Puspita melangkah cepat meninggalkan minimarket, tanpa menyadari panggilan si gadis cilik tersebut. Hatinya terasa remuk, setiap langkah terasa berat. Langkahnya berubah menjadi setengah berlari saat mendekati ojek yang menunggunya. Pandangan matanya masih kabur, belum mampu menenangkan dirinya dari apa yang baru saja dilihatnya."Bang, ayo jalan sekarang," ucap Puspita terburu-buru pada sang driver ojek online, suaranya bergetar.Driver ojek yang heran menoleh, tapi tak urung memberikan helmnya.“Tidak jadi belanja, Mbak?” tanya sang pengemudi itu sambil mulai menjalankan motornya.Puspita tidak menjawab, ia sibuk menata hatinya. Selama perjalanan, wanita itu hanya bisa memalingkan wajah ke arah lain, mencoba menahan air mata yang nyaris jatuh. Namun, semakin ia berusaha, semakin kuat pula perasaan yang menyesakkan dadanya.Bukan karena melihat pemandangan Pram bersama Imel jika Puspita sampai sebegininya. Ia sama sekali tidak peduli jika pun pria itu akan segera menikah lagi dengan
Puspita memijat pelipisnya sesaat setelah turun dari ojek. Kepalanya berdenyut memikirkan pertemuannya dengan Prily dan Pramudya tadi. Oh, bukan pertemuan. Lebih tepatnya ia yang melihat mereka.Rasa rindu yang tak tersampaikan, sakit hati yang kembali terbuka mengingat perlakuan Pram, tubuh yang lelah bekerja, ditambah setumpuk permasalahan lain yang akhir-akhir ini mengganggunya, membuat ia ingin segera beristirahat.Puspita berjalan tergesa-gesa. Membuka sepatu dan menyimpannya dengan cepat di rak dekat pintu. Setelahnya, ia langsung mengucap salam sembari memutar kenop pintu karena yakin Tika sudah berada di dalam. Jadi, pintu tidak lagi dikunci.Dan … benar saja. Tika memang berada di dalam, tetapi ia tidak sendiri. Seorang pemuda tengah bersamanya, dan mereka sedang bergumul panas di atas karpet yang biasa ia gunakan sebagai alas tidur.Kedua orang itu berjengit kaget menyadari seseorang masuk. Mereka saling memisahkan diri dengan cepat. Tika memegang kemejanya karena kancing
Puspita menggelengkan kepala. Hatinya mulai sakit mendengar kata-kata sepupunya."Pergi! Apa kamu tidak dengar!?" Tika meninggikan suara dengan tangan mengacung-ngacung kasar. Namun, karena Puspita malah mematung di tempatnya, Tika berjalan kasar menuju lemari pakaian di mana Puspita ikut menaruh bajunya di sana.Dengan sangat kasar, Tika menarik tumpukan baju Puspita hingga sebagian berserakan di lantai. Baju yang sudah di tangannya, ia lemparkan ke lantai, lalu ia tendang keluar seperti sedang kesetanan.“Pergi!” Tika kemudian mendorong Puspita dengan keras, lalu membanting pintu tepat di depan wajah Puspita.Wanita berjilbab itu hanya diam, menahan sesak di dalam dada sembari membungkuk dan memunguti pakaiannya yang berserakan, lalu memasukkan ke dalam tas yang tadi juga dilemparkan Tika.Kini, Puspita menyandar lemah di dalam taksi. Matanya terpejam kuat, lelehan air yang mengalir di pipinya terasa hangat. Selama ini, bukan karena ia tidak sanggup membayar kost sendiri jika ikut
Pram membalikkan badan dengan gerakan cepat begitu mendengar suara itu. Tatapannya langsung bertemu dengan Haidar, pria yang ia yakini memiliki ketertarikan khusus pada Puspita.Haidar melangkah maju, mengabaikan tatapan tajam Pram. Kini, keduanya berdiri bersebelahan menghadap Tika.“Apa maksudnya Puspita sudah pergi? Tika, dia pergi ke mana?”Tika, yang masih berdiri di balik pintu, tampak jengkel karena situasi ini. “Aku sudah bilang, dia pindah. Urusan kalian dengan Puspita seharusnya tidak lagi melibatkan aku,” jawabnya ketus.“Tapi ke mana dia pindah?” desak Haidar.Tika menghela napas, jelas kesal dengan pertanyaan yang berulang-ulang. “Aku nggak tahu, dan aku nggak peduli. Jadi, berhenti mengganggu aku!”Dengan itu, Tika mendorong pintu dengan kuat, menutupnya tanpa memberi kesempatan kepada keduanya untuk bertanya lebih lanjut. Pram dan Haidar hanya bisa berdiri di depan pintu yang kini terkunci rapat. Keduanya saling lirik dengan kaku.“Anda masih mencari Puspita, Pak? Buka
