"Bilang aja ini bisa-bisanya kamu buat aku tampil," sinis Putri.
"Kenapa sih, suara kamu kan bagus nggak malu-maluin juga, udah biasa tampil di panggung juga." "Panggung apa!?" "Orgen tunggal dekat rumah. Dari tahun ke tahun kamu ngisi acara kok sekarang mendadak demam panggung." "Beda Tam, beda! Ini kan sekolah, mana ada Putra lagi." "Sama-sama panggung, udah sana udah lewat lima menit nih," Tami cuek bebek dengan kepanikan Putri, ia tidak siap tapi Tami tidak peduli. "Katanya ini sebagai persembahan untuk perpisahan dari senior kita teman-teman, Kak Putri kami persilahkan naik ke atas panggung! Beri applaus untuk Kak Putri!" Pembawa acara kembali memanggil Putri, kini dengan meriah membuat Putri semakin salah tingkah. "Kata elu!" sinis Putri pada Tami yang disambut gelak tawa tidak peduli. Mau tidak mau Putri berdiri, ia berjalan menaiki panggung dan Tami berdiri pindah duduk tidak jauh dari Putra berada, ia ingin leluasa memperhatikan reaksi dari si target. Sebelum tampil Putri berbicara pada tim dibelakang untuk mengatur musik dan lagu yang akan ia bawakan. "Lagunya udah siap ya Kak," kata si panitia, "Hah? Lagunya apa memang?" Putri tampak bingung, kesal bukan main pada Tami. "Ini, tadi katanya Kakak udah biasa bawainnya," si panitia menunjukkan catatan rundown acaranya. "Oke." Putri berjalan ketengah panggung yang sudah disediakan mic stand disana, ia sempat melirik Tami yang sudah senyum-senyum senang. Putri menarik napas begitu alunan musik diputar. "Dari Rossa, Ku Menunggu." Tanpa diperintah mata Putri langsung tertuju pada Putra yang disampingnya bergelayut manja sang pacar, namun Putra tampak tenang dan cuek melihat kearahnya. Tami justru tersenyum smirk melihat itu, step rencana pertama berjalan. ~Ku menunggu Ku menunggu kau putus dengan kekasihmu Tak akan ku ganggu kau dengan kekasihmu Ku kan selalu disini untuk menunggumu~ Putri dengan merdu menyanyikan bait pertama, netranya menatap tajam pada Putra. Entah kenapa Putra merasakan gejolak aneh, matanya menegang membalas tatapan Putri ia merasakan Putri sedang berbicara kepadanya. Lagi-lagi, tarikan bibir itu terukir diwajah Tami begitu melihat reaksi Putra, step rencana kedua berjalan. ~Cintaiku Ku berharap kau kelak kan cintai aku Saat kau telah tak bersama kekasihmu Ku lakukan semua agar kau cintaiku~ Bait kedua Putri masih dengan berani menatap kearah Putra, ia tidak peduli pada gadis yang bergelayut disampingnya. Ia hanya ingin menyampaikan isi hatinya lewat lagu ini. ~Haruskah ku bilang cinta Hati senang namun bimbang~ Putri mengalihkan tatapannya, karena dilirik ini ia tidak akan melakukannya. ~Ada cemburu juga rindu Ku tetap menunggu~ Ia kembali menatap Putra, ia melihat wajah Putra yang mengerutkan keningnya bingung dan bertanya-tanya seakan mencari tau. ~Haruskah ku bilang cinta Hati senang namun bimbang~ Dilirik ini Putri akan mengalihkan pandangannya, ~Dan kau sudah ada yang punya Ku tetap menunggu~ Dan kembali menatap Putra pada lirik yang sesuai dengan hati dan perasaannya. ~Datang padaku Ku tahu kelak kau kan datang kepadaku Saat kau sadar betapa ku cintaimu Ku kan selalu setia tuk menunggumu~ Di bait ini Putri menyanyikannya dengan sedikit senyum menggoda namun tetap dengan gengsinya. Ia menunjukkan senyumannya itu takkan lagi ia berikan begitu saja. Begitu selesai bernyanyi, Putri mengucapkan terima kasih dan tersenyum tipis yang disambut dengan tepukan sorak sorai penonton, kebanyakan dari mereka tidak menyangka Putri memiliki suara yang bagus dan nikmat untuk didengar. Putri terdiam ketika melihat Putra berdiri dari tempatnya, ia menatap tajam dirinya, bahkan pacarnya yang bergelayut manja itu dia abaikan. Tidak lama ia pun pergi meninggalkan aula dengan raut wajah yang tidak bisa Putri tebak, bahkan pacarnya yang kebingungan itu pun tidak ia pedulikan lagi. Tami tersenyum puas menikmati drama rencananya berjalan dengan lancar. Selanjutnya ia hanya menunggu hasil dari jembatan yang ia buat, bisa menyatukan atau tidak, hanya takdir yang menentukan. ~ "Suara kamu bagus, banyak yang menikmati, termasuk aku." puji Tami, Putri hanya diam, ia terbayang raut wajah Putra saat menatapnya sebelum pergi meninggalkan aula. "Hei!" senggol Tami, "Diam aja, kenapa?" tanya Tami. "Kamu nggak usah kura-kura dalam perahu ya, Tam!" tembak Putri tepat sasaran, Tami hanya menunjukkan seringaian dengan malu-malu guguk. "Apa rencanamu sebenarnya, Tam?" "Menunggu takdir." jawab Tami cuek. "Ayo ke kelas," ajaknya kemudian. "Nggak! Aku udah nggak punya nyali buat tunjukin muka depan Putra. Mau langsung balik aja." "Tas kamu gimana?" "Kalau kamu nggak mau bawain, tinggalkan aja, bisa diambil besok atau kapan-kapan." "Kapan-kapan? Kapan? Besok kamu udah nggak sekolah, lusa cau Aussie. Kapan mau diambil?" "Tega kamu, Tam!" Putri berjalan meninggalkan Tami dengan kesal, tawa Tami pun pecah. "Kamu yakin nggak mau ke kelas?" tanya Tami seraya memberikan tas Putri. "Kenapa memangnya?" "Say goodbye aja," "Enggak perlu," "Putra ada di kelas, dia kayaknya tunggu kamu." akhirnya Tami mengatakan apa yang ingin ia sampaikan. "Buat apa?" tanya Putri bingung, ia tampak berpikir. "Apa dia sepeka itu dengan lagu yang aku nyanyiin tadi?" "Gimana nggak peka, kamu nyanyi cuma ngeliatin dia doang." "Sejelas itu?" "Sangat jelas!" Putri terduduk lemah dipinggiran lapangan, "Berarti sama aja aku yang nembak dia dong?" ia tampak kecewa, karena bukan seperti itu yang dia mau. "Ya enggaklah! Itu namanya kode, bukan menyatakan, beda." "Gara-gara kamu nih, Tam. Padahal aku kan cuma mau nunggu aja," "Emang dengan diam menunggu nasi di meja makan bisa berjalan masuk ke perutmu? Kamu harus jalan menggapainya, menggerakkan tanganmu untuk mengambilnya dan memasukannya kedalam mulut, sampai di mulut pun kamu usaha lagi dengan gigi dan lidahmu untuk memproses masuk kedalam perutmu. Semua butuh usaha Put! Sama seperti cinta kamu, kalau mau berbalas ya usaha, gimana dia mau tau kalau kamu ada rasa hanya dengan diam aja, kecuali memang dia yang punya rasa dan usaha duluan. Atau dia memang punya rasa tapi khawatir kamu enggak jadi dia butuh kode dari kamu. Banyak kemungkinan Put, yang jelas jangan diam." Putri terdiam, kembali terbayang raut wajahnya Putra sebelum meninggalkan aula. Ia menghela napas berat dan panjang. "Kode tadi aku rasa udah cukup, aku menunggu aja. Ayo pulang!" ajak Putri. Tami hanya mengedikkan bahunya pasrah, ini mungkin takdir yang ia tunggu, terima saja. Ia pun berjalan menyusul Putri yang sudah berjalan duluan. Putra memperhatikan pergerakan Putri yang menjauhi lapangan meninggalkan sekolah bersamaan dengan para murid lainnya, itu adalah terakhir kalinya Putra melihat Putri berada disekolah. Keesokannya ia tidak menemukan sosok Putri, hingga di hari pengambilan raport pun tiba ia tak juga melihat keberadaan Putri, dia benar-benar hilang dari peredaran. Putra tertunduk seraya melihat kotak berwarna putih ditangannya, dengan perasaan kecewa ia menyimpan kembali kotak kecil itu kedalam sudut terdalam laci meja belajarnya. **“Putri!”Itu suara yang Putri kenal, dengan perasaan senang dan menahan gejolak di hati, ia pun berbalik kearah suara berasal. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman."Iya, Tra?""Kapan kamu balik?""Maksudnya?" Putri bingung, ia baru saja sama-sama keluar dari kelas setelah pelajaran terakhir usai, memang Putri terlebih dulu keluar dari kelas dibandingkan Putra, tapi pertanyaannya? Maksudnya apa ya?"Kenapa kamu hanya menunggu? Selama ini aku juga menunggu kamu, Tri!"Deg! Putri terhenyak, alisnya bertaut memandangi Putra yang tampak kecewa pada dirinya."Maksudnya kamu a--""Aku juga suka sama kamu Putri!"Dag dig dug! Dag dig dug!Begitulah detak jantung Putri mendengar pernyataan Putra, cintanya bersambut? Lalu kenapa dia tidak bilang dari dulu?"Kamu mau kan Tri jadi yang ke lima?""Hah!?" Putri melongo mendengarnya, tiba-tiba muncul para pacar Putra-- Serli, Gita, Bella dan adik kelas yang sudah berdiri di belakang Putra. Mereka bagai moo yang di cucuk hidungnya-- manut, nu
"Anin, tolong ya beliin keperluan tugas ketrampilan Girly."Ayi sudah berdiri didepan pintu kamar Putri dengan Boy yang berada dalam gendongannya. Wajah lelah iparnya itu tidak bisa disembunyikan."Kamu mau keluar kan?" tanyanya lagi."Iya Mbak," jawab Putri sambil memasang sepatu kets nya, lalu ia berdiri mematut dirinya pada cermin besar didepannya. "Mbak WA aja ya apa aja yang mau dibeli." kata Putri sambil menyelempangkan tasnya."Makasih ya Nin, Mbak numpang tidur kamar kamu ya, malas kebawah lagi.""Boleh, asal jangan bau pipis Boy aja," ucap Putri sambil mencubit gemas pipi gembul keponakannya itu.~Putri menepikan mobilnya di depan disebuah toko tua yang semakin tua dan masih berdiri dengan kokoh, dimana kenangan pernah ada disana, kebersamaan itu juga pernah muncul disana serta rasa bahagia penuh harap.Seorang pegawai wanita sedang hamil tua memperhatikan Putri dengan seksama, Putri tersenyum tipis. Wanita itu semakin menyipitkan matanya menatap Putri serius membuat ia jeng
"Kecewa deh kalau nonton film nggak sama dengan novelnya," curhat Tami,Selepas melepas rindu dengan bercerita, Putri dan Tami menghabiskan waktu pergi menonton film yang kebetulan diadaptasi dari sebuah novel yang menjadi favorit bacaan Tami."Iya, feel-nya beda." Putri setuju,"Aku rate jelek aja kali ya," ucap Tami lagi membuat Putri menatapnya aneh."Penting?" Putri mengangkat kedua alisnya mengejek membuat Tami yang melihatnya tertawa."Bercanda, Put!""Jadi nginap rumah aku kan?" tanya Putri seraya berjalan membuang sampah minuman dan popcorn nya ke tong sampah yang tersedia."Aku udah nikah, Put. Kalau balik ya pasti nginap dirumah orang tua lah, masa dirumah kamu. Rumah kita bersebelahan, ingat."Putri tertawa sambil melanjutkan langkahnya menuju rest room yang pasti sudah ramai, tapi kebersihan rest room di bioskop bisa dikatakan lebih bersih daripada mall sendiri."Bawa tissue kan kamu?" tanya Tami yang mengingat acara menontonnya masuk dalam list dadakan.Mereka kalau ke to
Putri mencepol rambutnya dengan asal, semenjak kembali dari Aussie dan menjadi pengangguran, waktu bangun, mandi dan makan wanita itu tidak pernah lagi sesuai waktu semestinya.Setelah membasuh wajahnya dan turun dengan wajah bangun tidurnya, Putri melangkah menuju dapur mencari sarapan seperti biasa."Wuenak tenan Mbak, bangun-bangun makan, mandi belum, bantu Bunda sama Mbok enggak!"Itu Affan, si bungsu yang masih duduk dikelas sebelas. Ia mengatakannya dengan suara lantang yang disengaja agar sang Bunda mendengarnya, tentu tujuannya hanya untuk membuat Putri kesal."Mulut elu yah!" Putri melempar Affan dengan serbet didepannya sambil memperhatikan sekitar, khawatir Bundanya tiba-tiba muncul dengan spatula kayu yang siap ditimpuk ke kepalanya, Affan mengelak seraya tertawa puas mengerjai kakaknya."Kamu itu bisa prihatin sedikit nggak sih, kasihani aku gitu loh malah manasi Bunda buat tambah penderitaan aja!" curhat Putri ketus seraya mengambil roti tawar didepannya."Deritamu ya de
"Emang dikira barang apa pakai di coba dulu, apanya yang mau dicoba!?" sungut Putri ketika sudah berada di taman depan yang persis seberang rumahnya dan juga Tami. "Semuanya mungkin," celetuk Tami menahan tawa. "Kamu juga Tam, ada apa kamu sama Bunda kok tiba-tiba minta di cariin jodoh, nggak cerita lagi sama aku." Putri merajuk, wajahnya seketika sinis. "Sorry, tadinya aku mau cerita hari ini, sekarang. Eh keburu Bunda kamu udah cus duluan, nggak sabar kayaknya." Tami kembali tertawa, "Nggak usah serius gitu ah Put," Tami mencolek Putri, "Aku juga belum ada ngomong apa-apa sama Rama, ataupun teman suami aku." ucap Tami berusaha menenangkan. "Rama?" "Iya, Rama Wishnu Perdana. Teman kuliah aku dulu, yang sekarang sudah jadi dokter umum dirumah sakit AB, lagi sekolah ambil spesialis saraf. Kata Mas Alvin cocok buat kamu, biar selalu waras." "Sialan, dia kali yang sarap!" Tami tertawa, "Rama itu kayaknya suka kamu deh Put, semenjak video call bareng dulu kalau ketemu aku pas
"Santai aja, disini rata-rata asik kok, yang paling solid tim iklan karena kebanyakan uang masuk dari sana, hahah..." Itu Nesta, untungnya diakhir namanya tidak pakai 'pa' , kalau tidak ia tidak mungkin bisa tertawa seperti sekarang. Nesta adalah sepupu suami Tami yang diceritakan tempo lalu saat di taman depan rumahnya, ia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Nesta menjabat sebagai asisten HRD, walau begitu rekomendasi pegawai dari Nesta selalu menjadi andalan perusahaan, karena kebanyakan rekomendasi darinya selalu menjadi karyawan yang tidak banyak masalah dan selalu bisa diandalkan. Maka dari itu, Nesta juga tidak sembarang memasukkan atau merekomendasikan orang untuk bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Sejauh ini ia menilai Putri masuk kriteria penilaiannya, selebihnya branding dari Tami tentunya. Belum lagi embel-embel lulusan luar negerinya menambahkan nilai plus untuk Putri. "Besok jam delapan tiga puluh, hari pertama. Gue daft
"Put, Putra!" seseorang yang kembali berteriak memanggil itu akhirnya berada di ujung anak tangga, "Ya elah Put, lu dipanggil diam aja." protes lelaki berambut cepak itu, tidak luput satu tepukan dia layangkan pada bahu lelaki yang bernama Putra yang masih bergeming diujung anak tangga teratas. Lelaki yang bernama Putra itu hanya terdiam, matanya tidak beralih dari Putri yang juga terdiam. Mereka saling diam, terkejut dan penuh tanda tanya tapi tiada satu pun yang bersuara sampai akhirnya Nesta keluar membuyarkan semuanya. "Put!" Lagi-lagi, Putra dan Putri menoleh ke asal suara yang memanggil. Nesta yang menatap Putri kebingungan lalu beralih pada Putra yang terkejut didampingi pria cepak yang melongo sedari tadi yang didiamkan dan bingung tidak tau apa-apa dengan drama keheningan antara Putra dan Putri. "Wah, ada elu Put," kini Nesta berbicara menatap Putra, namun Putri menatap kearah Nesta. "Aduh, kayaknya gue harus panggil nama lengkap ya kalau didepan kalian daripada planga
"Put ikutan yuk!" Itu Novi dari departemen iklan, ia sebagai admin iklan yang satu-satunya wanita didalam ruangan yang rata-rata designer grafis yang disana didominasi oleh para pria. Namun sepertinya Novi tidak mempermasalahkan itu, karena ia terlihat baik-baik saja, mungkin karena Kiki-- pacarnya salah satu desain grafis iklan dan satu ruangan dengannya. "Kemana?" tanya Putri seraya membereskan meja kerjanya, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. "Makan, karaoke lepas penatlah. Kamu belum pernah ikutan, ayo lah sekali-kali, sekalian kenalan sama anak iklan." Ucapan Novi bukan lagi seperti ajakan tapi lebih memaksa membuat Putri tersenyum tipis menanggapinya, ia tidak begitu akrab dengan Novi tapi lebih dari dua bulan bekerja di media XY sekali-kali mereka pergi makan siang bareng, karena bagaimanapun Novi butuh teman perempuan untuk bergaul tidak melulu dengan rekan kerjanya yang laki-laki semua. "Ayolah, jangan senyum-senyum aja." paksa Novi. "Aku absen dulu," j
"Jadi dimana sekarang suami kamu?" tanya Putri penasaran, karena dari ceritanya mereka datang berdua namun yang didepannya hanya Tami seorang."Sebelah," jawab Tami datar, Putri tau yang dimaksud sebelah adalah sebelah rumahnya alias rumah Tami─ rumah mertua Aiden."Terus yang buat kamu marah sama Kak Aiden apa?" tanya Putri lagi, ia beranggapan apa yang dilakukan Aiden terhadap mantannya sudah benar."Nggak peka banget sih kamu, Put." kesal Tami, "Dia udah bohong sama aku dengan pura-pura tidak kenal padahal dia kenal." sungut Tami."Kak Aiden begitu kan buat jaga perasaan kamu," bela Putri, secara logikanya ia menilai begitu dari cerita Tami barusan."Buat jaga perasaan aku atau yang lain!" tuduhnya mulai curiga pada suaminya sendiri,"Yang lain bagaimana maksud kamu?"Tami mengedikkan bahunya, "Nggak tau, mungkin buat bisa ketemuan lain kali atau─ ya pokoknya gitu lah, Put! Aku nggak bisa mikir." keluh Tami.Putri terdiam, ia mencoba mencerna dan menelaah kalimat Tami sampaikan bar
Karena gelisah Aiden menjadi susah tidur, ia gelisah karena Tami yang jadi merajuk padanya dan yang paling membuat ia sengsara adalah dirinya yang sudah terlanjur ingin bercinta dengan sang istri, apalagi tadi ia sudah sangat dekat dan tiba-tiba Tami menjauhinya. Aiden frustrasi.Tami sudah tertidur, dua jam lamanya untuk Aiden memastikan sang istri benar-benar tertidur. Saat Aiden yakin Tami sudah tertidur ia langsung mendekat dan memeluk istrinya itu. Tiga bulan LDR sebagai pengantin baru bukan hal mudah untuknya, terlebih ia juga sangat mencintai Tami.Tami terbangun dengan selimut yang tersingkap, tangan sang suami sudah bergelayut memeluknya erat, tapi memutar matanya kesal. Perlahan ia melepaskan dirinya dari pelukan suaminya lalu pergi untuk mandi dan memulai aktivitas paginya seperti biasa.Tami keluar dari kamar mandi dengan gusar, ia berjalan cepat menghampiri Aiden lalu memukul lengan sang suami dengan kesal, walau ia yakin pukulan itu tidak akan terasa apa-apa oleh Aiden.
Putri berjalan gontai membuka pintu kamarnya yang terus diketuk tanpa jeda, ketika pintu terbuka ia melihat Tami dengan wajah muram dengan mata sembab. Seketika ia mengusap wajahnya untuk segera sadar dari dirinya yang masih setengah mengantuk.Tami berjalan masuk melewati Putri lalu duduk dipinggiran kasurnya, Putri kembali menutup dan mengunci pintu kamarnya.Putri berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya secara singkat, membasuh wajahnya dan sikat gigi. Sekembalinya ia sudah melihat Tami meringkuk diatas kasur dengan suara tangis yang terdengar samar.Putri memilih duduk dikursi meja belajarnya dulu, yang kini menjadi meja serbaguna. Rak kecil yang dulu berisi buku pelajarannya kini telah diisi dengan buku-buku motivasi, novel, dan sedikit komik. Karena semenjak lulus SMA dan kuliah dia Australia Putri sudah sangat amat jarang membeli komik untuk bacaannya.Ia membiarkan Tami menangis, selagi menunggu Tami tenang dan mau bicara ia memilih sebuah novel karya dari Josie
"Bunda?" Putri kaget, ia menelan salivanya dengan paksa lalu tersenyum kaku pada Hanum. "Baru pulang, Nin?" tanya Hanum jelas hanya berbasa-basi saja, tentu ia tau anak gadisnya itu baru pulang. Kini Hanum menoleh pada Putra yang berada tak jauh dibelakang Putri dan tersenyum hangat, namun wajahnya jelas menyiratkan sebuah pertanyaan besar. Pria di hadapannya sekarang adalah pria yang berbeda dengan yang tadi saat pamit pergi bersama putrinya. "Malam Tante, saya Elgiar Putra, pacar Anindya Putri." ucap Putra ramah dan sopan, tak luput sebuah senyuman hangat penuh pesona itu ia tunjukkan pada Hanum-- calon mertuanya. Seketika Hanum menatap tajam Putri, jelas ia akan menodong pertanyaan pada anaknya itu nanti. "Maaf Tante, kalau saya terlalu malam mengantarkan Putri pulang." ucap Putra dengan wajah menyesal, ia bisa melihat wajah protes singkat itu pada Putri. Hanum tersenyum hangat, "Nggak apa-apa Nak Elgiar, yang penting Anin diantar sampai rumah dengan selamat dan utuh. Suda
Sepanjang jalan pulang Putri hanya diam menatap jalan didepannya, begitu pun dengan Putra. Sepuluh menit berlalu dengan hening, Putra menoleh pada Putri."Kamu kenapa?" tanyanya kemudian, Putri melirik Putra sesaat lalu kembali melihat ke depan."Kenapa? Emangnya aku harus bagaimana, Tra?" tanya Putri bingung."Jangan diam aja,"Putri menatap Putra tajam, ada apa dengan lelaki idamannya ini? Putri seperti melihat Putra dengan versi lain, bukan seperti Putra yang ia kenal selama ini."Kamu mau aku ngapain, Tra? Bercerita untuk kamu?" Putri mulai frustrasi,"Nyanyi untuk aku, Tri." pinta Putra dengan entengnya.Putri semakin menatap Putra dengan aneh, itu hal yang sangat tidak mungkin ia lakukan sekarang. "Nggak!" tolak Putri seraya mengalihkan pandangannya."Kenapa?" Putra menatap Putri dengan kecewa, "Aku suka dengar suara kamu, terlebih lagu itu kamu nyanyikan untuk aku."Putri menelan salivanya dengan payah, wajahnya memerah karena malu mendengar pernyataan Putra yang begitu gamblan
"Akhirnya ketemu kamu juga, Nin." ucap Marsha seraya menekan angka satu pada lift. Putri yang mendengarnya hanya tersenyum, ia tidak berani menanyakan maksud ucapan Marsha walau sebenarnya ia penasaran."Apa Elgiar memaksa kamu kerumah?" tanya Marsha begitu mereka sudah berada disalah satu ruang tamu yang mewah. Putri hanya tersenyum kikuk, tidak berani berkata jujur bahwa anaknya telah melakukan lebih dari sekedar pemaksaan. Bukan hanya memaksanya kerumah tapi juga memintanya menjadi pacar bahkan istri dengan jarak yang hanya beberapa jam saja."Maafkan Elgiar ya, Anin." ucap Marsha tulus, senyuman indah wanita berumur itu membuat Putri terus ingin memujinya, sungguh ia sangat cantik."Nggak ada yang salah Tan, Putra juga meminta persetujuan saya," jawab Putri berbohong."Jujur Nin, Tante surprise bisa ketemu kamu sekarang. Tante pikir dia akan terus menunggu─ memastikan perasaannya untuk bisa sama kamu." Marsha tersenyum seraya menerawang mengingat bagaimana Putra bercerita tentang
"Kamu masih cinta aku kan?"Putri terdiam mendengarnya, dengan susah payah ia menelan salivanya. Putra tau ia mencintainya selama ini? Ia pun teringat dengan percakapannya pada Tami saat acara pensi, apakah Putra sepeka itu dengan lagu yang ia nyanyikan untuknya.'Gimana nggak peka, kamu nyanyi cuma ngeliatin dia doang.' ucapan Tami terus terngiang dibenak Putri. Ia juga mengingat bagaimana Putra menatapnya tajam dan pergi meninggalkan aula setelahnya."Kamu tau?" lirih Putri, seketika ia menyesali dirinya yang dengan enteng berucap begitu. Putra tersenyum tipis melihatnya, lalu mengangguk."Sejak kapan?" Putri penasaran, atau justru ia hanya ingin membuktikan ucapan Tami kalau Putra memang peka saat itu."Sejak pertama aku terpilih jadi ketua kelas dan kamu terpilih jadi bendahara."Putri tampak berpikir dan mengingat serta mencerna ucapan Putra, tiga tahun berturut-turut mereka selalu terpilih dengan jabatan yang sama lalu jika pertama kali berarti itu disaat tingkat satu. Disaat pe
"Anindya Putri yang lagi sama lu adalah pacar gue! Harusnya lu yang jangan ganggu pacar gue, Kaf!"Putri yang berdiri dibelakang Putra tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, bahkan ia sampai harus memegang kuat lengan Putra didepannya agar tidak terjatuh dari berdirinya. Pegangan pada lengannya langsung disambut Putra dengan mengelusnya lembut membuat Putri semakin salah tingkah, namun Putra tau kalau Putri sedang bingung dan kaget sekarang atas pernyataannya, tapi ia tidak peduli.Kafka memandang Putra tidak percaya, ia mencobanya menatap Putri yang berdiri dibalik badan Putra namun Putra sengaja menghalangi Kafka."Anin," panggil Kafka lembut,"Iya Kafka," jawab Putri mencoba menampakkan diri, namun dengan cepat Putra menghalanginya. "Tra, kamu kenapa sih?" akhirnya Putri protes atas perlakuan pria yang ia sukai selama ini."Lindungi kamu dari pria brengsek ini." jawabnya cuek masih menatap tajam pada Kafka."Tra, Kafka nggak brengsek." bela Putri lembut,"Tau apa kamu tentang d
"Kafka." ucap pria itu mengulurkan tangannya pada Putri sebelum ia turun dari mobil karena tujuannya sudah sampai. Putri menoleh heran pada pria itu, perkenalan yang aneh menurutnya setelah mereka dua kali semobil dan beberapa kali bertemu walau tidak saling menyapa. Ya, dia adalah pria yang Putri lihat pertama kali saat di lift bersama Nesta."Putri." balas Putri menyambut uluran tangan Kafka sopan."Bukan Anin?" tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya menatap Putri dalam. Putri tersenyum kecil, pasti karena Bunda dan Ayahnya selalu menyebut namanya didepan Kafka, Anin itu Anin ini."Anindya Putri. Bebas kamu mau dengan panggilan apa, tapi biasa memang aku di panggil Putri sih kalau di luar." Putri memberi tahu."Aku mau jadi orang dalam, berarti panggil kamu Anin, boleh?" Putri tersenyum simpul lalu mengangguk membolehkan, bukan hal yang aneh menurutnya membiarkan Kafka memanggilnya dengan nama Anin, toh itu juga tetap namanya.Putri turun dari mobil, matanya memandang takjub denga