"Ngapain dia disini?" suara Dylan dingin,
Liam mendengus pelan, jelas tidak menyukai interupsi itu. "Ini bukan urusan kamu." Dylan berjalan masuk, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. "Salah. Ini jelas juga urusan aku. Karena Sarah sahabat aku, dan aku nggak akan diam aja lihat dia terjebak dalam hubungan yang menyakitinya." Sarah menunduk, merasa canggung di antara dua pria itu. "Liam, sebaiknya kamu pergi." Sarah bersuara dengan pelan. "Aku belum selesai bicara Sarah," Liam bersikeras. Dylan menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya tajam. "Selesaikan urusan pernikahan kamu dulu. Jangan datang ke sini kasih janji-janji kosong dan membuat Sarah semakin terluka." Liam mengeratkan rahangnya. Ia jelas ingin melawan, tapi pada akhirnya ia tahu Dylan benar. Ia menoleh ke arah Sarah sekali lagi. "Aku akan menepati janji aku." Sarah tetap diam, tidak ingin memberi harapan ataupun menutup kemungkinan. Akhirnya, Liam berbalik dan pergi. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Dylan mendesah berat, lalu berjalan mendekati Sarah. "Kamu nggak apa-apa?" Sarah mengangguk, meski ekspresinya masih kosong. "Jangan bohong," Dylan menatapnya lekat-lekat. Sarah tersenyum tipis, mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meskipun dalam hatinya ia tahu itu kebohongan. Dylan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya meraih Sarah ke dalam pelukannya, memberikan kenyamanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sarah membiarkan dirinya bersandar, mencoba menenangkan hatinya yang masih bergejolak. Ia tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti—ia harus menemukan cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri, sebelum ia bisa memikirkan kemungkinan apa pun bersama Liam. --- Malam semakin larut. Dylan masih menemani Sarah di apartemennya. Ia tidak ingin meninggalkannya sendirian, terutama setelah kejadian tadi dengan Liam. Sarah butuh seseorang, dan Dylan bersedia menjadi orang itu. Tanpa diduga, Kate datang dengan wajah lelah tetapi penuh semangat. Ia menjelaskan bahwa kakaknya sudah ditangani oleh keluarga dan suaminya, jadi ia bisa kembali menemani Sarah. Namun, begitu matanya menangkap keberadaan Dylan di apartemen, ekspresi Kate berubah sedikit terkejut. "Wah, ternyata ada Dylan juga?" Ia terkekeh, lalu mengangkat sesuatu dari dalam tasnya—sebotol anggur merah. Dylan langsung mengernyit. "Kate, kamu serius mau minum?" "Ayolah, ini cuma untuk senang-senang," Kate meletakkan botol itu di meja. "Sarah butuh hiburan." Sarah hanya tersenyum tipis, masih dalam keadaan emosional yang labil. Kate tidak menyerah, ia menuangkan anggur ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Sarah. "Minum, satu gelas aja buat rileks." Dylan menghela napas, tetapi tidak bisa menghentikan Sarah yang sudah menerima gelas itu. Ia memperhatikan dengan cemas saat Sarah meneguk minuman itu, sementara Kate juga ikut minum. "Ayo, Dylan, kamu juga harus minum," kata Kate sambil mengulurkan gelas padanya. Dylan menolak dengan sopan. "Aku harus jaga Sarah." Kate tertawa kecil. "Dylan, please. Minum, ini cuma sedikit aja. Lagian, Sarah juga butuh teman." Dylan mendesah, akhirnya menyerah dan mengambil gelasnya. Tapi ia hanya menyesap sedikit, tidak ingin mabuk seperti mereka. Seiring waktu, Kate semakin banyak bicara. Ia berceloteh tanpa henti hingga akhirnya ponselnya berdering. Ia menerima telepon dari orang tuanya yang memintanya kembali menjaga kakaknya karena suaminya yang baru datang perlu beristirahat. "Ugh, mereka selalu aja begini," gerutunya. Dengan enggan, Kate berdiri dan meraih tasnya. "Aku harus pergi lagi. Kalian jangan terlalu serius, ya!" Lalu, begitu saja, Kate pergi tanpa sempat Sarah dan Dylan untuk menahannya. Setelah Kate pergi, Sarah mulai meracau, efek minuman mulai terasa. "Liam itu bajingan," gumamnya, menatap kosong ke depan. "Tapi aku bodoh, kan? Masih aja cinta sama dia." Dylan, yang dicekoki Kate juga mulai terpengaruh alkohol, menghela napas. "Kamu nggak bodoh, Sarah. Kamu cuma mencintai orang yang salah." Sarah tersenyum miris. "Kamu selalu ada buat aku ya, Dylan?" Dylan menatapnya dalam. Mungkin ini pengaruh alkohol, atau mungkin karena ia sudah terlalu lama menyimpan perasaannya, tetapi kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Aku cinta kamu, Sarah." ***"Aku cinta kamu, Sarah." Sarah terdiam. Alisnya berkerut mencoba memahami kata-kata itu, pikirannya tidak sepenuhnya sadar. "Aku juga sayang kamu, Dylan… sebagai sahabat." Dylan menggeleng pelan. "Bukan. Aku nggak mau jadi sahabat kamu, Sarah. Aku cinta kamu, lebih dari itu." Sarah menatap Dylan dengan pandangan kabur. Kata-kata itu terasa asing, tetapi juga menggetarkan sesuatu di dalam dirinya. Dengan ragu, ia mendekatkan wajahnya ke Dylan. Ia tahu hatinya masih terikat pada Liam, tetapi ada sesuatu dalam diri Dylan yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin ini hanya efek alkohol, atau mungkin ia hanya butuh pelarian. "Aku cinta Liam, Dylan," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Namun, entah mengapa, dirinya tetap saja bergerak mendekati Dylan. Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu, Sarah merasa dunianya berputar. Awalnya itu hanya ciuman lembut, namun ketika Sarah mulai menggoda Dylan dengan hisapan kecil, pria itu kehilangan kendali. Sarah terhuyung sedikit ketika Dyla
Cahaya matahari yang menerobos celah tirai membuat Sarah mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih samar, seperti tersesat di antara mimpi dan kenyataan. Tubuhnya terasa hangat, dan ada sesuatu yang membuatnya enggan bergerak. Saat kesadarannya perlahan kembali, Sarah menyadari bahwa ia sedang berbaring dalam pelukan seseorang. Lengan kuat melingkari pinggangnya, napas hangat menyapu tengkuknya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia menoleh perlahan. Dylan. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Semua kejadian tadi malam menghantamnya seperti gelombang besar—kehangatan, bisikan, ciuman, sentuhan… Mereka telah melewati batas. Sarah buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Dylan masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai, berbeda dengan kekacauan yang kini memenuhi benak Sarah. Ia menatap pria itu, mengingat bagaimana mereka saling melepaskan diri dari kendali semalaman. Seolah-olah rasa sakit yang seharusnya ia rasakan untuk pertama kali lenyap dite
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tidak dengan kecanggungan yang kini menggantung di antara Sarah dan Dylan. Di kantor, mereka berusaha bersikap profesional seperti biasa, namun nyatanya, ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Dylan masih perhatian seperti sebelumnya, tapi ada keraguan dalam setiap gerak-geriknya. Sementara itu, Sarah sering kali kehilangan fokus, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian malam itu. Dylan sesekali mencuri pandang ke arah Sarah, tetapi ketika tatapan mereka bertemu, Sarah buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Perasaan bersalah, bingung, dan entah apa lagi bercampur menjadi satu. Di sisi lain, Dylan masih mencari cara untuk berbicara dengan Sarah tanpa membuat suasana semakin canggung. Ia tahu mereka harus membahas ini, harus mencari jalan keluar, tetapi kapan waktu yang tepat? Sore itu, saat kantor mulai sepi, Dylan akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Sarah. "Sarah, bisa kit
Sebulan lebih berlalu sejak malam itu, tetapi Sarah masih belum bisa menghilangkan kegelisahan yang terus menghantuinya. Ia sudah mencoba menjalani harinya seperti biasa, tetapi hari ini tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya. Wajahnya tampak pucat, dan ia mulai merasa pusing sejak pagi. Saat rapat berlangsung, Dylan berusaha tetap profesional, tetapi sulit baginya untuk tidak memperhatikan perubahan pada Sarah. Ia melihat bagaimana wanita itu beberapa kali menyentuh pelipisnya, menutup mata sejenak, lalu kembali fokus dengan susah payah. Ketika akhirnya rapat usai dan satu per satu karyawan meninggalkan ruang rapat, Dylan tetap duduk di tempatnya. Ia menunggu sampai hanya tinggal Sarah yang masih membereskan catatannya. "Sarah, tunggu sebentar," ucap Dylan dengan suara tenang namun tegas. Sarah mengangkat wajah, sedikit terkejut. "Ada apa?" Dylan menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu kelihatan pucat. Kamu baik-baik aja?" Sarah menghela napas pelan, berusaha menutupi
Malam itu, setelah Dylan pergi, Sarah duduk sendirian di ruang tamunya, menatap kosong ke arah jendela apartemennya. Pikirannya kacau. Ia memegang perutnya yang masih rata, tetapi bayangan bagaimana jika nanti perutnya membesar terus menghantui. Apa kata orang? Bagaimana dengan rekan-rekan di kantor? Keluarganya? Teman-temannya? Mereka pasti akan bertanya-tanya. Ia bahkan tak tahu harus menjelaskan seperti apa. Matanya berkaca-kaca. Ini bukan sesuatu yang pernah ia bayangkan akan terjadi. Hubungannya dengan Liam sudah berakhir, tetapi di saat yang sama, hidupnya berubah drastis karena satu malam yang tak pernah ia rencanakan bersama Dylan. Dylan… Sarah menghela napas panjang. Ia tahu pria itu tulus. Dylan tidak hanya bertanggung jawab, tetapi ia juga benar-benar mencintainya. Tapi apakah Sarah bisa menerima Dylan sebagai suaminya? Ponselnya bergetar di meja. Nama Dylan muncul di layar. Sarah menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengabaikan panggilan itu. Ia belum siap
Keesokan harinya, Sarah duduk di depan Dylan di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Ia menatap pria itu dengan serius, sementara Dylan menunggu dengan sabar, meski dalam hatinya ada kecemasan. "Aku setuju untuk menikah dengan kamu," ucap Sarah akhirnya. Dylan terdiam sejenak, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Kamu yakin, Sarah?" tanyanya, suaranya terdengar lebih hati-hati dari biasanya. Sarah mengangguk pelan. "Aku butuh status, Dylan. Aku nggak mau anak ini lahir tanpa kejelasan. Dan..." ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "...kalau kamu benaran mau tanggung jawab, aku nggak akan menolaknya." Mata Dylan sedikit melembut, ada rasa lega bercampur bahagia di sana. "Aku janji, Sarah. Aku akan jaga kamu dan bayi kita." Sarah tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. "Kapan kita menikah?" tanya Dylan. Sarah berpikir sejenak. "Secepatnya, seperti yang kamu mau. Aku nggak mau ada spekulasi di kantor atau di antara orang-orang terdekat kita." Dylan me
Hari itu tiba lebih cepat dari yang Sarah bayangkan. Ia berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang indah, tetapi wajahnya terlihat jauh dari ekspresi seorang pengantin yang bahagia. Hatinya kosong. Semua orang di sekelilingnya sibuk, tetapi ia merasa seperti berada dalam dunianya sendiri. Doa-doa dipanjatkan, mengiringi awal baru bagi Keduanya. Sarah menunduk, menyembunyikan perasaan yang campur aduk dalam hatinya. Sementara itu, Dylan menggenggam tangannya dengan lembut, seolah ingin meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kini, mereka resmi terikat dalam janji suci sebagai suami istri. Sepanjang resepsi, Sarah lebih banyak diam. Ia tersenyum tipis di hadapan tamu undangan, tetapi Dylan tahu senyum itu tidak sampai ke matanya. Tidak ada kegembiraan, hanya keterpaksaan. Setelah semua tamu pulang dan acara selesai, mereka akhirnya tiba di kamar pengantin. Sarah duduk di tepi ranjang, masih dengan gaun pengantinnya yang belum ia lepas. Dylan berdiri tak jauh darinya,
