“Putri!”
Itu suara yang Putri kenal, dengan perasaan senang dan menahan gejolak di hati, ia pun berbalik kearah suara berasal. Huufft... Sejelek dan seaneh apapun, kalau sudah suka tetap saja terlihat sempurna sekali, selama itu diterima secara logika. Itu menurut Putri dan sebagian orang saja, tapi belum tentu dengan sebagiannya lagi. Tapi si punya suara itu tidak jelek kok, malah sangat dan sangat tampan, pikir Putri. “Ada apa, Tra?” tanya Putri se-datar mungkin, mencoba untuk bersikap biasa saja. “Beli perlengkapannya besok sore aja ya sepulang sekolah, nggak apa-apa kan? Aku ada acara dadakan hari ini.” Putri tersenyum simpul “Ya udah, gampang kok! Besok juga bisa.” jawab Bendahara kelas itu seperti biasa-- tetap berusaha menjadi dirinya sendiri walaupun didepan orang yang sedang ia sukai ini. “Gak ada masalahkan?” tanya Putra, yang menjabat sebagai ketua kelasnya melangkah mendekati Putri. Putri tersentak, dan ketika Putri akan menjawab ia melihat seseorang berjalan kearah mereka, yang membuat ia mundur selangkah sambil tertawa garing dan tentu membuat jawabannya beda dengan yang diniatkan sebelumnya. "Nggak masalah ketua kelas!" ucapnya tersenyum kecut. "Hai," suara lembut mendayu itu menyapa diantara mereka, yang jelas ditujukan untuk Putra. Itu Gita, pacarnya Putra yang cantik. Ia melirik Putri sedikit sinis untuk sedetik dan kembali menatap pacarnya dengan manja. "Jadikan, Hon?" tanyanya lembut. "Jadi." Merekapun berlenggang pergi, dengan Putra yang merangkul mesra Gita. Putri hanya terdiam melihat mereka pergi, tanpa pamit, tanpa apa-apa-- yang biasa disebut basa-basi-- sama sekali tak dianggap. Seperti tidak ada. Sayup-sayup Ia mendengar suara Gita yang menanyakan dirinya. Siapa dia? Kenapa sok cantik begitu? Dan mereka tertawa. Apa yang dijawab Putra sehingga mereka tertawa begitu, nggak ada yang lucu dengan dirinya. Lagian siapa yang sok cantik sih?! Huh! ~ "Dear Botgun. Tadi ngobrol lagi sama Putra, ngomongin soal perlengkapan untuk kelas sih. Soalnya kan bentar lagi ulang tahun sekolah, jadi ada lomba hias kelas terindah gitu Botgun, biasalah acara setiap tahun dan semoga aja menang. Doain ya! Oh iya, sebenarnya aku tuh mau ceritain tentang Putra, bukan kelas. Kayaknya dia sama pacarnya nge-tawain aku deh, ah nyebelin banget sih! Aku kan suka sama dia, diketawain gitu ngerasa harga diri aku jatuh--" "Nulis diary kok bersuara sih, kayak anak SD lagi belajar baca." Itu Tami si sekretaris kelas yang kebetulan tetangga sebelah. Ia sudah berdiri didepan pintu kamar Putri lengkap dengan piyama di badannya. "Tidur sini ya?" tanya Putri tidak menanggapi ucapannya tadi. Tami mengangguk sambil berjalan kearah Putri, dan pura-pura mengintip buku diary nya. "Ah, nanti aku tidur juga kamu baca." ucap Putri sambil menutup bukunya. "Belum aku baca juga udah tahu kok, kamu kan nulisnya berkicau. Apalagi ni botak gundul, ih aneh-aneh aja sih kamu buku diary kok dipanggil Botgun cuma karena gambar covernya orang botak." "Gak apa-apa dong, namanya juga kreatifitas." jawab Putri ngasal. "Kreatifitas apaan?!" tanya Tami tidak terima jawaban Putri yang menurutnya kurang berbobot dan kurang meyakinkan. "Kreatifitas kasih nama lah," "Ih, ngaco kamu! Kreatifitas dari mananya? Itu sih namanya buntu, kehabisan ide." "Terserah deh." ucap Putri pasrah menyudahi perdebatan tentang si Botgun nya itu. "Kenapa nggak bilang suka aja?" tanya Tami heran, ia mengambil posisi siap tidur disamping Putri. Putri menghela napas sambil melihat kearah pintu kamarnya yang masih terbuka, "Ih, tutup pintu kamar dulu baru tidur, tanggung jawab dong! Kan kamu yang buka tadi." protes Putri yang tidak terima melihat Tami sudah siap pergi ke alam mimpi dengan pintu kamar yang masih terbuka. "Ah, aku udah PW nih. Kamu kan belum ke kamar mandi, sekalian aja napa sih." kata Tami yang tahu kebiasaan Putri ke kamar mandi sebelum tidur untuk menyirami tanaman dari neneknya yang ia letakkan di balkon kamar. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah di cek dan malam sebelum tidur untuk disiram. Dengan kesal Putri pun turun dari ranjangnya menutup pintu kamar, lalu berjalan ke kamar mandi sambil bergumam kesal pada Tami. Tami yang mendengar hanya tersenyum geli. ** "Tam, kadang aku ngerasa kalau aku nih jodoh sama Putra." bisik Putri ditelinga Tami. Dahi Tami mengerut dan melirik Putri aneh, "Kamu tahu dari mana?" "Nama kita aja cocok, serasi gitu. Putra dan Putri. Terus dari kelas satu sampe sekarang aku selalu sekelas dan jabatan aku sama dia gak pernah diganti, dia selalu kepilih jadi ketua kelas dan aku bendaharanya. Iya kan? Ketua kelas sama bendahara, pasangan banget." kata Putri masih berbisik. "Eh, dimana-mana pasangan ketua kelas ya wakil ketua kelas, sejak kapan dengan bendahara? Jauh tahu, sekretaris aja belum termasuk." "Jangan bawa-bawa jabatan kamu dong!" protes Putri. "Siapa yang bawa-bawa jabatan, setahuku emang begitu susunannya." jawab Tami sambil melirik kebelakang Putri, "Kamu kayak gitu nggak kemarin?" tanya Tami yang melihat Putra berjalan mesra dengan pacarnya. Putri berbalik mengikuti arah pandangan Tami. Tidak terlihat seperti mengumbar kemesraan, tapi tetap saja terlihat mesra. Putri tak ingin rasa cemburunya menjadi-jadi, dengan cepat Putri kembali menatap Tami, tidak benar-benar menatapnya. Seketika ia jadi teringat kejadian saat belanja perlengkapan kemarin. Mereka hanya berdua, yang lain terlalu banyak beralasan sehingga tidak bisa ikut. Tiga tahun berturut-turut mereka selalu belanja keperluan kelas apapun itu ditempat yang sama sehingga penjaga toko itu mengenal mereka dan baru ini mereka hanya belanja berdua. Walau terkadang Putri berjalan berdampingan dengan Putra, tidak menampik ia juga ingin merasakan seperti yang ia lihat sekarang, seperti Putra dan pacarnya. Tapi aneh kalau itu terjadi, Putri kan bukan pacarnya. "Kalian ini pacaran ya, berdua terus. Apalagi sekarang, benar-benar berdua!" goda penjaga toko itu centil. Putri dan Putra hanya tersenyum tipis menanggapinya dan tidak berbicara apa-apa. Kejadian itu membuat Putri bingung, kenapa Putra tidak menyangkalnya? Kenapa hanya diam dan tersenyum seperti dirinya? Mereka jelas-jelas tidak pacaran. Putri hanya diam dan tidak berbicara karena ia mengira Putra bakal menyangkalnya. Tapi ternyata tidak sama sekali, itu membuat Putri serba salah karena ia juga tidak menyangkalnya, seakan mengiyakan ucapan penjaga toko itu. "Hei! Ngelamun, cemburu..." goda Tami sambil mengipas-ngipaskan tangannya didepan wajah Putri. Putri menatap Tami sesaat, lalu mencibir dan pergi berlalu dari hadapan Tami. Tentu ia cemburu melihat kemesraan itu, tapi Putri juga tidak berhak untuk marah. Dia bukan siapa-siapa selain pengagum rahasia. Cinta dalam diam, diam-diam perhatian, cinta dalam hati