4
"Kamu menikah lagi tanpa restu Ibu? Ibu doakan istri barumu juga kena kanker seperti Soraya!"
"Ibu, cukup!" Pram berseru, wajahnya menegang. Ia menatap ibunya dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi tetap tak bisa menutupi kegeraman. "Apa Ibu tahu betapa sulitnya situasi kami sekarang?"
"Sulit?" Bu Hasna mendengus. "Kamu bilang sulit? Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat tahu kamu menikah dengan seorang pembantu tanpa restu?"
Puspita yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa meremas ujung kerudungnya. Ia menahan diri, tetapi hatinya perih mendengar cemoohan Bu Hasna. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf…."
Hasna menatap tajam wanita yang menunduk itu. "Seharusnya kau sadar diri sejak awal. Kau hanya seorang pembantu. Apa itu memang tujuanmu bekerja di sini?" Kata-kata Hasna semakin menusuk.
"Ibu, jangan berkata seperti itu pada Puspita!" Soraya tidak tahan lagi. Meski sangat lemah, ia tidak bisa membiarkan ibu mertuanya berkata buruk pada Puspita. "Saya yang meminta Mas Pram untuk menikahi Puspita, Bu. Saya…."
"Apa?" Mata Hasna mendelik. Mulutnya terbuka lebar. Tatapan tajamnya kini berfokus pada wanita yang berbaring lemah di ranjang. "Kamu yang meminta anakku untuk menikahi pembantu itu?" Telunjuknya mengarah ke wajah Puspita yang menunduk.
"Kenapa?"
"Karena Puspita wanita yang baik, Bu. Ia akan menjadi ibu yang baik untuk Prily setelah saya pergi nanti."
Hasna mengibaskan tangannya dengan kasar. "Kamu memang tidak tahu, Soraya. Sudah bau tanah pun masih juga menyusahkan anakku. Kalau memang mau mati, tinggal mati saja. Tidak perlu repot-repot mencarikan istri baru untuk anakku. Akan ada banyak wanita yang bersedia menikah dengan Pram setelah kamu mati. Apalagi aku juga sudah menyiapkan calon penggantimu."
"Ibu…." Pram memekik. Wajahnya merah padam. "Ibu bicara apa? Ayo kita bicara di luar saja. Biarkan Soraya istirahat." Pram meraih tangan Hasna, tetapi wanita itu menepisnya.
"Istrimu yang tidak tahu diri itu tidak butuh istirahat, Pram. Dia hanya butuh introspeksi diri sebelum meninggal."
"Ibu bicara apa?" Pram menatap sang ibu tak percaya.
"Itu memang benar, bukan? Untuk apa dia memintamu menikahi pembantu itu? Pantas saja sakitnya tidak sembuh-sembuh, ia memang hanya bisa menyusahkanmu."
"Cukup, Bu! Jangan membuatku marah. Soraya tidak memintaku menikahi Puspita. Aku sendiri yang mau menikahinya," Pramudya berkata tegas.
"Apa maksudmu, Pram?" Hasna menatap dengan kening berkerut.
Pramudya menahan napas beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Aku mencintai Puspita. Karena itu aku menikahinya. Jadi, pernikahan ini bukan karena permintaan Soraya."
Kata-kata Pram begitu tegas dan meyakinkan, hingga bukan hanya Hasna yang terperangah, Puspita yang sejak tadi hanya menunduk kini menoleh dan menatap pria itu tak percaya.
"Jadi, sekarang jelas, bukan? Semua ini bukan karena Soraya, tapi aku sendiri yang ingin poligami. Aku mencintai Puspita karena ia sama baiknya dengan Soraya."
Hening beberapa saat. Semua orang di ruangan itu terkesima dengan pengakuan Pram yang tak terduga. Hingga….
"Kau pikir Ibu akan menerima pernikahanmu walaupun kamu mencintai pembantu itu?" Hasna menatap penuh kebencian. "Tidak akan, Pram! Tidak akan pernah! Ibu bahkan sudah menyiapkan calon istri baru untukmu!" Tidak kalah tegas, Hasna berkata.
