Statusnya sebagai istri muda majikannya menempatkannya di posisi serba salah. Ia terikat pada pria yang tidak pernah menginginkannya, tapi harus bertahan demi permintaan mendiang kakak madunya. Hingga suatu hari, Puspita harus merelakan dirinya terusir dan dituduh dengan sengaja mencelakakan anak sambungnya. "Aku tidak akan kembali, sekalipun kamu meminta," ucap Puspita terakhir kali. Tanpa mengetahui bahwa kemudian mantan suaminya mencarinya dalam kondisi tak terurus. "Kembalilah, aku membutuhkanmu." Apakah Puspita luluh dengan permohonan pria itu? Atau ia justru memilih melanjutkan hidupnya yang sudah tertata dengan dosen tampan yang hendak melamarnya?
view morePrabu tertegun. Ucapan Andini barusan terasa seperti guntur di siang bolong. Membawa Chiara? Jauh dari sini? Dari dirinya?Dadanya mendadak sesak. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan gejolak dalam hati. Ia tahu, tidak adil menahan Andini di sini. Tapi membiarkan Chiara pergi? Itu pun terasa sama menyakitkannya. Ia bahkan masih tinggal di apartemen Irena saat ini.“Irena … kau ingin aku menjaga Raja dan Chiara, bukan?” batinnya lirih. “Lalu bagaimana jika aku harus melepas salah satunya?”Ia menatap wajah Chiara yang terlelap, begitu damai dalam tidurnya. Gadis kecil itu sudah kehilangan ibunya. Apa harus kehilangan rumah dan semua yang dikenalnya juga?Prabu menggigit bibir, lalu menoleh ke arah Andini. “Kamu yakin mau membawa Chiara?”Andini mengangguk mantap. “Yakin. Aku akan lebih tenang jika dia bersamaku. Di sana aku bisa mengawasinya langsung. Dan aku juga bisa tetap bekerja. Jika ia tetap di sini, ia akan terus teringat bundanya, dan aku tidak bisa menjaganya.”“La
Sudah seminggu sejak Irena pergi.Langit tak lagi mendung seperti saat pemakamannya, tapi hati Prabu tetap terasa kelabu. Hari-hari dilaluinya dalam kabut duka yang tak kunjung reda. Namun hari ini, ia menapakkan kaki ke NICU dengan dada yang berbeda. Bukan karena sedihnya sudah hilang, tapi karena ia punya alasan untuk terus berdiri: Raja.Bayi kecil itu kini menjadi satu-satunya penguatnya, satu-satunya alasan untuk terus melangkah, walau langkah itu seperti menyeret luka yang belum kering. Prabu berdiri lama di balik kaca inkubator, menatap tubuh mungil yang tertidur dalam dekapan mesin dan selang. Bayi itu masih berjuang, sama seperti ibunya dulu—berjuang melahirkan di tengah nyawa yang perlahan surut.Tangannya merapat ke kaca, seperti ingin menyentuh kulit Raja yang halus dan rapuh. Matanya mulai berkaca, tapi kali ini ia tak lagi menyekanya buru-buru. Ia biarkan air mata itu jatuh, mengalir diam-diam dalam sunyi yang menyiksa.Prabu mengingat jelas bagaimana Irena tertawa saat
Ruangan itu terlalu putih, terlalu hening, dan terlalu dingin untuk hati yang baru saja kehilangan. Prabu duduk di sudut, tubuhnya kaku seperti patung, matanya kosong menatap lantai seakan berharap waktu bisa ditarik mundur.Pintu terbuka perlahan. Seorang wanita berjas putih seumuran Irena masuk dengan langkah hati-hati. Dr. Dira—dokter kandungan yang menangani Irena sejak awal kehamilan—juga rekan sejawatnya.“Pak Prabu…” panggil Dira pelan. Wanita itu duduk di hadapan Prabu, dibatasi meja.Prabu tidak menjawab. Tatapannya kosong. Jiwanya seolah hilang.Dira menarik napas panjang, mencoba mencari cara paling manusiawi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tidak ada cara mudah untuk memberitahu seorang suami bahwa istrinya telah pergi… karena keinginan besar untuk menjadi ibu.“Saya tahu ini berat,” ucap Dira akhirnya. “Tapi Anda berhak tahu semuanya.”Prabu menoleh perlahan, wajahnya penuh luka yang belum sempat berdarah. “Kenapa... kenapa bisa begini, Dok? Dia cuma...
Langkah-langkah Andini terasa berat mengikuti perawat melewati lorong sepi menuju ruang ICU. Degup jantungnya berpacu, penuh tanya dan kecemasan yang saling berlomba menyesaki pikirannya. Ia menduga mungkin Irena membutuhkan transfusi darah atau tindakan medis lainnya. Bukankah ia satu-satunya saudara kandung Irena? Pantas jika ia dipanggil. Tapi, mengapa tidak dijelaskan di luar tadi?Andini menelan ludah ketika sang perawat memberinya pakaian khusus berwarna biru."Silakan, Mbak, ganti dulu. Nanti saya antar masuk."Tanpa banyak tanya, Andini mengenakan pakaian itu. Hatinya berharap-harap cemas, tetapi tetap menggenggam keyakinan bahwa ini adalah pertanda baik. Kakaknya telah sadar. Itu kabar yang selama tiga hari ini dinanti.Pintu ICU terbuka perlahan. Udara dingin menyambut langkah Andini saat ia masuk dengan pelan. Di sana, di atas ranjang dengan selang-selang di tubuhnya, Irena terbaring lemah. Prabu berdiri di sisi kiri ranjang, matanya sembap, tubuhnya membungkuk, memegangi t
Lampu-lampu putih di lorong NICU menyilaukan mata, tapi tak cukup terang untuk menyingkirkan bayang-bayang kecemasan yang menggulung dada Prabu. Di balik kaca tebal yang dipenuhi embun, ia berdiri terpaku menatap sosok mungil yang terbaring dalam inkubator. Bayi laki-laki yang baru saja ia beri nama: Pravero Raja.Mata Prabu sembab. Hidungnya memerah, dan bibirnya terkatup rapat menahan gemuruh emosi yang sulit dijelaskan.Bayi itu terlalu kecil. Terlalu rapuh. Selang-selang menempel di tubuh mungilnya, alat bantu pernapasan mendesis pelan di sisi kepala, sementara dada kecilnya naik turun tidak beraturan.Tangan Prabu menggenggam kaca, seolah ingin menyentuh, merasakan kehadiran darah dagingnya … tetapi tak bisa. Jarak itu terlalu dingin. Terlalu asing.“Maafin Papa, Nak ….” bisik Prabu, suaranya parau.Air mata jatuh satu per satu, tak ditahan lagi. “Kamu belum waktunya lahir … tapi kamu harus berjuang sendirian sekarang. Tanpa pelukan Bunda. Tanpa suara Papa yang bisa kamu dengar l
Suasana di depan ruang UGD masih diselimuti kecemasan yang pekat, seakan waktu berjalan lambat dan udara terasa lebih berat dari biasanya. Aroma antiseptik bercampur dengan rasa cemas yang menguar dari wajah-wajah tegang di lorong rumah sakit.Setelah Prabu masuk mengikuti perawat untuk menandatangani surat izin operasi, keheningan kembali membungkus koridor. Tak ada suara selain detak jam dinding dan langkah perawat yang sesekali lewat.Puspita duduk lunglai di kursi rumah sakit, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya memeluk tas selempangnya erat-erat seolah itu satu-satunya benda yang bisa ia genggam agar tak runtuh. Wajahnya pucat, matanya sembap, dan semburat merah tak bisa disembunyikan meski ia berusaha keras untuk tegar. Sesekali ia mengusap air mata yang nyaris jatuh, lalu menarik napas panjang seperti menahan sesuatu yang menyesakkan di dada.Pram berdiri tak jauh darinya, bersandar di tembok dengan tubuh tegap, tapi matanya menunjukkan kegelisahan. Rahangnya mengeras,
Pram dan Puspita duduk berdampingan di kursi tunggu ruang UGD. Keduanya membisu, hanya saling menggenggam tangan satu sama lain. Detik demi detik terasa berjalan lambat. Jam di dinding seakan sengaja mempermainkan waktu, membuat jantung mereka berdetak lebih cepat dalam diam.Puspita sesekali menatap pintu yang masih tertutup rapat, bibirnya bergetar seperti hendak melafalkan doa yang sama berulang kali. “Ya Allah, lindungi Dokter Irena... lindungi bayinya....” bisiknya nyaris tanpa suara.Pram menggenggam tangan istrinya lebih erat, walau ia sendiri tengah bertarung dengan kekhawatiran.Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Prabu muncul dengan langkah gontai. Tatapannya kosong, wajahnya pucat seperti baru disiram kabar paling buruk dalam hidupnya. Pram dan Puspita langsung berdiri. Mereka tak menyapanya, hanya menuntun kakak tercinta itu ke kursi.“Bang, duduk dulu. Pelan-pelan,” ujar Puspita sambil menopang bahu Prabu yang mulai goyah.Puspita merunduk di hadapan Prabu, tangannya
Sirine ambulans meraung nyaring, membelah jalanan ibu kota yang mulai padat oleh kendaraan pagi. Suara itu seperti dentuman yang memecah kesunyian hati Prabu, menggema bersamaan dengan denyut jantungnya yang tak karuan. Mobil-mobil di sekitar menepi, memberi ruang, seolah ikut menyadari betapa gentingnya situasi yang tengah mereka hadapi. Di dalam kabin ambulans yang sempit namun penuh kecemasan itu, udara terasa menekan dada, mencekik perlahan namun pasti.Prabu duduk di kursi belakang, tubuhnya condong ke arah Irena yang terbaring di atas tandu darurat. Ia menggenggam tangan istrinya erat-erat, seolah lewat genggaman itu ia bisa mengirimkan kekuatan, cinta, dan harapan agar wanita yang dicintainya tetap bertahan. Tangan Irena begitu dingin, nyaris tak berdenyut, seperti sepotong es yang dipegang Prabu dengan gemetar. Keringat dingin membasahi pelipis Prabu, matanya terus menatap wajah pucat istrinya—seputih kain kafan—dengan sorot yang penuh ketakutan.Mata Irena hanya setengah terb
Pagi itu, aroma roti bakar dan telur dadar menguar dari dapur, berpadu dengan semerbak harum teh melati yang mengepul dari dua cangkir di meja makan. Matahari baru saja menampakkan dirinya, sinarnya menembus jendela dan menghangatkan ruangan.Di ruang tengah, Prabu tengah membantu Irena yang berusaha mengenakan kerudung sambil duduk di sofa. Perutnya yang membuncit membuat geraknya terbatas, tapi senyumnya tetap tak pernah surut."Aku bisa sendiri, Mas," gumam Irena, meski tak menolak saat tangan Prabu merapikan ujung kerudungnya dengan lembut."Bukan soal bisa atau enggak. Aku cuma pengin manjain istriku," balas Prabu, menatap wajah istrinya yang makin bercahaya sejak kehamilan masuk trimester ketiga.Irena tertawa pelan, matanya mengerjap lemah. "Kamu bikin aku merasa ... dicintai tanpa syarat, Mas," ujarnya penuh haru. Sungguh, setelah menikah dengan Prabu ia memang merasa sangat diratukan. Ketakutannya dulu mengingat usia Prabu yang lima tahun lebih muda darinya, ternyata tidak te
1 “Jangan berharap terlalu banyak dengan pernikahan ini, Puspita. Aku tidak akan pernah seutuhnya menjadi suamimu.” Kalimat itu meluncur dari mulut pria tiga puluh lima tahun yang masih mengenakan jas putih khas pengantin pria. “Pernikahan ini terjadi hanya untuk membahagiakan Soraya. Kau dan aku tidak akan pernah lebih dari kesepakatan ini,” lanjut pria itu dengan tegas dan tanpa perasaan. Matanya yang dingin menatap ke depan, sementara kedua tangannya dilipat di dada. “Itulah yang berhak kau dapatkan ketika memanfaatkan kebaikan istriku.” Puspita, wanita 20 tahun yang duduk di tepi ranjang pengantin, hanya terdiam dengan salah satu tangan memilin ujung kebayanya. Ia sangat mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan ini, tanpa harus Pramudya, majikan laki-laki yang baru saja menghalalkannya dalam kalimat ijabkabul pernikahan itu, menegaskan dengan kalimat setajam ini. “Saya tahu, Pak … saya sangat mengerti,” bisik Puspita dengan suara gemetar. “Saya tidak akan meminta lebih,”...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments