebetulan sisa rendang semalam masih ada, jadi aku tidak masak lagi hari ini. "Mbak! Mbak Ana!" Panggil Sri sambil mengetuk pintu rumahku. Aishhh ... baru saja aku merasakan ketenangan, justru sekarang si pengacau sudah nongol aja pagi-pagi begini! Bikin hilang Mood. Malas rasanya membukakan pintu untuknya. "Mbak ... Mbak Ana! Buka pintunya Mbak!" teriak wanita itu lagi. Aku yang masih mencuci piring jadi terpaksa dengan cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piringku yang tinggal dua buah lagi. Dengan langkah yang malas aku menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Aku gak mau Sri menyelonong masuk lagi ke dalam rumahku seperti yang sudah-sudah. "Ada apa? Pagi-pagi udah heboh di ruma
"Ada apa sih, Mbak? Ngamuk-ngamuk depan rumah orang seperti kesetanan?" sahut Sri kaget setelah dia membukakan pintu untukku. Nafasku naik turun, sorot mataku menatapnya tajam. Dada ini sudah dipenuhi amarah yang selama ini aku kumpulkan dan siap meledak seperti bom waktu. "Kembalikan kotak yang berwarna hitam itu padaku, sekarang juga!" "Kotak apa yang Mbak maksud? Aku tak mengerti?" tanya Sri dengan wajah polosnya.Seolah-olah dia tidak tahu, tapi sorot matanya yang tak berani menatapku secara langsung serta ekspresinya yang gelisah cukup membuatku semakin yakin bahwa dialah yang mengambil barangku tersebut."Jangan pura-pura tidak tahu, Sri! Kembalikan kotak itu sekarang juga, cepat!" perintahku lagi semakin lantang padanya.Mata Sri mendelik tidak suka mendengar suaraku yang terus meninggi ditambah banyak mata yang tengah menyaksikan pertengkaran kami. "Aku beneran gak tahu, Mbak. Jangan asal menuduh orang sembarangan, deh! Lagi pula cuma kotak yang berisi jam tangan saja, Mba
Setelah satu jam keributan hebat yang terjadi diantara aku dan Sri tadi. Kini giliran aku mendengar suara Mas Wahyu di luar.Aku buru-buru buka pintu, telingaku seperti mendengar suara perdebatan panjang antara suamiku dan adik sepupunya itu. Kenapa Mas Wahyu pulang secepat ini? Ada apa sebenarnya? Apa Sri mengadu pada suaminya itu? Tapi, ya terserahlah ... aku yakin Mas Wahyu cukup bijak untuk menempatkan posisi antara keluarga dan istrinya ini.Aku juga yakin dia pasti membelaku, karena memang aku tidak salah, kok!Benar saja, saat pintu terbuka aku melihat perdebatan antara suamiku dan Mas Hari serta Sri yang sudah berurai air mata. Aku memutar bola mataku malas, drama apa lagi yang di lakukan wanita licik ini.Mas Hadi memandangku tajam dengan wajah yang tampak memerah."Kita bicarakan ini di dalam rumah saja, tidak enak dilihat tetangga!" ajak mas Wahyu.Aku memindai pandanganku ke sekeliling, dan benar saja, tampak tetangga yang telah bubar kini mulai muncul satu-persatu meman
"Mas, kamu dan Mas Hadi kok hari ini pulang cepat?" tanyaku karena masih penasaran.Sekarang kami sedang duduk santai sambil menonton tv. Mulut Mas Wahyu tak berhenti mengunyah kue bawang yang kubeli secara online sore tadi. Ia menoleh padaku sekilas.Aku heran, diusia setua ini suamiku masih suka menonton kartun kucing dan guguk berkelahi. Terkadang dia sampai tertawa terbahak-bahak sendiri. Sungguh tidak cocok dengan tubuh dewasa yang kekar itu."Sebenarnya Mas tidak berniat. Saat Mas melihat Hadi menerima telpon dari Sri dengan wajah penuh emosi. Jadi Mas meminta izin untuk pulang cepat, gak mungkinkan Mas membiarkan istri Mas sendirian," jelasnya. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya mengunyah kue bawang itu."Terus apa yang Mas tunjukkan sama mereka, kenapa wajah mereka langsung terdiam begitu?" cercaku masih dengan mode penasaran. "Vidio. Kalau kami mau lihat, lihat saja di galeri gawai, Mas, tapi jangan di hapus!" ujar Mas Wahyu memperingati."Kenapa memangnya, Mas?" tanganku
"Eh ... Ada Ana, kapan sampai An?" sapa Mbak Eka kakak Iparku, istri Mas Andra kakaknya Mas Wahyu.Ketika aku baru saja bergabung di halaman belakang tempat mereka yang sedang memasak.Mbak Eka duduk bersama ibu-ibu serta saudara yang lain, duduk membuat lingkaran kecil yang tengahnya berisi sayur-sayuran, seperti buncis dan wortel yang akan dibersihkan dan dipotong-potong."Baru saja, Mbak. Oh ... ya, si kembar mana, Mbak?" ujarku ramah. Mbak Eka memiliki tiga orang anak, anak pertamanya perempuan berusia 7 tahun sedangkan anak keduanya kembar laki-laki berumur 5 tahun."Mereka pasti sedang main di depan sama teman-temannya, sini, An. Duduk samping Mbak! Sekalian ini kamu cicipi jenangnya. Enak benget deh, An." Aku duduk pada bangku kecil yang ada di samping mbak Eka, Mbak Eka menyodorkan sepiring jenang padaku. Aku mengambil sepotong dan mencicipinya, memang benar apa yang dia katakan, jenang ini begitu lembut dan legit serta manisnya pas membuat rasanya semakin enak.Kakak Iparku
Pukul sembilan pagi, aku dan Mas Wahyu sudah tiba di rumah Bu'de Ratmi kembali. Mas Wahyu mengambil cuti kerja selama dua hari dan Alhamdulillah bosnya mengizinkan. Lagi pula selama ini suamiku juga tidak pernah libur kerja kecuali dia sakit.Saat kami tiba suasana di ruangan tengah sudah ramai karena sebentar lagi akan diadakan ijab kabul pernikahan Ratna. Aku duduk bersebelahan dengan Mama dan Mbak Eka barisan dekat jendela.Mataku memindai setiap sudut ruangan mencari sosok seseorang yang sebenarnya paling malas aku temui. Aku pikir wanita itu sudah pergi duluan, tapi batang hidungnya tak jua tampak sedari tadi. "Sah!" ucap pak penghulu yang di jawab serentak oleh para saksi. Do'a-do'a di kumandangkan untuk kebahagiaan kedua mempelai. "Assalamualaikum! Maaf saya terlambat," ujar seseorang memberikan salam. Sontak kami semua menjawab salam itu sambil menoleh kearah suara yang aku yakini itu adalah Sri. Nyaris saja aku menjatuhkan rahang bawahku saat melihat sosok Sri yang baru