Pramudya bergegas pulang.Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar sebelum turun dari mobil. Pikirannya masih berkecamuk, dipenuhi oleh segala hal yang membebani. Entah kenapa akhir-akhir ini ia menjadi lebih sensitif, terutama jika menyangkut Puspita.Dulu, saat masih menjadi istrinya, Puspita akan menyambutnya setiap kali pulang ke rumah seperti saat ini. Ia selalu bergegas membawakan tas kerja Pramudya setiap kali hendak berangkat atau baru tiba dari kantor, sebagaimana yang diperintahkan oleh Soraya.Bahkan setelah Soraya tiada, Puspita tetap melakukannya, menjalankan tugas seorang istri dengan lebih serius. Mulai dari menyiapkan pakaian hingga makanan, semua ditunaikan dengan baik. Meskipun Pramudya tidak pernah memperhatikannya, Puspita tetap menjalankan tugasnya tanpa cela.Pram menghela napas berat sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Kini, tidak ada lagi yang menyambutnya setiap kali ia pulang.Pikirannya semakin kacau sejak bertemu Puspita dan Haidar tadi. Ia masih sulit
Pramudya memasuki kamarnya yang terasa sunyi senyap setelah memastikan Prily tidur malam ini. Pria itu langsung menuju kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air hangat, berharap bisa merilekskan jiwa raganya yang terasa lelah.Dulu, ia pikir setelah kepergian Puspita dari rumahnya, hidupnya akan tenang dan damai tanpa beban tanggung jawab karena mengungkung seorang wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Jujur, setelah kepergian Soraya, Pram merasa hidupnya berat. Selain karena harus kehilangan istri yang dicintainya, ia juga harus mengemban amanat Soraya untuk menjaga Puspita sebagai istrinya seumur hidupnya.Baginya, itu sangat berat, karena ia sama sekali tidak mencintai Puspita. Apalagi saat mendengar bahwa Puspita memang menyasar pria kaya.Hingga puncaknya, kesalahan fatal Puspita yang hampir merenggut nyawa Prily menjadi alasan kuat baginya untuk melepaskan wanita itu agar hidupnya lebih tenang. Namun siapa sangka, setelah melepaskan istri keduanya itu, hidupnya malah semak
Saat memasuki gang menuju kost Puspita, Pram melihat Tika berjalan terburu-buru. Pram meminta sopir memelankan laju mobil. Ia membuka kaca jendela di sebelahnya. Lalu saat Tika melintas, Pram langsung menyapa.“Buru-buru?” Pram mulai pendekatan. Mungkin gadis seperti Tika yang terlampau cuek bisa ditarik ulur dalam mendekatinya.Tika hanya melirik sebentar pria yang berkata dari mobil pelan itu. Ia tampak tidak terkejut dan langkahnya tetap cepat menuju halte.“Kalau kamu memang sedang buru-buru, saya tidak keberatan memberikan tumpangan,” ujar Pram lagi.Tika yang mendengar itu menghentikan langkahnya sejenak, menatap pria yang duduk di samping sopir itu.“Anda mau mencari Puspita, kan? Kenapa tidak dilanjutkan saja ke sana? Malah mengikuti saya” tanya Tika dengan bibir mencibir.“Memangnya Puspita ada di rumah?” Pram antusias. Mungkin memang ia sedang beruntung jika–“Nggak ada sih, udah berangkat dari subuh malah,” ucap tika cuek sebelum kembali melangkah.Pram menghembuskan napas
“Silakan, Pak.” Puspita menaruh segelas kopi dengan sedikit gula kesukaan Pram seperti yang biasa ia sajikan sewaktu di rumah pria itu. Setelahnya, ia berniat untuk masuk. Namun, Pram menahannya.“Hei, tunggu! Aku mau memesan makanan juga, kenapa kau pergi begitu saja?” Ucapan Pram mengurungkan langkah Puspita.Wanita itu berbalik setelah menghela napas diam-diam. “Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?” Puspita mencoba bersikap ramah. Bagaimanapun ia harus professional. Pram datang sebagai pembeli.“Saya mau pesan makanan juga. Baru pulang kerja. Capek.”“Silakan, Pak. Mau pesan apa?” Puspita terus mencoba bersikap normal walau hatinya mulai terusik. Ia yakin jika kedatangan Pram ke sana bukan sekadar mau makan. Jika memang lapar, kenapa harus jauh-jauh datang ke sana? Bukannya sepanjang perjalanan dari kantor ke rumahnya ada banyak restoran?Apa sebenarnya yang pria itu inginkan darinya?“Ada menu apa saja di sini?” tanya Pram datar.“Ada banyak, Pak. Silakan bisa dilihat dari