Pram ingin menyahut, tapi suara pekikan dari belakang tubuhnya membuatnya tersentak. Pria itu berbalik dan mendapati Puspita memegangi tubuh Soraya yang terkulai.
"Soraya…." Pram mendesis, lalu meraih tubuh lemah itu dalam pelukannya, menepuk pipi pucat Soraya dengan pelan. Namun, sang istri semakin terkulai dengan napasnya yang kian pendek.
"Soraya! Bertahanlah!" Pram memekik panik, terlebih melihat mata Soraya yang mendelik dan hanya menyisakan bagian putihnya saja. Bukan hanya itu, cairan merah kehitaman mulai keluar dari lubang hidung sang wanita.
"Puspita, cepat panggil ambulans! Aku akan membawa Soraya ke rumah sakit."
**
Pramudya bersimpuh di depan gundukan tanah merah yang tertabur bunga. Seikat bunga segar ia letakkan di dekat nisan bertuliskan nama Soraya Binti Imran. Kepalanya menunduk dalam, tangannya tak henti mengusap ukiran nama di batu nisan itu. Separuh jiwanya sudah hilang bersama dengan terenggutnya nyawa Soraya kemarin di rumah sakit.
Wanita itu sudah lelah; ia menyerah. Kanker payudara yang menggerogoti tubuhnya telah memenangkan pertarungan. Soraya pergi dalam pelukannya. Meninggal dalam damai setelah rentetan wasiat yang yakin akan ia pegang.
Soraya tidak tahu kalau kepergiannya meninggalkan duka yang teramat. Dunia Pram seolah kiamat. Wanita terkasihnya pergi meninggalkan dia dan putri mereka yang masih sangat kecil.
Pram memejam, semua kenangan bersama Soraya selama tujuh tahun pernikahan terus berputar di kepalanya.
"Mas, aku sudah lelah…." Pram semakin memejam saat mengingat detik-detik kepergian Soraya kemarin. "Ingat, setelah aku pergi, jangan pernah melepaskan Puspita apa pun yang terjadi. Aku tidak rela kamu memberikan ibu baru untuk Prily selain Puspita. Prily hanya butuh Puspita dan bukan orang lain."
Meski dengan suara lemah dan terputus-putus, Soraya terus bicara. Padahal Pram sudah melarangnya. Pram hanya bisa menggeleng sambil menggenggam tangan sang istri sebelum nyawa wanita itu benar-benar meninggalkan raganya.
**
Enam bulan berlalu.
Rumah itu seperti mati. Pram berubah menjadi pria yang seolah tak lagi mengenal dunia, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Setiap malam, Puspita melihat pria itu berdiri di dekat jendela, menatap hampa ke arah luar.
Pram bahkan lupa jika ia masih memiliki putri kecil yang haus perhatian. Prily—gadis kecil yang belum genap dua tahun, seolah bukan hanya kehilangan ibunya, tapi juga ayahnya karena Pram terlalu larut dalam kesedihan ditinggalkan Soraya.
Beruntunglah Prily memiliki Puspita. Pengasuh yang kini bukan hanya menjadi ibu barunya, tapi seolah menjadi dunianya.
Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Puspita mengasuh Prily layaknya anak sendiri. Bukan semata karena permintaan Soraya, tetapi karena ia menyayangi anak itu dengan tulus. Bukan hanya Prily yang Puspita urusi dengan sabar, tetapi juga Pram yang bagai tak memiliki lagi semangat untuk melanjutkan hidup.
Puspita menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu semenjak Soraya pergi. Bukan semata karena amanat Soraya, tetapi karena ia menyadari kewajiban dan posisinya di rumah itu.
Sayangnya, waktu yang terus berjalan tak pernah mengubah hati Pram. Sama seperti dulu, Pram sama sekali tidak pernah melihat Puspita sebagai seorang istri. Berbulan-bulan, tiap kali tatapan mereka bertemu, hanya dingin yang menyambut Puspita, tanpa sedikit pun penghargaan atas pengorbanan yang ia lakukan. Pram menolak melewati masa dukanya, tenggelam dalam rasa kehilangan yang semakin menyesakkan setiap hari.
Pagi ini, Pram sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Sementara Puspita yang baru selesai menyajikan sarapan untuknya, langsung duduk di hadapannya. Ada yang ingin disampaikan Puspita. Namun, wanita itu terlihat ragu. Alhasil, ia hanya menatap pria yang mulai menyantap roti panggang dalam diam.
Semenjak Soraya pergi, Pram memang tidak menolak ia layani sebatas menyajikan makan dan disiapkan pakaian, walaupun tetap hanya kebisuan dan sikap dingin sebagai imbalannya. Bagi Puspita, untuk saat ini itu saja sudah cukup. Paling tidak, perannya sebagai istri cukup nyata.
Puspita masih memikirkan kalimat untuk membuka obrolan, saat suara langkah kaki mendekat ke ruang makan. Wanita paruh baya, ART mereka, datang tergopoh-gopoh. Puspita dan Pram sontak menoleh.
“Maaf, Pak, ada tamu mencari Bapak, tapi minta langsung masuk karena katanya calon istri Bapak.”
“Calon istri?” Pram dan Puspita bergumam heran.
Wanita cantik bertubuh langsing masuk dengan anggun dari pintu dan langsung menebar senyum manis.
“Selamat pagi, Mas Pram. Sudah lama nggak ketemu, ya. Kata Bude Hasna, Mas Pram merindukanku.”
5Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama."Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya."Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya."Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala."Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembusk
“Apa? Prily sesak napas?” Pram berteriak bicara di telepon. “Ya sudah, langsung bawa ke rumah sakit, aku menyusul ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan dengan gusar.“Pak, putar arah ke rumah sakit!” perintahnya pada sopir sambil memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Wajahnya diliputi kecemasan.“Ada apa, Mas?” tanya Imel yang duduk di samping Pram. Wajahnya tampak simpatik, padahal beberapa saat sebelumnya seulas senyum terukir di wajahnya.“Prily sesak napas.” Pram menjawab tanpa menoleh. Sejujurnya, saat ini ia merasa dirinya yang tidak bisa bernapas. Apalagi Puspita meneleponnya sambil menangis. Sudah dapat dipastikan jika kondisi Prily sangat serius.Pram takut. Ia baru saja ditinggalkan orang tercintanya. Dan jika Prily pun sampai kenapa-napa, ia bisa gila.“Sesak napas?” Imel mengulang. “Perasaan, saat kita tinggal tadi, Prily baik-baik saja, kan? Kok, bisa sih, sesak napas?” tanya Imel dengan irama kalimat yang sangat diatur. Pram tidak ingin menjawab. Ia memutuskan memejamk
Butuh beberapa saat bagi Puspita untuk mencerna semuanya setelah Pram mengucapkan kalimat itu dan berbalik pergi, kembali ke kamar Prily didampingi Imel yang tersenyum puas.Kemudian, gadis itu menghapus air matanya dengan kasar setelah dapat menguasai dirinya.Ia sempat terjebak dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan yang mendalam akibat tuduhan Pram yang keji dan kata talak yang menyusul kemudian. Tidak percaya kalau pandangan Pram padanya masih sama seperti dulu, memandang Puspita sebagai orang miskin yang dangkal, dan tidak bisa dipercaya.Tidak peduli Puspita sudah berusaha keras menjalankan amanat Soraya sekuat tenaga. Menelan sakit hatinya setiap hari.Puspita tidak menyangka justru Pramlah yang akan mengingkari janjinya pada Soraya secepat ini. Membuangnya.Ini terlalu menyakitkan. Jika pun Pram ingin menceraikannya, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa harus menuduhnya dulu?Puspita menarik napas dalam-dalam. Mencoba melonggarkan rongga dada yang sesak. Lalu setelahn
“Menikahlah dengan Imel.”Ekspresi Pram langsung mengeras. “Bu–”“Kamu ini perlu seseorang untuk mengurusmu. Dan Ibu yakin Imel orang yang tepat. Daripada kamu terus-terusan tampil mengenaskan ini,” tukas Hasna. “Dua kali kamu salah memilih istri hingga hidupmu berantakan, Pram. Itu akibat tidak mendengarkan ucapan orang tua.”“Aku tidak ingin menikah lagi,” tegas Pram. “Kamu masih mau mencoba mengurus ini semua sendirian?” tanya Hasna. Suaranya mulai meninggi. “Kamu berantakan, Pram. Dan bahkan kamu tidak becus mencari pengasuh untuk anakmu!” Hasna menunjuk wanita berusia 40 tahun yang sedang menggendong Prily. “Lihat, setiap saat Prily menangis, dan wanita itu tidak bisa menenangkannya.”Pram memejamkan mata. Kepalanya terasa ingin meledak. Ia tahu Prily selalu rewel, dan itu bukan sepenuhnya salah pengasuh barunya. Ini juga termasuk ke dalam sesuatu yang tidak Pram prediksi. Bahwa Prily akan sekeras itu mencari Puspita sejak sadar di rumah sakit.Padahal … bukankah kata Imel, w
“Puspita, kita perlu bicara.” Nada suara pria itu terdengar dingin, masih sama seperti dulu.Puspita menegakkan punggung dan menghela napas pelan tanpa kentara, setelah sebelumnya sempat menahan napas. Ia berusaha tetap tenang meski tak dapat dipungkiri hatinya bergejolak. Bertemu lagi dengan seseorang yang sudah menorehkan luka, bagai mimpi buruk di pagi hari yang seharusnya ia mulai dengan semangat.“Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru.” Puspita menjawab singkat pada akhirnya, tanpa menatap ke mantan majikannya itu.Ia tidak ingin terintimidasi, ataupun menunjukkan reaksi yang tidak semestinya. Apalagi yang berlebihan.Sementara itu, Haidar tampaknya menyadari ketegangan Puspita. Pria itu menatap Puspita dan Pram bergantian.Kemudian, Puspita menatap pada Haidar. "Ayo, Kang, kita berangkat," lanjutnya, mengajak Haidar untuk pergi dari sana.Namun, Pram mendekat. Lantas menghentikan langkah Puspita."Puspita, ini penting," desak pria itu.Akhirnya, Puspita menoleh pada Pram, memberanik
“Pus? Masa aku tidak boleh tanya soal Kang Haidar juga?” Tika kembali bertanya.Puspita terdiam cukup lama. Kalau boleh jujur, ia akui Haidar memang sangat baik dan berjasa membantunya hingga bisa mengambil paket C. Pria itu memberikan jalan untuk mimpinya yang sebenarnya.Namun, tak ada apa-apa di antara mereka. Memang Haidar hanya orang baik yang mau membantu Puspita karena mereka berasal dari kampung yang sama.Meskipun memang saat di kampung dulu, Haidar pernah mengajarnya. Tapi itu dulu sekali.Haidar berasal dari keluarga terpandang di kampung. Orang tuanya memiliki perkebunan teh dan beberapa usaha lainnya. Seluruh keluarganya berpendidikan tinggi, dan ia bahkan tak berani berharap lebih."Kamu pacaran sama Kang Haidar?" tanya Tika lagi karena Puspita tidak kunjung menjawab. Puspita menarik napas panjang. "Kami cuma temenan, Tik. Kang Haidar itu baik banget mau bantuin aku."Tika menjentikkan jarinya. "Nah, itu dia! Dia baik banget sama kamu, nggak mungkin kalau cuma temenan
“Soraya, aku … aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” ucap Pram pelan. “Apa kamu sedang menghukumku karena aku telah mengingkari janji?” Kini kepala Pram menunduk di atas pusara itu. Pram menyanggupi untuk menjaga Prily dan mempertahankan Puspita. Pria itu kemudian teringat ucapan Soraya, bahwa jika memang Puspita pergi dari sana, Pram akan menyesal.Inikah yang maksud oleh mendiang istrinya tersebut?“Iya, Ra? Kamu marah dan sedang menghukumku?” Pram semakin larut.Angin yang bertiup seolah membawa suara lembut Soraya, membisikinya dengan lembut. “Tapi asal kamu tahu, Ra. Kalau aku melakukan ini, karena kesalahan Puspita sendiri. Dia sudah membuat Prily kita kesakitan, dan aku takut, Ra … aku takut ia menyusulmu. Meninggalkan aku sendiri di sini.”Pram menarik napas yang terasa berat. Seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Ia berusaha tidak menumpahkan air mata di sana meski hatinya sangat sakit.Sejujurnya, Pram merasa keputusannya benar. Bahwa ia tidak bisa mempertaha
“Jangan cari Puspita lagi.”Setelah mengatakan itu, Tika langsung meninggalkan Pram begitu saja. Ke kampusnya, sekaligus menemui Puspita.Pagi itu, suasana kantin kampus sudah mulai ramai dengan mahasiswa yang datang untuk sarapan. Bagi mereka yang tidak sempat sarapan di rumah, kantin adalah tujuan utama begitu tiba di kampus. Dari kejauhan, terlihat asap tipis mengepul dari bangunan tersebut.Di sana, Puspita sibuk melayani pesanan. Meski belum lama bekerja di sana, ia sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sehingga mudah baginya untuk beradaptasi. Ia cepat belajar ritme pekerjaan, termasuk tugas apa saja yang harus dikerjakan.Wajah gadis yang kedua ujung kerudungnya diikat di belakang leher itu tampak tenang, meski sebenarnya pikirannya sedang penuh. Ia sedang sibuk mengaduk kopi pesanan saat Tika datang mendekatinya tanpa suara dan bersandar di meja di hadapan Puspita.“Dia datang lagi tadi,” ujar Tika sambil melipat tangan di dada.Puspita menoleh sebentar, tapi tak lama
Andini duduk termenung di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin terlihat lelah, mata sembab bekas menangis meski riasan masih rapi. Di dadanya sesak. Hari ini... ia resmi menjadi istri Prabu."Istri," gumamnya lirih.Kata itu terasa asing, berat, sekaligus menakutkan. Seolah menggantung di antara realita dan mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia teringat bagaimana Prabu menunduk patuh saat ijab kabul. Tanpa ekspresi, seperti membaca naskah tanpa emosi. Hanya sekilas tatapan mata yang terasa tulus saat ia menatapnya setelah akad, selebihnya hampa. Datar. Dingin. Semua yang dilakukannya ... bukan karena cinta.Andini menunduk. Ada luka yang tak bisa dilihat, tapi terasa mengiris di dalam dadanya. Ia tahu, Prabu menikahinya demi amanat Irena. Amanat dari seseorang yang sudah tiada, yang terlalu besar untuk ditolak oleh siapa pun—termasuk dirinya.Ia menghela napas berat. Dadanya bergemuruh dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Haru, kecewa, duka, bah
Seminggu berlalu …Mendung menggantung seolah ikut merasakan kesedihan yang masih membekas di hati banyak orang. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk menghapus luka, terutama kehilangan sebesar Irena. Tapi hidup tak menunggu siapa pun. Dan hari ini, Prabu akan mengucapkan janji baru di hadapan penghulu.Di ruangan kecil yang menjadi bagian sebuah masjid, Pram berdiri di samping kakak iparnya. Ia memandangi Prabu yang duduk tegang menunggu Andini didandani di dalam sana. Wajah kakak iparnya itu serius, matanya tampak lelah.“Bang …,” panggil Pram pelan tapi tegas. “Bawa santai saja,” lanjutnya seraya menepuk pundak Prabu.Prabu tidak menjawab. Hanya berkedip lemah. Meski sangat ingin pernikahan ini terjadi, tentu saja hatinya masih bertentangan. Kalaupun ia kemarin berjuang keras meyakinkan Andini agar mau menikah dengannya, semua karena amanat Irena dan juga demi kebaikan anak-anaknya. Bukan karena perasaannya terhadap wanita itu.Terkadang ia merasa bersalah pada adik iparnya itu.
“Kalian di sini?” suara Prabu tercekat, nyaris tak terdengar.Tubuhnya masih setengah membungkuk, napasnya tersengal. Pandangannya menangkap dua sosok di ujung lorong ruang NICU: seorang perempuan berkerudung dengan balutan coat cokelat muda, dan seorang gadis kecil yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memeluk boneka.Andini. Chiara.Sementara di sekitar mereka, berkumpul sepasang orang tua, sepasang suami istri muda, dan juga seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Semua orang itu kini menatap Prabu yang masih terduduk lemas di lantai rumah sakit.Prabu memejamkan matanya setelah memastikan bahwa pandangannya tidak salah. Ia memejamkan mata seolah ingin membuang rasa sesak yang bertubi-tubi datang yang nyaris merenggut nyawanya.Prabu masih memejam sampai sentuhan kecil terasa di pundaknya.“Papa kenapa?”Prabu membuka mata dan mendapati gadis enam tahun yang memeluk boneka itu berdiri tepat di hadapannya.“Kenapa Papa nangis? Kenapa Papa lari-lari?” tanyanya lagi dengan tatap
Langkah Prabu terhenti di depan pintu apartemen. Napasnya memburu, dada sesak menahan harap yang mulai menipis. Ia langsung menerobos masuk setelah Mbak Sri membuka pintu. Kakinya refleks melangkah menuju kamar Chiara, tempat mereka biasa tidur selama ini.Kosong.Selain Mbak Sri yang menatapnya sendu dari balik pintu, tak ada sesiapa pun lagi di sana.Ruang itu terasa asing, sepi, dan dingin. Koper-koper, kardus, mainan—semuanya telah lenyap. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi masuk, menyinari ruangan dengan suram. Bekas-bekas keberadaan mereka pun seperti telah disapu bersih waktu.“Andini… Chiara…” gumamnya pelan, suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ia bergegas keluar dari kamar itu, menelusuri ruang demi ruang seperti masih berharap menemukan bayangan mereka. Tapi tidak ada. Bantal-bantal sudah ditumpuk rapi, lemari pakaian kosong, bahkan sandal kecil milik Chiara pun tak tampak di dekat pintu.“Kalian… sudah pergi?” bisiknya lagi, kini dengan suara
Prabu berdiri di ambang pintu kamar, mematung. Pintu terbuka, dan dari celah itu, terlihat punggung Andini dan Chiara yang tengah sibuk berkemas. Koper besar terbuka di atas tempat tidur, dan beberapa kardus kecil diletakkan di lantai, sebagian sudah ditutup dengan lakban.Hati Prabu terasa hampa. Seperti ruangan itu—tak lagi memiliki sisa tawa, tak ada jejak yang bisa ia pertahankan.Andini melipat satu helai baju kecil milik Chiara lalu menaruhnya di dalam koper. Gerakannya tenang, rapi, tanpa suara. Tapi justru dari ketenangan itu, Prabu bisa membaca begitu banyak hal: luka yang ditekan, kecewa yang disembunyikan, dan entah apa lagi.Chiara duduk di lantai sambil memilih beberapa buku dan mainan kesukaannya. Anak itu terlihat sangat tenang dan menurut. Tidak terlihat sedih, protes, apalagi tantrum. Begitu pandai Andini memberi pengertian. Prabu angkat jempol untuk itu.Di samping anak itu, sebuah bingkai foto diletakkan hati-hati: foto keluarga mereka. Prabu, Irena yang sedang meng
Prabu berjalan lunglai kembali ke ruang NICU. Kalimat penolakan Andini terus terngiang di telinganya saat ia menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.“Aku bawa mobil sendiri, Mas. Tidak usah khawatir. Aku hanya minta satu hal, tolong segera urus surat pindah sekolah Chiara. Aku ingin semua beres sebelum kami berangkat.”Kalimat itu disampaikan Andini tanpa sedikit pun nada benci atau amarah. Justru terlalu tenang. Dan ketenangan itulah yang menusuk paling dalam.Prabu mengangguk pelan, menahan napas yang rasanya mulai sesak di dada. Ia tak bisa memaksa. Tidak setelah semua yang terjadi.Oma, Opa, dan Puspita hanya menatapnya dari kejauhan, tak ada satu pun yang berani bicara. Tatapan mereka penuh luka dan iba, tapi mereka memilih diam. Mereka tahu, satu kata saja bisa jadi pemicu amarah Prabu yang tengah rapuh. Dan mereka tidak ingin Prabu kembali menjauh dari mereka. Tidak lagi. Mereka juga tak ingin memaksakan lagi kehendak. Hanya bisa berdiri di sampingnya apa pun keputusannya.L
Prabu membeku di tempatnya. Ia seperti baru saja dijatuhkan dari tempat tinggi tanpa sempat bersiap. Napasnya tercekat, tenggorokannya mengering. Kalimat Andini masih bergema di telinganya."Kami akan segera berangkat setelah semuanya selesai." Berangkat? Mereka benar-benar akan pergi?Keheningan bercampur dengan dinginnya suhu ruangan semakin membalut luka di hati Prabu. Ia menggenggam besi pembatas ranjang pasien erat. Jemarinya menegang, seperti hendak menahan sesuatu yang hendak pecah di dalam dadanya.“Din…” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Kau benar-benar yakin akan membawa Chiara pergi?”“Tentu saja.” Andini menjawab masih dengan suara datar.“Lalu, bagaimana dengan amanat Irena? Bukankah kakakmu meminta kita menjaga Chiara dan Raja sama-sama?”“Bukankah aku sudah pernah bilang sebaiknya kita berbagi tugas, Mas?”“Apa kamu tidak ingin membantu mengurus Raja?”Andini diam sejenak. “Aku tidak bisa terus-terusan di sini. Aku punya pekerjaan. Punya tanggung jawab. Makanya aku
Prabu terpaku. Cangkir di tangannya nyaris jatuh jika tak segera ia letakkan ke meja. Ia menoleh ke Puspita, yang langsung menghindari tatapan itu. Sementara Opa dan Oma menatapnya dengan sorot penuh harap.Prabu menghela napas berat. Seberat beban dalam dadanya.“Aku baru saja kehilangan istri. Bahkan belum genap sepuluh hari. Aku belum mau memikirkan hal itu,” kilah Prabu lelah. Ia tidak mengira jika keluarganya berharap seperti itu.Ya, ia yakin jika semua keluarganya mengharapkan ia menikahi Andini. Buktinya, Puspita dan Opa juga diam saja, tak memberikan komentar apa pun. Ia sangat yakin jika semua orang sepemikiran. Hanya saja mewakilkan semua pada Oma karena tahu, ucapan Oma adalah yang paling ia dengar.Oma ikut-ikutan menghela napas berat.“Oma tahu. Kami sangat tahu hal itu, sakit ditinggalkan memang tidak ada obatnya. Hanya saja perlu kamu ingat, rasa sakit melihat darah daging kita tumbuh dalam ketimpangan kasih sayang akan lebih menyakitkan nantinya. Kami tidak mau meliha
Prabu membeku. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Puspita membentur dadanya seperti palu godam.“Mereka… datang ke apartemen sebelum Irena dibawa ke rumah sakit?” gumamnya nyaris tak terdengar.Puspita mengangguk kuat. “Iya, Bang. Aku berani bersaksi karena aku membersamai mereka. Kami tidak tahu jika Abang baru saja mengantar dokter Irena ke rumah sakit. Kami baru tahu setelah bertemu Mbak Sri dan Chiara di sana.”Sekali lagi Prabu tertegun. Saat itu ia memang buru-buru membawa Irena dengan segala kepanikannya. Tidak memperhatikan sekitar.“Kalau Abang tidak percaya,” lanjut Puspita sambil menatap mata kakaknya lembut, “silakan periksa CCTV di apartemen.”Suasana mendadak sunyi. Bahkan suara mesin inkubator terasa nyaring di tengah keheningan itu. Prabu membeku, menatap wajah Puspita dengan sorot masih tak percaya, lalu menoleh perlahan ke arah Oma.Wanita tua itu masih berdiri di sana dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Matanya sembap, tapi dalam sorotnya, Prabu menemuka