Statusnya sebagai istri muda majikannya menempatkannya di posisi serba salah. Ia terikat pada pria yang tidak pernah menginginkannya, tapi harus bertahan demi permintaan mendiang kakak madunya. Hingga suatu hari, Puspita harus merelakan dirinya terusir dan dituduh dengan sengaja mencelakakan anak sambungnya. "Aku tidak akan kembali, sekalipun kamu meminta," ucap Puspita terakhir kali. Tanpa mengetahui bahwa kemudian mantan suaminya mencarinya dalam kondisi tak terurus. "Kembalilah, aku membutuhkanmu." Apakah Puspita luluh dengan permohonan pria itu? Atau ia justru memilih melanjutkan hidupnya yang sudah tertata dengan dosen tampan yang hendak melamarnya?
View MorePuspita berbaring menghadap dinding. Raganya di sini, tapi pikirannya entah di mana. Barusan Prabu menghubungi Pram, tapi sama sekali tidak ingin bicara dengannya. Hanya menitip salam dan memintanya menjaga kesehatan. Sama sekali bukan Prabu yang ia kenal sebelum berangkat ke sini.Ataukah memang ia sama sekali tidak berarti dalam keluarga itu?Ia bahkan tidak berani lagi menghubungi Opa Rangga atau kediaman Bimantara. Mungkin untuk saat ini ia melupakan saja jika bagian keluarga itu. Ya, sepertinya lebih baik seperti itu. Mungkin dengan begitu ia bisa fokus dengan kesehatannya sendiri. Ia ingin cepat sembuh dan kembali ke tanah air. Bukan untuk keluarga itu, tetapi untuk dirinya sendiri. Puspita tak ingin terus-terusan menyusahkan Pram yang harus bolak-balik dua negara.Lagi-lagi ia bersyukur memiliki Pram dalam hidupnya, karena orang lain belum tentu bisa selalu ada untuknya. Namun, seorang suami akan tetap membersamainya selamanya.Puspita mengerjap saat merasakan sebuah tangan mel
“Mas … ber-canda, kan?” Suara Puspita bergetar. Ia mencoba tidak mempercayai apa yang barusan Pram katakan.Pram menatapnya lekat, ada kesedihan dalam sorot matanya. Sungguh, ia tidak tega mengatakan ini pada Puspita dalam kondisinya yang masih belum sepenuhnya pulih. Puspita baru saja bernapas lega karena salah satu cacat di tubuhnya telah berhasil dipulihkan. Kini, siap tidak siap, istrinya harus mendengar berita yang pastinya membuat hatinya hancur.“Mas ….” panggil Puspita lagi dengan bibir bergetar. “Tolong katakan jika barusan aku salah mendengar. Semua baik-baik saja, kan? Opa, Oma, dan Bang Prabu baik-baik saja, kan? Semuanya berjalan lancar dan mereka sedang menungguku sembuh?”Terlihat pergerakan di leher Pram, tanda pria itu menelan ludahnya. Matanya menatap iba, sungguh baru saja mulai bicara, ia sudah tidak tega melihat Puspita seperti ini. Kalau boleh memilih, Puspita lebih baik tidak tahu saja masalah ini agar tidak menjadi beban pikirannya.Namun, ia berhak tahu, bukan
Puspita duduk bersandar di kepala ranjang dengan tubuh yang masih terasa lelah. Mereka sudah kembali ke apartemen setelah dokter menyatakan operasi wajahnya berhasil. Terapi kakinya dilakukan secara berkala dan tidak mengharuskan tetap tinggal di rumah sakit.Pram mengambil selimut dan menutup bagian kakinya, perhatian kecil yang membuat hatinya kembali bergetar. Rasanya ia jatuh cinta lagi dengan pria itu. Pria yang kini duduk di tepi ranjang dan tersenyum padanya."Akhirnya, kita kembali ke sini, ya," ujar Pram seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Semua masih tampak sama dengan sebelum kepulangannya ke tanah air."Aku pikir akan tidur sendiri selamanya di sini," sindir Puspita.Pram tersenyum tipis. "Apa kamu merindukan, Mas?" godanya sembari memiringkan kepala."Lebih dari itu, Mas. Aku hampir gila."Pram menarik napas panjang dan membuangnya perlahan."Kamu pikir Mas tidak?"Puspita tertegun. Matanya menatap nanar sang suami."Kalau bicara gila, Mas yang paling gila d
Puspita menoleh ke arah Farah dengan tatapan penuh tanya. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya tegang.“Apa maksudmu?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar.Farah menarik napas panjang, seolah tengah menyiapkan dirinya untuk menceritakan sesuatu yang berat. “Pak Pram tidak pernah benar-benar meninggalkan Ibu. Sejak awal, beliau meminta saya untuk selalu mengawasi keadaan Ibu. Beliau ingin tahu setiap detail perkembangan Ibu selama di sini. Setiap saat.”Puspita mengerjap, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menoleh ke arah Pram, mencari jawaban di wajah pria itu. Namun, Pram tetap diam. Hanya matanya yang berbicara, menyiratkan sesuatu yang sulit Puspita pahami.“Pak Pram memintaku untuk selalu mengirim kabar tentang kondisi Ibu,” lanjut Farah. “Mulai dari kondisi kesehatan Ibu, emosi Ibu, bahkan seberapa besar Ibu merasa kesepian. Setiap hari, aku mengabarkan semuanya.”Puspita merasakan dadanya mulai sesak. Tangannya mengepal di atas selimutnya, berusaha keras memah
Puspita masih membeku di tempatnya, menatap sosok yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jantungnya berdetak kencang, dan dalam kepalanya, berbagai pertanyaan berdesakan tanpa bisa diungkapkan.Pram ada di sini.Pram benar-benar ada di sini.Ini bukan ilusi. Ia tidak sedang bermimpi.Dunia terasa mendadak hening di telinga Puspita. Tidak ada suara apa pun selain isi kepalanya yang sangat berisik.Pram berjalan mendekat. Tatapannya masih untuknya. Tidak berpaling sedikit pun. Sang pria berhenti tepat satu langkah di depannya.Entah apa ada instruksi sebelumnya, dokter dan paramedis lainnya berpamitan, meninggalkan dirinya, Pram, dan juga Farah di sana.Entah apa lagi yang dokter katakan sebelum pergi, Puspita sama sekali tidak tahu. Ia tidak mendengar apa pun saat ini.Pram masih menatapnya dengan tatapan yang semakin jelas dalam jarak dekat. Jelas penuh arti. Hati Puspita yang mendadak nyeri memerintahkan matanya menjadi panas menampung air mata. Saat tangan Pram terulur in
Puspita membuka matanya perlahan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit membuatnya menyipit. Tubuhnya terasa lemas, tapi ada kelegaan yang menghangatkan dadanya. Ia masih hidup. Ia telah berhasil melewati ini meski tanpa pendampingan seseorang yang diharapkannya. Meski juga belum tahu hasilnya. Suara alat medis berbunyi pelan di sampingnya, memberikan ritme tenang yang mengingatkannya bahwa ia masih di dunia ini. Sesuatu yang lembut menyentuh tangannya, hangat dan penuh perhatian."Bu …?"Suara Farah.Puspita menoleh sedikit, meski pergerakannya masih terbatas. Perawat itu tersenyum lega, matanya berkaca-kaca. “Ibu hebat. Ibu melewati ini semua dengan sangat tenang. Saya bangga sama Ibu."Puspita mencoba tersenyum, tapi wajahnya masih terasa kaku. Ada perban yang membungkus sebagian besar wajahnya, menghalangi ekspresi yang biasa ia tunjukkan."Sudah berapa lama aku tertidur?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Farah mengusap tangannya lembut. "Hampir dua hari. Operasinya berjalan
Sejak saat itu, Puspita berusaha menyingkirkan semua pikiran yang bisa menghambat proses penyembuhannya. Ia ingin fokus pada kesehatannya, ingin benar-benar sembuh sebelum kembali ke Indonesia.Termasuk urusan pernikahannya dengan Pram. Bukan tak ada niatan memperbaiki apa yang sudah retak, toh rasa bersalah dan cintanya masih sangat besar. Sebesar harapannya untuk bisa kembali bersama.Hanya saja, untuk saat ini, ia benar-benar ingin fokus menjalani pengobatan agar segera sembuh dan bisa kembali ke tanah air dalam kondisi benar-benar pulih. Toh, kalau memang masih berjodoh, Tuhan akan membuka jalan untuk mereka. Namun, jika Pram sudah lelah dengan dirinya dan ingin melepasnya, ia juga tidak akan memaksa.Pram berhak bahagia dengan pilihannya. Mungkin kelak ia akan menemukan wanita yang benar-benar mencintainya dan ia butuhkan, bukan hanya sebagai pendamping, tapi juga sebagai ibu sambung yang baik untuk Prily.Puspita sudah berada di titik pasrah. Hanya bisa mendoakan kebaikan mereka
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
1 “Jangan berharap terlalu banyak dengan pernikahan ini, Puspita. Aku tidak akan pernah seutuhnya menjadi suamimu.” Kalimat itu meluncur dari mulut pria tiga puluh lima tahun yang masih mengenakan jas putih khas pengantin pria. “Pernikahan ini terjadi hanya untuk membahagiakan Soraya. Kau dan aku tidak akan pernah lebih dari kesepakatan ini,” lanjut pria itu dengan tegas dan tanpa perasaan. Matanya yang dingin menatap ke depan, sementara kedua tangannya dilipat di dada. “Itulah yang berhak kau dapatkan ketika memanfaatkan kebaikan istriku.” Puspita, wanita 20 tahun yang duduk di tepi ranjang pengantin, hanya terdiam dengan salah satu tangan memilin ujung kebayanya. Ia sangat mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan ini, tanpa harus Pramudya, majikan laki-laki yang baru saja menghalalkannya dalam kalimat ijabkabul pernikahan itu, menegaskan dengan kalimat setajam ini. “Saya tahu, Pak … saya sangat mengerti,” bisik Puspita dengan suara gemetar. “Saya tidak akan meminta lebih,”...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments