Jantung Sarah berdegup kencang, bukan karena rindu, tetapi karena amarah dan sakit hati yang tiba-tiba menyerang lagi.
Liam masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya—tinggi, tampan, dengan sorot mata yang dulu membuat Sarah jatuh cinta. Tapi kini, mata itu justru membuat dadanya terasa sesak. “Mau apa kamu kesini?” suara Sarah terdengar datar. Liam menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. “Sarah, kita harus bicara.” Sarah tertawa pendek, penuh sinisme. “Bicara? Seharusnya kamu bicara sebelum aku tau kalau kamu sudah menikah.” “Aku bisa jelasin—” “Nggak perlu.” Sarah menyela, tangannya mulai gemetar, tapi ia menahannya agar tidak terlihat lemah di depan pria ini. “Pergi, Liam. Aku nggak mau lihat kamu.” “Aku mohon, cuma lima menit.” Sarah ingin menutup pintu, tetapi Liam menahan dengan tangannya. “Lima menit aja, Sarah,” suaranya nyaris bergetar. Sarah memejamkan mata, mencoba menahan emosi yang kembali menyeruak. “Liam, tolong jangan buat ini semakin rumit.” “Aku cinta kamu, Sarah,” suara Liam nyaris seperti bisikan. Sarah terdiam. Dulu, mendengar kata-kata itu adalah hal terindah baginya. Tapi kini, rasanya seperti pisau yang ditusukkan ke dadanya. Ia menatap Liam dengan sorot mata yang tak bisa ditebak. “Kalau kamu benar-benar cinta aku, kamu nggak akan memperlakukan aku kayak gini.” Liam menatapnya dengan penuh kepasrahan. “Aku nggak bisa kehilangan kamu.” “Kamu sudah kehilangan aku, Liam,” bisik Sarah. “Sejak kamu pilih untuk merahasiakan yang sebenarnya dari aku." Mereka saling menatap dalam keheningan. Sarah bisa melihat ketulusan di mata Liam, tetapi ia juga tahu bahwa ketulusan itu tidak cukup untuk membenarkan apa yang sudah terjadi. Dengan satu tarikan napas panjang, Sarah akhirnya berkata, “Sebaiknya kamu pergi, Liam. Ini terakhir kalinya kita bicara.” Liam masih berdiri di depan pintunya, wajahnya penuh keputusasaan, tetapi juga tekad yang tak tergoyahkan. "Aku nggak akan pergi sampai kamu dengarkan aku," kata Liam, suaranya berat dan dalam. Sarah menghela napas panjang. Ada pertempuran hebat dalam dirinya—antara keinginannya untuk menutup pintu dan mengusir Liam selamanya, atau membiarkannya bicara dan mendengar penjelasan yang sebenarnya tak lagi ia butuhkan. Namun, pada akhirnya, hatinya yang lebih dulu menyerah. Ia masih mencintai Liam. Dan itu menyakitkan. Dengan langkah enggan, Sarah membiarkan pintu tetap terbuka dan melangkah mundur, memberi isyarat pada Liam untuk masuk. Liam menatapnya penuh syukur, tetapi Sarah tidak membalas. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan Liam berbicara. "Aku dijodohkan, Sarah," suara Liam terdengar lelah. "Pernikahan itu bukan keinginan aku. Aku nggak pernah cinta dia—sedetik pun nggak." Sarah tetap diam. "Aku nggak pulang ke rumah," lanjut Liam. "Aku cuma pulang kalau orang tua atau mertua aku datang. Kami hidup seperti orang asing dalam satu atap, tanpa cinta, tanpa kebersamaan." Sarah mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Kota yang gemerlap di luar sana terasa begitu kontras dengan kehampaan yang kini ia rasakan. "Terus kenapa kamu nggak bercerai?" tanyanya akhirnya. Liam terdiam. Ia menghela napas berat, jelas ada beban besar dalam pikirannya. "Ini bukan sesuatu yang mudah, Sarah. Keluarga aku, keluarganya… semua terlalu rumit." Sarah tertawa kecil, sarkastik. "Jadi kamu pilih jalan lain? Bohongi aku, menjalin hubungan di belakang istri kamu?" "Aku nggak pernah bermaksud bohongi kamu," Liam menatapnya dalam-dalam. "Aku… aku jatuh cinta sama kamu, Sarah. Kamu satu-satunya yang buat aku merasa hidup." Sarah menggeleng, mencoba menahan emosinya. "Tapi aku tetap bukan siapa-siapa. Aku cuma perempuan lain dalam cerita pernikahan kamu." "Nggak!" Liam segera meraih tangannya, tetapi Sarah dengan cepat menarik diri. "Aku mau sama kamu, Sarah. Aku akan lakukan apa pun supaya kita bisa sama-sama. Aku akan perjuangkan kamu." Sarah merasakan matanya mulai memanas. "Tapi aku nggak mau jadi alasan hancurnya rumah tangga orang, Liam. Aku nggak mau jadi perusak." "Terus aku harus gimana?" Liam menatapnya penuh keputusasaan. "Aku nggak bisa lepaskan kamu, Sarah. Aku sangat mencintai kamu." "Kamu nggak perlu lakukan apa pun," suara Sarah hampir berbisik. "Karena kita udah selesai." Liam tampak ingin menolak, tetapi ia tidak punya argumen. Ia tahu Sarah benar. Tidak peduli seberapa dalam perasaannya, tidak peduli seberapa besar cinta di antara mereka—mereka tetap tidak bisa bersama. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik. Hingga akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar, Liam bertanya, "Jadi kita benar-benar selesai?" Sarah menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Iya," jawabnya dengan suara bergetar. Sarah menatap Liam dengan mata nanar. Hatinya masih berantakan, pikirannya kacau. Ia ingin Liam, ingin memberinya kesempatan untuk membuktikan segalanya. Tetapi logikanya berkata lain. "Aku akan menyelesaikan semuanya, Sarah." Suara Liam penuh tekad. "Aku akan menceraikan dia. Aku hanya butuh waktu." Sarah menggeleng, mencoba meredam gejolak emosinya. "Liam, kamu tau ini salah. Aku tau ini salah. Aku nggak bisa…" "Tapi kamu masih cinta aku, kan?" Liam memotong cepat. Sarah terdiam. Itu adalah pertanyaan yang tidak ingin ia jawab. Liam tersenyum tipis, seolah sudah memahami jawabannya meskipun Sarah tidak mengatakannya. "Aku tahu kamu masih cinta aku. Itu udah cukup buat aku." "Liam—" "Aku akan kembali, Sarah." Liam menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku janji." Sarah menghela napas panjang. Kepalanya mulai terasa berat. "Jangan buat janji yang belum tentu bisa kamu tepati." Belum sempat Liam membalas, suara dorongan keras di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua. BRAK! Pintu terbuka ketika Sarah akan melangkah ke arahnya. Dylan berdiri di sana, napasnya sedikit tersengal seperti habis berlari. Matanya langsung menangkap sosok Liam, lalu bergeser ke arah Sarah yang masih berdiri dalam kebimbangan. ***"Ngapain dia disini?" suara Dylan dingin, Liam mendengus pelan, jelas tidak menyukai interupsi itu. "Ini bukan urusan kamu." Dylan berjalan masuk, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. "Salah. Ini jelas juga urusan aku. Karena Sarah sahabat aku, dan aku nggak akan diam aja lihat dia terjebak dalam hubungan yang menyakitinya." Sarah menunduk, merasa canggung di antara dua pria itu. "Liam, sebaiknya kamu pergi." Sarah bersuara dengan pelan. "Aku belum selesai bicara Sarah," Liam bersikeras. Dylan menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya tajam. "Selesaikan urusan pernikahan kamu dulu. Jangan datang ke sini kasih janji-janji kosong dan membuat Sarah semakin terluka." Liam mengeratkan rahangnya. Ia jelas ingin melawan, tapi pada akhirnya ia tahu Dylan benar. Ia menoleh ke arah Sarah sekali lagi. "Aku akan menepati janji aku." Sarah tetap diam, tidak ingin memberi harapan ataupun menutup kemungkinan. Akhirnya, Liam berbalik dan pergi. Begitu pint
"Aku cinta kamu, Sarah." Sarah terdiam. Alisnya berkerut mencoba memahami kata-kata itu, pikirannya tidak sepenuhnya sadar. "Aku juga sayang kamu, Dylan… sebagai sahabat." Dylan menggeleng pelan. "Bukan. Aku nggak mau jadi sahabat kamu, Sarah. Aku cinta kamu, lebih dari itu." Sarah menatap Dylan dengan pandangan kabur. Kata-kata itu terasa asing, tetapi juga menggetarkan sesuatu di dalam dirinya. Dengan ragu, ia mendekatkan wajahnya ke Dylan. Ia tahu hatinya masih terikat pada Liam, tetapi ada sesuatu dalam diri Dylan yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin ini hanya efek alkohol, atau mungkin ia hanya butuh pelarian. "Aku cinta Liam, Dylan," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Namun, entah mengapa, dirinya tetap saja bergerak mendekati Dylan. Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu, Sarah merasa dunianya berputar. Awalnya itu hanya ciuman lembut, namun ketika Sarah mulai menggoda Dylan dengan hisapan kecil, pria itu kehilangan kendali. Sarah terhuyung sedikit ketika Dyla
Cahaya matahari yang menerobos celah tirai membuat Sarah mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih samar, seperti tersesat di antara mimpi dan kenyataan. Tubuhnya terasa hangat, dan ada sesuatu yang membuatnya enggan bergerak. Saat kesadarannya perlahan kembali, Sarah menyadari bahwa ia sedang berbaring dalam pelukan seseorang. Lengan kuat melingkari pinggangnya, napas hangat menyapu tengkuknya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia menoleh perlahan. Dylan. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Semua kejadian tadi malam menghantamnya seperti gelombang besar—kehangatan, bisikan, ciuman, sentuhan… Mereka telah melewati batas. Sarah buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Dylan masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai, berbeda dengan kekacauan yang kini memenuhi benak Sarah. Ia menatap pria itu, mengingat bagaimana mereka saling melepaskan diri dari kendali semalaman. Seolah-olah rasa sakit yang seharusnya ia rasakan untuk pertama kali lenyap dite
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tidak dengan kecanggungan yang kini menggantung di antara Sarah dan Dylan. Di kantor, mereka berusaha bersikap profesional seperti biasa, namun nyatanya, ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Dylan masih perhatian seperti sebelumnya, tapi ada keraguan dalam setiap gerak-geriknya. Sementara itu, Sarah sering kali kehilangan fokus, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian malam itu. Dylan sesekali mencuri pandang ke arah Sarah, tetapi ketika tatapan mereka bertemu, Sarah buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Perasaan bersalah, bingung, dan entah apa lagi bercampur menjadi satu. Di sisi lain, Dylan masih mencari cara untuk berbicara dengan Sarah tanpa membuat suasana semakin canggung. Ia tahu mereka harus membahas ini, harus mencari jalan keluar, tetapi kapan waktu yang tepat? Sore itu, saat kantor mulai sepi, Dylan akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Sarah. "Sarah, bisa kit
Sebulan lebih berlalu sejak malam itu, tetapi Sarah masih belum bisa menghilangkan kegelisahan yang terus menghantuinya. Ia sudah mencoba menjalani harinya seperti biasa, tetapi hari ini tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya. Wajahnya tampak pucat, dan ia mulai merasa pusing sejak pagi. Saat rapat berlangsung, Dylan berusaha tetap profesional, tetapi sulit baginya untuk tidak memperhatikan perubahan pada Sarah. Ia melihat bagaimana wanita itu beberapa kali menyentuh pelipisnya, menutup mata sejenak, lalu kembali fokus dengan susah payah. Ketika akhirnya rapat usai dan satu per satu karyawan meninggalkan ruang rapat, Dylan tetap duduk di tempatnya. Ia menunggu sampai hanya tinggal Sarah yang masih membereskan catatannya. "Sarah, tunggu sebentar," ucap Dylan dengan suara tenang namun tegas. Sarah mengangkat wajah, sedikit terkejut. "Ada apa?" Dylan menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu kelihatan pucat. Kamu baik-baik aja?" Sarah menghela napas pelan, berusaha menutupi
Malam itu, setelah Dylan pergi, Sarah duduk sendirian di ruang tamunya, menatap kosong ke arah jendela apartemennya. Pikirannya kacau. Ia memegang perutnya yang masih rata, tetapi bayangan bagaimana jika nanti perutnya membesar terus menghantui. Apa kata orang? Bagaimana dengan rekan-rekan di kantor? Keluarganya? Teman-temannya? Mereka pasti akan bertanya-tanya. Ia bahkan tak tahu harus menjelaskan seperti apa. Matanya berkaca-kaca. Ini bukan sesuatu yang pernah ia bayangkan akan terjadi. Hubungannya dengan Liam sudah berakhir, tetapi di saat yang sama, hidupnya berubah drastis karena satu malam yang tak pernah ia rencanakan bersama Dylan. Dylan… Sarah menghela napas panjang. Ia tahu pria itu tulus. Dylan tidak hanya bertanggung jawab, tetapi ia juga benar-benar mencintainya. Tapi apakah Sarah bisa menerima Dylan sebagai suaminya? Ponselnya bergetar di meja. Nama Dylan muncul di layar. Sarah menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengabaikan panggilan itu. Ia belum siap
Keesokan harinya, Sarah duduk di depan Dylan di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Ia menatap pria itu dengan serius, sementara Dylan menunggu dengan sabar, meski dalam hatinya ada kecemasan. "Aku setuju untuk menikah dengan kamu," ucap Sarah akhirnya. Dylan terdiam sejenak, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Kamu yakin, Sarah?" tanyanya, suaranya terdengar lebih hati-hati dari biasanya. Sarah mengangguk pelan. "Aku butuh status, Dylan. Aku nggak mau anak ini lahir tanpa kejelasan. Dan..." ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "...kalau kamu benaran mau tanggung jawab, aku nggak akan menolaknya." Mata Dylan sedikit melembut, ada rasa lega bercampur bahagia di sana. "Aku janji, Sarah. Aku akan jaga kamu dan bayi kita." Sarah tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. "Kapan kita menikah?" tanya Dylan. Sarah berpikir sejenak. "Secepatnya, seperti yang kamu mau. Aku nggak mau ada spekulasi di kantor atau di antara orang-orang terdekat kita." Dylan me
Hari itu tiba lebih cepat dari yang Sarah bayangkan. Ia berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang indah, tetapi wajahnya terlihat jauh dari ekspresi seorang pengantin yang bahagia. Hatinya kosong. Semua orang di sekelilingnya sibuk, tetapi ia merasa seperti berada dalam dunianya sendiri. Doa-doa dipanjatkan, mengiringi awal baru bagi Keduanya. Sarah menunduk, menyembunyikan perasaan yang campur aduk dalam hatinya. Sementara itu, Dylan menggenggam tangannya dengan lembut, seolah ingin meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kini, mereka resmi terikat dalam janji suci sebagai suami istri. Sepanjang resepsi, Sarah lebih banyak diam. Ia tersenyum tipis di hadapan tamu undangan, tetapi Dylan tahu senyum itu tidak sampai ke matanya. Tidak ada kegembiraan, hanya keterpaksaan. Setelah semua tamu pulang dan acara selesai, mereka akhirnya tiba di kamar pengantin. Sarah duduk di tepi ranjang, masih dengan gaun pengantinnya yang belum ia lepas. Dylan berdiri tak jauh darinya,
Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”
Sarah terus menangis tanpa henti, hatinya terasa hancur menunggu kabar tentang Dylan. Keluarganya, baik orang tuanya maupun mertuanya, telah datang untuk berada di sisinya. Mereka bergantian menjaga Noah, sementara Sarah hanya bisa terbaring di kamar, diselimuti kekhawatiran yang tak kunjung reda. Di kamar yang sepi, hanya ada suara tangisan Sarah yang pecah, ditemani oleh Kate yang duduk di sampingnya. Kate memeluknya erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan yang tak terduga. Sarah terisak, tubuhnya lelah, namun air mata tak bisa berhenti mengalir. “Kate… aku baru aja mulai sadar perasaan aku. Aku baru aja akui aku mencintainya sepenuh hati. Kenapa harus begini? Kenapa saat aku udah siap merasakan kebahagiaan itu, justru semuanya seakan dirampas dari aku?” Suaranya terputus-putus, penuh dengan kepedihan yang dalam. Kate mengusap punggung Sarah dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tau ini nggak mudah, Sarah. Aku tau kamu udah b
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, hari dimana Dylan akan kembali ke rumah. Sebelum ia menuju hotel, Dylan sempat melakukan video call dengan Sarah dan Noah. Suara riang Dylan terdengar jelas, membuat Sarah tersenyum bahagia. "Aku nggak sabar mau ketemu kalian," katanya, dengan suara penuh kehangatan. Noah, yang berada di pangkuan Sarah, tampak tertarik dengan ponsel, tangannya kecil mencoba meraih layar seolah ingin memeluk ayahnya. Sarah tertawa kecil, menatap Noah dengan penuh cinta. Kate, yang berada di samping mereka, ikut mengamati dan berkata dengan nada ringan, "Nanti malam papa kamu sudah ada dalam pelukan kamu, Noah." Setelah Kate menggendong Noah dan membawanya menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam ruang virtual yang terasa begitu nyata, Dylan menatap Sarah dengan mata yang sedikit berkilat. “Sarah…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Pesan kamu kemarin… Kamu bilang kamu cinta aku. Apa kamu benar-benar—” Sarah memotongnya deng
Sarah membalas pesan Dylan dengan singkat namun penuh perhatian, memastikan agar suaminya tidak merasa khawatir tentang keadaan mereka di rumah. [Jangan khawatir, semuanya baik-baik aja di sini. Semoga meeting kamu selalu berjalan lancar. Aku menunggu kamu kembali. Aku mencintaimu] Pesan itu terkirim dalam hitungan detik, tapi artinya jauh lebih dalam dari sekadar kalimat penutup. Untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Sarah benar-benar mengucapkan kata itu—bukan hanya dalam tindakan, bukan hanya dalam perhatian diam-diam, tapi lewat kata-kata yang utuh: aku mencintaimu. Di tempat lain, Dylan terdiam saat membaca pesan itu. Matanya terpaku pada layar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Aku mencintaimu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa lelahnya seketika lenyap, digantikan oleh semburan emosi hangat yang menyergapnya tanpa ampun. Ia segera menekan tombol untuk memanggil Sarah. Ia ingin mendengarnya langsung. Ingin memasti