“Tunggu–” Pram tersenyum miring saat akhirnya Puspita bereaksi. Tampaknya, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.Meskipun ia harus sedikit mengancam.***Puspita menarik napas sebelum melangkah menghampiri pria yang menunggu dekat mobil mewahnya. Ya, ia akhirnya setuju untuk bicara dengan Pramudya setelah selesai bekerja. Bukan semata karena ancamannya, tapi mungkin dengan memberi waktu bicara, pria itu tidak akan mengganggunya lagi.Sebenarnya, kalau dipikir lagi, status janda itu bukan masalah untuknya, toh ia belum pernah disentuh, ia masih sama sebelum atau sesudah Pram menikahinya. Mereka juga belum menikah secara resmi, hanya saja perspektif orang tentang status itu kadang negatif.Lagi pula, Puspita bisa bertahan dari sikap dingin dan tuduhan serta cemooh Pram. Seharusnya ia juga bisa bertahan jika memang semua orang menudingnya yang tidak-tidak. Namun, sudahlah. Biar Puspita tidak melihat pria yang menjadi sakit hatinya ini lagi.“Selamat sore, Pak.” Puspita menyapa leb
Puspita menatap lurus ke depan, sementara di sebelahnya, Haidar turut diam.Pria itu sempat menyaksikan Puspita bicara dengan Pram, dan rasanya tidak mungkin jika hanya pria itu hanya sekadar majikan Puspita. Meski penasaran, ia sebenarnya tidak ingin ikut campur.Namun, pada akhirnya, Haidar tidak tahan untuk tidak bertanya karena melihat kondisi Puspita. “Siapa sebenarnya dia, Pita?” Nada suara Haidar terdengar khawatir. Pria itu melirik sekilas pada wanita yang duduk di sampingnya. “Maaf jika Akang terkesan ikut campur, Pita. Tapi setiap kali bertemu pria itu … kamu tidak terlihat baik-baik saja.”Tidak ada jawaban dari Puspita. Sejak masuk mobil, gadis itu terus membisu dengan wajah yang memerah.“Mungkin Akang tidak bisa memberikan solusi atas apa yang terjadi antara kamu dan dia, tapi jika hanya menjadi pendengar, Akang pasti bisa. Siapa tahu setelah bercerita, kamu merasa lebih baik.” Kata-kata Haidar lembut dan menenangkan, tapi belum sanggup membuat Puspita bersuara. Haidar
“Jika ada pemuda datang dalam waktu dekat untuk melamarmu, apa kamu akan menerimanya, Pita?” “Kenapa Akang bertanya begitu?” tanya Puspita tanpa menatap. Perasaannya langsung tak karuan.“Tidak apa-apa, namanya gadis single kan, cepat atau lambat pasti didatangi pemuda untuk dilamar. Nah, kalau Pita ada yang lamar dalam waktu dekat, bagaimana?”Lagi Puspita menelan ludah. Gadis single? Ia bahkan pernah menikah walaupun hanya siri dan formalitas saja. Tidak tahu Haidar kalau ia seorang janda.“Aku … belum memikirkan itu, Kang. Masih ingin meraih cita-cita. Masih ingin kuliah dan ada harapan yang ingin dicapai.” Puspita menjawab diplomatis.“Lho, apa hubungannya dilamar sama meraih cita-cita?”“Maksudnya, Pita belum kepikiran untuk itu. Masih ingin fokus belajar yang terlambat ini.”Tidak ada lagi obrolan setelah itu hingga mereka tiba di depan gang menuju rumah kost. Puspita merasa suasana malah menjadi canggung, padahal biasanya Haidar tidak pernah kehabisan topik obrolan yang selalu
“Buktinya, Prily bahkan seolah tidak bisa hidup tanpa dia.”Pram masih tertegun, mencoba mencerna kata-kata Imel. Guna-guna? Dukun? Pram merenung cukup lama dengan tatapan kosong. Hingga Imel berbisik di dekat daun telinganya.“Kalau Mas mau, aku bisa antar ke orang pintar untuk mencari penangkal guna-guna itu.”Setelah beberapa saat, Pram menggeleng pelan, melepaskan diri dari renungannya. "Enggak, Mel. Aku nggak percaya hal-hal begitu. Prily hanya… dia masih kaget kehilangan dua orang yang sangat penting baginya. Pertama, ibunya, Soraya. Sekarang, Puspita pun meninggalkannya. Aku yakin Prily hanya depresi. Nanti aku akan bawa dia ke dokter, aku ingin konsultasi.”Imel terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ekspresi kecewa tampak di wajahnya, tetapi ia segera menutupi kekecewaan itu dengan senyum tipis. “Ya, sudahlah, Mas. Aku cuma kasihan saja, sudah terlalu lama melihat Prily seperti ini,” ujarnya lembut.Pram mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung Prily yang mulai terl
Puspita menoleh ke arah Farah dengan tatapan penuh tanya. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya tegang.“Apa maksudmu?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar.Farah menarik napas panjang, seolah tengah menyiapkan dirinya untuk menceritakan sesuatu yang berat. “Pak Pram tidak pernah benar-benar meninggalkan Ibu. Sejak awal, beliau meminta saya untuk selalu mengawasi keadaan Ibu. Beliau ingin tahu setiap detail perkembangan Ibu selama di sini. Setiap saat.”Puspita mengerjap, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menoleh ke arah Pram, mencari jawaban di wajah pria itu. Namun, Pram tetap diam. Hanya matanya yang berbicara, menyiratkan sesuatu yang sulit Puspita pahami.“Pak Pram memintaku untuk selalu mengirim kabar tentang kondisi Ibu,” lanjut Farah. “Mulai dari kondisi kesehatan Ibu, emosi Ibu, bahkan seberapa besar Ibu merasa kesepian. Setiap hari, aku mengabarkan semuanya.”Puspita merasakan dadanya mulai sesak. Tangannya mengepal di atas selimutnya, berusaha keras memah
Puspita masih membeku di tempatnya, menatap sosok yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jantungnya berdetak kencang, dan dalam kepalanya, berbagai pertanyaan berdesakan tanpa bisa diungkapkan.Pram ada di sini.Pram benar-benar ada di sini.Ini bukan ilusi. Ia tidak sedang bermimpi.Dunia terasa mendadak hening di telinga Puspita. Tidak ada suara apa pun selain isi kepalanya yang sangat berisik.Pram berjalan mendekat. Tatapannya masih untuknya. Tidak berpaling sedikit pun. Sang pria berhenti tepat satu langkah di depannya.Entah apa ada instruksi sebelumnya, dokter dan paramedis lainnya berpamitan, meninggalkan dirinya, Pram, dan juga Farah di sana.Entah apa lagi yang dokter katakan sebelum pergi, Puspita sama sekali tidak tahu. Ia tidak mendengar apa pun saat ini.Pram masih menatapnya dengan tatapan yang semakin jelas dalam jarak dekat. Jelas penuh arti. Hati Puspita yang mendadak nyeri memerintahkan matanya menjadi panas menampung air mata. Saat tangan Pram terulur in
Puspita membuka matanya perlahan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit membuatnya menyipit. Tubuhnya terasa lemas, tapi ada kelegaan yang menghangatkan dadanya. Ia masih hidup. Ia telah berhasil melewati ini meski tanpa pendampingan seseorang yang diharapkannya. Meski juga belum tahu hasilnya. Suara alat medis berbunyi pelan di sampingnya, memberikan ritme tenang yang mengingatkannya bahwa ia masih di dunia ini. Sesuatu yang lembut menyentuh tangannya, hangat dan penuh perhatian."Bu …?"Suara Farah.Puspita menoleh sedikit, meski pergerakannya masih terbatas. Perawat itu tersenyum lega, matanya berkaca-kaca. “Ibu hebat. Ibu melewati ini semua dengan sangat tenang. Saya bangga sama Ibu."Puspita mencoba tersenyum, tapi wajahnya masih terasa kaku. Ada perban yang membungkus sebagian besar wajahnya, menghalangi ekspresi yang biasa ia tunjukkan."Sudah berapa lama aku tertidur?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Farah mengusap tangannya lembut. "Hampir dua hari. Operasinya berjalan
Sejak saat itu, Puspita berusaha menyingkirkan semua pikiran yang bisa menghambat proses penyembuhannya. Ia ingin fokus pada kesehatannya, ingin benar-benar sembuh sebelum kembali ke Indonesia.Termasuk urusan pernikahannya dengan Pram. Bukan tak ada niatan memperbaiki apa yang sudah retak, toh rasa bersalah dan cintanya masih sangat besar. Sebesar harapannya untuk bisa kembali bersama.Hanya saja, untuk saat ini, ia benar-benar ingin fokus menjalani pengobatan agar segera sembuh dan bisa kembali ke tanah air dalam kondisi benar-benar pulih. Toh, kalau memang masih berjodoh, Tuhan akan membuka jalan untuk mereka. Namun, jika Pram sudah lelah dengan dirinya dan ingin melepasnya, ia juga tidak akan memaksa.Pram berhak bahagia dengan pilihannya. Mungkin kelak ia akan menemukan wanita yang benar-benar mencintainya dan ia butuhkan, bukan hanya sebagai pendamping, tapi juga sebagai ibu sambung yang baik untuk Prily.Puspita sudah berada di titik pasrah. Hanya bisa mendoakan kebaikan mereka
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
Puspita menggenggam ponselnya erat, berulang kali mencoba menghubungi Prabu. Namun, hasilnya tetap sama—tidak bisa dihubungi. Ia berusaha mengatur napas, tetapi dadanya terasa sesak. Pikirannya berkecamuk, menebak-nebak apa yang sedang terjadi di tanah air.Oma masuk rumah sakit? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tidak tahu apa pun? Kenapa Prabu tidak menjawab teleponnya?Ia ingin pulang. Ia ingin segera kembali ke tanah air, ke keluarganya. Namun, tubuhnya masih lemah. Kakinya belum bisa digerakkan dengan baik. Luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. Bagaimana mungkin ia kembali dalam keadaan seperti ini? Bahkan untuk berdiri pun masih terasa sulit.Air matanya mengalir deras, jatuh ke pangkuannya. Kepalanya mulai berdenyut karena tekanan yang ia rasakan semakin berat. Ia ingin bertanya kepada Opa, tapi pria itu pasti sedang sibuk menjaga Oma di rumah sakit. Tidak mungkin ia mengganggu.Ketidakberdayaan itu menusuknya dari segala arah. Ia merasa sendirian, terjebak di negeri o
Puspita duduk di kursi rodanya dengan tatapan kosong. Ruang terapi di Mount Elizabeth Hospital yang biasanya penuh semangat kini terasa dingin dan sepi. Sari berdiri di sisinya, memberikan dukungan moral, tetapi itu tidak cukup. Biasanya, Pram yang ada di sana. Biasanya, Pram yang menggenggam tangannya sebelum terapi dimulai, memberikan kata-kata penyemangat dengan suara lembutnya.Hari ini, Pram tidak ada.Puspita menggigit bibirnya, menahan isakan yang mengancam pecah. Sejak Pram pergi bersama Prily kemarin, ia belum sekali pun mendengar kabarnya. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Pram benar-benar menghilang dari kehidupannya dalam sekejap. Dan itu sangat menyakitkan."Bu, kita mulai, ya?" sapa terapis yang sudah bersiap membantunya menjalani sesi latihan hari ini.Puspita hanya mengangguk lemah. Ia memaksa tubuhnya untuk fokus, tetapi hatinya berantakan. Setiap gerakan yang biasanya ia lakukan dengan penuh usaha kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika kakinya mencoba berg
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya