Saat memasuki gang menuju kost Puspita, Pram melihat Tika berjalan terburu-buru. Pram meminta sopir memelankan laju mobil. Ia membuka kaca jendela di sebelahnya. Lalu saat Tika melintas, Pram langsung menyapa.“Buru-buru?” Pram mulai pendekatan. Mungkin gadis seperti Tika yang terlampau cuek bisa ditarik ulur dalam mendekatinya.Tika hanya melirik sebentar pria yang berkata dari mobil pelan itu. Ia tampak tidak terkejut dan langkahnya tetap cepat menuju halte.“Kalau kamu memang sedang buru-buru, saya tidak keberatan memberikan tumpangan,” ujar Pram lagi.Tika yang mendengar itu menghentikan langkahnya sejenak, menatap pria yang duduk di samping sopir itu.“Anda mau mencari Puspita, kan? Kenapa tidak dilanjutkan saja ke sana? Malah mengikuti saya” tanya Tika dengan bibir mencibir.“Memangnya Puspita ada di rumah?” Pram antusias. Mungkin memang ia sedang beruntung jika–“Nggak ada sih, udah berangkat dari subuh malah,” ucap tika cuek sebelum kembali melangkah.Pram menghembuskan napas
“Silakan, Pak.” Puspita menaruh segelas kopi dengan sedikit gula kesukaan Pram seperti yang biasa ia sajikan sewaktu di rumah pria itu. Setelahnya, ia berniat untuk masuk. Namun, Pram menahannya.“Hei, tunggu! Aku mau memesan makanan juga, kenapa kau pergi begitu saja?” Ucapan Pram mengurungkan langkah Puspita.Wanita itu berbalik setelah menghela napas diam-diam. “Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?” Puspita mencoba bersikap ramah. Bagaimanapun ia harus professional. Pram datang sebagai pembeli.“Saya mau pesan makanan juga. Baru pulang kerja. Capek.”“Silakan, Pak. Mau pesan apa?” Puspita terus mencoba bersikap normal walau hatinya mulai terusik. Ia yakin jika kedatangan Pram ke sana bukan sekadar mau makan. Jika memang lapar, kenapa harus jauh-jauh datang ke sana? Bukannya sepanjang perjalanan dari kantor ke rumahnya ada banyak restoran?Apa sebenarnya yang pria itu inginkan darinya?“Ada menu apa saja di sini?” tanya Pram datar.“Ada banyak, Pak. Silakan bisa dilihat dari
“Tunggu–” Pram tersenyum miring saat akhirnya Puspita bereaksi. Tampaknya, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.Meskipun ia harus sedikit mengancam.***Puspita menarik napas sebelum melangkah menghampiri pria yang menunggu dekat mobil mewahnya. Ya, ia akhirnya setuju untuk bicara dengan Pramudya setelah selesai bekerja. Bukan semata karena ancamannya, tapi mungkin dengan memberi waktu bicara, pria itu tidak akan mengganggunya lagi.Sebenarnya, kalau dipikir lagi, status janda itu bukan masalah untuknya, toh ia belum pernah disentuh, ia masih sama sebelum atau sesudah Pram menikahinya. Mereka juga belum menikah secara resmi, hanya saja perspektif orang tentang status itu kadang negatif.Lagi pula, Puspita bisa bertahan dari sikap dingin dan tuduhan serta cemooh Pram. Seharusnya ia juga bisa bertahan jika memang semua orang menudingnya yang tidak-tidak. Namun, sudahlah. Biar Puspita tidak melihat pria yang menjadi sakit hatinya ini lagi.“Selamat sore, Pak.” Puspita menyapa leb
Puspita menatap lurus ke depan, sementara di sebelahnya, Haidar turut diam.Pria itu sempat menyaksikan Puspita bicara dengan Pram, dan rasanya tidak mungkin jika hanya pria itu hanya sekadar majikan Puspita. Meski penasaran, ia sebenarnya tidak ingin ikut campur.Namun, pada akhirnya, Haidar tidak tahan untuk tidak bertanya karena melihat kondisi Puspita. “Siapa sebenarnya dia, Pita?” Nada suara Haidar terdengar khawatir. Pria itu melirik sekilas pada wanita yang duduk di sampingnya. “Maaf jika Akang terkesan ikut campur, Pita. Tapi setiap kali bertemu pria itu … kamu tidak terlihat baik-baik saja.”Tidak ada jawaban dari Puspita. Sejak masuk mobil, gadis itu terus membisu dengan wajah yang memerah.“Mungkin Akang tidak bisa memberikan solusi atas apa yang terjadi antara kamu dan dia, tapi jika hanya menjadi pendengar, Akang pasti bisa. Siapa tahu setelah bercerita, kamu merasa lebih baik.” Kata-kata Haidar lembut dan menenangkan, tapi belum sanggup membuat Puspita bersuara. Haidar
“Jika ada pemuda datang dalam waktu dekat untuk melamarmu, apa kamu akan menerimanya, Pita?” “Kenapa Akang bertanya begitu?” tanya Puspita tanpa menatap. Perasaannya langsung tak karuan.“Tidak apa-apa, namanya gadis single kan, cepat atau lambat pasti didatangi pemuda untuk dilamar. Nah, kalau Pita ada yang lamar dalam waktu dekat, bagaimana?”Lagi Puspita menelan ludah. Gadis single? Ia bahkan pernah menikah walaupun hanya siri dan formalitas saja. Tidak tahu Haidar kalau ia seorang janda.“Aku … belum memikirkan itu, Kang. Masih ingin meraih cita-cita. Masih ingin kuliah dan ada harapan yang ingin dicapai.” Puspita menjawab diplomatis.“Lho, apa hubungannya dilamar sama meraih cita-cita?”“Maksudnya, Pita belum kepikiran untuk itu. Masih ingin fokus belajar yang terlambat ini.”Tidak ada lagi obrolan setelah itu hingga mereka tiba di depan gang menuju rumah kost. Puspita merasa suasana malah menjadi canggung, padahal biasanya Haidar tidak pernah kehabisan topik obrolan yang selalu
“Buktinya, Prily bahkan seolah tidak bisa hidup tanpa dia.”Pram masih tertegun, mencoba mencerna kata-kata Imel. Guna-guna? Dukun? Pram merenung cukup lama dengan tatapan kosong. Hingga Imel berbisik di dekat daun telinganya.“Kalau Mas mau, aku bisa antar ke orang pintar untuk mencari penangkal guna-guna itu.”Setelah beberapa saat, Pram menggeleng pelan, melepaskan diri dari renungannya. "Enggak, Mel. Aku nggak percaya hal-hal begitu. Prily hanya… dia masih kaget kehilangan dua orang yang sangat penting baginya. Pertama, ibunya, Soraya. Sekarang, Puspita pun meninggalkannya. Aku yakin Prily hanya depresi. Nanti aku akan bawa dia ke dokter, aku ingin konsultasi.”Imel terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ekspresi kecewa tampak di wajahnya, tetapi ia segera menutupi kekecewaan itu dengan senyum tipis. “Ya, sudahlah, Mas. Aku cuma kasihan saja, sudah terlalu lama melihat Prily seperti ini,” ujarnya lembut.Pram mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung Prily yang mulai terl
“Apa kalian berniat melangkah lebih jauh?”Puspita mengernyit. “Maksudnya?” “Ah, sudahlah.” Tika menghela napas, batal menanya-nanyai sepupunya. “Oh, ya. Besok kamu berangkat jam berapa? Sama Kang Haidar kan, ya? Aku nebeng, ah. Tommy lagi sakit, nggak kuliah. Aku males naik bis.”“Aku juga berangkat naik ojek besok. Kang Haidar pulang kampung.”“Pulang kampung?”“Ya.”“Tahu gitu aku ikut pulang, biar nggak usah keluar ongkos.”Puspita heran. “Memangnya kamu libur kuliah?”“Nggak, sih. Bolos aja gitu, palingan kan, Kang Haidar juga sehari dua hari di kampung.” Tika mengangkat bahu. Tidak terlintas dalam kepalanya kalau kalimatnya terkesan menyia-nyiakan kesempatan kuliah yang dia miliki.Sesuatu yang harus Puspita usahakan mati-matian.Namun, Puspita tidak menanggapi. Gadis itu hanya mengedikkan bahunya dengan pandangan tetap fokus ke buku.“Oh, ya. Satu lagi.” Tika kembali berujar. “Dengar-dengar sih orang tua sama kakak-kakak Kang Haidar udah nyiapin jodoh buat dia karena dia nggak
Imel tertunduk dengan pundak berguncang, menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya pecah di tengah keheningan yang melingkupinya bersama Pram. Setelah melihat kondisi Prily yang katanya muntah-muntah padahal hanya gumoh, Pram kembali ke kamar. Ternyata Imel masih di sana, menunggunya.“Mas Pram … maafkan aku,” gumamnya lirih. Suaranya serak menahan tangis yang masih belum sepenuhnya hilang. “Aku cuma kasihan sama kamu, Mas Pram. Aku cuma ingin jadi orang yang ada saat kamu butuhkan. Aku pikir kita akan menikah seperti keinginan Bude Hasna, makanya aku ingin menemani kamu sejak dini.”Imel terisak lagi. Ia tahu Pram sangat marah hingga tak berkata-kata sejak tadi. Imel sangat mengerti kebiasaan pria itu sejak mereka kecil dulu; jika Pram sedang marah padanya, ia memilih diam. Saat ia tanyakan alasannya, Pram mengaku takut menyakiti hatinya. Pram memang pria baik, bahkan saat marah tetap memikirkan perasaannya.Pemikiran itu juga yang ada dalam kepala Imel saat ini. Pram hanya marah
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu
“Aku kembalikan kamu ke agensi. Sejak hari ini kamu tidak bekerja di sini lagi.”Kalimat itu meluncur dari pria yang sejak tadi berdiri di teras, menunggu Puspita dan Joseph keluar. Sikapnya dingin, tatapannya tajam, dan ucapannya tak terbantah.Kalimat itu langsung meluncur dari bibir sang pria bahkan saat kaki Puspita dan pengawal yang menyertainya baru saja turun dari mobil.Kedua bola mata Puspita serta-merta melebar. Ia melirik lelaki tinggi tegap yang berdiri di samping pintu mobil. Lelaki yang diam saja tanpa ekspresi mendengar ucapan Pram, meskipun tahu dirinya dipecat.Puspita menggeleng tegas. Suaminya memecat Joseph begitu saja di saat mereka baru saja tiba. Tidak ada interogasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, bahkan mereka tidak diberi waktu sekadar untuk menghirup udara di luar mobil. Pram langsung menyambut dengan pemecatan itu.Puspita ingin bertanya, tetapi Pram sudah masuk ke rumah hanya dalam waktu kedipan mata. Dengan berlari-lari kecil, wanita itu menyusul
“Kamu tidak apa-apa?” Pertanyaan lembut penuh kekhawatiran meluncur dari bibir pria yang menahan tubuh seorang wanita. Namun, wanita dalam pelukan itu gegas melepaskan diri setelah beberapa saat terpaku.Puspita—wanita itu—buru-buru mundur, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Jantungnya yang mendadak bertalu cepat berusaha ia kendalikan. Ini tidak boleh terjadi, Prabu tidak boleh menyentuhnya. tapi semua di luar kendalinya. Semua ini hanya kecelakaan. Prabu menolongnya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Prabu ada di sana?Ah, ya. Pria itu pasti mencari Tika.“Maaf, tapi apa yang terjadi di sini?” tanya Prabu karena melihat Puspita menepuk bajunya seolah telah bersentuhan dengan debu. “Abang ….” Rengekan manja tiba-tiba terdengar, dan itu tentu saja berasal dari mulut Tika. Gadis yang semula amarahnya meluap-luap itu kini berubah ekspresi. Ia mendekati Prabu dengan mimik sedih, seolah tertindas.“Dia menyakitiku, Bang … istrinya Pak Pram ini berusaha menindasku,” adunya dengan suara
Puspita meringis. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan Tika yang tubuhnya penuh kemarahan. Kelembutan dan keanggunan yang sejak tadi disuguhkan gadis itu mendadak sirna, berganti dengan keberingasannya yang menakutkan.Tangannya menekan salah satu tangan Puspita di dinding, sementara tangan lainnya menunjuk wajah Puspita dengan telunjuk bergetar.“Ja-ngan sekali-kali berpikir untuk ikut campur urusanku!” desis gadis itu dengan penuh penekanan. Suaranya persis desisan ular berbisa. Tidak keras, tidak jelas, tapi sangat menakutkan.Puspita memejam. Bukan karena takut, tapi liur Tika berhamburan mengenai wajahnya.“Kamu dengar?” Suara Tika kini disertai tangannya yang mencengkeram dagu Puspita hingga wanita berhijab itu membuka matanya.“Berhenti menjadi orang menyebalkan yang sok suci! Apa pun yang aku lakukan, itu bukan urusanmu! Jadi, urus saja hidupmu sendiri bersama suami hasil rampasan itu. Bukankah kamu sudah bahagia?”Puspita menghempaskan tangan Tika yang mencengkeram daguny
[Sudah sampai mana?][Jangan lama-lama, ya. Prily pasti nungguin kamu.]Pram mengirim dua pesan langsung ke nomor istrinya. Tadi Puspita meminta izin untuk ke supermarket karena ada yang harus dibelinya.Sebenarnya, Pram keberatan membiarkan Puspita keluar rumah tanpa dirinya, tapi setelah berpikir bolak-balik, rasanya tidak adil terlalu mengekang Puspita dengan tidak mengizinkan dia keluar, padahal hanya ke supermarket.Sebenarnya pula, Puspita bisa menyuruh ART jika ada kebutuhan yang harus dibeli. Setidaknya itu yang Pram inginkan. Hanya saja, mungkin istrinya jenuh terus di rumah setelah menikah. Apalagi semenjak menjadi istrinya, Puspita belum pernah diajak ke mana pun.Bukankah ia juga berhak menikmati hidupnya? Bukankah pernikahan bukan untuk mengurung istri di dalam rumah? Hanya saja, kekhawatiran Pram yang terlalu besar memang membuatnya terlalu posesif. Tapi kejadian kemarin membuatnya sangat takut kehilangan Puspita.Karenanya, ia mengizinkan wanita itu keluar. Toh hanya ke