Share

5. SELALU TERSISIH

5

Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama.

"Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya.

"Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya.

"Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala.

"Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.

Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembuskan napas.

"Ibu, ada apa ke sini pagi-pagi? Tidak menemani ayah sarapan?" Pram mengalihkan topik.

Hasna mengibaskan tangannya. "Ibu mengantar Imel ke sini. Dia baru pulang dari luar negeri, Pram. Katanya dia rindu kamu, dan membawa oleh-oleh juga buat kamu."

Pram melirik wanita yang masih menebar senyum itu sekilas.

"Iya, nih, Mas Pram. Aku bawa ini." Imel meletakkan sebuah paperbag di atas meja. "Khusus buat Mas Pram. Semoga suka, ya."

Pram tidak menjawab, hanya melirik benda itu sekilas, lalu melanjutkan sarapannya.

Bola mata Hasna bergerak gelisah melihat Pram yang acuh dengan Imel.

"Heh, Pram, kamu hanya sarapan roti panggang itu?" Hasna menunjuk piring di hadapan anaknya. "Hanya itu yang bisa disajikan istrimu? Padahal kamu butuh nutrisi yang lengkap untuk menjalani aktivitas seharian di kantor. Pantas saja kamu sekurus ini sekarang."

Pram kembali memejamkan mata. Ia tidak suka situasi ini. Selama ini kedatangan sang ibu ke rumahnya memang hanya mendatangkan masalah, mungkin karena ia menikahi wanita yang tidak direstuinya. Baik Soraya ataupun Puspita, di mata sang ibu selalu salah. Ia tahu kini pun Hasna sedang mencari-cari kesalahan Puspita.

"Heh, Puspita, kamu hanya bisa menyajikan ini untuk suamimu sarapan?" Kini tatapan Hasna menghujam Puspita yang sejak tadi hanya diam. "Lihat anakku sekarang, semakin hari semakin menyedihkan. Aku memang sejak awal ragu apa kamu mampu mengurusnya. Dan terbukti, kamu tidak becus; anakku semakin kurus. Apa kakak madu tersayangmu dulu tidak mengajarimu—"

"Bu …." Pram memotong tajam. "Sudahlah! Aku yang minta sarapan ini, toh nanti juga makan siang di kantor. Puspita hanya menyajikan apa yang aku pinta." Pram jengah. Apalagi sang ibu membawa-bawa Soraya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku buatkan segelas susu rendah lemak, Mas? Aku lihat kamu hanya minum kopi." Imel ikut-ikutan. "Tidak baik minum kopi pagi-pagi."

"Tidak perlu! Kopi ini juga aku yang minta." Pram menukas cepat. "Aku sudah selesai sarapan, akan segera berangkat ke kantor. Permisi." Pram bangkit setelah meneguk kopi yang dihidangkan Puspita. Setelahnya, ia berlalu tanpa berkata-kata lagi. Puspita bergegas menyusul, mengantar Pram hingga ke depan mobilnya sambil membawakan tas kerjanya.

Namun, siapa sangka jika Hasna juga menyusulnya, menahan Pram saat pria itu akan memasuki mobilnya.

"Pram, jangan bersikap seperti itu sama Imel. Dia sudah jauh-jauh datang ke sini, membawakan oleh-oleh juga untukmu. Dia sudah seperhatian itu, tapi beginikah caramu berterima kasih?" Hasna menegur Pram dengan raut tidak suka.

Pram mengembuskan napas lelah. "Aku tidak minta dia melakukannya, Bu. Tolong sampaikan saja terima kasihku."

"Pram, kamu jangan seperti ini terus. Ayolah, Ibu sudah terlalu lama membiarkanmu tersesat dengan pilihanmu yang salah saat menikahi Soraya dulu. Dan lihatlah, kamu berakhir mengenaskan. Ibu tidak mau hal sama terulang. Bukalah hatimu, Ibu ingin melihatmu bahagia. Ibu ingin kamu melihat bahwa Imel yang cocok denganmu. Sejak kecil kalian sudah kenal, dan satu lagi yang terpenting, kalian sepadan."

"Bu, sudahlah! Aku harus berangkat ke kantor." Pram meraih tangan ibunya, lalu mencium singkat. Setelahnya, ia membuka pintu mobil.

"Pram, kamu harus mempertimbangkan ini."

Kalimat Hasna hanya dijawab dengan suara pintu mobil yang ditutup.

**

Pagi ini, Puspita merasakan sedikit lebih sibuk daripada pagi-pagi yang lain. Prily bangun lebih awal dan ingin terus berada dalam gendongannya. Terpaksa ia menyiapkan sarapan sambil menggendong anak itu.

Untunglah semangkuk bubur Manado sudah tersedia di atas meja, sesuai pesanan Pram. Ia berniat memandikan Prily saat suara nyaring high heels beradu dengan ubin terdengar mendekat.

Puspita mengembuskan napasnya. Ia tahu siapa gerangan yang datang. Imel. Wanita itu lagi, dan ini bukan kali kedua wanita itu datang. Sudah sangat sering, bahkan hampir setiap hari Imel datang dengan berbagai alasan.

Walaupun sadar posisinya hanya istri pengganti yang tidak diinginkan, Puspita sangat tidak nyaman jika wanita itu datang mengunjungi Pram. Bukankah Pram pria beristri?

Bukan tanpa alasan ia tidak suka dengan kedatangan wanita itu. Beberapa kali ia melihat Imel bersikap mesra pada Pram seolah mereka adalah pasangan.

Sayangnya, sikap Pram yang tidak tegas membuatnya kecewa. Suaminya itu seolah nyaman-nyaman saja dengan kehadiran wanita lain di rumahnya. Atau mungkin Pram memang menyukai wanita itu?

Puspita mengelus dadanya. Kalau saja tidak ingat pesan Soraya untuk selalu menjaga Prily, mungkin ia sudah lama pergi dari sana. Toh, sikap Pram juga tidak pernah berubah sejak awal.

"Di mana Mas Pram?" tanya Imel dengan santai, seolah tidak menanyakan seorang suami kepada istrinya.

Puspita baru akan menjawab saat suara Pram mendahului memanggil namanya.

"Puspita, di mana dasiku? Kenapa kamu tidak siapkan sekalian dengan kemejaku?" Pram muncul dengan setelan kantor yang sudah rapi, hanya minus dasi yang ditanyakannya.

Puspita menepuk keningnya, tadi ia lupa. Belum sempat memilihkan dasi, Prily sudah rewel. Baru saja ia melangkah menuju kamar untuk mengambil benda itu, Imel sudah mendahuluinya.

"Wah, kebetulan sekali, Mas. Hari ini aku bawa hadiah dasi buat Mas Pram." Imel menghampiri Pramudya sambil membuka paper bag yang dibawanya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak memanjang.

"Sepertinya kita memang jodoh, ya. Di saat Mas Pram butuh dasi, saat itu juga aku membawanya," lanjut wanita itu dengan percaya diri. Lalu ingin memasangkan benda itu di leher Pram, tetapi sang pria menolak.

"Tidak usah, Mel." Pram mengangkat tangannya.

"Lho, kenapa, Mas? Ini cocok lho, sama kemeja kamu." Imel terlihat kecewa.

"Tidak perlu, biar Puspita yang ambilkan." Pram mengatakan itu seraya melirik dan memberi kode agar Puspita segera mengambilnya.

Tanpa menunggu waktu, Puspita berlalu menuju kamar masih dengan menggendong Prilly. Tak lama sudah kembali dengan dasi di tangannya. Namun, saat ingin memberikannya pada Pram, Imel dengan cepat merebutnya.

"Aku pasangkan ya, Mas." Imel berkata manja.

"Tidak usah, aku bisa sendiri." Pram meraih dasi itu, tetapi Imel dengan cepat menghindarkan.

"Biar aku yang pasang, Mas. Anggap aja ini sebagai balas budi karena dulu Mas Pram suka gendong aku," jawab Imel lagi. Tangannya langsung melingkarkan dasi di leher Pram dengan tidak tahu malu.

Puspita membuang muka melihat adegan itu, setelahnya berlalu begitu saja dari hadapan mereka. Namun, sebelumnya ia sempat menghujamkan tatapan tajam untuk Pram.

Puspita memilih kembali ke kamar Prily untuk memandikan anak itu. Ia bahkan tidak peduli apakah Pram memakan sarapan yang ia buat atau tidak, karena tadi ia melihat Imel juga membawa kotak makanan.

Rasanya, ia semakin lelah menjalani pernikahan ini. Entah bagaimana nasib pernikahan ini di masa depan. Pergi dari sini? Lalu, bagaimana dengan Prily?

Selesai memandikan dan mendandani Prily, seperti biasa Puspita langsung menyuapi bayi itu dengan bubur Manado, menu yang sama dengan Pram. Pram sendiri sudah tak terlihat, begitu juga Imel. Puspita menarik napas panjang. Mungkin mereka pergi bersama setelah sarapan bersama.

Sekali lagi, ia harus meyakinkan dirinya bahwa keberadaannya di sana hanya demi amanat Soraya untuk menjaga Prily.

Belum sampai lima menit ia membereskan sarapan Prily, anak itu tiba-tiba saja terbatuk-batuk. Puspita langsung memberikan minum dari botol khususnya. Namun, yang terjadi selanjutnya, Prily justru tersedak dan megap-megap. Bukan hanya itu, mata bayi dua tahun itu mendelik hingga hanya terlihat bagian putihnya saja. Tubuhnya kejang-kejang, seperti sedang melepaskan nyawa.

Mata Puspita melebar, sebelum akhirnya menjerit dan berlari mencari pertolongan.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Di tunggu kelanjutannya thor
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Waduh bakalan di salahkan gak nieh Puspita sama Pram...kasihan puspita
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
puspita bakal kena semprot d anggap tdk becus...makin penasaran lanjutan ny...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status