Puspita keluar dari bangunan tempatnya mengikuti kelas. Ia berbaur dengan beberapa orang yang memiliki kepentingan sama. Ia menyeka keringat di pelipisnya yang dingin oleh udara lembap. Langit tampak murung, seolah siap mencurahkan hujan kapan saja. Dia mendesah pelan, memandang jalanan yang ramai dengan orang-orang yang bergegas pulang.Di tangannya, buku catatan kecil tergenggam erat. Hari pertamanya di kelas kesetaraan cukup menantang, tapi dia merasa puas. Ia akhirnya bisa memulai lagi sesuatu yang dulu sempat ia tinggalkan. Namun, tubuhnya terasa lemas, dan pikirannya penuh berbagai hal.Kurang tidur karena masih adaptasi di kost baru, memikirkan perilaku Tika yang tak pernah diduganya, serta otaknya yang dipaksa mencerna pelajaran setelah lama tak bersentuhan, membuat kepalanya berdenyut.Puspita berjalan lunglai menuju halte terdekat. Angin kencang yang membawa serta daun kering dan debu seolah ingin menerbangkan tubuhnya. Wanita itu duduk di bangku halte, di mana hanya ada beb
Puspita menutup pintu kost, lalu bersandar di baliknya. Matanya terpejam, wajahnya menengadah. Tangannya memeluk buket bunga yang diberikan Haidar tadi siang. Hatinya berbunga-bunga, tapi juga diliputi kegundahan.Terbayang semua yang dikatakan Haidar di mobil saat mengantarnya barusan.“Akang, maaf. Aku mau meminta penjelasan yang tadi,” ucapnya setelah mobil mulai meninggalkan kampus dan berbaur dengan kendaraan lain di jalanan. Tadi, ia terpaksa menahan rasa penasaran karena harus bekerja. Kini, dalam perjalanan pulang, rasa penasaran itu harus terbayarkan.“Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?” lanjutnya sambil menatap lekat.Haidar tersenyum kecil, kedua tangannya mantap menggenggam kemudi. “Kenapa?” Ia balik bertanya sambil menoleh.“Tidak mau Akang kenalkan sebagai calon menantu?” Haidar menjeda kalimatnya. “Kalau kamu tidak mau dikenalkan sebagai calon menantu, Akang kenalkan sebagai calon istri saja, ya?” Kedua alis Haidar turun-naik.Puspita memejam sebentar, lalu memperbaik
Puspita masih berdiri mematung di depan gerbang kampus. Kakinya seolah tertanam ke dalam tanah. Jantungnya berhenti bekerja untuk beberapa saat, sebelum akhirnya justru memacu lebih dari yang seharusnya.“Mama …!” Seruan riang itu semakin terdengar jelas dan dekat. Hingga sebuah pelukan kecil terasa di kaki Puspita. Pelukan yang sangat familier hingga rasanya tidak pernah ia lupakan.“Mama ….” Kali ini panggilan itu terdengar dari bawah tubuh Puspita disertai tarikan kecil di ujung kaus panjangnya. “Mama … Ii kangen ….”Tarikan di ujung kaus Puspita semakin bertambah kuat. Sementara pandangan Puspita masih ke depan. Menatap kosong wajah Pram yang masih berdiri di dekat mobilnya dengan tatapan penuh harap.Puspita masih di sini. Mematung di tempatnya tanpa menundukkan wajahnya meski panggilan di bawah sana sudah berubah menjadi rengekan. Ia tidak mau kalah. Bayangan perlakuan Pramudya selama pernikahan mereka, lalu tuduhan kejam dan talak yang jatuh tidak di tempat layak yang disertai p
Mobil Pram melaju dengan kecepatan sedang di tengah jalan yang mulai sepi. Tidak ada suara apa pun yang terdengar di dalam mobil selain deru mesin. Pram tidak memegang kemudi karena sengaja membawa sopir dan pengasuh untuk rencana mempertemukan Prily dengan Puspita ini.Pandangan pria yang duduk di samping sopir itu terpaku lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Kepergian Puspita tanpa basa-basi dari restoran tadi masih membekas di benaknya.“Prily punya ayah kaya yang—dengan uangnya bisa melakukan apa pun untuk membahagiakannya.”Kalimat itu berulang-ulang bergema di telinganya. Nadanya dingin, tapi penuh luka. Pram mengepalkan tangan. Kenapa kalimat sederhana itu menusuknya lebih dalam dari apa pun yang pernah ia dengar?Karena ia tahu itu sindiran telak. Sebab, ia pernah menuduh Puspita hanya ingin uangnya. Lebih dari itu, ia bahkan menuduh Puspita rela melakukan apa pun demi bisa menjadi istri pria kaya meski harus menjadi istri kedua, ketiga, bahkan keemp
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu
“Aku kembalikan kamu ke agensi. Sejak hari ini kamu tidak bekerja di sini lagi.”Kalimat itu meluncur dari pria yang sejak tadi berdiri di teras, menunggu Puspita dan Joseph keluar. Sikapnya dingin, tatapannya tajam, dan ucapannya tak terbantah.Kalimat itu langsung meluncur dari bibir sang pria bahkan saat kaki Puspita dan pengawal yang menyertainya baru saja turun dari mobil.Kedua bola mata Puspita serta-merta melebar. Ia melirik lelaki tinggi tegap yang berdiri di samping pintu mobil. Lelaki yang diam saja tanpa ekspresi mendengar ucapan Pram, meskipun tahu dirinya dipecat.Puspita menggeleng tegas. Suaminya memecat Joseph begitu saja di saat mereka baru saja tiba. Tidak ada interogasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, bahkan mereka tidak diberi waktu sekadar untuk menghirup udara di luar mobil. Pram langsung menyambut dengan pemecatan itu.Puspita ingin bertanya, tetapi Pram sudah masuk ke rumah hanya dalam waktu kedipan mata. Dengan berlari-lari kecil, wanita itu menyusul
“Kamu tidak apa-apa?” Pertanyaan lembut penuh kekhawatiran meluncur dari bibir pria yang menahan tubuh seorang wanita. Namun, wanita dalam pelukan itu gegas melepaskan diri setelah beberapa saat terpaku.Puspita—wanita itu—buru-buru mundur, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Jantungnya yang mendadak bertalu cepat berusaha ia kendalikan. Ini tidak boleh terjadi, Prabu tidak boleh menyentuhnya. tapi semua di luar kendalinya. Semua ini hanya kecelakaan. Prabu menolongnya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Prabu ada di sana?Ah, ya. Pria itu pasti mencari Tika.“Maaf, tapi apa yang terjadi di sini?” tanya Prabu karena melihat Puspita menepuk bajunya seolah telah bersentuhan dengan debu. “Abang ….” Rengekan manja tiba-tiba terdengar, dan itu tentu saja berasal dari mulut Tika. Gadis yang semula amarahnya meluap-luap itu kini berubah ekspresi. Ia mendekati Prabu dengan mimik sedih, seolah tertindas.“Dia menyakitiku, Bang … istrinya Pak Pram ini berusaha menindasku,” adunya dengan suara
Puspita meringis. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan Tika yang tubuhnya penuh kemarahan. Kelembutan dan keanggunan yang sejak tadi disuguhkan gadis itu mendadak sirna, berganti dengan keberingasannya yang menakutkan.Tangannya menekan salah satu tangan Puspita di dinding, sementara tangan lainnya menunjuk wajah Puspita dengan telunjuk bergetar.“Ja-ngan sekali-kali berpikir untuk ikut campur urusanku!” desis gadis itu dengan penuh penekanan. Suaranya persis desisan ular berbisa. Tidak keras, tidak jelas, tapi sangat menakutkan.Puspita memejam. Bukan karena takut, tapi liur Tika berhamburan mengenai wajahnya.“Kamu dengar?” Suara Tika kini disertai tangannya yang mencengkeram dagu Puspita hingga wanita berhijab itu membuka matanya.“Berhenti menjadi orang menyebalkan yang sok suci! Apa pun yang aku lakukan, itu bukan urusanmu! Jadi, urus saja hidupmu sendiri bersama suami hasil rampasan itu. Bukankah kamu sudah bahagia?”Puspita menghempaskan tangan Tika yang mencengkeram daguny
[Sudah sampai mana?][Jangan lama-lama, ya. Prily pasti nungguin kamu.]Pram mengirim dua pesan langsung ke nomor istrinya. Tadi Puspita meminta izin untuk ke supermarket karena ada yang harus dibelinya.Sebenarnya, Pram keberatan membiarkan Puspita keluar rumah tanpa dirinya, tapi setelah berpikir bolak-balik, rasanya tidak adil terlalu mengekang Puspita dengan tidak mengizinkan dia keluar, padahal hanya ke supermarket.Sebenarnya pula, Puspita bisa menyuruh ART jika ada kebutuhan yang harus dibeli. Setidaknya itu yang Pram inginkan. Hanya saja, mungkin istrinya jenuh terus di rumah setelah menikah. Apalagi semenjak menjadi istrinya, Puspita belum pernah diajak ke mana pun.Bukankah ia juga berhak menikmati hidupnya? Bukankah pernikahan bukan untuk mengurung istri di dalam rumah? Hanya saja, kekhawatiran Pram yang terlalu besar memang membuatnya terlalu posesif. Tapi kejadian kemarin membuatnya sangat takut kehilangan Puspita.Karenanya, ia mengizinkan wanita itu keluar. Toh hanya ke