Share

Saudara celamitan dari Neraka!
Saudara celamitan dari Neraka!
Penulis: Desti Anggraini

1. Ipar celamitan

"Mbak An! Mbak Ana!" teriak Sri. Ia tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Tanpa basa-basi ataupun izin, wanita itu nyelonong masuk ke dalam rumahku hingga menghampiriku yang sedang berada di dapur.

Sungguh tidak sopan!

"Ada apa Sri?" ucapku ketus pertanda tidak suka dengan sikapnya.

"Mbak ada cabe ndak, Mbak? Aku minta dikit," ujarnya seraya membuka pintu kulkasku tanpa izin. Mataku melotot melihat sikap beraninya itu.

"Kamu jadi orang gak sopan banget sih, Sri. Main buka-buka aja tanpa izin!" tegurku.

"Ya ampun, Mbak. Sama sepupu sendiri aja, pakai izin-izin segala," sahutnya tanpa rasa bersalah.

Mataku mendelik melihat tangan gembulnya yang lincah memindahkan hampir setengah cabe yang kumiliki ke dalam plastik asoy yang dia ambil dari bawah meja.

"Eh ... Sri, kamu minta apa merampok?! Itu kok diambil setengah!" tanyaku tidak terima. Baru kemaren aku membeli cabe yang beratnya sekilo itu dan baru aku masak sedikit semalam, itupun hanya untuk membuat sambal Mas Wahyu, suamiku.

"Ya elah, Mbak. Cabe Mbak kan banyak, tinggal beli lagi napa? Sama saudara gak boleh pelit-pelit, Mbak!" ujarnya tak tahu malu.

Darah ini serasa mendidih mendengar ucapannya itu. Ingin rasanya, semua cabe itu kusumpal kedalam mulutnya itu!

"Kamu juga kalau minta yang tahu diri dikit, dong! Hidup itu modal, jangan cuma minta-minta doang! Udah sana, pulang kamu!" usirku kesal.

Kudorong punggung wanita dengan body bohai itu, keluar dari rumahku. Jika lama-lama dia di sini bisa-bisa semua isi rumahku dia jarah.

"Mbak ngusir aku? Mbak, jadi orang kok pelit banget, sih! Baru sekedar cabe juga."

Aku mencebikkan bibirku, "Walau cuma cabe, itu beli! Sri Widiastuti! Bukan minta seperti kamu, lagian suamimu, kan kerja. Ya ... beli dong! Jangan seperti tikus yang selalu menggrogoti dapur orang!"

Kulihat mata sri melotot, menatapku tak suka. Biar saja, memang kenyataannya seperti itu.

Jika dia minta sekali-sekali mungkin aku tidak akan seberang ini. Ini ... hampir setiap hari dia meminta ke rumahku dari cabe, bawang, tomat, lauk serta hal-hal remeh hingga hal penting lainnya dan terkadang pernah dia meminjam koleksi tubbelwareku yang pada akhirnya tidak tahu lagi ada di mana.

Awal-awalnya aku memberikan karena kupikir sesama saudara. Namun, lama kelamaan aku jengah juga dengan caranya.

"Mbak, jadi saudara itu gak boleh pelit! Biar rezekinya lancar terus. Lagipula, gaji suamiku kan ... gak sebesar gaji suami mbak, apa lagi mbak juga gak punya anak kecil seperti aku. Gak beli perlengkapan susu dan Pampers, jadi wajar dong aku minta sedikit sama mbak. Lagi pula Mas Hadi kan adiknya Mas Wahyu," dalihnya Sri seraya berlalu pulang ke rumahnya.

"Loh ... masalah pengeluaranmu besar itu bukan urusanku, gaji suamimu kecil memangnya salahku? Dasar gemblong!" Sahutku ketus seraya menutup pintu, lalu menguncinya.

Hati ini rasanya kesal sekali, ingin rasanya kubelah otaknya itu dan mengintip isi yang ada di dalamnya. Ya ... Allah, kok ada manusia seperti itu, hobby jadi benalu untuk orang lain. Aku menyesal lupa mengunci pintu tadi, akhirnya cabeku lenyap hampir setengah kilo. Mana harga sekilo 60 ribu tadi. Ya Tuhan ... apes! Apes!

Rumah yang kutempati ini adalah rumah sebuah yang dibelah dua, hampir mirip rumah bedengan petak dua tapi permanen, sehingga suara Yang ada di sebuah tidak kedengaran orang yang tinggal di sebelahnya karena full tembok.

