Satu malam, satu kesalahan, satu kehidupan yang tak lagi sama. Sarah hancur saat mengetahui bahwa lelaki yang selama ini dicintainya ternyata adalah milik orang lain. Dalam keterpurukan, Dylan—sahabat lamanya—berusaha menghiburnya. Namun, di tengah malam yang penuh luka dan mabuk emosi, Sarah dan Dylan terseret dalam pusaran gairah yang tak seharusnya terjadi. Ketika pagi datang, yang tersisa hanyalah kebingungan dan keputusasaan. Namun, segalanya berubah saat Sarah mengetahui bahwa ia hamil. Dylan bersikeras bertanggung jawab, tapi Sarah ragu—bagaimana ia bisa menjalani hidup dengan pria yang tidak ia cintai? Atau... benarkah ia tak pernah melihat Dylan lebih dari seorang sahabat? Bagi Dylan, ini adalah kesempatan yang tak pernah ia harapkan tapi diam-diam ia impikan. Sejak awal, hatinya telah lama terpaut pada Sarah. Kini, ia harus berjuang untuk membuat Sarah melihatnya bukan hanya sebagai sahabat, melainkan sebagai pria yang bisa ia cintai. Mereka terjebak dalam kisah yang tidak mereka rencanakan. Bisakah cinta tumbuh di antara luka dan tanggung jawab? Ataukah mereka hanya akan bertahan demi seorang anak tanpa pernah benar-benar memiliki satu sama lain?
Lihat lebih banyakSejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”
Sarah terus menangis tanpa henti, hatinya terasa hancur menunggu kabar tentang Dylan. Keluarganya, baik orang tuanya maupun mertuanya, telah datang untuk berada di sisinya. Mereka bergantian menjaga Noah, sementara Sarah hanya bisa terbaring di kamar, diselimuti kekhawatiran yang tak kunjung reda. Di kamar yang sepi, hanya ada suara tangisan Sarah yang pecah, ditemani oleh Kate yang duduk di sampingnya. Kate memeluknya erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan yang tak terduga. Sarah terisak, tubuhnya lelah, namun air mata tak bisa berhenti mengalir. “Kate… aku baru aja mulai sadar perasaan aku. Aku baru aja akui aku mencintainya sepenuh hati. Kenapa harus begini? Kenapa saat aku udah siap merasakan kebahagiaan itu, justru semuanya seakan dirampas dari aku?” Suaranya terputus-putus, penuh dengan kepedihan yang dalam. Kate mengusap punggung Sarah dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tau ini nggak mudah, Sarah. Aku tau kamu udah b
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, hari dimana Dylan akan kembali ke rumah. Sebelum ia menuju hotel, Dylan sempat melakukan video call dengan Sarah dan Noah. Suara riang Dylan terdengar jelas, membuat Sarah tersenyum bahagia. "Aku nggak sabar mau ketemu kalian," katanya, dengan suara penuh kehangatan. Noah, yang berada di pangkuan Sarah, tampak tertarik dengan ponsel, tangannya kecil mencoba meraih layar seolah ingin memeluk ayahnya. Sarah tertawa kecil, menatap Noah dengan penuh cinta. Kate, yang berada di samping mereka, ikut mengamati dan berkata dengan nada ringan, "Nanti malam papa kamu sudah ada dalam pelukan kamu, Noah." Setelah Kate menggendong Noah dan membawanya menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam ruang virtual yang terasa begitu nyata, Dylan menatap Sarah dengan mata yang sedikit berkilat. “Sarah…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Pesan kamu kemarin… Kamu bilang kamu cinta aku. Apa kamu benar-benar—” Sarah memotongnya deng
Sarah membalas pesan Dylan dengan singkat namun penuh perhatian, memastikan agar suaminya tidak merasa khawatir tentang keadaan mereka di rumah. [Jangan khawatir, semuanya baik-baik aja di sini. Semoga meeting kamu selalu berjalan lancar. Aku menunggu kamu kembali. Aku mencintaimu] Pesan itu terkirim dalam hitungan detik, tapi artinya jauh lebih dalam dari sekadar kalimat penutup. Untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Sarah benar-benar mengucapkan kata itu—bukan hanya dalam tindakan, bukan hanya dalam perhatian diam-diam, tapi lewat kata-kata yang utuh: aku mencintaimu. Di tempat lain, Dylan terdiam saat membaca pesan itu. Matanya terpaku pada layar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Aku mencintaimu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa lelahnya seketika lenyap, digantikan oleh semburan emosi hangat yang menyergapnya tanpa ampun. Ia segera menekan tombol untuk memanggil Sarah. Ia ingin mendengarnya langsung. Ingin memasti
Hari pertama Sarah dan Noah menghabiskan waktu dengan video call bersama Dylan. Senyum mereka tak pernah lepas, meskipun jarak memisahkan, kehangatan terasa begitu dekat. Ketika Noah mulai mengantuk dan mulai menggosok-gosok matanya, Kate dengan lembut membantu menidurkan anak mereka di kamar. Setelah memastikan Noah sudah tertidur nyenyak, Sarah kembali ke ruang tamu, di mana layar ponselnya menampilkan wajah Dylan. "Dia udah tidur, akhirnya," kata Sarah dengan senyum lelah namun bahagia. "Terima kasih udah video call, aku rasa Noah kangen banget sama kamu." Dylan tersenyum, meskipun terlihat lelah dari wajahnya. "Aku juga kangen sama dia... dan kamu," jawabnya pelan. "Tapi aku senang bisa lihat kalian, Sarah. Tinggal beberapa hari lagi, aku bakal pulang." Sarah menghela napas, menatap layar dengan tatapan lembut. "Aku tau, tapi rasanya waktu berjalan begitu lama tanpa kamu di sini." Dylan mengangguk, suara rindu tersirat di suaranya. "Aku tau. Tapi ki
"Bagus!" Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat Sarah tersentak. Jari-jarinya yang semula mengetik di keyboard laptop kini terhenti, dan matanya mendongak, menatap heran ke arah pintu. Seorang wanita cantik berdiri di sana, mengenakan pakaian berkelas dengan wajah penuh amarah. Matanya nanar menatap Sarah, seolah ingin menelanjanginya hidup-hidup. Sarah berdiri, merasa ada yang tidak beres. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, wanita itu sudah melangkah maju dan melemparkan beberapa lembar foto ke mejanya. Dengan alis berkerut, Sarah menunduk, mengambil foto-foto yang berserakan. Itu fotonya bersama Liam—kekasihnya. Tidak ada yang aneh di dalamnya. Mereka sedang sarapan di kafe, menikmati kopi sebelum berangkat kerja, makan siang bersama, berjalan santai, hingga makan malam romantis seminggu lalu sebelum Liam pergi ke luar negeri. Sarah menatap wanita di depannya dengan kebingungan. “Kamu siapa? Dari mana kamu dapat foto-foto ini?” Wanita itu mendengus sinis....
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen