Share

NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!
NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!
Penulis: Rosemala

1. PENOLAKAN MENYAKITKAN

1

“Jangan berharap terlalu banyak dengan pernikahan ini, Puspita. Aku tidak akan pernah seutuhnya menjadi suamimu.” 

Kalimat itu meluncur dari mulut pria tiga puluh lima tahun yang masih mengenakan jas putih khas pengantin pria. 

“Pernikahan ini terjadi hanya untuk membahagiakan Soraya. Kau dan aku tidak akan pernah lebih dari kesepakatan ini,” lanjut pria itu dengan tegas dan tanpa perasaan. Matanya yang dingin menatap ke depan, sementara kedua tangannya dilipat di dada. “Itulah yang berhak kau dapatkan ketika memanfaatkan kebaikan istriku.”

Puspita, wanita 20 tahun yang duduk di tepi ranjang pengantin, hanya terdiam dengan salah satu tangan memilin ujung kebayanya.

Ia sangat mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan ini, tanpa harus Pramudya, majikan laki-laki yang baru saja menghalalkannya dalam kalimat ijabkabul pernikahan itu, menegaskan dengan kalimat setajam ini.

“Saya tahu, Pak … saya sangat mengerti,” bisik Puspita dengan suara gemetar. “Saya tidak akan meminta lebih,” lanjutnya hampir tak terdengar. 

Keduanya menikah hanya untuk menyenangkan hati Soraya, istri Pramudya yang mengidap penyakit kronis dan umurnya disinyalir tak lagi lama. Wanita itu meminta Puspita untuk rela menjadi adik madunya, agar bisa merawat Pramudya dan bayi mereka, Prilly. Jadi Soraya bisa tenang jika sewaktu-waktu ia pergi meninggalkan dunia.

Permintaan itu memang tidak masuk akal. Dan Puspita bisa saja menolak.

Jika saja ia sendiri tidak berada dalam kondisi terdesak dan butuh bantuan. 

Sonya mengetahui situasinya dan berjanji akan membantu Puspita asalkan gadis itu bersedia menjadi istri kedua. Entah bagaimanapun caranya.

Karena itulah, Puspita menyanggupi permintaan Soraya.

Namun, Pramudya tampaknya tidak mengetahui perjanjian tersebut. Dan Puspita terlalu takut untuk menyanggah, sekalipun pria itu berpikir bahwa ia adalah perempuan gatal yang sedang memanfaatkan kesempatan.

“Bagus jika kau mengerti. Ingat baik-baik.”

Usai mengatakan itu, Pram melepaskan jasnya sembari berbalik pergi dan berjalan menuju pintu.

Puspita terkesiap. “B-bapak, mau ke mana?” tanyanya.

Tangan Pram yang hendak menyentuh kenop pintu, menggantung di udara. Sang pria terdiam sebelum berbalik dan menjawab, “Ke ruang kerja.”

Dengan hati-hati, Puspita kembali bertanya, “Di malam pengantin kita?”

Pram mengernyit. “Kenapa? Apa aku harus tetap di sini agar kamu bisa merayuku?” Pria itu bertanya ketus.

Kedua bola mata Puspita melebar. Wajahnya terasa panas.

Apa ia serendah itu di mata Pramudya? Ada perasaan sesak di dadanya, padahal ia tidak punya perasaan apa pun pada pria ini,

Sekalipun miskin dan hanya pengasuh bayi, tetapi Puspita tidak akan merendahkan diri merayu sembarang laki-laki. 

“Saya hanya memikirkan perasaan Bu Soraya kalau melihat Bapak keluar dari kamar ini.” Suara Puspita bergetar ketika mengatakan itu. “Pernikahan ini atas permintaan Ibu. Saya khawatir Ibu kembali kepikiran tentang saya dan Bapak yang tidak akur. Nantinya itu justru membuat kesehatan Ibu memburuk, Pak.”

Pram tampak tertegun cukup lama. 

Puspita berpikir, pastilah majikannya itu baru menyadari bahwa mereka sedang berada di lantai 2, sementara kamar kerjanya di lantai 1. Jika pria itu ke sana, kemungkinan bertemu seseorang yang tengah membereskan sisa-sisa acara.

Dan informasi itu pastilah sampai ke Sonya. 

“Saya tidak akan melakukan apa pun, Pak,” ucap Puspita lagi. “Bahkan tidak apa-apa jika saya tidur di sofa. Saya hanya memikirkan Ibu–”

“Berisik.”

Setelah menukas seperti itu, Pramudya beranjak menuju sofa panjang di dekat jendela lalu merebahkan diri di sana. 

Sementara itu, Puspita memejamkan matanya lalu menarik napas dalam-dalam. Menguatkan hatinya sebelum kemudian ia membereskan hamparan kelopak mawar merah di atas ranjang, meskipun gadis itu tetap tidak bisa menahan tangis tanpa suaranya.

Ia sudah melepaskan pernikahan impiannya. 

Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.

Puspita hanya tinggal melakukan tugasnya seperti biasa, bukan? Juga beberapa tugas tambahan seperti yang disuruh oleh Soraya, majikannya? Ia bisa menghadapinya.

Begitu pikir gadis polos tersebut.

**

“Hei, apa yang kamu lakukan, Puspita!?”

Puspita terkesiap dan langsung berbalik menghadap Pram yang membentaknya. Hampir saja gadis itu  menjatuhkan baju yang ia pegang ke lantai karena terkejut.

Akan tetapi pemandangan di depannya lebih mengejutkan lagi karena Puspita tengah bertatapan dengan majikan laki-laki sekaligus suami barunya yang tengah bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

Buru-buru, gadis itu menundukkan kepalanya sambil meletakkan baju di tangannya di atas ranjang.

“M-maaf, Pak. Saya hanya menyiapkan pakaian Bapak,” ucap Puspita kemudian. Jemarinya saling memilin. Gestur khas jika ia sedang merasa gundah dan tidak nyaman.

“Memangnya aku menyuruhmu?” balas Pram dengan ketus. 

Pria itu tadi bergegas ke kamar mandi usai bangun, untuk menyegarkan diri lantaran semalaman tidur di sofa. Berpikir bahwa Puspita sudah turun untuk mengurusi pekerjaannya dan tidak akan kembali ke kamar.

“Ti-tidak, Pak,” cicit Puspita. “Tapi Bu Soraya meminta–”

“Aku tidak ingin kau menyentuh barang-barangku,” potong Pram dengan suara tandas. “Urusi saja pekerjaanmu sebagai pengasuh anakku. Jangan bertingkah sebagai istriku.”

Puspita makin memilin jemarinya.

“Mohon maaf, Pak,” ucapnya nyaris tidak terdengar karena takut. Ia masih bisa merasakan tatapan tajam Pram terarah padanya, sekalipun Puspita tidak berani mendongak. “Saya tidak akan melakukannya lagi.”

Usai Puspita mengatakan itu, Pram meraih pakaian di atas ranjang dan berjalan kembali menuju kamar mandi.

Akan tetapi, langkah pria itu terhenti saat pintu kamarnya tiba-tiba diketuk.

“Neng Puspita, ada yang nyari, Neng.”

Mendengar itu, Puspita buru–buru membuka pintu dan mendapati wanita paruh baya di sana. Beliau adalah salah satu asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di sini.

“Siapa, Mbok?” tanya Puspita.

“Laki-laki, Neng. Katanya sih, paman Neng Pita dari kampung.”

Sepasang matanya terbelalak, sementara Puspita bisa merasakan tubuhnya lemas.

Pamannya … pamannya pasti ke sini untuk menyeretnya pulang untuk dinikahkan dengan tuan tanah di kampungnya sebagai istri keempat.

“Di-di mana dia?” bisik Puspita. “Apakah … Bu Soraya tahu?”

“Kenapa Bu Soraya harus tahu, Neng?” tanya si mbok balik dengan nada heran. “Bukankah beliau tamunya Neng? Keluarga pula.”

Puspita menggeleng. Ini masuk ke dalam kesepakatannya dengan Soraya. Majikannya itu berjanji, bahwa Puspita akan dilindungi oleh Soraya dan keluarga ini, bahkan oleh Pramudya sebagai suaminya.

Hanya saja, pria itu–

“Kau akan tetap berdiri di depan pintu seperti itu? Aku harus bersiap-siap,” ucap Pramudya tiba-tiba berkata dengan nada ketusnya. “Dan jangan sekali-sekalinya kamu ganggu istriku sepagi ini.”

Ah, ya. Istri.

Bagi Pramudya, Puspita masihlah pengasuh bayi. Bukan istri kedua yang juga sudah sepantasnya dilindungi.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Wildatuz Zaqiyyah
ah, pak Pram, jan begitulah sm istri..
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Baru baca bab pertama saja hatiku sudah cenut-cenut nyeri sekali Thor...sakit sekali menjadi Puspita
goodnovel comment avatar
Dian Vitaloka
Sedih banget jadi Puspita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status