"Bagus!"
Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat Sarah tersentak. Jari-jarinya yang semula mengetik di keyboard laptop kini terhenti, dan matanya mendongak, menatap heran ke arah pintu. Seorang wanita cantik berdiri di sana, mengenakan pakaian berkelas dengan wajah penuh amarah. Matanya nanar menatap Sarah, seolah ingin menelanjanginya hidup-hidup. Sarah berdiri, merasa ada yang tidak beres. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, wanita itu sudah melangkah maju dan melemparkan beberapa lembar foto ke mejanya. Dengan alis berkerut, Sarah menunduk, mengambil foto-foto yang berserakan. Itu fotonya bersama Liam—kekasihnya. Tidak ada yang aneh di dalamnya. Mereka sedang sarapan di kafe, menikmati kopi sebelum berangkat kerja, makan siang bersama, berjalan santai, hingga makan malam romantis seminggu lalu sebelum Liam pergi ke luar negeri. Sarah menatap wanita di depannya dengan kebingungan. “Kamu siapa? Dari mana kamu dapat foto-foto ini?” Wanita itu mendengus sinis. "Jangan pura-pura bodoh!" suaranya tajam seperti belati. "Jangan bilang kau nggak tau siapa aku!" Sarah semakin tidak mengerti. Dia hanya berdiri diam, menunggu wanita itu menjelaskan lebih lanjut. "Aku istrinya." Dunia Sarah seakan runtuh dalam sekejap. Ia merasakan tubuhnya melemas. Kakinya tak sanggup menopang, membuatnya terduduk kembali di kursi. Kepalanya terasa kosong, dadanya sesak. Matanya tertuju pada foto-foto yang kini berserakan di mejanya, tetapi semuanya tampak buram. Sementara itu, wanita di depannya terus menghujaninya dengan kata-kata penuh kemarahan. Mengutuknya, menuduhnya, seolah Sarah adalah wanita jalang yang telah merebut suaminya. Padahal, Sarah sama sekali tidak tahu apa-apa. Liam telah berbohong padanya. Lelaki yang selama ini ia cintai ternyata milik orang lain. --- Malam semakin larut. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas, tapi Sarah masih terduduk diam di ruangannya, membiarkan dunia di sekitarnya terus berjalan tanpa dirinya. Fotonya bersama Liam masih tergeletak di atas meja, persis seperti saat wanita—yang mengaku sebagai istri Liam—melemparkannya dengan penuh kemarahan. Sejak kejadian itu, Sarah tidak bergerak. Hanya menatap kosong ke depan, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Di samping laptopnya, ponselnya terus berkedip. Puluhan pesan masuk, panggilan tak terjawab, semua kebanyakan dari nomor yang sama. Liam. Tapi Sarah tak punya tenaga untuk membalas, apalagi mengangkatnya. Bahkan melihat namanya saja membuat hatinya berdenyut sakit. Ketukan di pintu mengusik kesunyiannya, tapi Sarah tetap diam. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seseorang masuk. “Sarah, kenapa kamu nggak angkat telepon atau balas pesan aku? Aku udah…” Suara pria itu terhenti saat melihat Sarah. Dylan—atasan sekaligus sahabatnya—menatap Sarah dengan alis berkerut. Wajah Sarah tampak kusut, matanya sembab dengan bekas air mata yang masih tersisa di pipinya. Itu bukan pemandangan biasa. Sarah bukan tipe yang mudah menangis, apalagi di kantor. Dylan langsung mendekat, menarik kursi di seberangnya. “Hei, kamu kenapa?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Sarah tidak menjawab. Ia hanya menatap meja, ke arah foto-foto yang masih berserakan. Dylan mengikuti arah pandangannya dan mengernyit. “Ini… foto kamu sama Liam?” “Sarah, ada apa? Liam kenapa?” Dylan bertanya lagi, kali ini lebih cemas. Dylan semakin bingung. Ia tau Sarah punya kekasih, dan selama ini ia juga tau Liam bukan pria beristri. Tapi kalau bukan sesuatu hal yang besar, Sarah tidak mungkin sampai seperti ini. Sarah mengangkat wajahnya perlahan, menatap Dylan dengan mata yang masih merah. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia berbisik, “Dia sudah menikah, Dylan.” Dylan terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata itu. “Apa?” Sarah menelan ludah, suaranya pecah. “Liam sudah menikah. Tadi istrinya datang ke sini dan menunjukkan foto-foto ini sama aku.” Keheningan menyelimuti ruangan selama beberapa detik. Dylan akhirnya menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya. Rahangnya mengeras, matanya menatap Sarah dengan iba sekaligus marah. “Brengsek,” gumamnya. Sarah tersenyum pahit. “Aku bodoh, ya?” Dylan menggeleng. “Bukan kamu yang bodoh. Dia yang bajingan.” Sarah menunduk, jemarinya meremas satu sama lain. “Aku nggak tahu, Dylan. Aku benar-benar nggak tahu kalau dia udah nikah. Dia nggak pernah cerita, dia nggak pernah tunjukkan tanda-tanda…” Dylan menggeser kursinya lebih dekat, menggenggam tangan Sarah. “Aku percaya kamu, Sarah. Aku tahu kamu nggak akan pernah mau sama pria beristri. Ini bukan salah kamu.” Tapi Sarah tetap merasa sesak. “Apa aku benar-benar nggak peka, sampai nggak menyadari semua ini?” desahnya. Dylan menggeleng lagi. “Liam yang pintar menutupinya. Jangan salahkan diri kamu atas kebohongannya.” Sarah menghela napas panjang, lalu menatap Dylan dengan tatapan kosong. “Aku harus apa sekarang?” Dylan diam sejenak sebelum menjawab, “Lupakan dia.” Sarah tersenyum miris. “Gampang bilangnya.” “Memang nggak mudah,” Dylan mengakui. “Tapi kamu harus. Kamu berhak lebih dari ini, Sarah. Kamu bukan wanita kedua, bukan seseorang yang bisa dimanfaatkan begitu saja.” Sarah terdiam, dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, ingin membenci Liam, tapi yang ia rasakan sekarang hanya kehampaan. Lalu, suara ponselnya kembali berbunyi. Nama Liam berkedip di layar. Sarah dan Dylan sama-sama menatapnya. Sarah menggigit bibirnya, tangannya gemetar saat mencoba meraih ponselnya. “Jangan angkat,” kata Dylan cepat. Sarah menatapnya. “Aku harus dengar penjelasannya.” Dylan menatapnya tajam. “Untuk apa? Kamu pikir dia bakal ngaku dan minta maaf? Atau malah cari alasan buat membenarkan semua ini?” Sarah terdiam. Dylan mengambil ponselnya dan tanpa ragu mematikan panggilan itu. “Liam nggak layak dapat penjelasan. Dia yang mengkhianati kamu. Dia nggak pantas dapat kesempatan kedua.” Sarah mengalihkan pandangannya ke foto-foto di mejanya. Tangannya meraih salah satunya—foto di mana Liam menatapnya dengan penuh kasih sayang di kafe favorit mereka. Kasih sayang yang ternyata palsu. Matanya memanas lagi, tapi kali ini ia tidak ingin menangis. Ia ingin marah. Ia ingin menutup lembaran ini dan pergi sejauh mungkin dari Liam. Dengan napas gemetar, Sarah mengambil semua foto itu, meremasnya, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Dylan tersenyum tipis. “Itu baru Sarah yang aku kenal.” Sarah menghela napas panjang. “Aku harus lupakan dia.” Dylan menepuk punggungnya dengan lembut. “Aku bakal pastiin kamu berhasil.” Dan malam itu, setelah berjam-jam, Sarah merasa sedikit lebih kuat. Saat pulang Dylan bersikeras mengantarkan Sarah ke apartemennya. Ia tidak ingin membiarkan sahabatnya pulang sendiri dalam keadaan seperti ini—terlalu rapuh, terlalu hancur. Di sepanjang perjalanan, Sarah hanya diam, menatap kosong ke luar jendela. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seakan tak memberi arti apa-apa baginya malam ini. Dylan meliriknya sekilas sebelum menghela napas dan meraih ponselnya. Ia menelpon seseorang, seseorang yang dulu menjadi bagian dari lingkaran mereka saat kuliah hingga kini. “Aku perlu bantuan kamu,” kata Dylan begitu panggilan tersambung. “Sarah lagi nggak baik-baik aja. Aku mau kamu temani dia malam ini.” Sarah menoleh, menatap Dylan dengan alis berkerut. “Dylan, nggak usah…” Dylan menatapnya tajam, memberi isyarat agar ia tidak membantah. “Apartemennya atau dimana?” suara di ujung telepon bertanya. “Apartemennya. Aku lagi otw ke sana,” jawab Dylan. “Oke, aku ke sana.” Dylan mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di dasbor. Sarah mendesah pelan. “Kamu nggak perlu repot-repot nelpon dia,” katanya lemah. “Aku bisa sendirian.” Dylan menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Nggak. Aku nggak mau kamu sendirian malam ini.” “Aku baik-baik aja, Dylan.” “Bohong.” Sarah terdiam. “Aku tahu kamu, Sarah. Kamu mungkin kelihatan diam dan tenang sekarang, tapi di dalam, aku tahu kamu sedang berusaha menahan semuanya. Dan aku nggak mau besok pagi dengar kabar kalau kamu pingsan karena nggak makan atau nggak tidur semalaman.” Sarah tersenyum kecil, tapi tidak sampai ke matanya. “Kamu terlalu khawatir.” “Karena aku peduli.” ***Sesampainya di apartemen, Dylan memastikan Sarah masuk dengan selamat sebelum akhirnya bersandar di ambang pintu kamar Sarah. “Aku kasih kamu cuti tiga hari. Jangan pikirkan kerjaan dulu. Fokus buat tenangin diri.” Sarah membuka mulut hendak membantah, tapi Dylan sudah mengangkat tangan, memberi isyarat agar ia tidak melanjutkan protesnya. “Aku nggak mau lihat kamu pingsan di kantor,” katanya tegas. Sarah akhirnya mengalah. “Baiklah. Thanks, Dylan.” Dylan mengangguk. “Aku bakal sering ngecek keadaan kamu. Dan kalau kamu butuh sesuatu, kamu tahu harus nelpon siapa.” Saat itu, bel apartemen berbunyi. Sarah melirik jam dinding. Sudah tengah malam, dan hanya ada satu orang yang kemungkinan besar berdiri di depan pintunya. Dylan berjalan ke pintu dan membukanya. Sebuah senyum kecil terukir di wajahnya saat melihat sosok yang berdiri di sana. “Thanks udah mau datang, Kate.” Kate—sahabat mereka sejak kuliah—menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu dengan tangan bersedekap. “Aku ud
Jantung Sarah berdegup kencang, bukan karena rindu, tetapi karena amarah dan sakit hati yang tiba-tiba menyerang lagi. Liam masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya—tinggi, tampan, dengan sorot mata yang dulu membuat Sarah jatuh cinta. Tapi kini, mata itu justru membuat dadanya terasa sesak. “Mau apa kamu kesini?” suara Sarah terdengar datar. Liam menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. “Sarah, kita harus bicara.” Sarah tertawa pendek, penuh sinisme. “Bicara? Seharusnya kamu bicara sebelum aku tau kalau kamu sudah menikah.” “Aku bisa jelasin—” “Nggak perlu.” Sarah menyela, tangannya mulai gemetar, tapi ia menahannya agar tidak terlihat lemah di depan pria ini. “Pergi, Liam. Aku nggak mau lihat kamu.” “Aku mohon, cuma lima menit.” Sarah ingin menutup pintu, tetapi Liam menahan dengan tangannya. “Lima menit aja, Sarah,” suaranya nyaris bergetar. Sarah memejamkan mata, mencoba menahan emosi yang kembali menyeruak. “Liam, tolong jangan buat ini semakin rumi
"Ngapain dia disini?" suara Dylan dingin, Liam mendengus pelan, jelas tidak menyukai interupsi itu. "Ini bukan urusan kamu." Dylan berjalan masuk, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. "Salah. Ini jelas juga urusan aku. Karena Sarah sahabat aku, dan aku nggak akan diam aja lihat dia terjebak dalam hubungan yang menyakitinya." Sarah menunduk, merasa canggung di antara dua pria itu. "Liam, sebaiknya kamu pergi." Sarah bersuara dengan pelan. "Aku belum selesai bicara Sarah," Liam bersikeras. Dylan menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya tajam. "Selesaikan urusan pernikahan kamu dulu. Jangan datang ke sini kasih janji-janji kosong dan membuat Sarah semakin terluka." Liam mengeratkan rahangnya. Ia jelas ingin melawan, tapi pada akhirnya ia tahu Dylan benar. Ia menoleh ke arah Sarah sekali lagi. "Aku akan menepati janji aku." Sarah tetap diam, tidak ingin memberi harapan ataupun menutup kemungkinan. Akhirnya, Liam berbalik dan pergi. Begitu pint
"Aku cinta kamu, Sarah." Sarah terdiam. Alisnya berkerut mencoba memahami kata-kata itu, pikirannya tidak sepenuhnya sadar. "Aku juga sayang kamu, Dylan… sebagai sahabat." Dylan menggeleng pelan. "Bukan. Aku nggak mau jadi sahabat kamu, Sarah. Aku cinta kamu, lebih dari itu." Sarah menatap Dylan dengan pandangan kabur. Kata-kata itu terasa asing, tetapi juga menggetarkan sesuatu di dalam dirinya. Dengan ragu, ia mendekatkan wajahnya ke Dylan. Ia tahu hatinya masih terikat pada Liam, tetapi ada sesuatu dalam diri Dylan yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin ini hanya efek alkohol, atau mungkin ia hanya butuh pelarian. "Aku cinta Liam, Dylan," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Namun, entah mengapa, dirinya tetap saja bergerak mendekati Dylan. Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu, Sarah merasa dunianya berputar. Awalnya itu hanya ciuman lembut, namun ketika Sarah mulai menggoda Dylan dengan hisapan kecil, pria itu kehilangan kendali. Sarah terhuyung sedikit ketika Dyla
Cahaya matahari yang menerobos celah tirai membuat Sarah mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih samar, seperti tersesat di antara mimpi dan kenyataan. Tubuhnya terasa hangat, dan ada sesuatu yang membuatnya enggan bergerak. Saat kesadarannya perlahan kembali, Sarah menyadari bahwa ia sedang berbaring dalam pelukan seseorang. Lengan kuat melingkari pinggangnya, napas hangat menyapu tengkuknya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia menoleh perlahan. Dylan. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Semua kejadian tadi malam menghantamnya seperti gelombang besar—kehangatan, bisikan, ciuman, sentuhan… Mereka telah melewati batas. Sarah buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Dylan masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai, berbeda dengan kekacauan yang kini memenuhi benak Sarah. Ia menatap pria itu, mengingat bagaimana mereka saling melepaskan diri dari kendali semalaman. Seolah-olah rasa sakit yang seharusnya ia rasakan untuk pertama kali lenyap dite
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tidak dengan kecanggungan yang kini menggantung di antara Sarah dan Dylan. Di kantor, mereka berusaha bersikap profesional seperti biasa, namun nyatanya, ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Dylan masih perhatian seperti sebelumnya, tapi ada keraguan dalam setiap gerak-geriknya. Sementara itu, Sarah sering kali kehilangan fokus, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian malam itu. Dylan sesekali mencuri pandang ke arah Sarah, tetapi ketika tatapan mereka bertemu, Sarah buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Perasaan bersalah, bingung, dan entah apa lagi bercampur menjadi satu. Di sisi lain, Dylan masih mencari cara untuk berbicara dengan Sarah tanpa membuat suasana semakin canggung. Ia tahu mereka harus membahas ini, harus mencari jalan keluar, tetapi kapan waktu yang tepat? Sore itu, saat kantor mulai sepi, Dylan akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Sarah. "Sarah, bisa kit
Sebulan lebih berlalu sejak malam itu, tetapi Sarah masih belum bisa menghilangkan kegelisahan yang terus menghantuinya. Ia sudah mencoba menjalani harinya seperti biasa, tetapi hari ini tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya. Wajahnya tampak pucat, dan ia mulai merasa pusing sejak pagi. Saat rapat berlangsung, Dylan berusaha tetap profesional, tetapi sulit baginya untuk tidak memperhatikan perubahan pada Sarah. Ia melihat bagaimana wanita itu beberapa kali menyentuh pelipisnya, menutup mata sejenak, lalu kembali fokus dengan susah payah. Ketika akhirnya rapat usai dan satu per satu karyawan meninggalkan ruang rapat, Dylan tetap duduk di tempatnya. Ia menunggu sampai hanya tinggal Sarah yang masih membereskan catatannya. "Sarah, tunggu sebentar," ucap Dylan dengan suara tenang namun tegas. Sarah mengangkat wajah, sedikit terkejut. "Ada apa?" Dylan menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu kelihatan pucat. Kamu baik-baik aja?" Sarah menghela napas pelan, berusaha menutupi
Malam itu, setelah Dylan pergi, Sarah duduk sendirian di ruang tamunya, menatap kosong ke arah jendela apartemennya. Pikirannya kacau. Ia memegang perutnya yang masih rata, tetapi bayangan bagaimana jika nanti perutnya membesar terus menghantui. Apa kata orang? Bagaimana dengan rekan-rekan di kantor? Keluarganya? Teman-temannya? Mereka pasti akan bertanya-tanya. Ia bahkan tak tahu harus menjelaskan seperti apa. Matanya berkaca-kaca. Ini bukan sesuatu yang pernah ia bayangkan akan terjadi. Hubungannya dengan Liam sudah berakhir, tetapi di saat yang sama, hidupnya berubah drastis karena satu malam yang tak pernah ia rencanakan bersama Dylan. Dylan… Sarah menghela napas panjang. Ia tahu pria itu tulus. Dylan tidak hanya bertanggung jawab, tetapi ia juga benar-benar mencintainya. Tapi apakah Sarah bisa menerima Dylan sebagai suaminya? Ponselnya bergetar di meja. Nama Dylan muncul di layar. Sarah menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengabaikan panggilan itu. Ia belum siap
Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”
Sarah terus menangis tanpa henti, hatinya terasa hancur menunggu kabar tentang Dylan. Keluarganya, baik orang tuanya maupun mertuanya, telah datang untuk berada di sisinya. Mereka bergantian menjaga Noah, sementara Sarah hanya bisa terbaring di kamar, diselimuti kekhawatiran yang tak kunjung reda. Di kamar yang sepi, hanya ada suara tangisan Sarah yang pecah, ditemani oleh Kate yang duduk di sampingnya. Kate memeluknya erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan yang tak terduga. Sarah terisak, tubuhnya lelah, namun air mata tak bisa berhenti mengalir. “Kate… aku baru aja mulai sadar perasaan aku. Aku baru aja akui aku mencintainya sepenuh hati. Kenapa harus begini? Kenapa saat aku udah siap merasakan kebahagiaan itu, justru semuanya seakan dirampas dari aku?” Suaranya terputus-putus, penuh dengan kepedihan yang dalam. Kate mengusap punggung Sarah dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tau ini nggak mudah, Sarah. Aku tau kamu udah b
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, hari dimana Dylan akan kembali ke rumah. Sebelum ia menuju hotel, Dylan sempat melakukan video call dengan Sarah dan Noah. Suara riang Dylan terdengar jelas, membuat Sarah tersenyum bahagia. "Aku nggak sabar mau ketemu kalian," katanya, dengan suara penuh kehangatan. Noah, yang berada di pangkuan Sarah, tampak tertarik dengan ponsel, tangannya kecil mencoba meraih layar seolah ingin memeluk ayahnya. Sarah tertawa kecil, menatap Noah dengan penuh cinta. Kate, yang berada di samping mereka, ikut mengamati dan berkata dengan nada ringan, "Nanti malam papa kamu sudah ada dalam pelukan kamu, Noah." Setelah Kate menggendong Noah dan membawanya menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam ruang virtual yang terasa begitu nyata, Dylan menatap Sarah dengan mata yang sedikit berkilat. “Sarah…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Pesan kamu kemarin… Kamu bilang kamu cinta aku. Apa kamu benar-benar—” Sarah memotongnya deng
Sarah membalas pesan Dylan dengan singkat namun penuh perhatian, memastikan agar suaminya tidak merasa khawatir tentang keadaan mereka di rumah. [Jangan khawatir, semuanya baik-baik aja di sini. Semoga meeting kamu selalu berjalan lancar. Aku menunggu kamu kembali. Aku mencintaimu] Pesan itu terkirim dalam hitungan detik, tapi artinya jauh lebih dalam dari sekadar kalimat penutup. Untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Sarah benar-benar mengucapkan kata itu—bukan hanya dalam tindakan, bukan hanya dalam perhatian diam-diam, tapi lewat kata-kata yang utuh: aku mencintaimu. Di tempat lain, Dylan terdiam saat membaca pesan itu. Matanya terpaku pada layar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Aku mencintaimu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa lelahnya seketika lenyap, digantikan oleh semburan emosi hangat yang menyergapnya tanpa ampun. Ia segera menekan tombol untuk memanggil Sarah. Ia ingin mendengarnya langsung. Ingin memasti