Share

5. SELALU TERSISIH

Author: Rosemala
last update Last Updated: 2024-10-31 11:34:14

5

Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama.

"Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya.

"Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya.

"Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala.

"Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.

Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembuskan napas.

"Ibu, ada apa ke sini pagi-pagi? Tidak menemani ayah sarapan?" Pram mengalihkan topik.

Hasna mengibaskan tangannya. "Ibu mengantar Imel ke sini. Dia baru pulang dari luar negeri, Pram. Katanya dia rindu kamu, dan membawa oleh-oleh juga buat kamu."

Pram melirik wanita yang masih menebar senyum itu sekilas.

"Iya, nih, Mas Pram. Aku bawa ini." Imel meletakkan sebuah paperbag di atas meja. "Khusus buat Mas Pram. Semoga suka, ya."

Pram tidak menjawab, hanya melirik benda itu sekilas, lalu melanjutkan sarapannya.

Bola mata Hasna bergerak gelisah melihat Pram yang acuh dengan Imel.

"Heh, Pram, kamu hanya sarapan roti panggang itu?" Hasna menunjuk piring di hadapan anaknya. "Hanya itu yang bisa disajikan istrimu? Padahal kamu butuh nutrisi yang lengkap untuk menjalani aktivitas seharian di kantor. Pantas saja kamu sekurus ini sekarang."

Pram kembali memejamkan mata. Ia tidak suka situasi ini. Selama ini kedatangan sang ibu ke rumahnya memang hanya mendatangkan masalah, mungkin karena ia menikahi wanita yang tidak direstuinya. Baik Soraya ataupun Puspita, di mata sang ibu selalu salah. Ia tahu kini pun Hasna sedang mencari-cari kesalahan Puspita.

"Heh, Puspita, kamu hanya bisa menyajikan ini untuk suamimu sarapan?" Kini tatapan Hasna menghujam Puspita yang sejak tadi hanya diam. "Lihat anakku sekarang, semakin hari semakin menyedihkan. Aku memang sejak awal ragu apa kamu mampu mengurusnya. Dan terbukti, kamu tidak becus; anakku semakin kurus. Apa kakak madu tersayangmu dulu tidak mengajarimu—"

"Bu …." Pram memotong tajam. "Sudahlah! Aku yang minta sarapan ini, toh nanti juga makan siang di kantor. Puspita hanya menyajikan apa yang aku pinta." Pram jengah. Apalagi sang ibu membawa-bawa Soraya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku buatkan segelas susu rendah lemak, Mas? Aku lihat kamu hanya minum kopi." Imel ikut-ikutan. "Tidak baik minum kopi pagi-pagi."

"Tidak perlu! Kopi ini juga aku yang minta." Pram menukas cepat. "Aku sudah selesai sarapan, akan segera berangkat ke kantor. Permisi." Pram bangkit setelah meneguk kopi yang dihidangkan Puspita. Setelahnya, ia berlalu tanpa berkata-kata lagi. Puspita bergegas menyusul, mengantar Pram hingga ke depan mobilnya sambil membawakan tas kerjanya.

Namun, siapa sangka jika Hasna juga menyusulnya, menahan Pram saat pria itu akan memasuki mobilnya.

"Pram, jangan bersikap seperti itu sama Imel. Dia sudah jauh-jauh datang ke sini, membawakan oleh-oleh juga untukmu. Dia sudah seperhatian itu, tapi beginikah caramu berterima kasih?" Hasna menegur Pram dengan raut tidak suka.

Pram mengembuskan napas lelah. "Aku tidak minta dia melakukannya, Bu. Tolong sampaikan saja terima kasihku."

"Pram, kamu jangan seperti ini terus. Ayolah, Ibu sudah terlalu lama membiarkanmu tersesat dengan pilihanmu yang salah saat menikahi Soraya dulu. Dan lihatlah, kamu berakhir mengenaskan. Ibu tidak mau hal sama terulang. Bukalah hatimu, Ibu ingin melihatmu bahagia. Ibu ingin kamu melihat bahwa Imel yang cocok denganmu. Sejak kecil kalian sudah kenal, dan satu lagi yang terpenting, kalian sepadan."

"Bu, sudahlah! Aku harus berangkat ke kantor." Pram meraih tangan ibunya, lalu mencium singkat. Setelahnya, ia membuka pintu mobil.

"Pram, kamu harus mempertimbangkan ini."

Kalimat Hasna hanya dijawab dengan suara pintu mobil yang ditutup.

**

Pagi ini, Puspita merasakan sedikit lebih sibuk daripada pagi-pagi yang lain. Prily bangun lebih awal dan ingin terus berada dalam gendongannya. Terpaksa ia menyiapkan sarapan sambil menggendong anak itu.

Untunglah semangkuk bubur Manado sudah tersedia di atas meja, sesuai pesanan Pram. Ia berniat memandikan Prily saat suara nyaring high heels beradu dengan ubin terdengar mendekat.

Puspita mengembuskan napasnya. Ia tahu siapa gerangan yang datang. Imel. Wanita itu lagi, dan ini bukan kali kedua wanita itu datang. Sudah sangat sering, bahkan hampir setiap hari Imel datang dengan berbagai alasan.

Walaupun sadar posisinya hanya istri pengganti yang tidak diinginkan, Puspita sangat tidak nyaman jika wanita itu datang mengunjungi Pram. Bukankah Pram pria beristri?

Bukan tanpa alasan ia tidak suka dengan kedatangan wanita itu. Beberapa kali ia melihat Imel bersikap mesra pada Pram seolah mereka adalah pasangan.

Sayangnya, sikap Pram yang tidak tegas membuatnya kecewa. Suaminya itu seolah nyaman-nyaman saja dengan kehadiran wanita lain di rumahnya. Atau mungkin Pram memang menyukai wanita itu?

Puspita mengelus dadanya. Kalau saja tidak ingat pesan Soraya untuk selalu menjaga Prily, mungkin ia sudah lama pergi dari sana. Toh, sikap Pram juga tidak pernah berubah sejak awal.

"Di mana Mas Pram?" tanya Imel dengan santai, seolah tidak menanyakan seorang suami kepada istrinya.

Puspita baru akan menjawab saat suara Pram mendahului memanggil namanya.

"Puspita, di mana dasiku? Kenapa kamu tidak siapkan sekalian dengan kemejaku?" Pram muncul dengan setelan kantor yang sudah rapi, hanya minus dasi yang ditanyakannya.

Puspita menepuk keningnya, tadi ia lupa. Belum sempat memilihkan dasi, Prily sudah rewel. Baru saja ia melangkah menuju kamar untuk mengambil benda itu, Imel sudah mendahuluinya.

"Wah, kebetulan sekali, Mas. Hari ini aku bawa hadiah dasi buat Mas Pram." Imel menghampiri Pramudya sambil membuka paper bag yang dibawanya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak memanjang.

"Sepertinya kita memang jodoh, ya. Di saat Mas Pram butuh dasi, saat itu juga aku membawanya," lanjut wanita itu dengan percaya diri. Lalu ingin memasangkan benda itu di leher Pram, tetapi sang pria menolak.

"Tidak usah, Mel." Pram mengangkat tangannya.

"Lho, kenapa, Mas? Ini cocok lho, sama kemeja kamu." Imel terlihat kecewa.

"Tidak perlu, biar Puspita yang ambilkan." Pram mengatakan itu seraya melirik dan memberi kode agar Puspita segera mengambilnya.

Tanpa menunggu waktu, Puspita berlalu menuju kamar masih dengan menggendong Prilly. Tak lama sudah kembali dengan dasi di tangannya. Namun, saat ingin memberikannya pada Pram, Imel dengan cepat merebutnya.

"Aku pasangkan ya, Mas." Imel berkata manja.

"Tidak usah, aku bisa sendiri." Pram meraih dasi itu, tetapi Imel dengan cepat menghindarkan.

"Biar aku yang pasang, Mas. Anggap aja ini sebagai balas budi karena dulu Mas Pram suka gendong aku," jawab Imel lagi. Tangannya langsung melingkarkan dasi di leher Pram dengan tidak tahu malu.

Puspita membuang muka melihat adegan itu, setelahnya berlalu begitu saja dari hadapan mereka. Namun, sebelumnya ia sempat menghujamkan tatapan tajam untuk Pram.

Puspita memilih kembali ke kamar Prily untuk memandikan anak itu. Ia bahkan tidak peduli apakah Pram memakan sarapan yang ia buat atau tidak, karena tadi ia melihat Imel juga membawa kotak makanan.

Rasanya, ia semakin lelah menjalani pernikahan ini. Entah bagaimana nasib pernikahan ini di masa depan. Pergi dari sini? Lalu, bagaimana dengan Prily?

Selesai memandikan dan mendandani Prily, seperti biasa Puspita langsung menyuapi bayi itu dengan bubur Manado, menu yang sama dengan Pram. Pram sendiri sudah tak terlihat, begitu juga Imel. Puspita menarik napas panjang. Mungkin mereka pergi bersama setelah sarapan bersama.

Sekali lagi, ia harus meyakinkan dirinya bahwa keberadaannya di sana hanya demi amanat Soraya untuk menjaga Prily.

Belum sampai lima menit ia membereskan sarapan Prily, anak itu tiba-tiba saja terbatuk-batuk. Puspita langsung memberikan minum dari botol khususnya. Namun, yang terjadi selanjutnya, Prily justru tersedak dan megap-megap. Bukan hanya itu, mata bayi dua tahun itu mendelik hingga hanya terlihat bagian putihnya saja. Tubuhnya kejang-kejang, seperti sedang melepaskan nyawa.

Mata Puspita melebar, sebelum akhirnya menjerit dan berlari mencari pertolongan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Di tunggu kelanjutannya thor
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Waduh bakalan di salahkan gak nieh Puspita sama Pram...kasihan puspita
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
puspita bakal kena semprot d anggap tdk becus...makin penasaran lanjutan ny...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   6. TIDAK BECUS!

    “Apa? Prily sesak napas?” Pram berteriak bicara di telepon. “Ya sudah, langsung bawa ke rumah sakit, aku menyusul ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan dengan gusar.“Pak, putar arah ke rumah sakit!” perintahnya pada sopir sambil memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Wajahnya diliputi kecemasan.“Ada apa, Mas?” tanya Imel yang duduk di samping Pram. Wajahnya tampak simpatik, padahal beberapa saat sebelumnya seulas senyum terukir di wajahnya.“Prily sesak napas.” Pram menjawab tanpa menoleh. Sejujurnya, saat ini ia merasa dirinya yang tidak bisa bernapas. Apalagi Puspita meneleponnya sambil menangis. Sudah dapat dipastikan jika kondisi Prily sangat serius.Pram takut. Ia baru saja ditinggalkan orang tercintanya. Dan jika Prily pun sampai kenapa-napa, ia bisa gila.“Sesak napas?” Imel mengulang. “Perasaan, saat kita tinggal tadi, Prily baik-baik saja, kan? Kok, bisa sih, sesak napas?” tanya Imel dengan irama kalimat yang sangat diatur. Pram tidak ingin menjawab. Ia memutuskan memejamk

    Last Updated : 2024-11-01
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   7. KEPERGIAN PUSPITA

    Butuh beberapa saat bagi Puspita untuk mencerna semuanya setelah Pram mengucapkan kalimat itu dan berbalik pergi, kembali ke kamar Prily didampingi Imel yang tersenyum puas.Kemudian, gadis itu menghapus air matanya dengan kasar setelah dapat menguasai dirinya.Ia sempat terjebak dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan yang mendalam akibat tuduhan Pram yang keji dan kata talak yang menyusul kemudian. Tidak percaya kalau pandangan Pram padanya masih sama seperti dulu, memandang Puspita sebagai orang miskin yang dangkal, dan tidak bisa dipercaya.Tidak peduli Puspita sudah berusaha keras menjalankan amanat Soraya sekuat tenaga. Menelan sakit hatinya setiap hari.Puspita tidak menyangka justru Pramlah yang akan mengingkari janjinya pada Soraya secepat ini. Membuangnya.Ini terlalu menyakitkan. Jika pun Pram ingin menceraikannya, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa harus menuduhnya dulu?Puspita menarik napas dalam-dalam. Mencoba melonggarkan rongga dada yang sesak. Lalu setelahn

    Last Updated : 2024-11-02
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   8. HARI BARU

    “Menikahlah dengan Imel.”Ekspresi Pram langsung mengeras. “Bu–”“Kamu ini perlu seseorang untuk mengurusmu. Dan Ibu yakin Imel orang yang tepat. Daripada kamu terus-terusan tampil mengenaskan ini,” tukas Hasna. “Dua kali kamu salah memilih istri hingga hidupmu berantakan, Pram. Itu akibat tidak mendengarkan ucapan orang tua.”“Aku tidak ingin menikah lagi,” tegas Pram. “Kamu masih mau mencoba mengurus ini semua sendirian?” tanya Hasna. Suaranya mulai meninggi. “Kamu berantakan, Pram. Dan bahkan kamu tidak becus mencari pengasuh untuk anakmu!” Hasna menunjuk wanita berusia 40 tahun yang sedang menggendong Prily. “Lihat, setiap saat Prily menangis, dan wanita itu tidak bisa menenangkannya.”Pram memejamkan mata. Kepalanya terasa ingin meledak. Ia tahu Prily selalu rewel, dan itu bukan sepenuhnya salah pengasuh barunya. Ini juga termasuk ke dalam sesuatu yang tidak Pram prediksi. Bahwa Prily akan sekeras itu mencari Puspita sejak sadar di rumah sakit.Padahal … bukankah kata Imel, w

    Last Updated : 2024-11-03
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   9. MANTAN MAJIKAN

    “Puspita, kita perlu bicara.” Nada suara pria itu terdengar dingin, masih sama seperti dulu.Puspita menegakkan punggung dan menghela napas pelan tanpa kentara, setelah sebelumnya sempat menahan napas. Ia berusaha tetap tenang meski tak dapat dipungkiri hatinya bergejolak. Bertemu lagi dengan seseorang yang sudah menorehkan luka, bagai mimpi buruk di pagi hari yang seharusnya ia mulai dengan semangat.“Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru.” Puspita menjawab singkat pada akhirnya, tanpa menatap ke mantan majikannya itu.Ia tidak ingin terintimidasi, ataupun menunjukkan reaksi yang tidak semestinya. Apalagi yang berlebihan.Sementara itu, Haidar tampaknya menyadari ketegangan Puspita. Pria itu menatap Puspita dan Pram bergantian.Kemudian, Puspita menatap pada Haidar. "Ayo, Kang, kita berangkat," lanjutnya, mengajak Haidar untuk pergi dari sana.Namun, Pram mendekat. Lantas menghentikan langkah Puspita."Puspita, ini penting," desak pria itu.Akhirnya, Puspita menoleh pada Pram, memberanik

    Last Updated : 2024-11-04
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   10. SAUDARA SEPUPU

    “Pus? Masa aku tidak boleh tanya soal Kang Haidar juga?” Tika kembali bertanya.Puspita terdiam cukup lama. Kalau boleh jujur, ia akui Haidar memang sangat baik dan berjasa membantunya hingga bisa mengambil paket C. Pria itu memberikan jalan untuk mimpinya yang sebenarnya.Namun, tak ada apa-apa di antara mereka. Memang Haidar hanya orang baik yang mau membantu Puspita karena mereka berasal dari kampung yang sama.Meskipun memang saat di kampung dulu, Haidar pernah mengajarnya. Tapi itu dulu sekali.Haidar berasal dari keluarga terpandang di kampung. Orang tuanya memiliki perkebunan teh dan beberapa usaha lainnya. Seluruh keluarganya berpendidikan tinggi, dan ia bahkan tak berani berharap lebih."Kamu pacaran sama Kang Haidar?" tanya Tika lagi karena Puspita tidak kunjung menjawab. Puspita menarik napas panjang. "Kami cuma temenan, Tik. Kang Haidar itu baik banget mau bantuin aku."Tika menjentikkan jarinya. "Nah, itu dia! Dia baik banget sama kamu, nggak mungkin kalau cuma temenan

    Last Updated : 2024-11-05
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   11. AKU HARUS BAGAIMANA?

    “Soraya, aku … aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” ucap Pram pelan. “Apa kamu sedang menghukumku karena aku telah mengingkari janji?” Kini kepala Pram menunduk di atas pusara itu. Pram menyanggupi untuk menjaga Prily dan mempertahankan Puspita. Pria itu kemudian teringat ucapan Soraya, bahwa jika memang Puspita pergi dari sana, Pram akan menyesal.Inikah yang maksud oleh mendiang istrinya tersebut?“Iya, Ra? Kamu marah dan sedang menghukumku?” Pram semakin larut.Angin yang bertiup seolah membawa suara lembut Soraya, membisikinya dengan lembut. “Tapi asal kamu tahu, Ra. Kalau aku melakukan ini, karena kesalahan Puspita sendiri. Dia sudah membuat Prily kita kesakitan, dan aku takut, Ra … aku takut ia menyusulmu. Meninggalkan aku sendiri di sini.”Pram menarik napas yang terasa berat. Seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Ia berusaha tidak menumpahkan air mata di sana meski hatinya sangat sakit.Sejujurnya, Pram merasa keputusannya benar. Bahwa ia tidak bisa mempertaha

    Last Updated : 2024-11-06
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   12. DIA LAGI

    “Jangan cari Puspita lagi.”Setelah mengatakan itu, Tika langsung meninggalkan Pram begitu saja. Ke kampusnya, sekaligus menemui Puspita.Pagi itu, suasana kantin kampus sudah mulai ramai dengan mahasiswa yang datang untuk sarapan. Bagi mereka yang tidak sempat sarapan di rumah, kantin adalah tujuan utama begitu tiba di kampus. Dari kejauhan, terlihat asap tipis mengepul dari bangunan tersebut.Di sana, Puspita sibuk melayani pesanan. Meski belum lama bekerja di sana, ia sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sehingga mudah baginya untuk beradaptasi. Ia cepat belajar ritme pekerjaan, termasuk tugas apa saja yang harus dikerjakan.Wajah gadis yang kedua ujung kerudungnya diikat di belakang leher itu tampak tenang, meski sebenarnya pikirannya sedang penuh. Ia sedang sibuk mengaduk kopi pesanan saat Tika datang mendekatinya tanpa suara dan bersandar di meja di hadapan Puspita.“Dia datang lagi tadi,” ujar Tika sambil melipat tangan di dada.Puspita menoleh sebentar, tapi tak lama

    Last Updated : 2024-11-07
  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   13. HANYA MANTAN MAJIKAN?

    Puspita tertegun. Kalimat Pram seketika menghantam hatinya. Wajahnya mendadak pias, namun ia berusaha menyembunyikannya.“Prily sudah tidak mau makan. Tubuhnya demam. Ia menangis terus, ia hanya ingin kamu.”Lanjutan kalimat Pramudya makin mengiris hati Puspita. Wanita itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Di kepalanya langsung terbayang tubuh mungil Prily terbaring lemah. Bohong jika Puspita baik-baik saja setelah mendengar kabar itu. Setengah jiwanya bahkan terasa dicerabut saat dipisahkan dari anak itu. Prily bukan hanya anak sambung atau anak asuh baginya. Tidak peduli anggapan orang lain, bagi Puspita, Prily sudah seperti anak kandungnya.Ia hanya tidak mengandung dan melahirkan saja, selebihnya setelah lahir, ia yang mengurusi semuanya karena Soraya sudah sakit-sakitan semenjak melahirkan. Jika Prily sakit, tentu saja ia ikut sakit.Pramudya yang melihat perubahan mimik wajah Puspita sangat yakin jika wanita itu tersentuh hatinya. Karenanya ia yakin Puspita akan mau menemui Prily.

    Last Updated : 2024-11-07

Latest chapter

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   273. TERLALU CEPAT

    Andini duduk termenung di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin terlihat lelah, mata sembab bekas menangis meski riasan masih rapi. Di dadanya sesak. Hari ini... ia resmi menjadi istri Prabu."Istri," gumamnya lirih.Kata itu terasa asing, berat, sekaligus menakutkan. Seolah menggantung di antara realita dan mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia teringat bagaimana Prabu menunduk patuh saat ijab kabul. Tanpa ekspresi, seperti membaca naskah tanpa emosi. Hanya sekilas tatapan mata yang terasa tulus saat ia menatapnya setelah akad, selebihnya hampa. Datar. Dingin. Semua yang dilakukannya ... bukan karena cinta.Andini menunduk. Ada luka yang tak bisa dilihat, tapi terasa mengiris di dalam dadanya. Ia tahu, Prabu menikahinya demi amanat Irena. Amanat dari seseorang yang sudah tiada, yang terlalu besar untuk ditolak oleh siapa pun—termasuk dirinya.Ia menghela napas berat. Dadanya bergemuruh dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Haru, kecewa, duka, bah

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   272. TERIMA KASIH

    Seminggu berlalu …Mendung menggantung seolah ikut merasakan kesedihan yang masih membekas di hati banyak orang. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk menghapus luka, terutama kehilangan sebesar Irena. Tapi hidup tak menunggu siapa pun. Dan hari ini, Prabu akan mengucapkan janji baru di hadapan penghulu.Di ruangan kecil yang menjadi bagian sebuah masjid, Pram berdiri di samping kakak iparnya. Ia memandangi Prabu yang duduk tegang menunggu Andini didandani di dalam sana. Wajah kakak iparnya itu serius, matanya tampak lelah.“Bang …,” panggil Pram pelan tapi tegas. “Bawa santai saja,” lanjutnya seraya menepuk pundak Prabu.Prabu tidak menjawab. Hanya berkedip lemah. Meski sangat ingin pernikahan ini terjadi, tentu saja hatinya masih bertentangan. Kalaupun ia kemarin berjuang keras meyakinkan Andini agar mau menikah dengannya, semua karena amanat Irena dan juga demi kebaikan anak-anaknya. Bukan karena perasaannya terhadap wanita itu.Terkadang ia merasa bersalah pada adik iparnya itu.

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   271. GEMAS

    “Kalian di sini?” suara Prabu tercekat, nyaris tak terdengar.Tubuhnya masih setengah membungkuk, napasnya tersengal. Pandangannya menangkap dua sosok di ujung lorong ruang NICU: seorang perempuan berkerudung dengan balutan coat cokelat muda, dan seorang gadis kecil yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memeluk boneka.Andini. Chiara.Sementara di sekitar mereka, berkumpul sepasang orang tua, sepasang suami istri muda, dan juga seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Semua orang itu kini menatap Prabu yang masih terduduk lemas di lantai rumah sakit.Prabu memejamkan matanya setelah memastikan bahwa pandangannya tidak salah. Ia memejamkan mata seolah ingin membuang rasa sesak yang bertubi-tubi datang yang nyaris merenggut nyawanya.Prabu masih memejam sampai sentuhan kecil terasa di pundaknya.“Papa kenapa?”Prabu membuka mata dan mendapati gadis enam tahun yang memeluk boneka itu berdiri tepat di hadapannya.“Kenapa Papa nangis? Kenapa Papa lari-lari?” tanyanya lagi dengan tatap

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   270.

    Langkah Prabu terhenti di depan pintu apartemen. Napasnya memburu, dada sesak menahan harap yang mulai menipis. Ia langsung menerobos masuk setelah Mbak Sri membuka pintu. Kakinya refleks melangkah menuju kamar Chiara, tempat mereka biasa tidur selama ini.Kosong.Selain Mbak Sri yang menatapnya sendu dari balik pintu, tak ada sesiapa pun lagi di sana.Ruang itu terasa asing, sepi, dan dingin. Koper-koper, kardus, mainan—semuanya telah lenyap. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi masuk, menyinari ruangan dengan suram. Bekas-bekas keberadaan mereka pun seperti telah disapu bersih waktu.“Andini… Chiara…” gumamnya pelan, suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ia bergegas keluar dari kamar itu, menelusuri ruang demi ruang seperti masih berharap menemukan bayangan mereka. Tapi tidak ada. Bantal-bantal sudah ditumpuk rapi, lemari pakaian kosong, bahkan sandal kecil milik Chiara pun tak tampak di dekat pintu.“Kalian… sudah pergi?” bisiknya lagi, kini dengan suara

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   269

    Prabu berdiri di ambang pintu kamar, mematung. Pintu terbuka, dan dari celah itu, terlihat punggung Andini dan Chiara yang tengah sibuk berkemas. Koper besar terbuka di atas tempat tidur, dan beberapa kardus kecil diletakkan di lantai, sebagian sudah ditutup dengan lakban.Hati Prabu terasa hampa. Seperti ruangan itu—tak lagi memiliki sisa tawa, tak ada jejak yang bisa ia pertahankan.Andini melipat satu helai baju kecil milik Chiara lalu menaruhnya di dalam koper. Gerakannya tenang, rapi, tanpa suara. Tapi justru dari ketenangan itu, Prabu bisa membaca begitu banyak hal: luka yang ditekan, kecewa yang disembunyikan, dan entah apa lagi.Chiara duduk di lantai sambil memilih beberapa buku dan mainan kesukaannya. Anak itu terlihat sangat tenang dan menurut. Tidak terlihat sedih, protes, apalagi tantrum. Begitu pandai Andini memberi pengertian. Prabu angkat jempol untuk itu.Di samping anak itu, sebuah bingkai foto diletakkan hati-hati: foto keluarga mereka. Prabu, Irena yang sedang meng

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   268

    Prabu berjalan lunglai kembali ke ruang NICU. Kalimat penolakan Andini terus terngiang di telinganya saat ia menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.“Aku bawa mobil sendiri, Mas. Tidak usah khawatir. Aku hanya minta satu hal, tolong segera urus surat pindah sekolah Chiara. Aku ingin semua beres sebelum kami berangkat.”Kalimat itu disampaikan Andini tanpa sedikit pun nada benci atau amarah. Justru terlalu tenang. Dan ketenangan itulah yang menusuk paling dalam.Prabu mengangguk pelan, menahan napas yang rasanya mulai sesak di dada. Ia tak bisa memaksa. Tidak setelah semua yang terjadi.Oma, Opa, dan Puspita hanya menatapnya dari kejauhan, tak ada satu pun yang berani bicara. Tatapan mereka penuh luka dan iba, tapi mereka memilih diam. Mereka tahu, satu kata saja bisa jadi pemicu amarah Prabu yang tengah rapuh. Dan mereka tidak ingin Prabu kembali menjauh dari mereka. Tidak lagi. Mereka juga tak ingin memaksakan lagi kehendak. Hanya bisa berdiri di sampingnya apa pun keputusannya.L

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   267. BUKAN SIAPA-SIAPA

    Prabu membeku di tempatnya. Ia seperti baru saja dijatuhkan dari tempat tinggi tanpa sempat bersiap. Napasnya tercekat, tenggorokannya mengering. Kalimat Andini masih bergema di telinganya."Kami akan segera berangkat setelah semuanya selesai." Berangkat? Mereka benar-benar akan pergi?Keheningan bercampur dengan dinginnya suhu ruangan semakin membalut luka di hati Prabu. Ia menggenggam besi pembatas ranjang pasien erat. Jemarinya menegang, seperti hendak menahan sesuatu yang hendak pecah di dalam dadanya.“Din…” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Kau benar-benar yakin akan membawa Chiara pergi?”“Tentu saja.” Andini menjawab masih dengan suara datar.“Lalu, bagaimana dengan amanat Irena? Bukankah kakakmu meminta kita menjaga Chiara dan Raja sama-sama?”“Bukankah aku sudah pernah bilang sebaiknya kita berbagi tugas, Mas?”“Apa kamu tidak ingin membantu mengurus Raja?”Andini diam sejenak. “Aku tidak bisa terus-terusan di sini. Aku punya pekerjaan. Punya tanggung jawab. Makanya aku

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   266. ABAI

    Prabu terpaku. Cangkir di tangannya nyaris jatuh jika tak segera ia letakkan ke meja. Ia menoleh ke Puspita, yang langsung menghindari tatapan itu. Sementara Opa dan Oma menatapnya dengan sorot penuh harap.Prabu menghela napas berat. Seberat beban dalam dadanya.“Aku baru saja kehilangan istri. Bahkan belum genap sepuluh hari. Aku belum mau memikirkan hal itu,” kilah Prabu lelah. Ia tidak mengira jika keluarganya berharap seperti itu.Ya, ia yakin jika semua keluarganya mengharapkan ia menikahi Andini. Buktinya, Puspita dan Opa juga diam saja, tak memberikan komentar apa pun. Ia sangat yakin jika semua orang sepemikiran. Hanya saja mewakilkan semua pada Oma karena tahu, ucapan Oma adalah yang paling ia dengar.Oma ikut-ikutan menghela napas berat.“Oma tahu. Kami sangat tahu hal itu, sakit ditinggalkan memang tidak ada obatnya. Hanya saja perlu kamu ingat, rasa sakit melihat darah daging kita tumbuh dalam ketimpangan kasih sayang akan lebih menyakitkan nantinya. Kami tidak mau meliha

  • NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!   265. LANGKAH PRABU

    Prabu membeku. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Puspita membentur dadanya seperti palu godam.“Mereka… datang ke apartemen sebelum Irena dibawa ke rumah sakit?” gumamnya nyaris tak terdengar.Puspita mengangguk kuat. “Iya, Bang. Aku berani bersaksi karena aku membersamai mereka. Kami tidak tahu jika Abang baru saja mengantar dokter Irena ke rumah sakit. Kami baru tahu setelah bertemu Mbak Sri dan Chiara di sana.”Sekali lagi Prabu tertegun. Saat itu ia memang buru-buru membawa Irena dengan segala kepanikannya. Tidak memperhatikan sekitar.“Kalau Abang tidak percaya,” lanjut Puspita sambil menatap mata kakaknya lembut, “silakan periksa CCTV di apartemen.”Suasana mendadak sunyi. Bahkan suara mesin inkubator terasa nyaring di tengah keheningan itu. Prabu membeku, menatap wajah Puspita dengan sorot masih tak percaya, lalu menoleh perlahan ke arah Oma.Wanita tua itu masih berdiri di sana dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Matanya sembap, tapi dalam sorotnya, Prabu menemuka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status