“Soraya, aku … aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” ucap Pram pelan. “Apa kamu sedang menghukumku karena aku telah mengingkari janji?” Kini kepala Pram menunduk di atas pusara itu. Pram menyanggupi untuk menjaga Prily dan mempertahankan Puspita. Pria itu kemudian teringat ucapan Soraya, bahwa jika memang Puspita pergi dari sana, Pram akan menyesal.Inikah yang maksud oleh mendiang istrinya tersebut?“Iya, Ra? Kamu marah dan sedang menghukumku?” Pram semakin larut.Angin yang bertiup seolah membawa suara lembut Soraya, membisikinya dengan lembut. “Tapi asal kamu tahu, Ra. Kalau aku melakukan ini, karena kesalahan Puspita sendiri. Dia sudah membuat Prily kita kesakitan, dan aku takut, Ra … aku takut ia menyusulmu. Meninggalkan aku sendiri di sini.”Pram menarik napas yang terasa berat. Seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Ia berusaha tidak menumpahkan air mata di sana meski hatinya sangat sakit.Sejujurnya, Pram merasa keputusannya benar. Bahwa ia tidak bisa mempertaha
“Jangan cari Puspita lagi.”Setelah mengatakan itu, Tika langsung meninggalkan Pram begitu saja. Ke kampusnya, sekaligus menemui Puspita.Pagi itu, suasana kantin kampus sudah mulai ramai dengan mahasiswa yang datang untuk sarapan. Bagi mereka yang tidak sempat sarapan di rumah, kantin adalah tujuan utama begitu tiba di kampus. Dari kejauhan, terlihat asap tipis mengepul dari bangunan tersebut.Di sana, Puspita sibuk melayani pesanan. Meski belum lama bekerja di sana, ia sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sehingga mudah baginya untuk beradaptasi. Ia cepat belajar ritme pekerjaan, termasuk tugas apa saja yang harus dikerjakan.Wajah gadis yang kedua ujung kerudungnya diikat di belakang leher itu tampak tenang, meski sebenarnya pikirannya sedang penuh. Ia sedang sibuk mengaduk kopi pesanan saat Tika datang mendekatinya tanpa suara dan bersandar di meja di hadapan Puspita.“Dia datang lagi tadi,” ujar Tika sambil melipat tangan di dada.Puspita menoleh sebentar, tapi tak lama
Puspita tertegun. Kalimat Pram seketika menghantam hatinya. Wajahnya mendadak pias, namun ia berusaha menyembunyikannya.“Prily sudah tidak mau makan. Tubuhnya demam. Ia menangis terus, ia hanya ingin kamu.”Lanjutan kalimat Pramudya makin mengiris hati Puspita. Wanita itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Di kepalanya langsung terbayang tubuh mungil Prily terbaring lemah. Bohong jika Puspita baik-baik saja setelah mendengar kabar itu. Setengah jiwanya bahkan terasa dicerabut saat dipisahkan dari anak itu. Prily bukan hanya anak sambung atau anak asuh baginya. Tidak peduli anggapan orang lain, bagi Puspita, Prily sudah seperti anak kandungnya.Ia hanya tidak mengandung dan melahirkan saja, selebihnya setelah lahir, ia yang mengurusi semuanya karena Soraya sudah sakit-sakitan semenjak melahirkan. Jika Prily sakit, tentu saja ia ikut sakit.Pramudya yang melihat perubahan mimik wajah Puspita sangat yakin jika wanita itu tersentuh hatinya. Karenanya ia yakin Puspita akan mau menemui Prily.
Pramudya bergegas pulang.Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar sebelum turun dari mobil. Pikirannya masih berkecamuk, dipenuhi oleh segala hal yang membebani. Entah kenapa akhir-akhir ini ia menjadi lebih sensitif, terutama jika menyangkut Puspita.Dulu, saat masih menjadi istrinya, Puspita akan menyambutnya setiap kali pulang ke rumah seperti saat ini. Ia selalu bergegas membawakan tas kerja Pramudya setiap kali hendak berangkat atau baru tiba dari kantor, sebagaimana yang diperintahkan oleh Soraya.Bahkan setelah Soraya tiada, Puspita tetap melakukannya, menjalankan tugas seorang istri dengan lebih serius. Mulai dari menyiapkan pakaian hingga makanan, semua ditunaikan dengan baik. Meskipun Pramudya tidak pernah memperhatikannya, Puspita tetap menjalankan tugasnya tanpa cela.Pram menghela napas berat sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Kini, tidak ada lagi yang menyambutnya setiap kali ia pulang.Pikirannya semakin kacau sejak bertemu Puspita dan Haidar tadi. Ia masih sulit
Pramudya memasuki kamarnya yang terasa sunyi senyap setelah memastikan Prily tidur malam ini. Pria itu langsung menuju kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air hangat, berharap bisa merilekskan jiwa raganya yang terasa lelah.Dulu, ia pikir setelah kepergian Puspita dari rumahnya, hidupnya akan tenang dan damai tanpa beban tanggung jawab karena mengungkung seorang wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Jujur, setelah kepergian Soraya, Pram merasa hidupnya berat. Selain karena harus kehilangan istri yang dicintainya, ia juga harus mengemban amanat Soraya untuk menjaga Puspita sebagai istrinya seumur hidupnya.Baginya, itu sangat berat, karena ia sama sekali tidak mencintai Puspita. Apalagi saat mendengar bahwa Puspita memang menyasar pria kaya.Hingga puncaknya, kesalahan fatal Puspita yang hampir merenggut nyawa Prily menjadi alasan kuat baginya untuk melepaskan wanita itu agar hidupnya lebih tenang. Namun siapa sangka, setelah melepaskan istri keduanya itu, hidupnya malah semak
Saat memasuki gang menuju kost Puspita, Pram melihat Tika berjalan terburu-buru. Pram meminta sopir memelankan laju mobil. Ia membuka kaca jendela di sebelahnya. Lalu saat Tika melintas, Pram langsung menyapa.“Buru-buru?” Pram mulai pendekatan. Mungkin gadis seperti Tika yang terlampau cuek bisa ditarik ulur dalam mendekatinya.Tika hanya melirik sebentar pria yang berkata dari mobil pelan itu. Ia tampak tidak terkejut dan langkahnya tetap cepat menuju halte.“Kalau kamu memang sedang buru-buru, saya tidak keberatan memberikan tumpangan,” ujar Pram lagi.Tika yang mendengar itu menghentikan langkahnya sejenak, menatap pria yang duduk di samping sopir itu.“Anda mau mencari Puspita, kan? Kenapa tidak dilanjutkan saja ke sana? Malah mengikuti saya” tanya Tika dengan bibir mencibir.“Memangnya Puspita ada di rumah?” Pram antusias. Mungkin memang ia sedang beruntung jika–“Nggak ada sih, udah berangkat dari subuh malah,” ucap tika cuek sebelum kembali melangkah.Pram menghembuskan napas
“Silakan, Pak.” Puspita menaruh segelas kopi dengan sedikit gula kesukaan Pram seperti yang biasa ia sajikan sewaktu di rumah pria itu. Setelahnya, ia berniat untuk masuk. Namun, Pram menahannya.“Hei, tunggu! Aku mau memesan makanan juga, kenapa kau pergi begitu saja?” Ucapan Pram mengurungkan langkah Puspita.Wanita itu berbalik setelah menghela napas diam-diam. “Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?” Puspita mencoba bersikap ramah. Bagaimanapun ia harus professional. Pram datang sebagai pembeli.“Saya mau pesan makanan juga. Baru pulang kerja. Capek.”“Silakan, Pak. Mau pesan apa?” Puspita terus mencoba bersikap normal walau hatinya mulai terusik. Ia yakin jika kedatangan Pram ke sana bukan sekadar mau makan. Jika memang lapar, kenapa harus jauh-jauh datang ke sana? Bukannya sepanjang perjalanan dari kantor ke rumahnya ada banyak restoran?Apa sebenarnya yang pria itu inginkan darinya?“Ada menu apa saja di sini?” tanya Pram datar.“Ada banyak, Pak. Silakan bisa dilihat dari
“Tunggu–” Pram tersenyum miring saat akhirnya Puspita bereaksi. Tampaknya, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.Meskipun ia harus sedikit mengancam.***Puspita menarik napas sebelum melangkah menghampiri pria yang menunggu dekat mobil mewahnya. Ya, ia akhirnya setuju untuk bicara dengan Pramudya setelah selesai bekerja. Bukan semata karena ancamannya, tapi mungkin dengan memberi waktu bicara, pria itu tidak akan mengganggunya lagi.Sebenarnya, kalau dipikir lagi, status janda itu bukan masalah untuknya, toh ia belum pernah disentuh, ia masih sama sebelum atau sesudah Pram menikahinya. Mereka juga belum menikah secara resmi, hanya saja perspektif orang tentang status itu kadang negatif.Lagi pula, Puspita bisa bertahan dari sikap dingin dan tuduhan serta cemooh Pram. Seharusnya ia juga bisa bertahan jika memang semua orang menudingnya yang tidak-tidak. Namun, sudahlah. Biar Puspita tidak melihat pria yang menjadi sakit hatinya ini lagi.“Selamat sore, Pak.” Puspita menyapa leb
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me
Puspita memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan sesaat setelah pintu kamarnya tertutup. Tadi, Prily memeluk pinggangnya erat. Tidak mau melepaskannya, tetapi Pram terus membujuk anak itu hingga akhirnya berhasil membawanya keluar dari sana.Entahlah, kenapa situasi kembali seperti ini. Padahal hidupnya sudah terasa tenang meski belum sepenuhnya pulih. Bersama Pram dan Prily ia bahagia di sini meski sedang menjalani pengobatan. Siapa sangka kehadiran Haidar membuat semuanya berbeda.Puspita memijat pelipisnya. Mencoba mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kontak dengan pemuda satu kampungnya itu. Benar-benar tidak ada perpisahan di antara mereka, hingga ia sempat masih berharap.Lalu setelah lama tidak ada kabar dari pemuda itulah ia mulai membuka hati untuk Pram. Saat itu ia mengira orang tua Haidar tidak menyetujui hubungan mereka karena dirinya hanya seorang wanita miskin, janda pula. Tentu saja Haidar yang anak pemilik perkebunan dan pabrik teh di sana diha
Tidak ada percakapan apa pun selama Pram, Puspita, dan Prily kembali menuju apartemen. Pram hanya fokus mendorong kursi roda istrinya. Kehangatan yang tadi menyelimuti, mendadak raib tak berbekas. Bahkan Prily yang biasanya banyak bertanya, mendadak diam melihat kedua orang tuanya saling membungkam.Begitu memasuki apartemen, suasana terasa semakin canggung. Pram yang biasanya langsung menawarkan sesuatu pada Puspita, kali ini hanya berdiri di depan pintu dengan tangan masih mencengkeram handel kursi roda istrinya.Puspita sendiri menunduk dalam, wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seolah telah berjalan jauh. Kedua tangannya bertaut erat di pangkuannya, seakan sedang berusaha meredam gejolak di dadanya.Prily, yang biasanya berceloteh riang tentang apa pun yang ia lihat di luar, kini hanya menatap bergantian antara ayah dan ibunya. Seolah bisa merasakan ketegangan yang memenuhi udara, bocah itu akhirnya memilih memeluk boneka kelinci kesayangannya dan berlari kecil ke kamarnya untu