atau dia hanya cinta bertepuk sebelah tangan? Bagai pungguk merindukan bulan, kasih tak sampai. Entah perumpamaan apalagi yang cocok disematkan pada Putri yang tuna cinta ini, semua sudah diambil olehnya. **"Mau sampai kapan sih kamu nunggu dia?! Kamu bilang aja kalau kamu suka sama dia atau nggak tunjukin ke dia rasa suka kamu. Jangan jadi perawan tua dong sis, aku nggak tega." kata Tami serius.Mereka sudah memasuki akhir tahun pelajaran dan seminggu lagi hasil kelulusan di umumkan, tapi kisah cinta Putri hanya begitu-begitu saja, tidak ada perubahan. Putri sudah memilih dan mendaftar kuliah di University of Canberra, Australia. Itu memang sudah keinginannya sejak lama."Aku rasa aku udah nunjukin kalau aku suka selama ini. Aku ikutin maunya dia, aku perhatian sama dia, aku selalu ngejaga hubungan baik dengan dia dan hubungan dia dengan pacarnya. Aku akan tetap nunggu aja, Tam.""Dari dulu selalu bilangnya nunggu, saking nunggunya dia udah empat kali pacaran dan itu bukan sama kamu. Kalau kamu udah tunjukin berarti dia tahu, pasti ada perubahan. Setidaknya dia juga perhatian kalau dia suka kamu dan menjauh kalau emang enggak. Rata-rata kan begitu, tapi ini enggak, gini-gini aja. Apa ka
"Bilang aja ini bisa-bisanya kamu buat aku tampil," sinis Putri."Kenapa sih, suara kamu kan bagus nggak malu-maluin juga, udah biasa tampil di panggung juga.""Panggung apa!?""Orgen tunggal dekat rumah. Dari tahun ke tahun kamu ngisi acara kok sekarang mendadak demam panggung.""Beda Tam, beda! Ini kan sekolah, mana ada Putra lagi.""Sama-sama panggung, udah sana udah lewat lima menit nih," Tami cuek bebek dengan kepanikan Putri, ia tidak siap tapi Tami tidak peduli."Katanya ini sebagai persembahan untuk perpisahan dari senior kita teman-teman, Kak Putri kami persilahkan naik ke atas panggung! Beri applaus untuk Kak Putri!" Pembawa acara kembali memanggil Putri, kini dengan meriah membuat Putri semakin salah tingkah."Kata elu!" sinis Putri pada Tami yang disambut gelak tawa tidak peduli.Mau tidak mau Putri berdiri, ia berjalan menaiki panggung dan Tami berdiri pindah duduk tidak jauh dari Putra berada, ia ingin leluasa memperhatikan reaksi dari si target.Sebelum tampil Putri ber
“Putri!”Itu suara yang Putri kenal, dengan perasaan senang dan menahan gejolak di hati, ia pun berbalik kearah suara berasal. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman."Iya, Tra?""Kapan kamu balik?""Maksudnya?" Putri bingung, ia baru saja sama-sama keluar dari kelas setelah pelajaran terakhir usai, memang Putri terlebih dulu keluar dari kelas dibandingkan Putra, tapi pertanyaannya? Maksudnya apa ya?"Kenapa kamu hanya menunggu? Selama ini aku juga menunggu kamu, Tri!"Deg! Putri terhenyak, alisnya bertaut memandangi Putra yang tampak kecewa pada dirinya."Maksudnya kamu a--""Aku juga suka sama kamu Putri!"Dag dig dug! Dag dig dug!Begitulah detak jantung Putri mendengar pernyataan Putra, cintanya bersambut? Lalu kenapa dia tidak bilang dari dulu?"Kamu mau kan Tri jadi yang ke lima?""Hah!?" Putri melongo mendengarnya, tiba-tiba muncul para pacar Putra-- Serli, Gita, Bella dan adik kelas yang sudah berdiri di belakang Putra. Mereka bagai moo yang di cucuk hidungnya-- manut, nu
"Anin, tolong ya beliin keperluan tugas ketrampilan Girly."Ayi sudah berdiri didepan pintu kamar Putri dengan Boy yang berada dalam gendongannya. Wajah lelah iparnya itu tidak bisa disembunyikan."Kamu mau keluar kan?" tanyanya lagi."Iya Mbak," jawab Putri sambil memasang sepatu kets nya, lalu ia berdiri mematut dirinya pada cermin besar didepannya. "Mbak WA aja ya apa aja yang mau dibeli." kata Putri sambil menyelempangkan tasnya."Makasih ya Nin, Mbak numpang tidur kamar kamu ya, malas kebawah lagi.""Boleh, asal jangan bau pipis Boy aja," ucap Putri sambil mencubit gemas pipi gembul keponakannya itu.~Putri menepikan mobilnya di depan disebuah toko tua yang semakin tua dan masih berdiri dengan kokoh, dimana kenangan pernah ada disana, kebersamaan itu juga pernah muncul disana serta rasa bahagia penuh harap.Seorang pegawai wanita sedang hamil tua memperhatikan Putri dengan seksama, Putri tersenyum tipis. Wanita itu semakin menyipitkan matanya menatap Putri serius membuat ia jeng
"Kecewa deh kalau nonton film nggak sama dengan novelnya," curhat Tami,Selepas melepas rindu dengan bercerita, Putri dan Tami menghabiskan waktu pergi menonton film yang kebetulan diadaptasi dari sebuah novel yang menjadi favorit bacaan Tami."Iya, feel-nya beda." Putri setuju,"Aku rate jelek aja kali ya," ucap Tami lagi membuat Putri menatapnya aneh."Penting?" Putri mengangkat kedua alisnya mengejek membuat Tami yang melihatnya tertawa."Bercanda, Put!""Jadi nginap rumah aku kan?" tanya Putri seraya berjalan membuang sampah minuman dan popcorn nya ke tong sampah yang tersedia."Aku udah nikah, Put. Kalau balik ya pasti nginap dirumah orang tua lah, masa dirumah kamu. Rumah kita bersebelahan, ingat."Putri tertawa sambil melanjutkan langkahnya menuju rest room yang pasti sudah ramai, tapi kebersihan rest room di bioskop bisa dikatakan lebih bersih daripada mall sendiri."Bawa tissue kan kamu?" tanya Tami yang mengingat acara menontonnya masuk dalam list dadakan.Mereka kalau ke to
Putri mencepol rambutnya dengan asal, semenjak kembali dari Aussie dan menjadi pengangguran, waktu bangun, mandi dan makan wanita itu tidak pernah lagi sesuai waktu semestinya.Setelah membasuh wajahnya dan turun dengan wajah bangun tidurnya, Putri melangkah menuju dapur mencari sarapan seperti biasa."Wuenak tenan Mbak, bangun-bangun makan, mandi belum, bantu Bunda sama Mbok enggak!"Itu Affan, si bungsu yang masih duduk dikelas sebelas. Ia mengatakannya dengan suara lantang yang disengaja agar sang Bunda mendengarnya, tentu tujuannya hanya untuk membuat Putri kesal."Mulut elu yah!" Putri melempar Affan dengan serbet didepannya sambil memperhatikan sekitar, khawatir Bundanya tiba-tiba muncul dengan spatula kayu yang siap ditimpuk ke kepalanya, Affan mengelak seraya tertawa puas mengerjai kakaknya."Kamu itu bisa prihatin sedikit nggak sih, kasihani aku gitu loh malah manasi Bunda buat tambah penderitaan aja!" curhat Putri ketus seraya mengambil roti tawar didepannya."Deritamu ya de
"Emang dikira barang apa pakai di coba dulu, apanya yang mau dicoba!?" sungut Putri ketika sudah berada di taman depan yang persis seberang rumahnya dan juga Tami. "Semuanya mungkin," celetuk Tami menahan tawa. "Kamu juga Tam, ada apa kamu sama Bunda kok tiba-tiba minta di cariin jodoh, nggak cerita lagi sama aku." Putri merajuk, wajahnya seketika sinis. "Sorry, tadinya aku mau cerita hari ini, sekarang. Eh keburu Bunda kamu udah cus duluan, nggak sabar kayaknya." Tami kembali tertawa, "Nggak usah serius gitu ah Put," Tami mencolek Putri, "Aku juga belum ada ngomong apa-apa sama Rama, ataupun teman suami aku." ucap Tami berusaha menenangkan. "Rama?" "Iya, Rama Wishnu Perdana. Teman kuliah aku dulu, yang sekarang sudah jadi dokter umum dirumah sakit AB, lagi sekolah ambil spesialis saraf. Kata Mas Alvin cocok buat kamu, biar selalu waras." "Sialan, dia kali yang sarap!" Tami tertawa, "Rama itu kayaknya suka kamu deh Put, semenjak video call bareng dulu kalau ketemu aku pas
"Santai aja, disini rata-rata asik kok, yang paling solid tim iklan karena kebanyakan uang masuk dari sana, hahah..." Itu Nesta, untungnya diakhir namanya tidak pakai 'pa' , kalau tidak ia tidak mungkin bisa tertawa seperti sekarang. Nesta adalah sepupu suami Tami yang diceritakan tempo lalu saat di taman depan rumahnya, ia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Nesta menjabat sebagai asisten HRD, walau begitu rekomendasi pegawai dari Nesta selalu menjadi andalan perusahaan, karena kebanyakan rekomendasi darinya selalu menjadi karyawan yang tidak banyak masalah dan selalu bisa diandalkan. Maka dari itu, Nesta juga tidak sembarang memasukkan atau merekomendasikan orang untuk bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Sejauh ini ia menilai Putri masuk kriteria penilaiannya, selebihnya branding dari Tami tentunya. Belum lagi embel-embel lulusan luar negerinya menambahkan nilai plus untuk Putri. "Besok jam delapan tiga puluh, hari pertama. Gue daft
"Jadi dimana sekarang suami kamu?" tanya Putri penasaran, karena dari ceritanya mereka datang berdua namun yang didepannya hanya Tami seorang."Sebelah," jawab Tami datar, Putri tau yang dimaksud sebelah adalah sebelah rumahnya alias rumah Tami─ rumah mertua Aiden."Terus yang buat kamu marah sama Kak Aiden apa?" tanya Putri lagi, ia beranggapan apa yang dilakukan Aiden terhadap mantannya sudah benar."Nggak peka banget sih kamu, Put." kesal Tami, "Dia udah bohong sama aku dengan pura-pura tidak kenal padahal dia kenal." sungut Tami."Kak Aiden begitu kan buat jaga perasaan kamu," bela Putri, secara logikanya ia menilai begitu dari cerita Tami barusan."Buat jaga perasaan aku atau yang lain!" tuduhnya mulai curiga pada suaminya sendiri,"Yang lain bagaimana maksud kamu?"Tami mengedikkan bahunya, "Nggak tau, mungkin buat bisa ketemuan lain kali atau─ ya pokoknya gitu lah, Put! Aku nggak bisa mikir." keluh Tami.Putri terdiam, ia mencoba mencerna dan menelaah kalimat Tami sampaikan bar
Karena gelisah Aiden menjadi susah tidur, ia gelisah karena Tami yang jadi merajuk padanya dan yang paling membuat ia sengsara adalah dirinya yang sudah terlanjur ingin bercinta dengan sang istri, apalagi tadi ia sudah sangat dekat dan tiba-tiba Tami menjauhinya. Aiden frustrasi.Tami sudah tertidur, dua jam lamanya untuk Aiden memastikan sang istri benar-benar tertidur. Saat Aiden yakin Tami sudah tertidur ia langsung mendekat dan memeluk istrinya itu. Tiga bulan LDR sebagai pengantin baru bukan hal mudah untuknya, terlebih ia juga sangat mencintai Tami.Tami terbangun dengan selimut yang tersingkap, tangan sang suami sudah bergelayut memeluknya erat, tapi memutar matanya kesal. Perlahan ia melepaskan dirinya dari pelukan suaminya lalu pergi untuk mandi dan memulai aktivitas paginya seperti biasa.Tami keluar dari kamar mandi dengan gusar, ia berjalan cepat menghampiri Aiden lalu memukul lengan sang suami dengan kesal, walau ia yakin pukulan itu tidak akan terasa apa-apa oleh Aiden.
Putri berjalan gontai membuka pintu kamarnya yang terus diketuk tanpa jeda, ketika pintu terbuka ia melihat Tami dengan wajah muram dengan mata sembab. Seketika ia mengusap wajahnya untuk segera sadar dari dirinya yang masih setengah mengantuk.Tami berjalan masuk melewati Putri lalu duduk dipinggiran kasurnya, Putri kembali menutup dan mengunci pintu kamarnya.Putri berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya secara singkat, membasuh wajahnya dan sikat gigi. Sekembalinya ia sudah melihat Tami meringkuk diatas kasur dengan suara tangis yang terdengar samar.Putri memilih duduk dikursi meja belajarnya dulu, yang kini menjadi meja serbaguna. Rak kecil yang dulu berisi buku pelajarannya kini telah diisi dengan buku-buku motivasi, novel, dan sedikit komik. Karena semenjak lulus SMA dan kuliah dia Australia Putri sudah sangat amat jarang membeli komik untuk bacaannya.Ia membiarkan Tami menangis, selagi menunggu Tami tenang dan mau bicara ia memilih sebuah novel karya dari Josie
"Bunda?" Putri kaget, ia menelan salivanya dengan paksa lalu tersenyum kaku pada Hanum. "Baru pulang, Nin?" tanya Hanum jelas hanya berbasa-basi saja, tentu ia tau anak gadisnya itu baru pulang. Kini Hanum menoleh pada Putra yang berada tak jauh dibelakang Putri dan tersenyum hangat, namun wajahnya jelas menyiratkan sebuah pertanyaan besar. Pria di hadapannya sekarang adalah pria yang berbeda dengan yang tadi saat pamit pergi bersama putrinya. "Malam Tante, saya Elgiar Putra, pacar Anindya Putri." ucap Putra ramah dan sopan, tak luput sebuah senyuman hangat penuh pesona itu ia tunjukkan pada Hanum-- calon mertuanya. Seketika Hanum menatap tajam Putri, jelas ia akan menodong pertanyaan pada anaknya itu nanti. "Maaf Tante, kalau saya terlalu malam mengantarkan Putri pulang." ucap Putra dengan wajah menyesal, ia bisa melihat wajah protes singkat itu pada Putri. Hanum tersenyum hangat, "Nggak apa-apa Nak Elgiar, yang penting Anin diantar sampai rumah dengan selamat dan utuh. Suda
Sepanjang jalan pulang Putri hanya diam menatap jalan didepannya, begitu pun dengan Putra. Sepuluh menit berlalu dengan hening, Putra menoleh pada Putri."Kamu kenapa?" tanyanya kemudian, Putri melirik Putra sesaat lalu kembali melihat ke depan."Kenapa? Emangnya aku harus bagaimana, Tra?" tanya Putri bingung."Jangan diam aja,"Putri menatap Putra tajam, ada apa dengan lelaki idamannya ini? Putri seperti melihat Putra dengan versi lain, bukan seperti Putra yang ia kenal selama ini."Kamu mau aku ngapain, Tra? Bercerita untuk kamu?" Putri mulai frustrasi,"Nyanyi untuk aku, Tri." pinta Putra dengan entengnya.Putri semakin menatap Putra dengan aneh, itu hal yang sangat tidak mungkin ia lakukan sekarang. "Nggak!" tolak Putri seraya mengalihkan pandangannya."Kenapa?" Putra menatap Putri dengan kecewa, "Aku suka dengar suara kamu, terlebih lagu itu kamu nyanyikan untuk aku."Putri menelan salivanya dengan payah, wajahnya memerah karena malu mendengar pernyataan Putra yang begitu gamblan
"Akhirnya ketemu kamu juga, Nin." ucap Marsha seraya menekan angka satu pada lift. Putri yang mendengarnya hanya tersenyum, ia tidak berani menanyakan maksud ucapan Marsha walau sebenarnya ia penasaran."Apa Elgiar memaksa kamu kerumah?" tanya Marsha begitu mereka sudah berada disalah satu ruang tamu yang mewah. Putri hanya tersenyum kikuk, tidak berani berkata jujur bahwa anaknya telah melakukan lebih dari sekedar pemaksaan. Bukan hanya memaksanya kerumah tapi juga memintanya menjadi pacar bahkan istri dengan jarak yang hanya beberapa jam saja."Maafkan Elgiar ya, Anin." ucap Marsha tulus, senyuman indah wanita berumur itu membuat Putri terus ingin memujinya, sungguh ia sangat cantik."Nggak ada yang salah Tan, Putra juga meminta persetujuan saya," jawab Putri berbohong."Jujur Nin, Tante surprise bisa ketemu kamu sekarang. Tante pikir dia akan terus menunggu─ memastikan perasaannya untuk bisa sama kamu." Marsha tersenyum seraya menerawang mengingat bagaimana Putra bercerita tentang
"Kamu masih cinta aku kan?"Putri terdiam mendengarnya, dengan susah payah ia menelan salivanya. Putra tau ia mencintainya selama ini? Ia pun teringat dengan percakapannya pada Tami saat acara pensi, apakah Putra sepeka itu dengan lagu yang ia nyanyikan untuknya.'Gimana nggak peka, kamu nyanyi cuma ngeliatin dia doang.' ucapan Tami terus terngiang dibenak Putri. Ia juga mengingat bagaimana Putra menatapnya tajam dan pergi meninggalkan aula setelahnya."Kamu tau?" lirih Putri, seketika ia menyesali dirinya yang dengan enteng berucap begitu. Putra tersenyum tipis melihatnya, lalu mengangguk."Sejak kapan?" Putri penasaran, atau justru ia hanya ingin membuktikan ucapan Tami kalau Putra memang peka saat itu."Sejak pertama aku terpilih jadi ketua kelas dan kamu terpilih jadi bendahara."Putri tampak berpikir dan mengingat serta mencerna ucapan Putra, tiga tahun berturut-turut mereka selalu terpilih dengan jabatan yang sama lalu jika pertama kali berarti itu disaat tingkat satu. Disaat pe
"Anindya Putri yang lagi sama lu adalah pacar gue! Harusnya lu yang jangan ganggu pacar gue, Kaf!"Putri yang berdiri dibelakang Putra tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, bahkan ia sampai harus memegang kuat lengan Putra didepannya agar tidak terjatuh dari berdirinya. Pegangan pada lengannya langsung disambut Putra dengan mengelusnya lembut membuat Putri semakin salah tingkah, namun Putra tau kalau Putri sedang bingung dan kaget sekarang atas pernyataannya, tapi ia tidak peduli.Kafka memandang Putra tidak percaya, ia mencobanya menatap Putri yang berdiri dibalik badan Putra namun Putra sengaja menghalangi Kafka."Anin," panggil Kafka lembut,"Iya Kafka," jawab Putri mencoba menampakkan diri, namun dengan cepat Putra menghalanginya. "Tra, kamu kenapa sih?" akhirnya Putri protes atas perlakuan pria yang ia sukai selama ini."Lindungi kamu dari pria brengsek ini." jawabnya cuek masih menatap tajam pada Kafka."Tra, Kafka nggak brengsek." bela Putri lembut,"Tau apa kamu tentang d
"Kafka." ucap pria itu mengulurkan tangannya pada Putri sebelum ia turun dari mobil karena tujuannya sudah sampai. Putri menoleh heran pada pria itu, perkenalan yang aneh menurutnya setelah mereka dua kali semobil dan beberapa kali bertemu walau tidak saling menyapa. Ya, dia adalah pria yang Putri lihat pertama kali saat di lift bersama Nesta."Putri." balas Putri menyambut uluran tangan Kafka sopan."Bukan Anin?" tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya menatap Putri dalam. Putri tersenyum kecil, pasti karena Bunda dan Ayahnya selalu menyebut namanya didepan Kafka, Anin itu Anin ini."Anindya Putri. Bebas kamu mau dengan panggilan apa, tapi biasa memang aku di panggil Putri sih kalau di luar." Putri memberi tahu."Aku mau jadi orang dalam, berarti panggil kamu Anin, boleh?" Putri tersenyum simpul lalu mengangguk membolehkan, bukan hal yang aneh menurutnya membiarkan Kafka memanggilnya dengan nama Anin, toh itu juga tetap namanya.Putri turun dari mobil, matanya memandang takjub denga