Sarah duduk di sofa sambil mengelus perutnya yang mulai membesar. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan kelima, dan ia mulai merasakan gerakan kecil dari dalam. Sensasi itu begitu aneh sekaligus ajaib. Dylan yang baru saja pulang kerja menghampirinya, meletakkan tasnya di meja, lalu duduk di samping Sarah. Matanya langsung tertuju pada perut istrinya yang kini semakin nyata menampakkan keberadaan bayi mereka. "Boleh aku pegang?" tanya Dylan pelan, seolah takut jika Sarah akan menolaknya. Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan permintaan itu. Tapi ia tahu, bagaimanapun juga bayi ini adalah anak Dylan, dan ia berhak merasakan kehadirannya. Dengan sedikit ragu, Sarah mengangguk. Dylan tersenyum tipis, lalu dengan hati-hati ia menyentuhkan telapak tangannya ke perut Sarah. Awalnya ia hanya diam, tapi saat merasakan ada gerakan kecil di bawah tangannya, ia tersentak kaget. "Dia bergerak," bisiknya, matanya berbinar penuh keajaiban. Sarah ikut tersenyum kecil. "Iya, akhir-akhir
Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”
Sarah terus menangis tanpa henti, hatinya terasa hancur menunggu kabar tentang Dylan. Keluarganya, baik orang tuanya maupun mertuanya, telah datang untuk berada di sisinya. Mereka bergantian menjaga Noah, sementara Sarah hanya bisa terbaring di kamar, diselimuti kekhawatiran yang tak kunjung reda. Di kamar yang sepi, hanya ada suara tangisan Sarah yang pecah, ditemani oleh Kate yang duduk di sampingnya. Kate memeluknya erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan yang tak terduga. Sarah terisak, tubuhnya lelah, namun air mata tak bisa berhenti mengalir. “Kate… aku baru aja mulai sadar perasaan aku. Aku baru aja akui aku mencintainya sepenuh hati. Kenapa harus begini? Kenapa saat aku udah siap merasakan kebahagiaan itu, justru semuanya seakan dirampas dari aku?” Suaranya terputus-putus, penuh dengan kepedihan yang dalam. Kate mengusap punggung Sarah dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tau ini nggak mudah, Sarah. Aku tau kamu udah b
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, hari dimana Dylan akan kembali ke rumah. Sebelum ia menuju hotel, Dylan sempat melakukan video call dengan Sarah dan Noah. Suara riang Dylan terdengar jelas, membuat Sarah tersenyum bahagia. "Aku nggak sabar mau ketemu kalian," katanya, dengan suara penuh kehangatan. Noah, yang berada di pangkuan Sarah, tampak tertarik dengan ponsel, tangannya kecil mencoba meraih layar seolah ingin memeluk ayahnya. Sarah tertawa kecil, menatap Noah dengan penuh cinta. Kate, yang berada di samping mereka, ikut mengamati dan berkata dengan nada ringan, "Nanti malam papa kamu sudah ada dalam pelukan kamu, Noah." Setelah Kate menggendong Noah dan membawanya menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam ruang virtual yang terasa begitu nyata, Dylan menatap Sarah dengan mata yang sedikit berkilat. “Sarah…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Pesan kamu kemarin… Kamu bilang kamu cinta aku. Apa kamu benar-benar—” Sarah memotongnya deng
Sarah membalas pesan Dylan dengan singkat namun penuh perhatian, memastikan agar suaminya tidak merasa khawatir tentang keadaan mereka di rumah. [Jangan khawatir, semuanya baik-baik aja di sini. Semoga meeting kamu selalu berjalan lancar. Aku menunggu kamu kembali. Aku mencintaimu] Pesan itu terkirim dalam hitungan detik, tapi artinya jauh lebih dalam dari sekadar kalimat penutup. Untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Sarah benar-benar mengucapkan kata itu—bukan hanya dalam tindakan, bukan hanya dalam perhatian diam-diam, tapi lewat kata-kata yang utuh: aku mencintaimu. Di tempat lain, Dylan terdiam saat membaca pesan itu. Matanya terpaku pada layar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Aku mencintaimu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa lelahnya seketika lenyap, digantikan oleh semburan emosi hangat yang menyergapnya tanpa ampun. Ia segera menekan tombol untuk memanggil Sarah. Ia ingin mendengarnya langsung. Ingin memasti