Aku dan Mas Wahyu sudah menikah selama dua tahun, tapi kami baru mengontrak di sini satu tahun yang lalu. Setelah itu, tujuh bulan kemudian menyusul adik sepupunya Hadi ikut mengontrak di sebelahku. Kerena Hadi bekerja di tempat kerja yang sama dengan suamiku, di rumah makan ujung simpang sana.

Biar enak ada yang nemenin katanya! Tapi kenyataanya, hidupku yang sengsara. Mereka yang hemat aku yang tekor kalau gini namanya.

~ ~ ~

"Mas, saudaramu itu kebangetan banget jadi orang! Kalau gini, lama-lama pengeluaranku jadi bengkak!" aduku pada mas Wahyu, malam saat dia sudah pulang.

Kami sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Kubuatkan imamku itu secangkir kopi dan sepiring kecil pisang goreng garing kesukaannya.

Mas Wahyu menyeruput kopi itu dengan nikmat, lalu meletakkannya kembali diatas meja. Dia tersenyum manis menatapku.

"Memangnya ada masalah apalagi sih, Dek? Sampai wajah istri Mas yang cantik ini jadi kusut?" tanyanya yang tak lupa diselingi rayuan receh.

"Istri adik sepupumu itu, hampir setiap hari jarah isi kulkas Adek. Ada saja yang di pintanya setiap hari. Dari cabe, bawang, dan yang lainnya. Mana kalau minta gak pernah mikir, hampir semuanya ia ambil, aku kan ... nyetok isi kulkas biar hemat! Kalau ginikan, jadi boros! Aku gak bisa nabung untuk buat rumah kita nanti," jawabku sewot padanya. Nafasku naik turun karena emosi, mengingat apa yang terjadi terhadap isi dapurku.

Mas Wahyu menghela napas berat, "Mas bingung harus komentar apa, sayang. Lain kali kamu kunci aja pintunya, biar dia tidak masuk-masuk seenaknya. Lagi pula Mas gak enak negur Hadi tentang tingkah laku istrinya. Kamu tahu sendiri suami-istri itukan satu hati. Sama saja tingkahnya!"

"Terkadang aku lupa, Mas. Lagi pula kenapa kita tidak pindah saja dari kontrakan ini, sih, Mas? Lama-lama aku gak betah kalau bertetanggaan dengan sepupumu itu."

"Percuma kita pindah, Dek. Toh ... pada akhirnya mereka juga bakalan ngintilin lagi di sebelah kita. Lagi pula cuma rumah ini yang kontrakannya murah dan fasilitasnya bagus, mana dekat dengan tempat kerja, Mas," jelas Mas Wahyu. Aku menganggukkan kepala, apa yang dikatakan suamiku itu ada benarnya juga.

Pria tinggi putih itu menarik pinggangku yang ramping agar berada di dekapannya. Lalu mencium pipiku dengan mesra, membuat wajahku merona.

"Apaan sih, Mas?" tanyaku malu. Tanpa berbasa-basi sebagai seorang istri aku sudah tahu apa maksud dari tindakannya itu.

"Masalah tetangga sebelah, Mas pasrahkan sama kamu! Mas yakin, istri Mas yang cantik ini pasti bisa mengatasinya. Tapi malam ini kamu punya tugas penting, sayang. Mengatasi adik kecil Mas yang sudah mulai berontak," ujar Mas Wahyu yang sedikit vulgar di telingaku.

"Ishhh ... apaan sih, Mas. Bini lagi cerita eh ... malah bahas yang lain," ujarku sok jual mahal. Kupandangi mata suamiku yang mulai menghitam dipenuhi kabut gairah.

"Kan Mas udah bilang, Mas pasrah aja sama apa yang kamu lakukan pada mereka. Ayo dong, sayang! Siapa tahu malam ini jadi dedek, jadi kamu gak kesepian di rumah!" pintanya.

"Ya udah, ayo!" sahutku malu-malu. Aku berdiri beranjak menuju kamar yang disusul Mas Wahyu dari belakang. Kulihat pria itu nyengir kegirangan, seperti anak kecil yang di berikan lolipop.

Dasar!

Namun tak apalah, menyenangkan suami itu kan ibadah. Tapi menyenangkan tetangga yang tak tahu diri itu baru bodoh. Awas saja kamu ya, Sri. Lihat saja apa yang aku balas padamu nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status